Senin, 28 Juni 2021

Tuhan tidak gembira kalau yang hidup musnah lenyap

Misa daring terus-menerus selama satu tahun lebih terasa membosankan. Meskipun durasinya singkat, hampir tidak ada nyanyian kor yang panjang, suasana ekaristi normal memang hilang.

Corpus Cristi, hostia pun virtual. Cukup komuni batin saja. Yang sekarang diolah syairnya menjadi lagu yang indah. Orang NTT, khususnya Flores, dulu bilang misa tanpa komuni tidak sah. Datang misa setelah bacaan pertama juga tidak sah.

Padahal pater-pater tidak pernah melarang umat yang terlambat misa. Kecuali satu dua pater Eropa tempo doeloe. Better telaat dan nooit!

Minggu 27 Juni 2021 pagi. Awak ikut misa streaming secara acak. YouTube menawarkan misa di salah satu paroki di Jakarta. Gereja Santa Teresa kalau tidak salah.

Romo yang njawani, meski lama di Jakarta, kasih khotbah menarik. Bacaan dari Kebijaksaan Salomo (Wis 1,13-15;2,23-24).

''Be­cause God did not make death, nor does he re­joice in the loss of the liv­ing. 

For he cre­ated all things that they might exist, and he made the na­tions of the world cur­able, and there is no med­i­cine of ex­ter­mi­na­tion in them, nor a king­dom of hell upon the earth.''

''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

Cocok banget dengan suasana pandemi Covid-19 ini. Romo yang saya lupa namanya itu memang mengaitkan bacaan dari Kebijaksaan itu dengan lonjakan pasien covid di tanah air. Khususnya Jakarta.

Begitu banyak orang mati karena covid membuat semua pihak kewalahan. Tukang gali kubur, sopir ambulans, dsb. ''Sekarang jenazah tidak lagi diangkut satu per satu. Tapi beberapa peti jenazah diangkut bersama ke makam,'' katanya.

Pater ini punya keluarga dan teman yang meninggal akibat virus setan korona ini. Jadi, ia tahu persis tata cara, protokol pemakaman dsb. Tidak ada misa requiem. Tidak ada doa-doa untuk orang meninggal dunia secara layak.

''Jenazah langsung ditanam begitu saja. Itu yang membuat kita tambah sedih,'' katanya.

Romo lalu mengajak umat untuk taat prokes. Membantu pemerintah sekuat tenaga, bahu-membahu dengan siapa saja untuk mengatasi pandemi berkepanjangan ini. 

''Lama-lama uang pemerintah habis kalau pandemi ini tidak selesai,'' katanya.

Di tengah dukacita itu, Kitab Kebijaksaan menghibur kita orang. Bahwa ''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

De Ligt Kena Kartu Merah, Awak Kalah Taruhan

Gara-gara Piala Eropa 2020, yang digelar tahun 2021, saya melekan lagi. Nonton bola sesi pertama pukul 23.00 dan sesi kedua pukul 02.00.

Biasanya saya pilih salah satu laga yang saya anggap seru. Big match. Tidak kuat kalau nonton kedua laga di benua mata biru itu. Bisa lemas.

Masa pandemi ini harus jaga kekebalan tubuh, bukan?

Nonton Euro 2020 bukan semata hobi tapi karena tugas. Saya diminta mengawal turnamen Piala Eropa 2020. Mengunggah informasi yang menarik seputar turnamen itu. 

Makanya aneh kalau seorang editor tidak nonton siaran langsung di TV. Bisa saja nonton cuplikan gol di YouTube. Tapi suasana pertandingan tidak akan dapat. Misalnya, Eriksen yang henti jantung di lapangan. Suasananya benar-benar langka dan dahsyat.

Semalam saya nonton Belanda vs Ceko. Saya baca komentar beberapa pandit bola siangnya. Tim mana yang diunggulkan.

 Sudah pasti saya dukung Belanda. De Oranje menang tiga kali di fase grup. Ceko tidak diunggulkan sama sekali.

Mbah Wono Kairun yang pernah top di Radio Suzanna dulu juga mengunggulkan Belanda. Ini penting karena ada sayembara tebak skor. Taruhan kecil-keacilan agar lebih seru.

