Minggu, 21 Juli 2019

Jadi Ingat Paus Benediktus XVI

Sudah lama saya lupa bahwa Paus Benediktus XVI itu masih ada. Berstatus Paus Emeritus di Vatikan. Bapa Suci asal Jerman ini sekarang berusia 92 tahun.

Paus Benediktus XVI mengundurkan diri pada 28 Februari 2013 karena alasan kesehatan dan usia. Sejak itu beliau mengisi hari-harinya dengan berdoa, membaca, menulis, dan berolahraga ringan. Biasanya jalan kaki di kompleks Vatikan yang antik itu.

Sejak digantikan Paus Fransiskus dari Argentina, nama Paus Emeritus Benediktus XVI tidak lagi disebut-sebut di Indonesia. Sebab ekaristi atau misa memang hanya menyebut nama Paus Fransiskus dan uskup setempat. Bukan paus emeritus atau uskup emeritus.

Makanya saya agak terkejut ketika mengikuti misa streaming dari Amerika Serikat. Pater dari ordo Pasionis yang memimpin misa mendoakan Paus Fransiskus, Paus Benediktus, dan uskup setempat dalam doa syukur agung.

Oh, Paus Benediktus XVI.

Sudah lama banget saya tidak ingat beliau. Padahal beliau masih berada di Vatikan meskipun tidak lagi menjadi gembala agung umat Katolik sedunia.

Tidak hanya di Indonesia. Saya yakin umat Katolik di negara-negara lain pun sudah melupakan Sri Paus yang dikenal sebagai teolog terkemuka itu. Sebab dari dulu kita tidak mengenal Paus Emeritus.

Seorang Paus atau Bapa Suci dipilih oleh para kardinal lewat konklaf setelah paus yang lama meninggal dunia. Makanya tidak ada yang namanya Paus Emeritus. Kalau Uskup Emeritus sih biasa dan banyak.

Terima kasih Pater Paul Fagan CP yang membuat saya jadi ingat lagi Paus Benediktus XVI. Apalagi saya punya rosario pemberian seorang tokoh di Surabaya setelah berwisata rohani di Vatikan. Rosario ini sudah diberkati Paus Benedict XVI, katanya.

Sabtu, 20 Juli 2019

Ribetnya merawat motor tua

Sepeda motor tua itu paling aman. Tidak akan dicuri maling. Sebab tidak bisa dijual ke penadah. Terlalu murah. Dibandingkan risiko sang maling yang bertaruh nyawa.

Pengendara motor tua juga jarang disemprit polisi. Sebab polisi tahu motor tua itu bukan hasil curanmor. Biasanya maling motor di Surabaya dan Sidoarjo incar motor-motor balita. Yang usianya di bawah lima tahun. Yang harga jualnya masih tinggi.

Tapi ya itu, seperti manusia tua, motor tua sering rewel. Kalau pemiliknya kurang melakukan perawatan dengan baik. Khususnya ganti oli. Telat oli bisa berabe.

Jumat 20 Juli 2019. Saya membawa pasien lansia ke bengkel di Berbek I/45 Waru, Sidoarjo. Yamaha Vega yang sudah mengabdi selama 20 tahun saatnya masuk UGD. Beberapa onderdil jerohan sudah waktunya diganti.

Saya curiga kopling dan kampas ganda yang bermasalah. Ini penyakit berat. Mas Montir sangat sigap melakukan diagnosa. Dinaiki sebentar kemudian membuka jerohan motor itu. 

"Kampas ganda aman, kampas kopling yang parah," katanya. "Tapi rumah kampas gandanya yang kudu diganti."

Sudah kuduga. Termasuk ongkos totalannya. Pasti di atas 400 atau 500an rupiah. Sebab rumah kopling biasanya di atas 200. Bahkan ada motor yang rumah koplingnya di atas 400 versi Bukalapak itu.

Reparasi besar pasti lama. Maka saya pun naik ojek ke kawasan Jembatan Merah Surabaya.

 "Total di atas 500. Silakan diambil motornya," kata Baba pemilik bengkel via telepon.

"Besok saja. Sudah kesorean," jawab saya.

Begitulah lika-liku kendaraan lawas. Kudu telaten merawat agar usianya bisa panjang. 

Di bengkel itu saya melihat 6 motor yang sedang diservis. Tiga di antaranya motor balita. Alias motor matic yang usianya belum 3 tahun.

