Kamis, 16 Mei 2024

Lihat Syutingnya di Surabaya lalu Dapat Undangan Nonton Film Possession (Kerasukan), Cerita Rumit dan Horor


Sudah lima atau enam tahun saya tidak nonton film di bioskop. Bukan karena covid tapi memang tak minat lagi. 

Padahal dulu saat SMA di Malang biasanya nonton 2 kali seminggu di bioskop kelas bawah macam Mutiara di dekat stasiun, Merdeka dekat Gereja Katolik Kayutangan (parokiku), atau Dulek alias Kelud gerimis bubar (misbar).


Rabu malam, 15 Mei 2024, akhirnya nonton lagi di Delta XXI Surabaya. Film Possession atawa Kerasukan.

Nonton karena ada undangan khusus dari produsernya. Sebuah penghargaan karena sedikit banyak saya dan kawan-kawan ikut menemani para kru dan pemain saat syuting di Surabaya awal tahun 2023 lalu.

Bahkan, artis-artis didandani, ganti pakaian, makan minum dsb dilakukan di kantor tempat kerja saya di kawasan Kembang Jepun, Surabaya. Gedung tua eks Belanda disulap jadi Nite Club tempat si Faris (Darius Sinathrya) ngamuk sama Wahyu karena dicurigai ada main dengan Ratna istrinya.

Lokasi syuting film garapan sutradara Razka Robby Ertanto ini sekitar 60 persen di Surabaya. Mulai dari Kembang Jepun, Kalimalang, Gemblongan, Jembatan Merah, Balai Pemuda hingga Pangkalan Armada 2 TNI AL. 

Gara-gara ikut mendampingi sutradara, produser, pemain, kru bus, properti dsb, saya jadi paham betapa rumitnya proses produksi film. Betapa mahalnya bikin film yang bagus.

Saya pun bisa ngobrol santai dengan aktor dan aktris macam Darius Sinathrya, Carissa Perusset, Sara Fajira, Arswendy Beningswara, Nugie.

Saya tidak pernah membayangkan syuting yang panjang di Surabaya dengan fokus di bangunan-bangunan tua bakal jadi film seperti ini. Jadi horor, aneh, menegangkan selama 90 menit. 

Nonton film ini nyaris tak ada guyonnya sama sekali. Yang agak menggelitik si Faris yang baru pulang tugas selama 3 bulan terpaksa onani karena Ratna menolak "melayani" suami karena datang bulan dan alasan lain yang jadi benang merah film ini.

Rabu, 15 Mei 2024

Pelukis Jansen Jasien Berpulang, Jelajah Jagat Abadi Bersama Leluhur

Subuh ini (15/5/2024) aku buka medsos. Biasanya dapat cerita lucu atau lagu-lagu liturgi khas NTT. Tapi malah dapat kabar duka. Mas JJ Jansen Jasien  berpulang.

Seakan tak percaya. Mas JJ pergi secepat ini. Bulan lalu usianya gebap 50 tahun.

Terakhir aku nyambangi JJ saat pameran tunggal di Gedung PWI Jawa Timur, Jalan Taman Apsari, Surabaya, 10 Maret 2024.

Pagi itu aku nggowes sepeda pancal ke Balai Wartawan. Aku sambangi JJ. Hanya kami berdua di situ. Masih ada sisa kopi di gelas khas arena pameran lukisan.

JJ memang menunggui lukisan-lukisannya tentang Kerajaan Majapahit, Singosari, dan sejenisnya.

 Ngobrol lamaaa sekali. Lebih tepatnya aku cuma mancing, lalu Mas JJhiahaha kasih kuliah tentang Ken Arok, Gajah Mada, Hayam Wuruk... hingga Terung Wetan di Krian.

Aku memotret JJ beberapa kali. Salah satu adegan adalah mengirim doa kepada para leluhur. JJ langsung praktik kirim doa, asap dupa, kembang setaman dab sebagainya.

"Kita semua akan kembali ke sana. Bertemu dengan leluhur," katanya dalam bahasa Jawa halus.

Muhammad Yasin - nama asli JJ - memang selalu berbahasa krama inggil dengan siapa pun. Termasuk dengan saya yang bukan Jowo. 

