Sabtu, 02 November 2024

Pak Tubi Pulang, Gubuk Mbok Tani di Jolotundo pun Tiada Lagi

Sudah hampir setahun saya tidak ngadem di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto. Ternyata banyak perubahan. Warung Bu Ponami di dekat sumber tutup. Muncul warung baru yang lebih modern di sebelahnya.

Pak Tubi sudah berpulang. Mbok Tani, istri Pak Tubi, pun naik ikut keponakannya di atas. Dekat pintu masuk Petirtaan Jolotundo peninggalan Prabu Airlangga yang terkenal itu.

Bagaimana dengan gubuk sekaligus warung di bawah? Ternyata sudah beralih tangan. Sudah dijual Mbok Tani ke Bu Polo, keponakan sendiri.

Warung legendaris itu, salah satu warung tertua di Jolotundo, dibongkar. Dijadikan warung atau kafe modern. Ada perangkat karaoke, WiFi, makanan minuman kelas kafe. Bukan lagi warung ndeso ala Mbok Tani.

Saya pun pangling saat mampir ke Warung Bu Polo (Ibu Kepala Desa). Benar-benar beda dengan yang pernah saya kenal selama 20-an tahun. Kecuali kamar mandinya yang masih sama.

Mbah Bambang Thelo (almarhum), pelukis senior Sidoarjo, yang membawa saya ke Mbok Tani dan Pak Tubi. Pasutri ini hidup seperti orang-orang kampung di pelosok NTT tahun 80-an dan 90-an. 

Listrik belum masuk rumah. Mbok Tani pakai lampu minyak tanah atau pelita pada malam hari. Sudah pasti tidak ada televisi. Tapi pasutri old school itu punya radio kecil untuk hiburan. Pakai baterai.

Pasutri ini juga punya pola tidur macam orang kampung tempo doeloe. Saat magrib tiba, pintu rumah sudah ditutup. Hening. Mbok Tani sembahyang layaknya muslimah tapi ada unsur kejawennya. Kadang obong dupa atau kemenyan.

Pukul 19.00 Mbok Tani dan Pak Tubi sudah tidur. Sudah pasti sebelum azan subuh sudah bangun. Pak Tubi langsung berangkat ke ladang, hutan, di kawasan pegunungan kawasan Jolotundo. Panen kemiri, nangka, mangga hutan, kadang duren.

Hasilnya dijual Mbok Tani di pasar. Biasanya Mbok Tani nunut saya saat turun. "Ketimbang bayar ojek," katanya. Ojek di sini walaupun masih keluarga tetap mahal. Gak ada yang gratis."

Semua itu tinggal kenangan. Mbok Tani makin tua dan lemah. Tidak bisa lagi ngamuk dan memarahi Pak Tubi. Tidak bisa lagi membuat sego sambel untuk saya seperti dulu.

Melisa Abang Tukang Bakso Kangen Lagu Anak ala Era 90-an

Lagu Abang Tukang Bakso dan Semut-Semut Kecil masih populer di pelosok NTT. Itu yang saya amati saat mudik ke Lembata Island beberapa waktu lalu.

Di Jawa Timur lagu anak lawas itu sudah lama hilang. Cuma sesekali saja disenandungkan ART atau babysitter untuk menghibur anak majikan.

Saya jadi ingat Melisa Trisnadi. Dialah yang populerkan dua lagu tersebut. Melisa putri bos Gajah Mada Record. Kebetulan lagu anak-anak lagi disukai pada era 90-an. Melisa diminta nyanyi apa adanya. Polos-polos saja khas anak. Tidak perlu teknik vokal yang ribet.

Lagu itu meledak. Kaset Melisa laku keras. "Gak nyangka kalau booming. Seneng banget denger lagu Semut-Semut Kecil dan Abang Tukang Bakso dinyanyikan di mana-mana," katanya.

Setelah remaja, kemudian dewasa, Melisa tidak melanjutkan karir sebagai penyanyi meski punya label rekaman ayahnya. Dia memilih usaha dagang alias bisnis. Menyanyi hanya hobi di kala senggang.

"Boleh dibilang sudah 30 tahunan saya tidak menyanyi (di depan khalayak)," katanya belum lama ini.

Melisa juga tidak aktif di media sosial. Tidak muncul di YouTube atau podcast. Malah ada gosip bahwa Melisa sudah meninggal karena kesetrum. "Aku sih biasa aja," katanya.

Di era digital industri musik sudah berubah total. Label-label macam Gajah Mada tidak bisa lagi mencetak kaset jutaan kopi seperti dulu. Lagu anak macam Semut-Semut Kecil atau Abang Tukang Bakso pun tak ada lagi.