"Servis besar karena ada onderdil yang rusak," ujar sang pemilik motor matic asal Sedati.

Ohhh... hohoho... ternyata motor lawas dan baru sama saja. Sama-sama masuk UGD.

 "Motor-motor baru memang lebih cepat rusaknya ketimbang motor lawas. Apalagi kalau pengendaranya ceroboh dan tekat oli," kata Mas Bengkel.

Arswendo Atmowiloto Katolik Turis Khotbahi Romo

Terlalu banyak kenangan indah dengan Arswendo Atmowiloto (1948-2019). Mulai majalah Hai yang jadi buruan pelajar era 80an. Dengan cerita bersambung Lupus.

Lalu, buku yang bikin gila para pelajar sekolah menengah hingga perguruan tinggi karya Arswendo: Mengarang Itu Gampang. Saya pinjam dan perpustakaan sekolah dan diulangi lagi di kampus. Tapi ternyata tidak gampang. 

Asal ngarang sih bisa. Tapi bikin karangan yang bagus? Yang dimuat di Hai, Gadis, Anita dsb? Tidak gampang. Cerpen-cerpenku yang merujuk teori Arswendo: Mengarang Itu Gampang, ternyata tak satu pun yang tembus media di Jakarta.

 Yang rada gampang tembus justru artikel opini. Bukan cerita pendek atau cerita bersambung ala Arswendo.

Sudah terlalu banyak tulisan in memoriam Arswendo di media cetak dan online plus media sosial. Penulis-penulisnya jauh lebih dekat Mas Wendo ketimbang saya yang hanya bertemu sesekali di seminar atau lokakarya. Dus, tidak perlu diulangi.

Yang selalu saya ingat adalah ketika Arswendo diundang membawakan monolog di Gereja Katolik Pandaan. Wendo pakai blankon, baju lurik, ala priyayi Solo. Selepas sambutan pastor paroki, Wendo awalnya rada serius. Maklum, bicara di depan altar pada peringatan hari jadi paroki.

Tak sampai dua menit, Wendo keluar aslinya. Guyon maton, sentil sana sini, bikin umat yang memenuhi gereja tertawa ngakak. Termasuk romo-romo yang disentil kata-kata halus khas Wendo.

"Saya ini cuma Katolik Turis. Katolik Turut Istri," kata Wendo disambut derai tawa. "Sampai sekarang saya ndak paham mengapa saya harus jadi Katolik."

Arswendo kemudian berbagi pengalaman di penjara dsb. Berbuat sesuatu tanpa ada embel-embel evangelisasi, mewartakan kabar gembira Injil dsb. "Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan. Di sekitar kita," katanya.

Baru pertama kali ini saya terpukau mendengar paparan Arswendo di depan altar. Hampir satu jam kata-kata jurnalis senior ini menusuk relung hati umat Katolik di Pandaan. Kesaksian tanpa mengutip ayat-ayat Alkitab. Tanpa embel-embel Katolik, Kristen, Nasrani dsb.

Lah, wong cuma Katolik Turis.. hehehe! Mosok mau ngotbahi romo-romo atau suster-suster yang tiap hari ngaji Alkitab dan doa brevis sejak bangun tidur sampai mau tidur malam.

Di akhir khotbahnya, eh.. monolog, Arswendo membacakan puisi ini. Ditujukan untuk romo-romo di Indonesia:

"Aku mendamba Romo yang penuh kasih, bukan yang pilih kasih
Aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean
Itu berarti pemberian umat
sebagai tanda cinta, tanda hormat

Aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak,
kaku pada dogma, tapi lucu kala canda,
yang lebih sering memegang rosario
dibandingkan blackberry warna hijau
Aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar, dibandingkan berujar

Aku mendamba Romo yang menampung air mataku,
tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual

Duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekali
tapi aku percaya tetap terpenuhi
karena Romoku mau dan mampu selalu memberi
- inilah damba dan doaku, Romoku

Eeee,... masih ada satu lagi

Sekali mengenakan jubah, jangan berubah
Jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah
bahkan sampai ada laut terbelah
kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku

Aku mendamba Romo yang menatapku kalem
bersuara adem

"Berkah Dalem …"

Selamat jalan Arswendo Atmowiloto!
Selamat beristirahat dengan tenang!

Jumat, 19 Juli 2019

Jangan baca koranku! Beli sendiri dong!

