Selasa, 19 September 2023

Selamat Jalan, Paul Cumming, Pelatih Sepak Bola Legendaris Asal Inggris di Malang

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarkatuh Innalillahi wainnailahi rojiun.

Telah wafat suami saya Mohammad Paul Cumming pada hari Selasa tgl 19 September 2023 pukul 05.30 WIB dalam usia 76 tahun.

Semoga husnul khotimah mohon maaf segala kehilafan dan kesalahannya.  Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Aamiin.

Alamat duka: Dusun Drigu Poncokusumo Malang.

Kami yang berdukacita 
Ibu Paul/ Dwie Rahmatus Selfiati/Fifing 

Pagi ini, Ayas nggowes di dekat Bandara Juanda. Mampir ngopi sejenak di warkop. Buka WA. Ada pesan dukacita dari Bu Fifing alias Dwie Rahmatus Selfiati.

Paul Cumming berpulang.

Selamat jalan Paul. Pelatih sepak bola hebat yang pernah mewarnai jagat sepak bola Indonesia pada era 1980-an dan 1990-an. Pelatih bertangan dingin, ramah, murah senyum.

Ayas sempat mampir di rumahnya di Poncokusumo, Malang. Paul tidur, tersenyum. Selama belasan tahun Paul hanya bisa tidur. Tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Paul juga tidak bisa bicara. Tapi dia bisa mendengar omongan kita. Ayas bicara sendiri macam-macam. Khususnya nostalgia sepak bola masa lalu. Khususnya Perseman Manokwari.

Saat menyebut nama Adolf Kabo, striker paling top di era 80-an, Paul kontan menangis. Mengenang anak asuhnya yang sudah berpulang. Paul ingin bicara tapi tak kuasa. Lelaki bule asli Inggris ini memang kehilangan motorik untuk bicara lantaran penyakitnya yang lama.

Ayas hanya bisa ngobrol dengan Bu Fifing. Pensiunan guru SMAN 8 Malang yang jadi istrinya. Cerita perkenalan Fifing dengan Paul hingga jadi istri benar-benar seru dan unik. Paul tersenyum mendengar obrolan kami tentang kisah asmaranya doeloe.

Ayas hanya bisa berdoa semoga Paul tenang bersama-Nya. Selesai sudah penderitaan Paul selama 20-an tahun di dunia ini.

Selasa, 12 September 2023

Daftar Hotel di Surabaya Tahun 1950-an. Sebagian Besar Tinggal Kenangan

"Tahun 1970-an perusahaan bus tempat saya bekerja berkantor di Hotel Parengan, Jalan Bongkaran. Kemudian pindah di Hotel Bali daerah Makam Peneleh," tutur Pak Muksim.

Ayas penasaran. Sebab, di Jalan Bongkaran saat ini hanya ada satu hotel tempo doeloe, yakni Hotel Merdeka. Di dekatnya ada dua hotel baru. Satu di Jalan Waspada dan satu lagi di Slompretan, yakni Kokoon Hotel.

"Apakah Hotel Parengan itu dekat Hotel Merdeka?" Ayas bertanya.

"Nah, Hotel Parengan di sebelah utara Hotel Merdeka. Hotel Parengan itu  bangunan arsitektural China di era kolonial Belanda," jawab Muksim.

Ayas hampir tiap hari melintas di kawasan Bongkaran, Slompretan, Waspada, Karet, Bibis, Kembang Jepun... di kawasan Oud Soerabaia. Maka, Ayas pun mencari jejak Hotel Parengan di Jalan Bongkaran. Tak ada lagi bangunan berarsitektur Tionghoa. Cuma ada sisa bangunan mangkrak di Jalan Bongkaran 10.

Bisa jadi itu dulunya Hotel Parengan atau Paringan itu. Orang-orang sekitar sama sekali tak punya pengetahuan masa lalu tentang Soerabaia Tempo Doeloe. Tak jauh dari situ ada bangunan Hotel Slamet yang mangkrak.

Ayas akhirnya periksa lagi daftar nama hotel di Surabaya tahun 1950-an. Sumbernya dari buku telepon atau semacam yellow pages edisi 1954. 