Anak-anak sekarang malah lebih senang menyanyi lagu-lagu dewasa. Pejabat-pejabat malah senang dan menikmati. Farel dari Banyuwangi bahkan diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara untuk membawakan lagu dangdut koplo berbahasa Jawa: Ojo Dibanding-bandingke.

Melisa prihatin dengan hilangnya lagu anak-anak di tanah air. Dia lagi cari konsep untuk mempopulerkan lagu anak yang syair dan musiknya benar-benar sesuai dengan usia anak. 

"Tidak mudah karena eranya sudah berbeda," kata Melisa.

Ojo dibanding-bandingke karo jaman biyen Melisa sek cilik!

Jumat, 01 November 2024

Satu Abad Gedung Soverdi di Surabaya, Tinggalan Bruder CSA, Sekarang Milik Pater SVD

Gedung Soverdi di Jalan Polisi Istimewa 9, Surabaya, akan menjalani proses renovasi untuk menyambut usianya yang ke-100 pada 2025. Bangunan bersejarah ini, yang berdiri sejak 1925 dan dirancang oleh arsitek terkenal Hulswit, Fermont & Ad. Cuypers, telah menjadi jujukan mahasiswa dan komunitas pencinta sejarah di Surabaya yang mengagumi arsitekturnya yang klasik dan kokoh.

Gedung Soverdi awalnya milik Bruder CSA (Congregatio Sancti Aloysii), kongregasi yang mengelola SMAK St. Louis, sekolah menengah yang cukup terkenal di Surabaya.

Pada 1975, gedung ini diserahkan Bruder CSA kepada imam-imam SVD, yang sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak itu, gedung ini menjadi tempat tinggal bagi para pastor kongregasi SVD hingga kini.

Pater-pater Soverdi yang kini menempati gedung ini, di bawah koordinasi Pater Fritz Edomeko SVD sebagai ketua panitia, tengah berupaya mengumpulkan dana renovasi, yang diperkirakan memerlukan biaya besar. 

"Karena gedung Soverdi telah masuk dalam kategori cagar budaya, kami hanya bisa melakukan perbaikan di bagian dalam bangunan tanpa mengubah bentuk asli, terutama di sisi luar," ujar Pater Fritz.

Renovasi ini ditujukan untuk memperbaiki bagian dalam gedung yang kondisinya sudah banyak yang rusak. Panitia mengajak masyarakat luas untuk ikut serta memberikan donasi guna mendukung proses renovasi ini. 

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 258-5080975 atas nama Kongregasi Serikat Sabda Allah.

Salah satu pengunjung, Ratri Saraswati, mengungkapkan kesan saat mengunjungi Soverdi. Anggota komunitas tempo doeloe itu menulis:

"Bangunannya kokoh dan memiliki suasana tenang. Saya merasa betah, cocok untuk healing. Kami disambut ramah oleh Romo Soni Keraf yang mengantar kami berkeliling melihat sudut-sudut gedung, hingga ke dapur tempat para suster sedang memasak," ujarnya.

Rencananya, renovasi gedung Soverdi ini akan diselesaikan dalam beberapa tahun mendatang, seiring dengan upaya penghimpunan dana yang tengah berlangsung.

Selasa, 29 Oktober 2024

Pater Ben Udjan SVD: Berkebun di Usia Senja dengan Semangat yang Tak Pernah Padam


Pater Ben Udjan SVD, seorang imam yang dikenal aktif berkebun di usia senjanya, tetap menunjukkan semangat hidup yang menginspirasi meski sudah berusia 86 tahun.

 Beliau adalah pastor yang merintis berdirinya Paroki Ksatrian Malang, satu-satunya paroki yang digembalakan oleh imam-imam SVD di Keuskupan Malang.

Baru-baru ini, Pater Fritz Meko SVD, junior Pater Ben, mengunjungi beliau di Kalimantan. Dalam catatannya, Pater Fritz menggambarkan momen ketika Pater Ben tengah menyiram tanaman-tanaman seperti pohon jeruk dan berbagai sayuran.

 "Bekerja adalah merawat semangat kemanusiaan yang secara natural, tidak akan kendor hanya karena kerapuhan fisik," ungkap Pater Ben saat ditanya tentang semangat kerjanya yang tak kunjung pudar.

Lahir di Lembata NTT pada 1 Agustus 1938, Pater Ben ditahbiskan sebagai imam pada 9 Juli 1970. Kariernya mencakup pelayanan di Larantuka (1970-1974), Sorong (1974-1982).

Setelah itu bertugas di Malang (1982-1990), Bekasi-Jakarta (1990-1994), dan Katingan-Kalimantan Tengah (1994-2023). Kini, beliau tinggal di Pangkaraya dan menikmati masa senja hidupnya.