Ada Kompas nganggur di bengkel kawasan Wadungasri, Sidoarjo. Saya pun minta izin membaca koran terbitan Jakarta itu. Di warkop sekitar 60an meter dari bengkel.

"Permisi, korannya saya baca di warung ya?"

Ibu Tionghoa itu mengiyakan. Saya pun hendak menyeberang. Bawa koran Kompas yang masih gres. Belum dibaca oleh pengusaha bengkel motor itu. Dua anaknya malah asyik lihat ponsel karena konsumen lagi sepi. Maklum, sebentar lagi Jumatan.

"Sini... sini.. korannya di bawa ke sini," kata Bu Tenglang dengan suara dinaikkan.

Oh, rupanya Bu Tenglang tidak bersedia korannya saya bawa ke warkop. "Di warkop juga ada koran," kata si Taitai.

Hem... Taitai ini rupanya belum tahu kalau saya sering ngopi di warkop Emak itu. Tidak pernah ada koran. Emak di Wadungasri ini hanya jualan kopi, nasi pecel, kare ayam, bali, dan nasi campur.

Tak masalah lah. Taitai jelas melarang saya membawa korannya ke warkop. Juga melarang saya membaca korannya. Cuma cara melarangnya rada diplomatis khas wong Jowo.

 Sayang, diplomasinya ngawur karena tidak didukung data dan fakta yang akurat. Bilang saja tidak boleh bawa koranku ke warkop. Titik. Tidak usah berbelok-belok begitu.

Saya hanya bisa tersenyum pahit. Ingin rasanya menarik motorku yang hendak diganti kampas ganda itu. Tapi sudah telanjur dibuka oleh Mas Montir.

Kok begitu takut korannya hilang? Bukankah ada sepeda motor sebagai agunan? Harga koran Kompas kan cuma Rp 4.000?

Ya wis...

Diambil hikmahnya saja. Di sisi lain saya justru gembira karena Bu Tenglang ini masih langganan koran. Meskipun bukan Jawa Pos atau Radar Surabaya. Ini pertanda baik. Bahwa surat kabar ternyata masih diminati pengusaha otomotif di Sidoarjo. Meskipun sampai jam 11 belum dibaca. Masih terlipat rapi. Mungkin Taitai baru baca nanti sore atau malam.

Rabu, 17 Juli 2019

Menulis Asyik ala Dahlan Iskan

Di GRAHA PENA Surabaya, markas Grup JAWA POS, DAHLAN ISKAN lebih akrab disapa Pak Bos. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini memang bos Grup JAWA POS. Di masthead koran-koran di lingkungan Grup JAWA POS, jabatan resmi Dahlan Iskan adalah chairman. Memang, selain membesarkan JAWA POS (dan grupnya) dialah mahaguru para wartawan Grup JAWA POS.


Yang menarik, berbeda dengan bos-bos media lainnya, Dahlan Iskan ini tetap menulis. Bikin reportase, kolom, analisis berita… pokoknya menulis. Menulis kapan saja dia suka. 

Menulis dan membaca sudah menjadi darah daging tokoh pers nasional itu. Kalau sudah ada ide, di mana pun, kapan pun… Dahlan Iskan menulis.


Belum lama ini, Pak Bos jalan-jalan di Singapura. Jalan kaki di Orchard Road dengan trotoar yang rindang. Nah, di trotoar itu muncul ide untuk menulis masalah kota, sekadar masukan untuk Kota Surabaya. Maka, ayah dua anak ini menulis di trotoar itu. Besoknya, tulisan itu dimuat di JAWA POS, dan beberapa koran anak perusahaan JAWA POS.


“Dahlan Iskan itu penulis dan wartawan yang belum ada duanya di Jawa Timur, bahkan Indonesia,” kata BAMBANG SUJIYONO, seniman teater, pentolan BENGKEL MUDA SURABAYA, kepada saya.


“Harusnya kita punya banyak wartawan kayak dia. Sekarang ini wartawan buanyaaaaak sekali, media berlimpah, tapi hampir nggak ada wartawan yang punya tulisan bagus. Kayaknya wartawan-wartawan sekarang ini nggak bakat menulis deh. Makanya, tulisannya nggak karuan,” kata Bambang, bekas anggota DPRD Jawa Timur, juga bekas pemimpin redaksi beberapa media cetak di Surabaya.