Oh, ternyata ada nama Hotel Paringan di Jalan Bongkaran 10-12. Kemungkinan pada masa Hindia Belanda Hotel Libertij II. Hotel Libertij I berubah nama jadi Hotel Merdeka itu. Lokasinya berdekatan.

Berikut daftar nama hotel-hotel di Kota Surabaya pada tahun 1950-an. Sangat banyak ternyata. Ada yang masih bertahan tapi lebih banyak yang sudah tutup. Bangunan lama dibongkar. Karena itu, sulit dipercaya kalau dulu di Jalan Bongkaran dan Kembang Jepun, misalnya, ada beberapa hotel. 

Hotel lama yang masih bertahan antara lain Oranje Hotel jadi Hotel Majapahit, Hotel Kemadjoean, Hotel Merdeka, Hotel Simpang. 




DAFTAR HOTEL DI SURABAYA TAHUN 1950-AN

Hotel Ampel Kembang, Jl Ampel Kembang 8
Hotel Bawean, Jl Sasak 1
Hotel Bhima Sakti, Jl Sumatra 12-14
Hotel Brantas, Jl Kayoon 72-88
Hotel Brantas, Jl Sonokembang 4-6
Hotel Buitenzorgsch, Jl Pasar Besar Wetan 4-8
Hotel Carlton, Jl Jokodolog 2-6/Taman Apsari 7
Hotel Carmen, Jl Pahlawan 112-114
Hotel Centrum, Jl Bubutan 18-22
Hotel Djawa, Jl Baliwerti 48
Hotel Embong Woengoe, Jl Embong Wungu 28

Grand Hotel, Jl Bakmi 3-7
Hay Yong Tjioe, Jl Bakmi 54
Hollywood Hotel, Jl Kapasan 169-171
Hwa Kauw Lie Sia, Jl Bakmi 59-61
Insulinde, Jl Bakmi 16
Hotel Jin Pin, Jalan Bakmi 9-15
Hotel Kalimantan, Jl Pegirian 202 I
Lam Thian, Kembang Jepun 59
Hotel Paviljoen, Jl Genteng Besar 94-98
Pension Ketabangkali (Redjo Tentrem), Ketabangkali 31

Pension Palmenlaan, Panglima Sudirman 43-45
Ping An Tjan (Losmen Samudera), Jalan Caipo/Kopi 9
Pongilatan, Jl Stasiun Kota 4
Hotel Pregollan, Jl Pregolan Bunder 11
Sarkies Hotel, Jl Embong Malang 9
Simpang Hotel, Jl Pemuda (Gub Surjo)
Hotel Slamet, Jl Bongkaran 18 (eig. Ho Tik Tjwan)
Tay Tjhian Hotel, Kembang Jepun 150
Tionghwa Lie Kwan, Kapasan 206-208
Tiongkok Lie Sia, Kembang Jepun 29

Tong An, Slompretan 56
Tong Fong Lie Sia, Bongkaran 30
Victory Hotel, Simpang Dukuh 34-40
Hotel Miranda, Kaliasin 33-37
Oranje Hotel, Tunjungan 65
Hotel Liberty, Bongkaran 6 (eig. Tan Siauw Tjong)
Hotel Paringan, Bongkaran 10-12 
Hotel Djakarta, Jl Gatotan 53 
Hotel Sumatra, Jl Sumatra 87
Lam Yong Kie, Bongkaran 41

Hotel Makmur, Ketapang Adiguno 6
Hotel Mesir, Jl KH Mas Mansyur 165
Margo Seneng, Jl Dinoyo 136
Hotel Mataram, Jl Peneleh 48
Men Sing, Kapasan 173-175
Hotel Menado, Jl Gatotan 20
Park Hotel d/h Laarman Hotel, Jl Cendana 14-16
Hotel Kemadjoean, Jl KH Mas Mansyur 90

Sabtu, 09 September 2023

Showroom Honda pertama di Kembang Jepun 171

Iklan kecil di koran Duta Masjarakat, 26 Juni 1963, akhirnya menjawab pertanyaanku. Gedung tua di sebelah markas Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun itu dulunya kantor apa?