Selamat jalan, Mas JJ πŸ™πŸΌπŸ™πŸΌ
Selamat bahagia di sana πŸ™πŸΌπŸ™πŸΌ
Selamat jelajah jagat abadi πŸ™πŸΌπŸ™πŸΌ

Minggu, 12 Mei 2024

Surabaya dan Malang Sudah Jadi Kota Besar Sejak Zaman Hindia Belanda, Berikut 10 Kota dengan Populasi Eropa Terbanyak Tahun 1930

Banyak anggota kelompok gedung tua seakan heran dengan banyaknya bangunan peninggalan Belanda di Surabaya. Minggu pagi ini (12/5) Ben Malkan menulis komentar:

"Banyak jg ya Orang Europe (Belanda) yg menetap di Surabaya klu menilik dr bangunan2 yg ditinggalkannya."

Anggota dari Jogja ini rupanya kurang pengetahuan tentang perkembangan kota-kota dan persebaran penduduk pada masa Hindia Belanda. Soerabaia - atau Soerabaja, kemudian ganti ejaan jadi Surabaja dan Surabaya - sejak dulu memang sudah jadi kota besar di Nusantara. Beda tipis dengan Batavia - sekarang Jakarta.

Soerabaia adalah kota dagang utama Hindia Belanda karena ada pelabuhan di Kalimas dan Tanjung Perak. Batavia juga punya pelabuhan. Karena itu, wajarlah kalau populasi orang Belanda (Eropa) di Soerabaia sangat banyak. Sedikit di bawah Batavia.

Populasi Bangsa Eropa (Belanda) di Hindia Belanda Tahun 1930

1. Batavia        37.278 
2. Soerabaia   26.463
3. Bandoeng   19.664
4. Semarang   12.577
5. Malang         7.530
6. Djokja          5.604
7. Buitenzorg   5.239
8. Medan           4.292
9. Magelang    4.189
10. Makassar   3.600

Malang sangat menarik. Meski bukan ibu kota provinsi, kota dingin ini sejak zaman Belanda sudah jadi kota besar kelima di Hindia Belanda. Bangsa Belanda ada 7.530 jiwa di Malang. Jauh lebih banyak ketimbang Jogjakarta atau Medan atau Makassar.

Maka, pantaslah kalau di Malang ada begitu banyak gedung peninggalan Hindia Belanda yang masih bertahan hingga kini. 

Buitenzorg alias Bogor mirip Malang di Batavia. Sama-sama kota sejuk. Sama-sama dijadikan tempat tinggal dan istirahat bagi orang Belanda untuk melepas penat setelah bekerja keras di Batavia.

Sabtu, 11 Mei 2024

Benarkah Misa Dolo-Dolo Dilarang Dinyanyikan di Gereja? Begini Penjelasan Direktur PML Pastor Karl Edmund Prier SJ

Sudah lama saya tidak mendengar misa dolo-dolo dinyanyikan saat misa di gereja-gereja katolik di Jawa Timur. Misa senja, misa syukur juga tidak terdengar lagi. Mungkin sudah lima atau enam tahun ini.

Bisa jadi karena selera umat di Jawa Timur berubah. Kor-kor sekarang saya amati lebih suka lagu-lagu ordinarium misa yang panjang + lengkap ala Gregorian. 

Misa Kita IV paling populer di Jawa Timur meski komposisinya paling sulit ketimbang misa-misa lain di buju Puji Syukur. Dari 10 kali misa yang saya hadiri di Surabaya, Malang, Pandaan, atau Mojokerto mungkin 9 kali pakai Misa Kita IV ciptaan Romo Antonius Sutanta SJ (+).

Padahal, dulu lagu-lagu misa gaya Flores sangat populer di seluruh Indonesia. Lagunya gampang, pendek, enak, mudah diikuti siapa saja tanpa perlu menguasai notasi. Dolo-dolo ini jelas lagu hafalan tanpa teks atau partitur di Flores Timur dan Lembata.

Saya baru ngeh setelah membaca obrolan di grup liturgi media sosial beberapa bulan lalu. Ada topik tentang Misa Dolo-Dolo dilarang dibawakan dalam perayaan ekaristi karena teks atau syairnya tidak sesuai dengan TPE: tata perayaan ekaristi.