Bambang Sujiyono, juga sejumlah seniman, mahasiswa, pengamat, serta kalangan terdidik di Jawa Timur, memang sejak lama ‘kecanduan’ tulisan Dahlan Iskan. Kalau Pak Bos lama tak menulis karena sibuk (maklum, urusan dan jabatannya banyak), orang-orang macam Bambang ini telepon atau titip pesan lewat redaksi agar Pak Bos segera menulis lagi.

“Ada teman saya yang hanya mau baca tulisan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisan lain dianggap nggak ada. Hehehe…,” kata Bambang Sujiyono lalu tertawa khas. Saya hanya mengangguk mendengar komentar Bambang. Lalu tertawa.


Bu Yuliani, pemimpin sebuah kelenteng besar di Surabaya, juga berkali-kali ‘titip pesan’ lewat saya agar Pak Dahlan Iskan sering-sering menulis. Katanya, tulisan-tulisan Dahlan Iskan sangat kinclong, hidup, menarik, dan bikin pembaca ketagihan. Dia baca berkali-kali tulisan Pak Dahlan, tapi tidak pernah bosan.


“Hurek, kalau bisa kalian wartawan yang masih muda-muda ini belajar dari Pak Dahlan Iskan. Orang itu memang luar biasa. Ciamik soro, kata orang Tionghoa,” kata Bu Yuli.

Tokoh Tionghoa ini kebetulan sangat dekat dengan saya. Tiap kali ada hajatan besar di kelentengnya, entah itu Sincia, Cap Go Meh, sejit, hari jadi Kongco… saya pasti diundang.


Pendapat sama sebetulnya juga disampaikan pembaca JAWA POS dan RADAR SURABAYA, khususnya mereka yang punya ‘rasa bahasa’. Mereka menilai karya Dahlan Iskan itu unik, sulit ditiru, mengandung kejutan, jenaka, jelas, menghibur.


“Wislah, bilang bosmu itu (maksudnya Dahlan Iskan) supaya menulis terus. Sibuk ya sibuk, tapi ojo lali menulis. Penggemare akeh,” papar Bambang Sujiyono (sekarang sudah almarhum).


Saya pun sepakat dengan penilaian pembaca-pembaca kritis ala Bambang Sujiyono. Selain enak dan menghibur, Dahlan Iskan mampu mendudukkan persoalan secara terang dan jernih. Apa-apa yang tadinya gelap, remang-remang, jadi jernih setelah saya membaca tulisan Pak Bos.


Ambil contoh kasus haji (2007). Soal muasasih di Makkah yang menyediakan katering jemaah haji. Saya sering baca tulisan teman-teman wartawan, baca artikel di banyak media, dengar penjelasan dari wartawan senior yang sudah naik haji. Tapi penjelasan tentang seluk-beluk katering dan pengaturan makan jemaah haji tak pernah jelas. 

Tulisan wartawan-wartawan muda di koran malah bikin bingung. “Mbulet,” kata orang Jawa Timur.


Sabtu, 20 Januari 2007, Dahlan Iskan menulis di halaman satu JAWA POS. Dia bahas masalah katering, muasasah, kebijakan Menteri Agama MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI. Begitu membaca tulisan Pak Bos, saya langsung paham apa yang menimpa sekitar 200 ribu jemaah haji kita di Arab Saudi akhir Desember 2006.


Pak Bos menulis pendek, sederhana, logis, cespleng. Cukup satu artikel pendek, Dahlan Iskan berhasil memberi gambaran seputar persoalan haji. 


“Kalau bisa disederhanakan, kenapa harus rumit-rumit?” begitu kira-kira salah satu jurus menulis Pak Bos.


Senada dengan Bambang Sujiyono, saya sepakat bahwa Pak Bos ini punya talenta lebih. Dus, sulit ditiru wartawan lain, termasuk saya, meskipun dulu beliau sering memberikan bengkel atau latihan menulis kepada wartawan JAWA POS dan beberapa koran anak perusahaan. Karena tulisannya enak, selalu ditunggu, redaktur selalu menempatkannya di halaman muka.


“Daya tarik tulisan Dahlan Iskan memang luar biasa,” kata LUTFI SUBAGYO, bekas pemimpin redaksi SUARA INDONESIA (Grup JAWA POS). Karena itu, dulu, saban Sabtu Lutfi menempatkan ‘catatan ringan’ Dahlan Iskan di halaman satu. Oplah hari itu pun naik, karena banyak warga Surabaya yang beli koran hanya untuk menikmati tulisan Pak Bos.


