Rabu, 17 November 2021

Warung Langgananku di Jolotundo Ditimpa Pohon Tumbang, Mas Riyan Meninggal

Mengapa harus mereka yang terpilih menghadap?
Pasti ada hikmah yang dapat kita petik

(Ebiet G Ade)

Musibah di Jolotundo, Trawas, Mojokerto, ini bikin aku ikut terguncang. Pohon besaaar tumbang menimpa warung. Delapan orang jadi korban.

Tiga korban di antaranya meninggal dunia. Para korban berasal dari kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Mereka sedang istirahat di warung tak jauh dari cagar budaya petirtaan Jolotundo yang terkenal itu.

Saya kenal Riyan Amim, salah satu korban yang meninggal dunia. Masih muda di bawah 20 tahun. Putranya Mbak Ningsih, pemilik warung.  Mbak Ningsih putrinya Bu Saning. Bu Saning putrinya Mbah Jono.

Saya kenal betul empat generasi pemilik warung di depan bumi perkemahan milik Perhutani itu. Mulai Mbak Jono (alm) hingga cicitnya Riyan. Saya begitu dekat dengan mereka.

Mbak Jono berumur panjang. Baru meninggal tahun lalu. Usianya di atas 120 tahun meski doyan merokok. Sebaliknya Riyan hanya dapat kesempatan hidup selama 20 tahun. Malaikan menjemputnya bersama pohon besar yang tumbang itu.

Ngeri.. amat ngeri membayangkan kejadian tersebut. Rekaman video dan gambar di internet bikin saya bergidik. Delapan korban sekaligus di warungnya Mbak Ningsih itu. Tiga orang meregang nyawa. Semuanya 20-an tahun.

Betapa tidak. Saya sering mampir, nongkrong, baca buku, bahkan bermalam di warung itu. Mbah Jono (alm) menyiapkan tempat di pojok depan untuk saya tidur malam. Lengkap dengan selimut tebal warna merah.

"Kemulan ben gak adhem," kata Mbah Jono yang tidak pernah ngomong kromo inggil itu. "Kopine pait yo?" Begitu kata-kata nenek yang pertama kali buka warung di kawasan Jolotundo itu.

Setelah tahlilan 40 hari Mbah Jono, saya mulai jarang mampir ke warung itu. Apalagi Bu Saning pun mewariskan warung itu ke Ningsih. Bu Saning sendiri turun buka warung lagi bersama suami barunya (siri).

Maka, ada semacam gap komunikasi dengan generasi ketiga dan keempat. Saya lebih nyaman ngobrol panjang bersama Mbah Jono dan Bu Saning. Dengan Riyan yang Gen Z sulit karena generasi ini lebih fokus main media sosial atawa gadget. Karena itu, saya tidak pernah ngobrol lama dengan Riyan dan kawan-kawannya.

Rencananya, akhir pekan saya naik lagi ke Jolotundo. Bermalam di warung itu. Menikmati suasana hutan yang sejuk dan aroma dupa dari petilasan Jolotundo dan Narotama. Tapi batal karena hujan lebat. Tidak nyaman kalau hujan deras di Jolotundo. Gazebo-gazebo sederhana sudah pasti basah kuyup.

Lalu datanglah berita duka itu. "Warungnya Mak Saning ketiban pohon. Riyan gak ada," kata Mas Sembada lewat rekaman suara di WA.

Tak lupa ia menyebut nama-nama korban. Tiga orang meninggal. Lima lainnya dirawat di rumah sakit. "Saya barusan ngubur Mas Riyan," ujar Sembada yang juga masih kerabat dekat almarhum Riyan.

Tak ada yang bisa kita lakukan saat mendengar berita dukacita selain kirim doa. Semoga Riyan dan kawan-kawan yang berpulang itu diterima di sisi-Nya. Dan semoga Mbak Ningsih, ibunya, Bu Saning, kakeknya, diberi kekuatan untuk menghadapi ujian ini.

Mengapa harus Riyan dkk yang terpilih menghadap?

Mengapa harus warung yang sudah lama jadi jujukan itu yang ketiban pohon?