 Sudah lima tahun lebih aku bertanya. Tapi tidak ada yang paham. Memori orang kita memang pendek. Mudah lupa!

Mbah Sapuan, tukang pijat, pekerja serabutan, pernah tinggal di depan gedung di Kembang Jepun Nomor 171 Surabaya. Tapi mbah asal Sembayat, Gresik, ini pun tidak paham. Dia cuma diberi izin untuk menjaga kantor kosong itu. 

Selama bertahun-tahun Sapuan tidur di situ. Juga menyimpan barang-barang rosokan untuk dijual ke pengepul. Pemandangan di dekat gapura Kya-Kya pun jadi jelek. Gedung tua peninggalan Hindia Belanda jadi tempat rongsokan. 

Nah, iklan di koran lawas itu tentang sepeda motor pabrikan atawa built up Honda tahun 1963 dari Jepang. Ada tiga tipe motor yang bisa dipesan indent beserta harganya. Honda C100 dibanderol dengan Rp 318 ribu,  C110 dihargai Rp 378 ribu, dan C114 harganya Rp 378 ribu. 

Betapa kuatnya nilai rupiah saat itu!

Di Surabaya motor Honda impor utuh bisa dipesan di Jalan Kembang Jepun 171, Jalan Slompretan 60, dan Bunguran 8-10. Si pemesan harus menunggu paling cepat tiga bulan karena persediaan sangat terbatas. Saat itu sepeda motor masih tergolong barang mewah banget.

Akhirnya terjawab. Gedung di Jalan Kembang Jepun Nomor 171 Surabaya itu dulunya agen atau diler Honda. Generasi pertama motor Jepang yang masuk ke Indonesia. Sebelum ada pabrik rakitan Honda tahun 1971 yang kondang dengan Honda S90Z dengan kapasitas mesin 90 cc.

Setelah motor Honda bisa dirakit di Indonesia, tak ada lagi impor motor utuh. Maka kantor di Kembang Jepun, Slompretan, dan Bunguran pun beralih fungsi. "Kalau gak salah sempat jadi kantor dagang semacam trading," kata Cak Sur, mantan karyawan Jawa Pos era Kembang Jepun pada 1980-an.

Tak hanya bekas showroom Honda generasi pertama, masih ada lagi beberapa kantor tua di Kembang Jepun yang mangkrak. Pabrik es Kalimalang sudah lama tutup. Pasar Terang yang berdiri di atas bekas gedung Bank Taiwan juga sudah lama hancur ditelan sang kala.

Minggu, 03 September 2023

Jejak Komunitas dan Gereja Armenia di Surabaya - Minoritas yang Hilang

Esther Alviah Ekawati Ndoen, anggota komunitas Jawa Timur Tempo Doeloe, baru saja memuat foto Soerat Pendoedoek (semacam KTP) ayah angkatnya di Kebraon, Surabaya. Waktu itu kawasan Kecamatan Karang Pilang masih ikut Kabupaten Surabaya.

Esther menulis:

"Soerat pendoedoek dari almarhum papi saya, Charles Albert Apcar, tahun 1952, saat itu Kebraon masih dipimpin oleh Kepala Desa (Desa) dan Camat disebut Oenderan, Kawedanan Goenoengkendeng, Kaboepaten Soerabaja (jadi Surabaya masih berupa Kabupaten)."

Wow, menarik sekali. Sudah lama saya mencari warga keturunan Armenia di Surabaya tapi tidak ketemu. Sebelum covid pun Dubes Armenia menemui Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Juga bertanya tentang komunitas Armenia di Surabaya. 

Bu Risma saat itu tidak bisa memberi banyak informasi. Maklum, warga Armenia ini sudah lama "hilang" di Surabaya. Tinggal bangunan Gereja Armenia di Jalan Pacar yang kini dijadikan Gereja Tionghoa "GKA": Gereja Kristen Abdiel. 

Esther menceritakan, ayah angkatnya bernama Charles Albert Apcar alias Papa Charlie itu adalah anak laki-laki dari Opa George Lazar Apcar alias Opa Golan. "Beliau dulu adalah pemilik pabrik tepung tapioka di Kediri," katanya.