Saya cek akun Pusat Musik Liturgi (PML) Jogjakarta. Sebab, PML yang menerbitkan buku Madah Bakti yang isinya sangat dominan lagu-lagu inkulturasi. Berkat jasa PML pula lagu misa dolo-dolo dan misa gaya daerah lain sangat populer di Indonesia.

Madah Bakti kemudian diganti buku Puji Syukur pada tahun 1990-an. Sejak itu lagu-lagu liturgi inkulturasi mulai berkurang. Semua lagu inkulturasi ciptaan Paul Widyawan (+), dedengkot PML dihilangkan. Tapi misa dolo-dolo masih ada di Puji Syukur Nomor 357, 358, 395, 416.

Kalau memang ada di Puji Syukur sejak 1990-an, mengapa misa dolo-dolo dilarang? Kawan-kawan yang aktif di paduan suara, dirigen lingkungan, wilayah atau kategorial pasti lebih tahu informasi terbaru. Saya hanya umat awam.

Direktur PML Pastor Karl Edmund Prier SJ tak lama sebelum meninggal dunia sempat meluruskan isu pelarangan misa dolo-dolo ini. Sebagai penerbit Madah Bakti, komponis, mahaguru, pakar musik liturgi kelas dunia, Romo Prier menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan misa dolo-dolo.

Pastor asal Swiss ini menunjuk buku nyanyian liturgi di Jerman sebagai perbandingan. Syair-syairnya tidak semua mengikuti TPE tapi lebih sederhana ala dolo-dolo. Dan sampai sekarang tidak masalah di Jerman.

Romo Prier bahkan menyebut lagu misa dolo-dolo sebagai lagu yang enak dan sangat mengumat karena berisi dialog antara solis, umat, imam. Dialog seperti ini penting dalam liturgi.

Karena itu, Romo Prier tidak setuju kalau misa dolo-dolo dilarang dibawakan di seluruh Indonesia. Semua keuskupan punya otonomi dan otoritas untuk menentukan lagu-lagu liturgi di wilayahnya masing-masing.

Dus, tidak harus mengikuti Komisi Liturgi KWI di Jakarta. "Jangan membuat umat bingung," kata Romo Prier yang sepanjang hayatnya fokus menggeluti musik liturgi, khususnya inkulturasi.

Sabtu pagi, 11 Mei 2024, masih ada pertanyaan dan diskusi soal misa dolo-dolo dan puji syukur. Apakah benar sudah dilarang dibawakan di gereja-gereja?

Yos Dato, praktisi liturgi dari Timor, NTT, menulis begini:

"Benar sekali (misa dolo-dolo dan misa syujur dilarang). Lagu Ordinarium adalah salah satu bagian penting dalam liturgi Gereja Katolik khususnya, dan penempatan lagu Ordinarium searah dengan tuntutan liturgi Katolik. 

Mari kita melihat kembali bahwa liturgi adalah hal yang penting dan oleh karenanya umat butuh keheningan batin, dan liturgi itu harus khusuk. Untuk lagu Ordinarium dalam anjuran PUMR, SC, dan MS.  

Dijelaskan bahwa lagunya tidak panjang, teksnya harus berdasarkan anjuran TPE dan tidak bersifat solo.  Oleh karenanya, keempat lagu tersebut wajib menggunakan lagu Ordinarium berdasarkan anjuran dokumen resmi Gereja.

 Mengenai lagu misa dolo-dolo kita harus lihat syairnya apakah sejalan dengan TPE atau tidak.  Apakah ketika kita buat perbandingan ada perbedaan tidak? 

Nah, ketika dibedah dua lagu antara dolo-dolo dan misa senja seperti yang saya katakan bahwa syairnya tidak sesuai dengan anjuran tata musik liturgi yang benar. Oleh karenanya, lagu-lagu ordinarium yang bersifat solo saat ini dihentikan bahkan ditidakan.  

Kembali lagi bahwa lagu tersebut juga masih berbau profan walaupun enak didengar dan mudah diikuti oleh umat. Karena saking enaknya maka musik pun layaknya pesta. 

Liturgi resmi gereja KWI saat ini sedang melakukan berbagai sosialisasi di gereja-gereja lokal karena umat saat ini lebih euforia ke hal-hal yang berbau profan dibandingkan dengan musik suci."