Ungkapan 'bola itu bundar' ternyata masih berlaku di era masker. Siapa nyana Meneer de Ligt dapat kartu merah. Diusir wasit karena pelanggaran fatal. Belanda oleng.

 Ceko memanfaatkan keunggulan pemainnya untuk menghajar de Oranje. Belanda dipermalukan dua gol. Tim asuhan Tuan de Boer itu pun  tersisih dari Euro 2020. Ceko yang lolos ke 8 besar alias perempat final.

Apes nian awak ini. 

Duit taruhan tebak skor akhirnya hilang begitu saja. Gak banyak sih tapi bisa untuk check-in di kamar hotel kelas kambing.

Rabu, 23 Juni 2021

Rumah Sakit di Sidoarjo Penuh, Terkenang Mantan Wabup Sidoarjo yang Meninggal karena Covid-19

Rumah sakit rujukan Covid-19 mendekati penuh. BOR keseluruhan 92 persen. Malah beberapa rumah sakit di atas 100 persen alias melebihi kapasitas tempat tidur yang disediakan untuk pasien covid.

RSUD Sidoarjo sebagai rumah sakit terbesar sudah 104 persen.  Mitra Keluarga Waru 102 persen. RS Bhayangkara, RS Citra Medika, dan Aisyiyah Siti Fatimah 100 persen.

Data okupansi rumah sakit ini menunjukkan bahwa pandemi korona di Sidoarjo sudah gawat. Surabaya juga sama. Belum lagi Bangkalan. Kabupaten/kota lain di Jawa Timur juga tidak jauh berbeda.

Sayangnya, saya perhatikan sebagian besar warga masih meremehkan covid. Prokes 5M dianggap angin lalu. Pakai masker hanya karena takut ditilang petugas.

Bagaimana mungkin pandemi ini bisa dihentikan dalam waktu dekat? 

Gus Bupati perlu lebih tegas lagi. Sosialisasi atau apa pun namanya perlu digencarkan lagi. Sebab, tidak gampang menyadarkan masyarakat bahwa penyakit aneh nan sangat menular bernama covid itu benar-benar ada di sekitar kita.

Jangan lupa, salah satu pejabat di Jawa Timur yang meninggal dunia akibat korona adalah Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin. Saat menjabat sebagai pimpinan daerah, Cak Nur sangat getol sosialisasi prokes, turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi bahaya virus korona.

Bahkan, Cak Nur yang langsung turun untuk mengubur jenazah pasien covid di kawasan Lingkar Timur. Saat itu para penggali kubur tidak berani menguburkan jenazah-jenazah korban covid karena masih minim informasi.

Saat ini saya lagi ngopi di warkop dekat kediaman almarhum Cak Nur, mantan bupati Sidoarjo, di kawasan Waru. Sambil baca koran yang memuat data BOR rumah sakit di Sidoarjo. Sambil melihat delapan pengunjung dan pemilik warkop yang tidak pakai masker.

Gawat! 
Darurat!

Selasa, 22 Juni 2021

Korona Tidak Ada, Yang Ada Markona

Ratusan orang Madura kemarin unjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka meminta Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka penyekatan di Jembatan Suramadu. Pengunjuk rasa dari pulau sebelah itu merasa sangat terganggu karena harus dites antigen, dirazia, dicek dokumen tiap hari di posko.

Sejak 5 Juni 2021 memang dilakukan penyekatan di Suramadu dan Dermaga Ujung-Kamal. Sebab terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan. Ada empat kecamatan yang zona merah. Pasien sangat banyak. Angka kematian tinggi.

Dan, yang gawat, koronanya itu ada varian baru dari India. Virus mutasi ini lebih ganas. Lebih menular dan fatal akibatnya kalau tidak segera ditangani. Yang sudah vaksin pun tetap kena.

Sosialisasi sudah dilakukan berkali-kali sejak awal pandemi. Di media massa, media sosial, pintu ke pintu, tokoh agama, dan sebagainya sudah mengingatkan masyarakat akan bahaya virus korona baru.

