Minggu, 06 Juni 2021

Errol Jonathans, News Radio dan Komsos

Sudah setahun lebih wabah Covid-19 melanda negeri kita. Berbagai tatanan, adat kebiasaan, hingga liturgi mengalami disrupsi. Semua serbadaring. Online meeting, webinar, wisuda online, dsb.

Selama setahun lebih ini saya baru dua kali ke gereja. Dua-duanya untuk melayat. Pertama, melayat mendiang Pater Yosef Bukubala SVD di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo.

Saat itu saya sendiri di dalam gereja yang besar itu. Berdoa di depan peti jenazah. Sekitar 10 menit kemudian datang lima orang lain yang juga ingin memberi bekal rohani kepada pater asal Flores Timur itu.

Tidak ada misa saat itu. Misa requiem baru diadakan sore hari. Itu pun dibatasi umatnya. Yang lain hanya boleh ikut misa streaming dari YouTube. Aturan baku sejak ada wabah korona.

Kali kedua masuk ke gereja ya pekan lalu. Ikut misa requem melepas jenazah Bapak Errol Jonathans, CEO Radio Suara Surabaya dan media-media lain di bawah Grup Suara Surabaya.

Inilah pertama kali saya ikut misa secara langsung di gereja saat pandemi. Biasanya cuma daring, daring, daring. Pangling juga karena ada banyak aturan protokol kesehatan yang ribet.

Harus mengisi daftar hadir, nomor telepon, asal paroki, dsb. Lalu dikasih nomor tempat duduk. Kayak mau naik kereta api atau pesawat saja. Syukurlah tidak perlu tes antigen, PCR, atau genose.

Mendiang Agustinus Maria Errol Jonathans tokoh media yang sangat kondang di Surabaya. Bahkan di Indonesia. Ia bersama Pak Sutoyo yang mendirikan Radio Suara Surabaya pada 9 Juni 1983. Mengudara pada saat gerhana matahari total di Indonesia.

 Saat itu pemerintah dan rakyat Indonesia sangat panik. Khawatir rakyat Indonesia jadi buta gara-gara nekat mengintip gerhana matahari yang langka itu. Errol Jonathans, waktu itu koresponden Pos Kota, memanfaatkan momen itu untuk launching Suara Surabaya.

Berbeda dengan radio-radio swasta saat itu yang fokus hiburan, lagu-lagu pop, dangdut, rock, pilihan pendengar, sandiwara radio Mak Lampir, dan sejenisnya, Suara Surabaya memilih fokus ke informasi. Main di jurnalistik radio.

Errol sengaja pakai istilah informasi, bukan berita. Sebab saat itu hanya RRI yang boleh menyiarkan warta berita. Dan semua radio swasta di Indonesia wajib merelai warta berita ala RRI.

 Kalau radio swasta nekat membuat dan menyiarkan warta berita, ya tamat. Izin siarannya pasti dicabut. ''Makanya kami pakai istilah informasi. Kami tidak menyiarkan warta berita tapi menyampaikan informasi,'' kata Errol dalam berbagai kesempatan.

Rupanya kiat alias akal-akalan Errol Jonathans di masa Orde Baru yang mengontrol ketat media itu sukses. Radio SS menjadi radio swasta memelopori jurnalistik radio di Jawa Timur. Informasinya disampaikan kapan saja. Beda dengan warta berita RRI yang disiarkan hanya pada jam-jam tertentu saja.

Bukan itu saja. Suara Surabaya pun memanfaatkan pendengar sebagai reporter. Mulai soal jalan rusak, kemacetan lalu lintas, kecelakaan, kebakaran, dsb. Warga yang biasa melapor ke SS biasanya ketagihan untuk membuat laporan lagi, lagi, dan lagi.

Maka, warga Surabaya seakan berlomba untuk memberikan informasi lewat corong Radio Suara Surabaya. Jauh sebelum istilah citizen journalism atau jurnalisme warga populer, SSFM sudah melakukannya. 

Suara Surabaya pun sejak menggunakan FM ketika hampir semua radio di Surabaya masih bermain di AM. Singkatnya, SS ini banyak memberikan warna baru pada dunia broadcasting di Jawa Timur. Dan... Errol Jonathans adalah tokoh di balik berbagai terobosan SS itu.

Yang menarik, selama 38 tahun bergelut dengan SS, Errol Jonathans ternyata dekat dengan gereja. Ia sering diminta menjadi narasumber atau pembicara dalam seminar-seminar tentang media di lingkungan Gereja Katolik. Sejak Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Surabaya dipegang Romo Prof John Tondowidjojo CM (almarhum).