Nah, sebagai wartawan di Graha Pena, saya beruntung pernah mendapat gemblengan langsung dari Pak Bos meski tidak secara khusus. Learning by doing, itulah yang dilakoni Pak Bos. Saya pernah mencoba meniru gayanya, tapi gagal.


Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi saya sendiri:


LEAD HARUS SANGAT MENARIK

Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.


“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.

“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.
Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.

Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS

Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.
Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”

Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK

Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.

“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).

“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. 

“Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.

Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasa Indonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimat kan tidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.

Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.

Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:

“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.

Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.

Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.

Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

MENULIS SEPERTI BERBICARA

Gaya bicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.

Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF

Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.
Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.

“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.

Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI SUPER, TIDAK MENCATAT

Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret… Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.
Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!

Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.


Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

MEMBACA, MEMBACA, MEMBACA


Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.

Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.

Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? 

Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS

Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap… itulah yang ditulis.

Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siang Jakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.

Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA

Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya harus bisa,” katanya.

Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas di Surabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTA SASTRA

Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.

Mereka-mereka ini praktisi sastra Indonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.

Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia di Surabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)

Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.

“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.

Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Selasa, 16 Juli 2019

Orang Lembata Naik Haji

Haji Anwar Tadong (kanan) di Wisama Haji Surabaya, 2009


Oleh LAMBERTUS HUREK
Surabaya, 01 Februari 2009

Baru-baru ini saya mendapat "tugas khusus"--melalui SMS dari pelosok Flores Timur--untuk menjemput para haji asal Lembata. Para tamu Allah ini tidak bisa langsung kembali ke kampung halaman karena kendala transportasi. Mereka harus tinggal beberapa malam di Wisma Haji Jalan Kranggan, Surabaya.

"Tolong Anda dampingi haji-haji asal Ile Ape. Soalnya, mereka belum pernah ke kota. Mereka akan bingung kalau tidak ada teman bicara. Apalagi, tahun ini ada Haji Tadong, masih keluarga dekat kita. Mamanya suku Hurek seperti kita," begitu pesan pendek dari Kristofora, adik kandung saya.

Namanya juga "perintah", tengah malam, sekitar pukul 20:00, saya mampir ke Wisma Haji Kranggan. Begitu masuk kompleks ini suasana Flores Timur sudah terasa. Orang-orang--hampir semuanya berbusana haji, baik laki-laki maupun perempuan--berbicara dalam bahasa daerah yang sangat saya kenal. Bahasa Lamaholot.

Suara haji-haji asal Lamahala, Kecamatan Adonara Timur, paling keras. Sangat khas. Lamahala itu kampung di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, yang penduduknya 100 persen Islam. Mereka bekeja sebagai pedagang, nelayan, dan pelaut. Jarang yang jadi petani.

"Kakak, haji-haji Lembata lewun teika teku nai? [Kak, haji-haji asal Lembata di mana?]," tanya saya kepada seorang hajah asal Lamahala.

"Ari, lali papa. Mo mala tepe... [Ari, di sana. Kamu jalan lewat sana...]," balasnya ramah sekali.

Benar saja. Saya pun langsung menjumpai haji-haji asal Lembata, kabupaten baru hasil pemekaran Flores Timur. Saya memeluk Haji Muhammad Tadong, haji asal kampung saya, sambil memperkenalkan diri. Rupanya, Pak Tadong ini kurang mengenal saya. "Mo, amam heku? [Bapakmu siapa?]," tanyanya.

Setelah saya bercerita singkat, menyebut identitas saya, orang tua saya, Pak Haji Anwar Tadong pun memeluk saya erat-erat. Haji-haji lain pun saya sambut hangat. Dan malam itu kami ngobrol santai dalam bahasa daerah. Pak Tadong, yang suka bicara, menceritakan pengalaman berhaji di tanah suci. Bagaimana dia harus menabung selama puluhan tahun sampai akhirnya bisa naik haji.

"Rukun Islam kelima ini berat sekali. Tapi, setelah menjalani, rasanya puas sekali. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Alhamdulillah!" ujarnya berkali-kali.

Pak Tadong kemudian meminta teman-teman, yang muslim tentu saja, untuk mulai menabung agar suatu saat nanti bisa naik haji. "Kuncinya di NIAT. Kalau kalian punya niat, tawakal, insyaallah, bisa berhaji. Mulai sekarang kalian harus tanamkan niat itu," pesan Pak Tadong.