Dan.. sudah banyak korban meninggal dunia. Termasuk kenalan kita, tetangga, kerabat jauh, kerabat dekat, hingga keluarga inti kita. Tapi rupanya masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya Covid-19 alias corona.

''Di Madura tidak ada korona. Yang ada cuma markona,'' begitu salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa dari Madura kemarin.

Korona atau corona jadi bahan guyonan. Bukan lagi penyakit yang mematikan. ''Kami tiap hari tidak pakai masker selama satu tahun lebih sampai sekarang. Gak jaga jarak. Biasa aja. Wong korona itu nggak ada,'' kata seorang warga Madura kepada BBC.

Angel, angel.. angeeel.

Pusing. Wali Kota Cak Eri, Gubernur Khofifah, Bupati Bangkalan dan pejabat-pejabat lain pasti pusing dengan sikap ratusan pengunjuk rasa itu. Sebab, cara berpikir, paradigma, filosofinya sangat berbeda dengan kalangan ilmuwan atau pakar-pakar penyakit menular, dokter, epidemiolog dsb.

Kebijakan penyekatan Jembatan Suramadu justru sangat bagus. Orang dites antigen, PCR dsb juga bagus. Agar virus korona bisa diketahui sejak dini meskipun orangnya tanpa gejala.

Tes antigen juga mahal. Apalagi PCR itu. Para pengendara yang disekat ini malah tes gratis. Saya yang naik kereta api pun harus tes covid dan bayar sendiri. Mahal juga kalau dites berkali-kali di stasiun yang berbeda.

Lah, di Suramadu dan Ujung-Kamal tesnya gratis. Dibayar pemerintah tentu saja. Kok malah ngamuk? Posko kesehatan, meja kursi petugas kesehatan dijungkir balik?

''Bisa ambyar kalau masih banyak warga yang bersikap begitu,'' ujar Dr Amien Widodo dari ITS Surabaya.

Kang Amien lalu menyodorkan data korban pandemi flu spanyol di Hindia Belanda tahun 1918. Saat itu korban meninggal paling banyak di Djawa Timoer.

Dan... yang paling banyak di Pulau Madoera.

Sabtu, 12 Juni 2021

Sudah divaksin kok masih kena covid?

Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono terpapar Covid-19. Saat ini sedang isolasi di rumah sakit. Kondisi mantan wartawan Surya dan Tempo ini kian membaik.

''Sekarang saya banyak baca buku dan koran,'' kata politikus PDI Perjuangan itu.

Adi alias Awi tidak sendiri. Sekitar 10 anggota dewan yang lain juga kena covid. Termasuk Dyah Katarina, istri Bambang DH, mantan wali kota Surabaya. ''Saya tidak sakit. Saya cuma terpapar covid,'' kata Dyah.

Mengapa ketua dan anggota dewan terpapar Covid-19? Ada yang mengaitkan dengan ziarah massal di makam Bung Karno awal Juni. Namun, Adi membantah. ''Karena kegiatan kami padat sekali,'' katanya.

Meski sudah menerapkan prokes ketat, virus korona tetap saja punya celah untuk masuk. Apalagi warga senang berkerumun. Tidak jaga jarak. Ada saja yang tidak pakai masker.

Yang bikin saya kaget, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono ini paling pertama yang dapat vaksin. Bersama pejabat-pejabat pemkot, forkopimda, dsb. Divaksin Sonovac yang terkenal itu.

Seminggu kemudian giliran semua anggota dewan disuntik vaksin. Tidak ada yang menolak vaksinasi. Bahkan, para wakil rakyat itu mendesak segera divaksin karena setiap hari bertemu begitu banyak orang.

Mengapa Adi dan para wakil rakyat itu masih terpapar korona? Bukankah sudah divaksin lima bulan lalu? Imunitas tubuhnya ke mana?

Lalu, apa gunanya vaksinasi kalau tetap terserang korona? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan masyarakat di media sosial atau warung kopi.

Yang jelas, klaster Covid-19 di DPRD Surabaya ini menunjukkan bahwa vaksinasi bukan jaminan. Vaksin Sinovac dsb tidak serta-merta membuat orang jadi kebal serangan virus korona.