Anda masih punya informasi tentang orang keturunan Armenia lain di Surabaya? Apakah masih ada yang bisa saya temui?

"Tidak ada. Saya tidak punya informasi apa-apa tentang orang Armenia. Saya hanya tahu sebatas ayah angkat saya saja," kata Esther yang punya darah NTT dari Pulau Rote.



Syukurlah, Gereja Armenia di Indonesia pernah diteliti beberapa mahasiswa teologi. Salah satunya Alle G. Hoekema. Makalahnya berjudul Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil yang Sudah Punah.

Pada tahun 1927 didirikan gedung gereja untuk komunitas Armenia di Surabaya, dengan bantuan dana dari Perserikatan Armenia Nasional. Namanya Gereja St. George. "The 16 marble foundation stones were sent from Jerusalem by blessed Thorgom Patrarch Gooshakian, and were laid by Archpriest Bardan Simon Vardanian."

Gedung gereja itu terletak di Jalan Pacar 15, Surabaya. Dibangun oleh arsitek Belanda dengan gaya Armenia, dan diresmikan pada 11 November 1927. Menurut Soerabajasche Courant, imam Vardan S. Vardanian, yang datang dari Batavia,

"Di sebelah gereja itu juga didirikan sebuah bengkel teater dan musik (namanya Edgar Hall). Di sana segala macam perayaan diselenggarakan. Pada tahun 1935 perayaan 1.500 tahun berdirinya abjad Armenia dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Armenia klasik. Dan sebuah sekolah dibuka dengan tiga kelas," tulis Hoekema.

Krisis ekonomi dahsyat pada 1930-an sangat memukul usaha dagang orang Armenia di Surabaya dan Hindia Belanda. Gereja pun ikut goyang. Apalagi Gereja Armenia sangat eksklusif. Tidak berakar dengan masyarakat Indonesia. Liturgi pakai bahasa Armenia. Kiblatnya pun ke New Julfa, Armenia. Semua aset gereja pun milik Armenia.

Indonesia merdeka! Hukum kolonial yang mempersamakan status orang Armenia dengan orang Belanda dicabut. Orang Belanda rame-rame pulang kampung ke Holland.

Sama seperti orang Belanda, pada tahun 1950-an hampir semua orang Armenia, kira-kira 600 orang di Surabaya, memutuskan untuk beremigrasi. Sejauh mereka punya kewarganegaraan Belanda, mula- mula banyak pindah ke negeri Belanda. 

 Kemudian ada juga yang beremigrasi ke Australia. Komunitas Armenia di Australia cukup kuat dengan 50 ribu orang.

Kebaktian terakhir di Jakarta dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 1961, dipimpin Imam Aramais Mirzaian. Gedung gereja terpaksa dijual kepada pemerintah Indonesia, yang ingin melebarkan jalan Gang Timboel. Dua tahun kemudian Gereja Yahya Pembaptis dibongkar. 

Sekarang, kira- kira di tempat bekas Gereja Armenia adalah Bank Indonesia, di sudut Jalan Muhammad Husni Thamrin dan Kebon Sirih. Sebagai ganti rugi, pemerintah Indonesia membangun gedung gereja untuk umat Armenia di lain tempat di Jakarta. Namun hal itu tidak bisa menghindarkan lenyapnya komunitas Armenia. 

Gedung Gereja Armenia di Surabaya pada tahun 1976 dijual kepada Gereja Kristen Abdiel Gloria. Saat itu semua anggota Armenia sudah beremigrasi ke Australia.

 Perhimpunan orang Armenia di Indonesia secara resmi dibubarkan dalam tahun 1978. Sisa harta gereja diserahkan kepada komunitas Armenia di Australia yang makin bertumbuh.

Sabtu, 02 September 2023

Pater Songkok dari Lembata masih urus kebun di Graha Wacana Prigen

Pater John Lado SVD masih setia mengurus kebun di Graha Wacana dan SVD Family Center di Ledug, Prigen. Sementara pater-pater lain datang pergi silih berganti. Pater John Lado SVD asal Pulau Lembata, NTT, boleh dikata pastor yang paling lama bertugas di rumah retret tersebut.