Selasa, 09 November 2021

Wang Yaping Jalan-Jalan ke Istana Surga

Tiongkok yang komunis dan ateis ternyata punya proyek Istana Surga. Di luar angkasa. Tidak pakai ceramah atau khotbah-khotbah di media sosial atau rumah ibadah.

Berita terbaru: Wang Yaping jadi wanita Tiongkok yang jalan-jalan di luar angkasa. "Wang is one of three astronauts on a six-month mission to build the Tiangong space station," tulis kantor berita asing.

Luar biasa Tiongkok! 

Tanpa banyak cincong negara komunis itu sudah melejit di berbagai bidang. Mulai soal remeh macam bikin mocin, yang kurang laku dan jelek, vaksin Sinovac yang sangat laku di Indonesia, kereta api supercepat, hingga teknologi luar angkasa.

Aku jadi ingat masa lalu. Kalau tidak salah ingat ada calon angkasawati Indonesia yang bakal jadi astronot. Dr Pratiwi kalau tak salah. Jauh sebelum Wan Yaping mengangkasa di Tiongkok sana.

Sayang, Pratiwi tidak jadi terbang. Dan Indonesia tak lagi punya proyek kapal terbang atau ruang angkasa.

Iseng-iseng saya baca komentar-komentar di media sosial di bawah berita Wang Yaping. Waduh.. komen warganet kita tidak ada yang serius. Malah dijadikan guyonan yang tidak lucu. Seperti wanita yang datang bulan dan sejenisnya.

"Bagaimana kalau Wang datang bulan di bulan?" begitu kira-kira salah satu komentar yang rupanya alergi Aseng.

Begitulah. Suka tidak suka, Aseng-Aseng di Tiongkok sudah maju bisa pigi ke bulan. Kita orang hanya bisa  nyinyir dan menertawakan mereka. Padahal, ada kata-kata bijak yang dulu selalu dikutip: "Carilah ilmu sampai ke Negeri China!"

Senin, 08 November 2021

Car Free Day Hil yang Mustahal

Akhirnya Car Free Day (CFD) digelar lagi di Surabaya. Kegiatan olahraga rekreasi saban Ahad pagi itu dihentikan sejak awal pandemi. Sebab CFD, khususnya di Raya Darmo, biasa diikuti ribuan orang.

CFD pertama di masa PPKM diadakan di Kembang Jepun. Kawasan kota lama yang sempat terkenal dengan Kya Kya ala pasar malam yang meriah. Mengapa di Kembang Jepun?

"Untuk menghindari kerumunan massa. CFD di Kembang Jepun biasanya tidak seramai di Raya Darmo," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya Suharto.

Sebelum ada pandemi aku ikut memantau CFD di Kembang Jepun. Kebetulan kantorku persis di samping Kya Kya itu. Memang sepi. Kawasan Surabaya Utara sudah lama redup. Keramaian berpindah ke kawasan Tunjungan dan Raya Darmo.

Sambil ngopi di warkop meduro di Kembang Jepun, aku jadi penasaran dengan istilah Car Free Day. Mengapa disebut car free? Mengapa tidak pakai bahasa Indonesia?

Kita orang sudah lama keminggris. Senang pakai istilah bahasa Inggris meskipun artinya menyimpang jauh. Yang penting keren, menarik, modern, terkesan gagah. Pemerintah pun ikut-ikutan nginggris. Padahal salah satu tugas pemerintah adalah menjunjung tinggi bahasa nasional.

Anak-anak pun tahu car free artinya bebas mobil. Dus, car free day berarti hari tanpa mobil. Selama satu hari penuh tidak boleh ada mobil (pribadi) di jalan raya. Bukan cuma di Jalan Kembang Jepun atau Jalan Raya Darmo thok selama tiga jam saja.

Apakah bisa ada CFD yang benar-benar car free day di Indonesia, khususnya Surabaya? Itu hil yang mustahal, kata pelawak Asmuni dari Srimulat.

Sulit membayangkan tidak ada mobil pribadi yang melintas di jalan raya kota-kota kita sepanjang hari. Jangankan sehari, satu jam saja hil yang mustahal. Mobil-mobil pribadi sudah begitu melekat dan masih di Indonesia.