Masa berlaku vaksin di dalam tubuh pun mungkin sangat terbatas. Tidak bisa lama. Apalagi sampai bertahun-tahun.

Karena itu, gelombang vaksinasi massal yang tengah berlangsung di tanah air belum tentu efektif untuk menekan wabah korona ini. Buktinya, lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Kudus, dan kota-kota lain setelah Lebaran sangat tinggi justru setelah ada vaksinasi.

Kelihatannya perang melawan pandemi korona masih sangat panjang.

Selasa, 08 Juni 2021

Ternyata Ada Korona di Madura

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 melanda tanah air. Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan persebaran virus aneh dari Wuhan ini. PSBB, PPKM, PPKM mikro, lockdown lokal, dan sebagainya.

Vaksinasi pun sedang dimasalkan. Saya ikut gelombang vaksinasi gelombang pertama di kantor gubernur Jawa Timur. Dianggap kalangan berisiko tinggi. Saat ini vaksinasi lansia, ODGJ, dan masyarakat luas.

Hasilnya? Rupanya virus korona sulit dihentikan. Malah muncul lonjakan baru dari Bangkalan, Madura. Pemkot Surabaya geger. Gubernur Khofifah dan Pemprov Jawa Timur kelabakan menangani arus orang dari Pulau Madura itu.

Sejak Sabtu lalu (6/6) ada penyekatan masal di Jembatan Suramadu. Tes antigen masal. Mulai dibangun pula rumah sakit darurat di kaki Suramadu sisi Madura. Kalau ada pengendara yang positif langsung ditangani di situ.

Semua rumah sakit di Surabaya juga siaga. Siap-siap menampung pasien dari pulau seberang itu. Dr Dewa Gede Nalendra, penanggung jawab RS Lapangan Indrapura, khawatir virus korona di Bangkalan ini varian baru. ''Semoga tidak,'' katanya.

Sejak awal pandemi, Maret 2020, saya beberapa kali dolan ke Bangkalan. Memanfaatkan Jembatan Suramadu yang mulus itu. Suasananya biasa saja. Seperti tidak ada korona.

Protokol kesehatan yang disebut 3M (masker, menjaga jarak, mencuci tangan) kurang jalan di Madura. Begitu juga prokes baru yang disebut 5M. Sangat jarang saya lihat orang-orang di sana pakai masker dan jaga jarak.

''Nggak ada korona di sini. Aman, Pak,'' kata penjual es kelapa muda di dekat Jembatan Suramadu.

''Di Madura ini biasa-biasa saja. Kita tidak boleh takut sama korona. Yang penting minta perlindungan ke Allah,'' kata seorang bapak di Bangkalan.

''Korona itu obatnya sholawat (salawat). Sholawat yang banyak. Insya Allah, kita dijauhkan dari segala penyakit,'' kata seorang ibu di tengah Kota Bangkalan.

Bukan hanya di Madura. Banyak orang asal Madura yang tinggal di kawasan Surabaya Utara pun cenderung mengabaikan prokes. Sangat jarang yang pakai masker. Kalau ada razia baru cepat-cepat pasang masker kain.

Itu yang saya lihat di kawasan Rajawali, Jembatan Merah, Kembang Jepun, Kalimas, Pabean, Ampel, Nyamplungan, Semampir, dan sebagainya. Kawasan ini biasa disebut Blok M. Saking banyaknya orang Madura.

''Korona itu komunitas rondo merana,'' begitu guyonan umum di warkop-warkop kawasan Surabaya Utara.

Nah, sikap cuek, mengabaikan prokes, menganggap korona tidak ada di Madura itu akhirnya jadi bumerang. Selepas libur Lebaran muncul ledakan kasus covid di mana-mana. Khususnya di Bangkalan, Madura. Pulau yang selama ini dianggap zona hijau. Dianggap tidak ada pandemi Covid-19.

''Jangan sekali-kali meremehkan Covid-19. Protokol kesehatan 5M harus diterapkan di mana saja. Termasuk di Madura,'' kata seorang pejabat pemprov.