Di usia yang tergolong senior, Pater John kelihatannya tak mungkin lagi jadi romo paroki. Apalagi keuskupan-keuskupan sudah lama memprioritaskan RD alias romo praja untuk menggembala umat Katolik di paroki-paroki.

Surabaya yang sebelumnya punya 6 paroki SVD pun kini tinggal 3. Itu pun tidak murni lagi imam-imam SVD tapi campur praja. Sudah lama SVD orientasinya ke luar negeri. Hanya sedikit yang masih melayani di Indonesia.

Ayas uji nyali dengan jalan kaki di kawasan Ledug, Prigen. Mampir ke Graha Wacana. Ketemu Kraeng asal Manggarai Flores yang jadi petugas keamanan. Ngobrol ngalor ngidul tentang masa lalu di NTT, suasana di rumah retret, kelanjutan Retret Tulang Rusuk setelah Pater Yusuf Halim SVD meninggal dunia karena covid.

"Sekarang sudah mulai menggeliat tapi belum normal. Belum seperti sebelum covid," kata orang Flores yang sudah karatan di Pandaan dan Prigen itu.

Apa kabar, Pater John Lado?

"Yah, masih begitu-begitu saja. Namanya juga orang tua. Beliau masih rajin urus tanaman, kebun, refleksi, menyendiri di kamar," kata Kraeng.

Pesan WA saya memang belum dijawab Pater John. Sehingga kita orang tidak bisa ketemu langsung dan omong-omong kosong. Kraeng bilang Pater John pekan lalu dirawat di hospital. "Sakitnya ya biasa kayak dulu," katanya.

Ya, sudah, saya tidak bisa bertemu langsung dengan Pater John Lado. Sesama orang Lomblen Island. 

Beberapa jam kemudian Pater John membalas pesan WA.

"Saya masih di rumah Ledug saja. Sejak pandemi  hingga saat ini belum mau terima permintaan pelayanan walaupun selalu ada. Saya ada gangguan saraf di pinggul kanan dan selama 1 bulan siang malam tidak bisa tidur.

Akhirnya masih alami gangguan tidur, jadi belum mau terima pelayanan. Sakit bisa saya atasi. Kalau sudah normal baru saya mulai terima kembali permintaan pelayanan. Makasih," ujar Pater John Lado SVD.

Unik memang pater yang satu ini. Saban hari beliau lebih mirip kiai kampung yang selalu pakai songkok (kopiah). Juga mirip tukang kebun. Karena itu, umat Katolik dari Surabaya yang berkunjung ke Graha Wacana tidak mengira kalau dia seorang pater alias romo alias pastor.

Semoga Pater Songkok segera pulih. 

Deo gratias!

Villa Iboe anno 1941 di Prigen sudah lama mangkrak

Tak jauh dari Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) di kawasan Prigen, Pasuruan, ada Villa Sampoerna. Milik siansen yang dirikan pabrik rokok Sampoerna.

 Kondisi vila anno 1930-an tampak kurang kinclong dari luar. "Tapi dalamnya bagus sekali. Mewah banget," kata pater asal NTT yang sering diajak menikmati Villa Sampoerna itu.

Menanjak sedikit, ada juga vila tua. Villa Iboe di Jalan Plembon, Prigen. Ada tulisan tahun 1941. Berarti rumah peristirahatan itu dibangun pada masa penjajahan Belanda.

Villa Iboe sudah lama sekali mangkrak. Tapi masih terasa sisa-sisa keindahan bangunannya. Beberapa patung malaikat-malaikat bersayap bisa disaksikan dari jalan raya. Kusam tak terurus.

Sudah lama saya ingin masuk melihat suasana vila tua itu. Sayang, selalu tertutup pagar besi. Juga tak ada penjaga yang bisa dimintai akses. "Ada penjaganya tapi sekali-sekali aja ke sini," kata warga sekitar.

Akhirnya ada sedikit informasi dari online. "Villa Iboe punya almarhum Opa saya. Liem Sie Bie Gwan," tulis Catherine Eva.