 Sekadar belanja di minimarket yang jaraknya tak sampai satu kilometer pun pakai mobil. Bila perlu mobil masuk langsung ke dalam kamar hotel. Layanan drive-thru makin luas di Indonesia.

Maka, sebaiknya CFD diganti saja dengan istilah lain yang lebih pas. Pakai bahasa Indonesia saja. Ketimbang sok keminggris tapi maknanya tidak jelas.

Sabtu, 06 November 2021

Teman lama jadi romo, sungkan ngaku dosa

Ada pater di Banyuwangi yang viral di media sosial dan media online karena toleransinya yang tinggi. Romo Tiburtius Catur Wibawa, O.Carm bikin musala di Griya Ekologi Kelir, Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Griya itu tempat pelatihan milik SMA Katolik Hikmah Mandala Banyuwangi. Romo Catur rupanya ditugasi Yayasan Karmel Keuskupan Malang untuk berkarya di sekolahan itu. Sang pater mendirikan musala itu pada 2019. Bisa menampung 12 sampai 15 jamaah.

"Ketimbang pengunjung-pengunjung yang muslim kesulitan tempat salat," kata pater asli Banyuwangi itu.

Banyak sekali komentar-komentar yang mengapresiasi gebrakan Catur Wibawa. Di tengah arus intoleransi yang makin deras, seorang pastor Katolik justru bikin musala. Malah ia mempersilakan kalau ada orang Hindu yang bikin pura kecil. Orang Buddha bikin wihara mungil.

"Asal konsepnya pakai rumah Osing. Griya Maria pun pakai Osing," kata sang pater karmelit itu.

Saya ikut kagum dengan Romo Catur. Sekaligus kaget karena dia sudah jadi pastor yang punya warna sendiri. Agak beda dengan klerus-klerus kebanyakan di tanah air.

Dulu saya dekat banget dengan Catur sewaktu di Jember. Sama-sama kos di Jalan Kalimantan, kawasan Tegalboto. Saya di Gang 14, Catur di Gang 20-an. Jalan kaki tidak terlalu jauh.

Catur punya tape compo yang besar. Punya kaset-kaset cukup banyak. Saya hanya punya tape sederhana. Kaset-kasetku tak sampai 10 biji. Itu pun kurang bagus. Cuma Whitney dan "Bad" Jackson yang oke. Saat itu harga kaset terlalu mahal.

Maka, saya sering mampir ke kamarnya Mas Catur untuk nyetel kaset. Kebanyakan lagu-lagu Barat lawas nostalgia. Kayak Imagine, Welcome to My Word, Dream Dream Dream, Send Me the Pillow.. kayak gitu lah.

Catur juga punya banyak buku filsafat, teologi Katolik, pendalaman kitab suci, tulisan romo-romo. Kuliah di Universitas Jember tapi kok banyak buku kayak anak seminari? Saya penasaran memang.

Tapi Catur memang sudah kelihatan punya bakat jadi romo saat di Jember. Rajin misa bukan hanya hari Minggu. Sering mengajak saya dan teman-teman doa rosario dan baca kitab suci, ikut kor, dan sebagainya.

Suatu saat saya diajak ke kampung halaman Catur di Tegaldelimo, Banyuwangi. Kampung yang indah dengan sawah yang luas menghijau. Orang Katolik tidak banyak di situ. Orang tua Catur jadi pimpinan stasi.

Hari Minggu ada ibadat sabda tanpa imam. Sebab pastor-pastor kurang dan biasanya tugas di kota. Maka, seperti di NTT, umat awam yang pimpin sembahyang tanpa imam. Di situlah saya lihat peranan keluarga Catur Wibawa.

Lama tak ada kabar, sekian tahun berlalu, saya tak lagi ingat Catur. Kita orang sibuk sendiri-sendiri dengan segala persoalan dan rutinitas. Hingga saya dengar kabar ada romo di Banyuwangi yang bangun musala yang viral di media sosial itu.

Romo Tiburtius Catur Wibowo, O.Carm.

Saya belum sempat mampir ke griya musala itu sekaligus kangen-kangenan. Tapi saya menduga Catur masih senang menikmati lagu-lagu nostalgia Barat yang tidak meledak-ledak. Kayak Welcome to My World dan bukan Welcome to The Jungle yang sangat populer di kos-kosanku.