Pater Ben bukan hanya seorang imam, tetapi juga seorang seniman yang berbakat dalam seni lukis dan pematung. Gaya komunikasinya yang indah dan menarik membuat setiap percakapan menjadi bermakna. 

Pater Fritz mencatat, "Saya tersentak oleh jawaban filosofis Pater Ben yang mendalam. Semua orang akan menjadi tua, namun pemaknaan akan usia tua menentukan disposisi batin dalam menerima masa tua: sebagai rahmat atau petaka."

Dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, Pater Ben Udjan SVD membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus berkarya dan memberi inspirasi bagi orang lain.

Minggu, 27 Oktober 2024

Pedagang Sembako Madura Sepakat Atur Jarak Toko untuk Kurangi Persaingan Tidak Sehat

Para pedagang sembako Madura di wilayah Mojokerto Raya kini menerapkan aturan jarak antara toko untuk menghindari persaingan tidak sehat. 

Dalam kesepakatan yang dikoordinasikan oleh Paguyuban Pedagang Sembako Madura Mojokerto, setiap toko atau warung sembako Madura yang berada di wilayah kota harus berjarak minimal 400 meter, sedangkan untuk area kabupaten, jarak minimalnya ditetapkan 500 meter.

Kesepakatan ini juga mewajibkan semua pedagang sembako Madura yang beroperasi di Mojokerto untuk bergabung dengan paguyuban tersebut. 

"Kalau jaraknya diatur, persaingan bisa lebih sehat. Bayangkan kalau jarak toko cuma 100 meter atau 50 meter, pasti akan saling berebut pelanggan," ujar Ahmad, warga Madura di Mojosari. 

Ahmad menambahkan bahwa peraturan ini dibuat demi kebaikan bersama agar pedagang dapat saling mendukung.

Warung-warung sembako Madura terkenal di Mojokerto karena biasanya buka 24 jam, sehingga menjadi jujukan masyarakat untuk kebutuhan sembako mendesak kapan saja. Kesepakatan jarak ini diharapkan bisa menjaga ikatan solidaritas dan mencegah konflik antar sesama pedagang.

Ketua Paguyuban Pedagang Sembako Madura Mojokerto menyebutkan bahwa aturan ini sudah berlaku sejak 19 Mei 2024 dan akan diawasi secara ketat. Warung yang melanggar ketentuan jarak akan diberikan teguran dan, jika tidak mengindahkan, dapat dikenai sanksi hingga diminta menutup usahanya.

Transformasi Bangunan Gereja Mangkrak Menjadi SMA Katolik Untung Suropati Krian


Pada tahun 1993, sebuah rencana ambisius dimulai di Krian, Sidoarjo. Sebuah gereja direncanakan dibangun untuk melayani sekitar 1.000 jiwa umat Katolik di wilayah Krian, Kedamaian, Tarik, dan Mojosari. 

Namun, apa yang dimulai dengan harapan, berubah menjadi sebuah cerita yang panjang dan penuh tantangan.

Setelah semua prosedur perizinan dilalui, pembangunan gereja ini terhenti pada 7 Juni 1994, ketika sekelompok orang menghentikan proses tersebut. Berbagai upaya sudah dilakukan tapi kandas. 

Uskup Surabaya Msgr. Johanes Hadiwikarta (saat itu) memutuskan agar proses pembangunan gereja dihentikan. Suasana tidak kondusif. Kalau dipaksakan bakal berdampak buruk dan merugikan umat Katolik di Stasi Krian.

 Sejak saat itu, bangunan tersebut dikenal sebagai "Gereja Santo Mangkraksius" di kalangan umat Katolik di Krian dan Sidoarjo.

Selama 27 tahun, bangunan ini mangkrak dan menjadi simbol kegagalan, bahkan menjadi objek uji nyali dan konten hantu-hantuan di media sosial, seperti yang diungkapkan oleh Anton, seorang warga Krian.

Banyak warga Sidoarjo, bahkan umat Katolik, tidak mengetahui alasan di balik mangkraknya gedung ini. Khususnya generasi muda yang lahir setelah peristiwa unjuk rasa dan perusakan di tahun 90-an, banyak yang tidak memiliki pemahaman tentang sejarah pahit ini.

Keuskupan Surabaya pun akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pembangunan gereja di lokasi tersebut. Sebab tidak ada jaminan bahwa gangguan dari oknum seperti di masa lalu tidak akan terulang. 

Dalam kondisi ini, Uskup Surabaya, Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono (RIP), mengambil langkah berani dengan mengubah peruntukan lahan tersebut menjadi sekolah. Ini disampaikan Bapa Uskup saat meresmikan Stasi Krian menjadi Paroki Krian.