Romo Tondo yang dikenal sebagai pakar komunikasi itu melihat Errol Jonathans punya bakat luar biasa di bidang komunikasi sosial atau media massa. Khususnya broadcasting atau radio. ''Pak Errol perlu membagikan ilmu kepada generasi muda,'' kata Romo Tondo yang juga penulis puluhan atau ratusan judul buku itu.

Dulu saya pikir Errol Jonathans cuma sekadar diminta jadi narasumber Komsos Keuskupan Surabaya atau paroki tempat tinggalnya. Saat misa requiem di Gereja Katedral HKY Surabaya baru saya tahu Errol jadi pengurus Komsos di tingkat paroki, keuskupan, dan KWI.

''Pak Errol ini tokoh yang luar biasa. Beliau jadi pengurus Komsos mulai tingkat paroki, keuskupan, dan KWI dalam waktu bersamaan,'' ujar Romo Stevan Lalu, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI, yang memimpin misa requiem itu.

KWI memang sengaja mengutus Romo Stevan ke Surabaya untuk melepas mendiang Errol Jonathans ke Makam Keputih. Mengingat jasa-jasa dan kontribusi Errol selama puluhan tahun dalam mengembangkan Komsos di tanah air. Errol pun kerap jadi narasumber dan penasihat pastor-pastor di bidang komunikasi sosial dan public speaking.

''Kalau bicara di depan umum, public speaking, khotbah atau homili sampaikan poin-poin yang singkat dan padat. Jangan berbelit-belit.'' 
Demikian salah satu nasihat Errol Jonathans kepada para pastor yang disampaikan kembali Romo Stevan asli Manado itu. ''Saya coba melaksanakan nasihat Pak Errol. Homili saya singkat saja. Cuma empat poin,'' kata pastor yang humoris itu.

Suasana misa requiem tidak membuat jemaat larut dalam duka dan air mata. Ini karena pihak keluarga, diwakili Patrick Jonathans, menyampaikan cerita menarik yang inspiratif saat Errol masih kecil. Bagaimana Errol sudah punya visi yang besar sejak kecil.

Bagaimana Errol menggambar sawah di halaman rumah lalu menjadi pengendali sawah itu. Bagaimana Errol sudah berbeda dengan anak-anak seusianya. Bagaimana tiga adik kandungnya pun sudah menjadikan Errol sebagai guru meskipun usia mereka tidak jauh berbeda.

Meskipun sudah lama kenal dan ikut seminarnya, saya baru tahu kalau Errol Jonathans pernah jadi penyanyi saat muda. Sangat musikal, senang musik klasik, senang menikmati paduan suara yang indah. Itu disampaikan putranya di akhir misa requiem.

Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Errol Jonathans nekat membuat program musik yang tidak pasaran di Radio Surabaya. Ada Jazz Traffic yang diasuh sang maestro Bubi Chen. Ada pula musik kontemporer asuhan Slamet Abdul Sjukur.

Lagu-lagu pop yang diputar di Suara Surabaya pun tidak asal-asalan. Ada kriteria sendiri. Meskipun lagunya sangat booming seperti Tak Ingin Sendiri, Hati Yang Luka, Pamer Bojo Anyar, atau Banyu Langit... tidak akan mengudara di Suara Surabaya.

''Papa dulu sangat senang menyanyi, sempat ikut lomba, dan menang juga,'' kata putranya.

Selamat jalan, Pak Errol!
Selamat bahagia di sisi Bapa!

4 komentar:

  1. Dulu ketika tinggal di Surabaya di bangku SMA, sempat menyimak acara jazz bersama Bubi Chen. Juga ada acara gitar klasik bersama Lianto, gitaris klasik asal Surabaya.

    BalasHapus
  2. Saya juga kenal jazz dan Bubi Chen karena sering dengar Radio Suara Surabaya. Belakangan jadi akrab dengan beliau beberapa tahun sebelum berpulang. Saya selalu sempatkan nonton pertunjukan2 Bubi Chen meski tidak mudah mencerna permainan jazz khas sang maestro itu.

    Kalau gitaris Lianto saya cuma kenal di YouTube. Mainnya khas dan agak sangar.

    BalasHapus
  3. Anaknya Oom Bubi namanya Howie Chen, juga seorang pemusik. Skrg mengajar di sekolah musik Jazz Centrum. Jalan Dr. Ir. H. Soekarno D7 9 Ruko Este Square, Mulyorejo, Kec. Mulyorejo, Kota SBY, Jawa Timur 60115, Indonesia.

    +62 31 99011121

    BalasHapus
  4. Howie Chen juga bagus. Tapi belum punya magnet seperti Bubi Chen.
    Om Bubi itu main musik di mana saja kayak main2 pun selalu menarik banyak banget peminat.
    Begitu juga Slamet Abdul Sjukur dengan musik klasik dan kontemporernya.

    BalasHapus