"Knock and the door will open
Seek and you will find
Ask and you'll be given
The key to this world of mine"

Dan, yang pasti, saya sungkan mengaku dosa pada teman lama yang sudah jadi pater terkenal.

Berkah Dalem, Romo Catur!
Nyuwun berkat suci!

Kamis, 04 November 2021

Vaksin alon-alon waton kelakon

Apa kabar Merah Putih?

Lama tak ada kabar calon vaksin buatan anak bangsa ini. Saking lamanya, aku pikir proyek vaksin Universitas Airlangga itu mandek. Atau dihentikan.

Toh, Indonesia sejak awal tahun digerojok Sinovac dari Tiongkok. Kemudian AstraZeneca, Pfizer, dan beberapa lagi. Capaian vaksinasi pun sudah di atas target 70 persen - di kota besar macam Jakarta dan Surabaya.

Maka, aku pun lupa dengan Merah Putih yang sempat ramai di awal pandemi korona. Buat apa bikin sendiri kalau bisa membeli dari luar negeri yang punya pengalaman di bidang itu?

Kayak mobil atawa motor. Kita orang lebih suka beli dari Jepang ketimbang produksi sendiri. Kalau ada orang Indonesia yang bikin purwarupa (istilah kerennya: prototipe, prototype) mobil atau motor biasanya diejek habis-habisan. Kita memang sudah ketagihan produk-produk luar negeri meski tiap hari Baba Alim kampanye di televisi: Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia!

Kamis Wage, aku baca di koran saat rehat gowes. Vaksin Merah Putih siap uji klinik di RSUD Soetomo. Awal Desember 2021. Panitia sedang mencari relawan untuk jadi kelinci percobaan. Uji klinis tahap kedua tahun depan.

Lalu, kapan si Merah Putih ini siap disuntikkan?

Belum jelas. Masih panjang perjalanan ke sana. Sementara virus ganas yang namanya korona ini tidak ambil pusing dengan vaksin-vaksin buatan Tiongkok, Inggris, USA, Indonesia, dsb. Covid terus bermutasi dan merajalela seperti yang kita alami hampir dua tahun.

Indonesia sudah jelas kalah telak dalam balapan vaksin covid. Kita masih seperti yang dulu. Vaksin baru siap setelah pandemi lewat puluhan tahun. Padahal teknologi modern sudah bisa melipat waktu. Vaksin ternyata sudah bisa disuntikkan ketika pandemi lagi ganas-ganasnya.

Ibarat olimpiade vaksin, Tiongkok terbukti paling cepat dan masif dalam produksi vaksin korona. Meskipun vaksin-vaksin dari Zhongguo itu sering diejek di sini karena dianggap tidak efektif. Banyak banget temanku yang menolak Sinovac.

"Aku mau vaksin apa saja asal bukan dari Cino," kata beberapa anggota kumpulan di media sosial.

Padahal, saat itu, vaksin yang tersedia ya cuma Sinovac. Mereka yang menolak vaksin Tiongkok itu mengira kualitas farmasi atau vaksin Sinovac dan kawan-kawan mirip mocin (motor cina) yang memang brengsek gak karuan. Mereka lupa bahwa pakar-pakar dan pemerintahan di Beijing sana terus melakukan perbaikan.

Tahun depan bisa diprediksi kasus Covid-19 sudah lebih terkendali. Gerojokan vaksin dari Tiongkok, Amerika, dan sebagainya mungkin tidak sebanyak tahun 2021. Saat itu si Merah Putih mungkin sudah siap disuntikkan sebagai vaksin penguat untuk dosis ketiga.

Akankah vaksin Merah Putih ini berterima di Indonesia? Kembali ke prototipe mobil buatan insinyur atawa anak-anak SMK di sini. Bukannya diapresiasi malah diejek habis-habisan. Sebab rakyat kita memang sudah lama menganggap produk-produk dalam negeri kurang berkualitas.

Vaksin Merah Putih ini, ibarat pepatah Jawa, alon-alon watok kelakon. Ibarat orang tempo doeloe naik sepeda kebo. Nggowes alon-alon sambil bersenandung Sepasang Mata Bola, Kopral Djono, Arjati, Rindoe Loekisan... yang penting sampai ke tujuan. Tidak perlu balapan.