Pada 15 November 2021, proses pembongkaran bangunan mangkrak dimulai dan ditargetkan selesai pada 30 November 2021. Lahan yang sebelumnya menjadi tempat kekhawatiran kini akan dialihfungsikan menjadi gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian. 

Sekolah ini telah lama menumpang di gedung SMP, dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memiliki gedung sendiri. Transformasi ini bukan hanya sekadar pengalihan fungsi bangunan, tetapi juga simbol harapan baru bagi umat Katolik di Krian dan sekitarnya. 

SMA Katolik Untung Suropati Krian diharapkan dapat menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dan mendukung pengembangan karakter generasi muda, menjadikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.

Gedung SMA Katolik Untung Suropati Krian akhirnya diresmikan pada Sabtu, 6 Mei 2023. Suasana haru dan syukur kepada Allah terpancar dari wajah pengurus yayasan, para guru, serta siswa SMA Katolik Untung Suropati Krian yang kini memiliki gedung sendiri.

Seorang guru yang sudah mengabdi selama lebih dari satu dekade di SMA Katolik Untung Suropati Krian mengungkapkan rasa syukurnya. "Puji Tuhan, akhirnya kami bisa memiliki gedung sekolah sendiri setelah nebeng di SMPK selama puluhan tahun," ujarnya dengan penuh haru.

 Para siswa pun tampak antusias menyambut fasilitas baru yang jauh lebih memadai dibandingkan gedung sebelumnya.

Dengan fasilitas yang lebih lengkap, SMA Katolik Untung Suropati kini dapat mewujudkan visi pendidikan yang lebih optimal. Sekolah ini berkomitmen untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga membina karakter serta nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. 

Penyanyi Tunanetra Martin Kurman: Suara dari Lamaholot yang Menginspirasi


Martin Kurman, penyanyi tunanetra yang berasal dari Adonara, Flores Timur, telah menjadi suara ikonik yang menggugah masyarakat, baik di dalam maupun di luar Nusa Tenggara Timur. 

Dengan kemampuan vokalnya yang luar biasa, Martin mempopulerkan lagu-lagu berbahasa Lamaholot yang sarat makna. Salah satunya "Koda Kenirin," ciptaan Vinsen Ileratu. Lagu ini mengisahkan tentang kekuatan Alam Semesta yang ada sejak sebelum banjir besar melanda bumi.

Martin menyampaikan pesan mendalam tentang penciptaan surga dan bumi, serta pentingnya merawat nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Lagu ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Lamaholot untuk menjaga sistem nilai dan tradisi mereka. Seperti yang terungkap dalam syairnya:

"Buta bete, walan mara hala wati  
Ama… mo molo tawan kae  
Tana tawan ekan gere di wa ulin  
Bapa.. mo wahrin gere kae"

Lirik ini menyiratkan hubungan spiritual antara manusia dan pencipta, menggugah rasa syukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya. Martin menambahkan nuansa emosional yang kuat, membuat pendengarnya merasakan kedalaman makna dari setiap kata.

Lagu Ina Maria, devosi kepada Bunda Maria dalam bahasa Lamaholot, terasa syahdu saat dibawakan oleh Martin Kurman. Suasana terasa sedih bak ratapan orang tak berdaya yang meminta bantuan Sang Bunda.

"Louke loranga denga lagu-lagu Ade Martin," kata Tuto Goe, warga Lembata yang sangat menggemari lagu-lagu Martin Kurman di YouTube.

Selain lagu-lagu rohani, Martin juga dikenal dengan lagu-lagu ceria untuk menghibur penonton. Biasanya lagu-lagu dangdut lawas dimodifikasi dan dibawakan dengan gaya khas Martin.

 Di konser-konsernya, Martin tidak hanya menyuguhkan suara yang menyentuh, tetapi juga membawa kebahagiaan. Ia mampu membangkitkan tawa dan kegembiraan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Salah satu lagu yang paling terkenal, "Gampang Hala," mengadopsi irama tarian Sole Oha yang menjadi tradisi di kalangan etnis Lamaholot. Lagu ini sering dinyanyikan dalam tarian massal yang dilakukan oleh warga Lamaholot, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 

"Talenta yang Tuhan berikan untuk Martin Kurman benar-benar luar biasa," kata Bunga Muda, seorang penggemar yang tinggal di Surabaya. "Dia adalah salah satu seniman Lamaholot paling berbakat yang pernah saya lihat."

Dengan setiap penampilannya, Martin Kurman tidak hanya membawa musik, tetapi juga kebanggaan akan identitas Lamaholot. Suaranya terus menginspirasi banyak orang, mengajak kita semua untuk merayakan dan menjaga warisan budaya yang kaya ini.