Selasa, 22 Juni 2021

Korona Tidak Ada, Yang Ada Markona

Ratusan orang Madura kemarin unjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka meminta Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka penyekatan di Jembatan Suramadu. Pengunjuk rasa dari pulau sebelah itu merasa sangat terganggu karena harus dites antigen, dirazia, dicek dokumen tiap hari di posko.

Sejak 5 Juni 2021 memang dilakukan penyekatan di Suramadu dan Dermaga Ujung-Kamal. Sebab terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan. Ada empat kecamatan yang zona merah. Pasien sangat banyak. Angka kematian tinggi.

Dan, yang gawat, koronanya itu ada varian baru dari India. Virus mutasi ini lebih ganas. Lebih menular dan fatal akibatnya kalau tidak segera ditangani. Yang sudah vaksin pun tetap kena.

Sosialisasi sudah dilakukan berkali-kali sejak awal pandemi. Di media massa, media sosial, pintu ke pintu, tokoh agama, dan sebagainya sudah mengingatkan masyarakat akan bahaya virus korona baru.

Dan.. sudah banyak korban meninggal dunia. Termasuk kenalan kita, tetangga, kerabat jauh, kerabat dekat, hingga keluarga inti kita. Tapi rupanya masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya Covid-19 alias corona.

''Di Madura tidak ada korona. Yang ada cuma markona,'' begitu salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa dari Madura kemarin.

Korona atau corona jadi bahan guyonan. Bukan lagi penyakit yang mematikan. ''Kami tiap hari tidak pakai masker selama satu tahun lebih sampai sekarang. Gak jaga jarak. Biasa aja. Wong korona itu nggak ada,'' kata seorang warga Madura kepada BBC.

Angel, angel.. angeeel.

Pusing. Wali Kota Cak Eri, Gubernur Khofifah, Bupati Bangkalan dan pejabat-pejabat lain pasti pusing dengan sikap ratusan pengunjuk rasa itu. Sebab, cara berpikir, paradigma, filosofinya sangat berbeda dengan kalangan ilmuwan atau pakar-pakar penyakit menular, dokter, epidemiolog dsb.

Kebijakan penyekatan Jembatan Suramadu justru sangat bagus. Orang dites antigen, PCR dsb juga bagus. Agar virus korona bisa diketahui sejak dini meskipun orangnya tanpa gejala.

Tes antigen juga mahal. Apalagi PCR itu. Para pengendara yang disekat ini malah tes gratis. Saya yang naik kereta api pun harus tes covid dan bayar sendiri. Mahal juga kalau dites berkali-kali di stasiun yang berbeda.

Lah, di Suramadu dan Ujung-Kamal tesnya gratis. Dibayar pemerintah tentu saja. Kok malah ngamuk? Posko kesehatan, meja kursi petugas kesehatan dijungkir balik?

''Bisa ambyar kalau masih banyak warga yang bersikap begitu,'' ujar Dr Amien Widodo dari ITS Surabaya.

Kang Amien lalu menyodorkan data korban pandemi flu spanyol di Hindia Belanda tahun 1918. Saat itu korban meninggal paling banyak di Djawa Timoer.

Dan... yang paling banyak di Pulau Madoera.

3 komentar:

  1. Ralat bos. Flu Spanyol iku taun 1918.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun cak. Salah ketik. Jempol lagi kemeng.

      Hapus
    2. Angel, angel.....angeeel tenaaan.
      Markona and Shakira maunya Bentoel-, Grendel-, Apem-gratis, lha koq oleh pemerintah yang diberi malah Sogokan-hidung gratis.
      Susah jadinya kalau para pejabat di Ibu Pertiwi tidak mengerti Kebhinekaan. Wong Meduro bedo karo Wong Flores, Wong Betawi, Wong Ambon,...seterusnya sampai 400 wong-wong lain nya, belum lagi ditambah yang import-an, Wong Cino karo Wong Arab-Yaman.
      Wis ta'llah, pancene angel dadi wong nusantara, Pernah Berjanji : Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
      Tapi janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi di bibir.
      Sumpah dan Janji koyok " gincu " iso dipesut, digonta-ganti dengan merek, warna dan rasa yang lainnya. Pokoke kabeh sakkarepe dhewe ! Ave Markona !

      Hapus