Wah, luar biasa orang kampung yang satu ini! Baru beberapa jam tiba di Bandara Juanda, setelah menunaikan ibadah haji, kata-katanya bijaksana amat. Kayak kiai-kiai senior di Jawa Timur. Tapi dia berkhotbah dalam bahasa Lamaholot dialek Ile Ape.

Pak Haji Tadong juga cerita bagaimana dia menangis tersedu-sedu gara-gara tersesat di Tanah Suci. "Mekkah pe atadiken aya-aya, ribun ratun... Ekan lae-lae, mela-mela.... Nepe ti tite sembeang di sare-sare...."

Mau tahu berapa jumlah haji asal kabupaten tempat asal saya?

Bukan ribuan seperti di Surabaya atau Sidoarjo. Bukan satu kelompok terbang (kloter), 450 jemaah, seperti haji bimbingan KBIH Mabruro di Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Tapi ENAM orang! Satu kabupaten hanya menghasilkan ENAM haji pada tahun 2008.

Enam haji asal Lembata itu: 3 dari Ile Ape (kampung saya), 1 dari Kedang, 2 dari Lewoleba. Yang Lewoleba ini aslinya dari Lamahala, cuma sudah lama menetap di Lembata. Ini merupakan rekor tersendiri karena selama bertahun-tahun belum pernah ada orang muslim Ile Ape yang naik haji.

Islam di Lembata memang minoritas sehingga wajar saja bahwa jumlah hajinya tidak sampai 10 orang. Sebab, pemerintah membuat kebijakan kuota per penduduk muslim.

Selain itu, "Sistem haji online ternyata membawa banyak masalah. Dan kita di Nusa Tenggara Timur jadi korban," kata Pak Sjamsir Alam, pendamping jemaah haji Kabupaten Lembata, kepada saya. Tahun 2008 jemaah haji asal provinsi NTT 439 orang.

Gara-gara sistem yang kacau itu, jumlah haji Lembata menurun sangat tajam. Tahun 2007 tercatat 34 orang. Sekarang ini sudah ada 43 orang di daftar tunggu.

"Mudah-mudahan jatah dari Lembata tahun 2009 lebih banyak lagi. Bagaimanapun juga umat Islam di daerah kita punya hak yang sama untuk berhaji," ujar Pak Sjamsir yang berasal dari Sulawesi Selatan itu.

Pertemuan dengan enam haji Lembata di Wisma Haji Jalan Kranggan sangat berkesan. Banyak hal menarik, cerita-cerita kecil, yang bisa menggugah kenangan saya tentang kampung halaman. Mereka pun bertekad menjadi haji mabrur, haji yang bermasalahat bagi orang banyak.

Esoknya, rombongan haji menumpang pesawat Batavia Air tujuan Kupang. Dari Kupang naik kapal laut ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. "Sesuai rencana, kami akan diterima secara resmi oleh Bapak Bupati Andreas Duli Manuk," kata Pak Sjamsir, ayahanda dr. Rahmi Sjam, dokter puskesmas di Lewoleba.

Dua hari kemudian saya mendapat SMS dari kampung. Isinya: rombongan haji disambut dengan tarian tradisional, diarak keliling kampung. Seluruh rakyat, yang nota bene sebagian besar beragama Katolik, menggelar pesta meriah.

"Kame pia poro sapi tou... hode Haji Tadong. Soka sikan pia lewotanah," begitu bunyi SMS adik saya, Kristofora.

Bahasa Indonesianya:

"Kami di sini menyembelih satu ekor sapi, menyambut Haji Tadong. Ada tari-tarian tradisional." (*)

KOMENTAR DI BLOG LAMA

Sallma dan Ceritanya
12:30 AM, February 01, 2009
Sesuatu yang benar2 bikin kami terharu atas perjuangan dan toleransi yang begitu apik dalam kehidupan masyarakat Lembata, semoga menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia, krn perjuangan itu akan berhasil karena doa kita bersama.