Toh, divaksin atawa tidak divaksin, semua orang akan mati juga.

Selasa, 02 November 2021

Kita perlu menerima dos penggalak


Hannah Yeoh, anggota parlemen Malaysia dari DAP, partai pembangkang (oposisi), menulis:

"Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Lalu ada versi bahasa Inggris di bawahnya: "Pfizer booster dose received, second dose was taken back in early April."

Saya memang selalu membaca tulisan-tulisan politisi Malaysia di media sosial. Selain Hannah Yeoh, Anthony Locke, Lim Guan Eng, juga Anwar Ibrahim. Kebetulan semuanya dari partai pembangkang. UMNO cuma sekali dua lah.

Yang paling sering, juga favorit, adalah Dato Sri Anwar Ibrahim ketua pembangkang. Juga paling sering dengar perdebatan Anwar yang sangat seru di parlemen Malaysia. Debat politisi di sana sangat ramai mirip ibu-ibu tukaran di pasar.

"Tarik balik... tarik balik.. tarik baliiik!" begitu kata-kata khas ahli parlemen Malaysia menuntut lawannya menarik balik ucapannya yang dianggap menyinggung perasaan.

Kembali ke Hanna Yeoh. "Saya baru sahaja menerima dos penggalak Pfizer di Parlimen pagi ini."

Tanpa terjemahan bahasa Inggris pun saya mengerti kalimatnya. Sebab bahasa Melayu di Malaysia dengan bahasa Indonesia sebenarnya sama saja. Berbeza sikit lah. 

Orang Malaysia macam Anwar Ibrahim pun paham 95 persen ucapan orang Indonesia. Kecuali kata-kata bahasa Jawa atau bahasa daerah yang dimasukkan dalam kalimat.

Yang menarik bagi saya adalah frase "dos penggalak". 

Mudah dimengerti meski istilah ini tidak ada di Indonesia. Dos itu dosis dari dose (Inggris). Penggalak kata dasarnya galak. Penggalak tentu penguat atau menambah kekebalan setelah vaksinasi dosis pertama dan kedua.

Kita di Indonesia yang baru saja merayakan bulan bahasa sepanjang Oktober, ironisnya, belum punya padanan vaksin booster. Booster ya tetap booster di media cetak, televisi, apalagi media sosial. Ada juga yang pakai vaksin penguat tapi kelihatannya belum berterima.

Orang Indonesia yang makin keminggris, meskipun tidak fasih berbahasa Inggris seperti orang Malaysia, kelihatannya terlena dengan booster, rapid test, bed occupancy rate, tracing, testing, treatmen.. dan banjir istilah baru di masa pandemi.

Saya sendiri ingin segera menerima dosis penggalak. Tidak harus Pfizer, Sinovac, AstraZeneca, atau apa saja boleh. Tubuh manusia yang rentan memang perlu penggalak untuk menahan gempuran virus korona.

Apakah vaksinasi menjamin kita tidak kena Covid-19?

Tidak juga. Gubernur Khofifah kena dua kali meski dapat giliran vaksinasi paling awal di Jawa Timur. Wakil Gubernur Emil Dardak juga sempat isolasi gara-gara covid.

 Wakil Wali Kota Surabaya Armudji juga penyintas covid. Masih banyak lagi pejabat di Jawa Timur yang terpapar virus korona. Wakil Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin meninggal dunia gara-gara covid. Saat itu vaksin belum diproduksi.

Saya sendiri ikut rombongan vaksinasi paling awal bersama ratusan orang yang dianggap berisiko tinggi. Disuntik di kantor gubernur Jatim. Disaksikan Gubernur Khofifah.

Hasilnya? Sebagian besar kena covid juga. Saya pun ikut merasakan betapa tidak enaknya sakit covid yang aneh itu. Alhamdulillah, semua kawan dan aku yang sudah vaksinasi lengkap tidak masuk rumah sakit. Cukup minum vitamin, berjemur, senam pagi, makan Lian Hua... minggat sendiri Mbak Corona itu.

