Ngadireso. Nama itu terkenal sekali. Terutama di kalangan Katolik. Bukan hanya di Jawa Timur. Bahkan sampai ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Biasanya disebut "Ngadireso, Tumpang". Padahal secara administratif, desa itu masuk Kecamatan Poncokusumo. Kabupaten Malang.
Di sana ada Pertapaan Karmel. Sudah sangat lama berdiri. Dirintis oleh Romo Yohanes Indrakusuma. Seorang imam Karmelit.
Romo Yohanes kemudian membentuk kongregasi sendiri. Namanya CSE: Carmelitae Sancti Eliae. Spiritualitasnya tetap Karmelit. Tapi pendekatannya berbeda. Lebih karismatik. Beda dengan O.Carm. kongregasi utama di Keuskupan Malang.
Beliau dikenal sebagai salah satu bapak gerakan karismatik Katolik di Indonesia. Wajar kalau tempat ini sering dipadati aktivis PDKK. Retret. Rekoleksi. Atau sekadar menyepi dan merenung.
Saya juga pernah. Dulu. Waktu remaja. Lalu berlanjut di masa mahasiswa. Tertarik karismatik. Lagu-lagunya bersemangat. Musiknya full band. Suasana doanya hangat. Persekutuannya hidup. Loncat-loncat!
Tapi saya selalu gagal di bahasa roh.
Juga gagal ambruk dalam sesi pencurahan roh kudus. Padahal teman-teman sudah banyak yang jatuh. Ada yang menangis. Ada yang meracau.
Ada yang memuji Tuhan dalam bahasa yang tak saya mengerti. Walaloblabalabla...
Saya hanya berdiri tegak. Menahan kantuk.
Mbak Lina, putri Pak Alex—ketua PDKK Paroki Santo Yusuf—pernah menasihati saya. Katanya saya belum pasrah. Belum menyerahkan semua beban. Belum membiarkan diri kosong agar Roh Kudus bisa masuk.
Saya mencoba lagi. Retret berikutnya. Lalu satu lagi. Tapi tetap sama: gagal.
Akhirnya saya mundur pelan-pelan. Kembali menjadi Ata Kiwan. Orang awam. Katolik kampung khas Lamaholot.
Ata Kiwan itu sederhana. Tidak banyak teori. Tidak banyak sensasi. Tidak baca Alkitab karena tidak ada bukunya di kampung.
Ata Kiwan hanya sembahyang pagi dan malam. Sembahyang Kontas alias Rosario. Bapa Kami. Salam Maria. Angelus. Credo. Ya Yesus yang Baik. Itu saja.
Mereka tidak tahu bahasa roh. Tidak kenal istilah pencurahan roh. Tidak paham mengapa di acara doa ada orang yang jatuh, tergeletak, atau menangis.
Sudah lebih dari 20 tahun saya tidak ke Ngadireso.
Sampai akhirnya libur Lebaran ini saya ke Malang. Rencana awal: ingin mampir ke RS Sumber Santosa di Tumpang. Ingin bertemu Suster Ursula OSA. Teman masa kecil di Lembata. Tapi beliau sedang di Kalimantan.
Dari Tumpang ke Ngadireso tidak jauh. Saya teruskan perjalanan ke pertapaan itu. Ingin nostalgia.
Mobil-mobil memenuhi halaman parkir. Banyak pelat B. Juga D. Tapi paling banyak pelat L.
Di dekat Gua Maria saya bertemu seorang lelaki muda. Dari Larantuka. Ternyata ia bagian dari rombongan Malang.
Dalam hati saya ingin bertanya: "Mau belajar bahasa roh? Atau ingin jatuh ke lantai saat didoakan?"
Tapi saya tahan. Kami malah ngobrol panjang dalam bahasa Lamaholot.
Dia menunjuk jalan ke arah gua.
Saya ke sana. Berdoa kontas. Satu peristiwa saja. Cukup. Doa sederhana orang kampung. Tanpa suara keras. Tanpa bahasa roh.
Ave Maria gratia plena...