Wanita kelahiran 1977 itu sekarang tinggal di Bogor. Eva sempat blusukan ke Jalan Ngaglik, Surabaya, bekas pabrik Jamu Iboe. Kondisi sekarang mangkrak, telantar, mirip Villa Iboe itu. "Saya akan ngurus itu semua," katanya.

Entah kapan Eva akan mengurus dan memperbaiki vila warisan opanya. Mengapa bukan manajemen Jamu Iboe sekarang yang membiayai? 

Bukankah Jamu Iboe punya pabrik besar di Taman, Sidoarjo? Dan, makin maju? Bagaimana status aset tua di Jalan Ngaglik dan Prigen itu? Eva belum kasih penjelasan.

"Vilanya angker di belakangnya ada tempat pemakaman warga Palmbon. Dulu waktu SD banyak patung2 malaikat bersayap sekarang kemana patung2nya," kata Agus, pemuda asli Prigen.

Senin, 28 Agustus 2023

Nyambangi Dukut Imam Widodo, Senior Ikamisa, Terkenang Manuk Bence di Lowokwaru Malang

Ayas pagi tadi gowes ke kawasan Wiguna: Wisma Gunung Anyar, Surabaya. Dekat perbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Mampir ke rumah Dukut Imam Widodo. Senior Ikamisa alias Ikatan Alumni Mitreka Satata, Malang, ini sangat terkenal di kalangan pembaca buku-buku tempo doeloe di Jawa Timur.

Sam Dukut, sapaan akrabnya, menerbitkan cukup banyak buku tempo doeloe. Di antaranya, Soerabaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Grissee Tempo Doeloe, Sidoardjo Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe, Monggo Dipun Badhog.

Buku-buku Sam Dukut selalu jadi rujukan pemkab dan pemkot di Jatim meski Dukut sendiri tidak berpretensi menulis buku sejarah. Gayanya yang renyah, banyak guyonan ala ludruk membuat buku-bukunya enak dinikmati. Didukung foto-foto tempo doeloe era Hindia Belanda yang menarik.

"Perkenalkan, saya Dukut Imam Widodo arek Malang asli, lahir di Rumah Sakit Lavalette, Rampal Kulon, Malang, pada tanggal 8 Juni 1954. Sejak lahir hingga tumbuh jadi ABG dan lulus SMAN 1, Jalan Tugu, saya tinggal di Malang."

Demikian alinea pertama buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo. "Sam Ikamisa tahun berapa?" Ayas bertanya dan dijawab tahun 1973.

Obrolan menjadi ringan dan enak karena sama-sama Ikamisa. Ayas bertanya soal keaslian gedung SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 di dekat Alun-Alun Bunder itu apakah masih asli. Sebab gedung sekolah eks AMS Belanda itu ikut dihanguskan tahun 1947. Sam Dukut bilang masih relatif asli. Direnovasi seperti aslinya.

Sam Dukut tinggal bersama keluarga orang tuanya di Jalan Lowokwaru 40 (sekarang Jalan Letjen Sutoyo). Ada foto Dukut kecil di buku Malang Tempo Doeloe. 

Tahun 1960-an itu suasana Malang masih sepi. Dukut yang remaja sering menikmati suara burung-burung malam. Salah satunya manuk bence. Kalau kunam itu bersuara artinya ada isyarat bahaya. "Awas, ada maling," kata ebesku.

Zaman telah berubah. Begitu juga dengan Malang. Malang yang dulu sejuk berubah jadi sanap (panas), kata Sam Dukut. Burung bence itu pun menghilang.

"Sekarang suara manuk bence sudah tidak terdengar lagi di malam hari. Itu pertanda bahwa di kota ini sudah tidak ada lagi maling!" tulis Dukut.

"Yang ada adalah.. begal!" Dukut menambahkan.

 Hehehe.. iso ae sam asli Ngalam iki!

Ayas pamit pulang karena obrolan sudah agak panjang. Sam Dukut memberikan oleh-oleh berupa buku Malang Tempo Doeloe. 

Tidak lupa Sam Dukut menulis pesan untuk ayas di buku itu: "Jangan pernah menyerah! Jangan! Jangan!"

Rutam nuwus, Sam Dukut!