Anonymous
10:43 AM, February 01, 2009
aku juga org flores timur. menarik membaca cerita ini. salam dompet, ake lupang lewotanah.

wens

Anonymous
8:23 AM, February 03, 2009
Ama Lambert,
Saya sangat bangga dengan tulisan ama.Kita berbaahiah karna akhirnya ada haji asal Ile Ape. Ama ada cerita yang menarik dari Rm Anton Prakum, asal Lebala (yang kampng sebelanya mayoritas Ilsma dan yang sebelahnya Mayoritas Katolik - tapoi tak ada pernah kekacaun) waktu diterima di kampung setelah pentahbisannya jadi Imam Katholik, dia disambut pertama di Mesjid...menurut tua-tua adat..dia berketuruna dari daerah yang beragama Islam.. Jadi ada rama tamah khusus di Mesjid sebelum beranjak ke Gereja. Yang sangat terharu lagu pesta pentahbisan itu tidak hanya bagi orang Katholik tapi semua orang malah yang mengurus bagia belakan(seksi Masak adalah yang beragama Islam) supaya daging-daging jangan tercampur-campur...
Membaca tulisan ama, saya mengingat cerita ini...mungkin kita perlu angkat semua cerita bagus seperti ini agar memperkuat hidup hormat antar agama.ok reu

frans kupang ujan - Manila Philippines

Lambertus L. Hurek
11:49 AM, February 04, 2009
Ama Frans,
Begitulah sedikit cerita kecil dari Surabaya. Bagaimana orang-orang kampung yang polos, lugu, sederhana, itu akhirnya bisa naik haji. Dan mereka bahagia.
Salam damai.


Anonymous
5:18 PM, July 03, 2010
salam bang. saya haris, penggemar setia blog abang walau baru aja ketemu bulan juli 2010, satu malam sudah habisa ya baca semuanya
benar2 suara nusantara
mudah2an bisa diterbitkan dalam sebuah buku kelak ya bang kayak buku kakak linda yang di aceh itu
wassalam

Blog Hurek Jadi Sejarah

Selamat pagi!

Sudah kuduga. Upaya banding ke Google gagal. Pagi ini saya dapat jawaban dari tim Google:

Pelanggan yang terhormat,
Terima kasih telah menghubungi kami. Kami telah meninjau permintaan Anda terkait akun hurek2007@gmail.com Anda dan mengonfirmasi bahwa Anda telah melanggar Persyaratan Layanan kami. Oleh karena itu, kami tidak akan mengaktifkan kembali akun Anda.
Untuk informasi selengkapnya terkait kebijakan kami dan tindakan yang kami ambil sebagai tanggapan atas pelanggaran kebijakan produk kami, harap lihat Persyaratan Layanan kami.

Hormat kami,
Tim Google

Apa boleh buat. Blog Hurek di www.hurek.blogspot.com itu tidak bisa dipulihkan. Dihapus selamanya oleh Google Inc. Mengapa? "Karena telah melanggar persyaratan layanan kami," kata Google.

Persyaratan apa yang dilanggar? Tidak diungkap. Tahu-tahu saja akun hurek2007 dihapus. Akibatnya, semua layanan terkait Google dimatikan oleh perusahaan raksasa dari USA ini.

Apakah konten blog yang melanggar? AdSense bermasalah? Komentar-komentar di YouTube? Penggunaan perambah Chrome?

Hanya Tuhan dan Google yang tahu. Kita bisa apa? Maka, 3.662 tulisan atau postingan di hurek.blogspot.com itu pun lenyap. Ibarat tanah longsor, disrupsi, yang merontokkan satu kampung.

Blog lama itu sudah jadi sejarah. Tulisan-tulisan lama pun begitu. Jadi masa lalu. Bisa saja saya mengais segelintir arsip yang tersisa. Tapi tidak mungkin mengembalikan 3.000 lebih tulisan-tulisan lama ke blog baru.

"Semua berita yang kita tulis hari ini besoknya jadi sejarah. Baik yang dimuat maupun yang tidak dimuat," kata teman wartawan senior.

Bung Jurnalis ini biasa menulis 3 berita sehari. Kadang 4 atau 2. Tapi tidak semuanya dimuat. Lebih banyak yang tidak dimuat karena spasi sangat terbatas. Apalagi halaman koran dikepras cukup banyak.

"Berita-berita yang tidak dimuat itu jadi sejarah," kata si Bung yang selalu ceria ini.

Kata-kata kawan lama ini membuat saya jadi semangat lagi. Merajut kata, menata pikir, untuk membuka lapak baru. Ibarat buku diari lawas yang hilang atau penuh, kudu menulis di buku diari yang baru.