Pejabat itu dari dulu gregetan mendengar ucapan ''tidak ada korona di Madura''.

Minggu, 06 Juni 2021

Errol Jonathans, News Radio dan Komsos

Sudah setahun lebih wabah Covid-19 melanda negeri kita. Berbagai tatanan, adat kebiasaan, hingga liturgi mengalami disrupsi. Semua serbadaring. Online meeting, webinar, wisuda online, dsb.

Selama setahun lebih ini saya baru dua kali ke gereja. Dua-duanya untuk melayat. Pertama, melayat mendiang Pater Yosef Bukubala SVD di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo.

Saat itu saya sendiri di dalam gereja yang besar itu. Berdoa di depan peti jenazah. Sekitar 10 menit kemudian datang lima orang lain yang juga ingin memberi bekal rohani kepada pater asal Flores Timur itu.

Tidak ada misa saat itu. Misa requiem baru diadakan sore hari. Itu pun dibatasi umatnya. Yang lain hanya boleh ikut misa streaming dari YouTube. Aturan baku sejak ada wabah korona.

Kali kedua masuk ke gereja ya pekan lalu. Ikut misa requem melepas jenazah Bapak Errol Jonathans, CEO Radio Suara Surabaya dan media-media lain di bawah Grup Suara Surabaya.

Inilah pertama kali saya ikut misa secara langsung di gereja saat pandemi. Biasanya cuma daring, daring, daring. Pangling juga karena ada banyak aturan protokol kesehatan yang ribet.

Harus mengisi daftar hadir, nomor telepon, asal paroki, dsb. Lalu dikasih nomor tempat duduk. Kayak mau naik kereta api atau pesawat saja. Syukurlah tidak perlu tes antigen, PCR, atau genose.

Mendiang Agustinus Maria Errol Jonathans tokoh media yang sangat kondang di Surabaya. Bahkan di Indonesia. Ia bersama Pak Sutoyo yang mendirikan Radio Suara Surabaya pada 9 Juni 1983. Mengudara pada saat gerhana matahari total di Indonesia.

 Saat itu pemerintah dan rakyat Indonesia sangat panik. Khawatir rakyat Indonesia jadi buta gara-gara nekat mengintip gerhana matahari yang langka itu. Errol Jonathans, waktu itu koresponden Pos Kota, memanfaatkan momen itu untuk launching Suara Surabaya.

Berbeda dengan radio-radio swasta saat itu yang fokus hiburan, lagu-lagu pop, dangdut, rock, pilihan pendengar, sandiwara radio Mak Lampir, dan sejenisnya, Suara Surabaya memilih fokus ke informasi. Main di jurnalistik radio.

Errol sengaja pakai istilah informasi, bukan berita. Sebab saat itu hanya RRI yang boleh menyiarkan warta berita. Dan semua radio swasta di Indonesia wajib merelai warta berita ala RRI.

 Kalau radio swasta nekat membuat dan menyiarkan warta berita, ya tamat. Izin siarannya pasti dicabut. ''Makanya kami pakai istilah informasi. Kami tidak menyiarkan warta berita tapi menyampaikan informasi,'' kata Errol dalam berbagai kesempatan.

Rupanya kiat alias akal-akalan Errol Jonathans di masa Orde Baru yang mengontrol ketat media itu sukses. Radio SS menjadi radio swasta memelopori jurnalistik radio di Jawa Timur. Informasinya disampaikan kapan saja. Beda dengan warta berita RRI yang disiarkan hanya pada jam-jam tertentu saja.

Bukan itu saja. Suara Surabaya pun memanfaatkan pendengar sebagai reporter. Mulai soal jalan rusak, kemacetan lalu lintas, kecelakaan, kebakaran, dsb. Warga yang biasa melapor ke SS biasanya ketagihan untuk membuat laporan lagi, lagi, dan lagi.

Maka, warga Surabaya seakan berlomba untuk memberikan informasi lewat corong Radio Suara Surabaya. Jauh sebelum istilah citizen journalism atau jurnalisme warga populer, SSFM sudah melakukannya. 