Saya dan kawan-kawan risiko tinggi terima vaksin kedua Sinovac di kantor gubernur pada 13 Maret 2021. Sudah tujuh bulan berlalu. Kemampuan vaksin untuk melawan covid pasti sudah sangat rendah. Dan.. terbukti banyak yang tumbang pada akhir Juni hingga Agustus lalu.

Karena itu, ada baiknya pemerintah segera menyiapkan dos-dos penggalak untuk kalangan risiko tinggi. Sambil menuntaskan vaksinasi penuh untuk semua warga negara Indonesia... yang mau disuntik.

Sabtu, 30 Oktober 2021

Makan Singkong Rebus, Nostalgia Bioskop Tempo Doeloe di Kawasan Pabean

Saya sering banget mampir di warkop pojok dekat Pasar Pabean, Surabaya.  Ngopi di warungnya ibu asal Madura. Kopi racikan, singkong rebus, tape, pisang rebus... joss.

Tidak banyak warkop atawa warung yang jualan singkong rebus di Surabaya. Yang banyak itu gorengan singkong, singkong goreng keju, dan sejenisnya. Singkong yang sudah direbus digoreng lagi. Badan bisa tambah gembrot.

Menikmati singkong rebus, kopi racikan, ibarat nostalgia. Pikiran melayang ke kampung-kampung di pelosok NTT. Hampir tiap hari orang desa makan singkong rebus, ubi jalar rebus, pisang rebus, aneka ubi rebus. Semuanya serba direbus karena minyak goreng mahal.

Itu dulu... saat saya masih kecil di desa. Sekarang mungkin sudah jarang kebiasaan makan pagi ubi kayu rebus atau pisang rebus.

Sambil membayangkan masa lalu di pelosok NTT yang belum ada listriknya, saya perhatikan gedung-gedung lama di Pabean, Kalimati, dan sekitarnya. Bukan main indahnya. Bangunan-bangunan eks Hindia Belanda itu masih sangat kokoh.

 Sayang, sebagian besar kusam karena kurang perawatan. Ada juga yang hancur. Ada lagi yang berubah fungsi. Salah satunya bangunan yang sekarang jadi kantor BCA Pabean. Lokasinya strategis di pojokan.

Dengar-dengar tempo doeloe gedung bioskop ternama di kawasan Pecinan. Ibu Madura juragan warkop juga bilang begitu. Mbah Google pun sama.  "Saya sering dengar kalau dulunya bioskop. Tapi saya gak ngalami," kata si Madura yang usianya 60-an tahun.

Yousri Rajaagam, wartawan senior, punya catatan paling lengkap seputar bioskop-bioskop di Surabaya. Mulai era penjajahan Belanda, awal NKRI, Orde Lama, Orde Baru, hingga bioskop-bioskop lama gulung tikar diganti sineplex 21.

Namun, Yousri tidak banyak menguraikan bioskop di Kalimati, Pabean, Surabaya. Dia cuma bilang Bioskop Tionghoa. Film-film Mandarin jadi menu sehari-hari di bioskop yang cukup luas tersebut.

"Itu dulu Bioskop Nanking kalau gak salah," kata seorang pedagang buah dan rujak manis di dekat kantor BCA itu.

Film-filmnya Mandarin semua? Atau campuran dengan film Barat dan Indonesia?

"Waduh.. gak menangi aku. Banyak fotografer yang ambil gambar di sini," katanya.

Yah... bioskop-bioskop memang pernah sangat jaya di tanah air. Surabaya sebagai kota terbesar kedua punya puluhan bioskop. Bahkan bisa di atas angka 100. Mulai bioskop paling elite Broadway, yang karcisnya sangat mahaaal, hingga bioskop-bioskop kelas bawah di pinggiran kayak Rungkut Theatre atau bioskop di Wonokromo.

Bioskop  Nanking, Sampoerna Theatre, Capitol, Alhambra, hingga bioskop kelas kaki lima di Kalisosok yang kini tinggal nama. 

Dulu saya sering nonton film di Surabaya Theatre dekat Tugu Pahlawan dan Mitra di Balai Pemuda. Sekarang tinggal kenangan. 

Gedung megah eks Surabaya Theatre bahkan dipasangi spanduk besar: DIJUAL. Padahal, dulu saya sering nonton artis Ervinna membawakan lagu-lagu pop Mandarin saat Sincia.