Suara Surabaya pun sejak menggunakan FM ketika hampir semua radio di Surabaya masih bermain di AM. Singkatnya, SS ini banyak memberikan warna baru pada dunia broadcasting di Jawa Timur. Dan... Errol Jonathans adalah tokoh di balik berbagai terobosan SS itu.

Yang menarik, selama 38 tahun bergelut dengan SS, Errol Jonathans ternyata dekat dengan gereja. Ia sering diminta menjadi narasumber atau pembicara dalam seminar-seminar tentang media di lingkungan Gereja Katolik. Sejak Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Surabaya dipegang Romo Prof John Tondowidjojo CM (almarhum).

Romo Tondo yang dikenal sebagai pakar komunikasi itu melihat Errol Jonathans punya bakat luar biasa di bidang komunikasi sosial atau media massa. Khususnya broadcasting atau radio. ''Pak Errol perlu membagikan ilmu kepada generasi muda,'' kata Romo Tondo yang juga penulis puluhan atau ratusan judul buku itu.

Dulu saya pikir Errol Jonathans cuma sekadar diminta jadi narasumber Komsos Keuskupan Surabaya atau paroki tempat tinggalnya. Saat misa requiem di Gereja Katedral HKY Surabaya baru saya tahu Errol jadi pengurus Komsos di tingkat paroki, keuskupan, dan KWI.

''Pak Errol ini tokoh yang luar biasa. Beliau jadi pengurus Komsos mulai tingkat paroki, keuskupan, dan KWI dalam waktu bersamaan,'' ujar Romo Stevan Lalu, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI, yang memimpin misa requiem itu.

KWI memang sengaja mengutus Romo Stevan ke Surabaya untuk melepas mendiang Errol Jonathans ke Makam Keputih. Mengingat jasa-jasa dan kontribusi Errol selama puluhan tahun dalam mengembangkan Komsos di tanah air. Errol pun kerap jadi narasumber dan penasihat pastor-pastor di bidang komunikasi sosial dan public speaking.

''Kalau bicara di depan umum, public speaking, khotbah atau homili sampaikan poin-poin yang singkat dan padat. Jangan berbelit-belit.'' 
Demikian salah satu nasihat Errol Jonathans kepada para pastor yang disampaikan kembali Romo Stevan asli Manado itu. ''Saya coba melaksanakan nasihat Pak Errol. Homili saya singkat saja. Cuma empat poin,'' kata pastor yang humoris itu.

Suasana misa requiem tidak membuat jemaat larut dalam duka dan air mata. Ini karena pihak keluarga, diwakili Patrick Jonathans, menyampaikan cerita menarik yang inspiratif saat Errol masih kecil. Bagaimana Errol sudah punya visi yang besar sejak kecil.

Bagaimana Errol menggambar sawah di halaman rumah lalu menjadi pengendali sawah itu. Bagaimana Errol sudah berbeda dengan anak-anak seusianya. Bagaimana tiga adik kandungnya pun sudah menjadikan Errol sebagai guru meskipun usia mereka tidak jauh berbeda.

Meskipun sudah lama kenal dan ikut seminarnya, saya baru tahu kalau Errol Jonathans pernah jadi penyanyi saat muda. Sangat musikal, senang musik klasik, senang menikmati paduan suara yang indah. Itu disampaikan putranya di akhir misa requiem.

Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Errol Jonathans nekat membuat program musik yang tidak pasaran di Radio Surabaya. Ada Jazz Traffic yang diasuh sang maestro Bubi Chen. Ada pula musik kontemporer asuhan Slamet Abdul Sjukur.

Lagu-lagu pop yang diputar di Suara Surabaya pun tidak asal-asalan. Ada kriteria sendiri. Meskipun lagunya sangat booming seperti Tak Ingin Sendiri, Hati Yang Luka, Pamer Bojo Anyar, atau Banyu Langit... tidak akan mengudara di Suara Surabaya.

''Papa dulu sangat senang menyanyi, sempat ikut lomba, dan menang juga,'' kata putranya.

Selamat jalan, Pak Errol!
Selamat bahagia di sisi Bapa!