Mudah-mudahan umat Katolik tidak bingung. Khususnya jemaat di Flores Timur dan Lembata yang menjadi daerah asal lagu dan tarian dolo-dolo. 

Prabowo Muda Sering Dikejar-kejar Gadis-Gadis di London, Mengapa Bowo malah Membentak Cewek-Cewek Bule?

Kriiiiingng....
"Can I speak with Bowo, please?"
"Who speaking here?"
"Jane."

Demikianlah telepon di rumah keluarga Dr Sumitro di London setiap saat berdering. Kebanyakan telepon-telepon itu berasal dari gadis-gadis Inggris cilik yang ingin bicara dengan Bowo - nama lengkapnya Prabowo Subianto.

Anak ketiga Dr Sumitro sering dikejar oleh gadis-gadis cilik karena parasnya yang cakep. Kali ini Jane yang ingin bicara. Lima menit kemudian Margareth. Lain kali lagi Rose.

Akan tetapi gadis-gadis cilik ini kerap kali juga dibuat kecewa karena Bowo yang baru berusia 15 tahun dan belum suka cewek-cewekan sering kali membentak mereka agar jangan mengganggunya di rumah.

"I've told you many times not to call me at home!"

Bowo sudah beberapa tahun menetap di London bersama ibunya Ny Dora Sumitro, kakaknya Maryani Ekowati, dan adiknya Hasyim Suyono. 

Kakaknya yang sulung Biantiningsih yang berusia 19 tahun telah setahun lebih meninggalkan mereka untuk belajar sebagai mahasiswi tingkat II pada Universitas Wisconsin, Amerika Serikat. Sedangkan ayahnya Prof Dr Sumitro dalam enam bulan kadang-kadang hanya satu minggu tinggal bersama mereka.

Di sini nampaklah betapa beratnya kehidupan Ibu Dora Sumitro, seorang wanita Manado, sebagai seorang ibu dari 4 orang anak yang selalu harus berpisah dengan suaminya di tempat asing.

Problem-problem rumah tangga kerap kali harus dipecahkannya seorang diri. Salah satu problem misalnya Hasyim yang ketika meninggalkan Indonesia baru berusia tiga tahun kini sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia.

Akan tetapi, untunglah bahwa anak-anak tersebut dalam bidang pendidikan tidak banyak menimbulkan kesulitan bagi ibunya. Mereka semuanya pada umumnya mewarisi kepandaian ayahnya. 

Terutama Bowo sangat menonjol sekali kecerdasannya di sekolah, sehingga ia meloncat satu kelas dan kini duduk bersama dengan kakaknya, Maryani, di kelas dari sebuah sekolah menengah di London. Menurut rencana, keluarga Sumitro akan kembali ke tanah air setelah kedua anak ini lulus.

Kehidupan di London ini jauh lebih bahagia jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Pada saat permulaan hidup pengembaraan mereka, sekitar tahun 1957-1958, mereka jauh lebih banyak mengalami kesengsaraan.

Ketika meninggalkan Indonesia pada 10 Mei 1957 mereka mengungsi ke Singapura. Di sini mereka tidak tinggal lama karena kemudian Dr Sumitro kembali ke Manado untuk mondar-mandir ke di daerah-daerah, khususnya di Padang dan Palembang.

Tahun 1958 mereka untuk kedua kalinya meninggalkan tanah air untuk mengembara di Singapura, Kuala Lumpur, Zurich, dan akhirnya London. 

Di Singapura dan Kuala Lumpur mereka hanya tinggal kira-kira 1,5 tahun karena kehadiran mereka tidak dikehendaki oleh pemerintah negara-negara tersebut. Demikian pula di Zurich permintaan perpanjangan izin mereka tidak dikabulkan.

Sementara itu, Dr Sumitro sendiri mondar-mandir dari satu negara ke negara lain dan hanya kadang-kadang saja singgah ke rumah mengunjungi anak istrinya. 

Di Bangkok, Singapura, dan Kuala Lumpur Dr Sumitro sering tinggal karena di tempat-tempat itu ia membuka kantor penasihat ekonomi yang diberi nama Economic Consultant for South Asia sekadar untuk mencari nafkah bagi hidupnya.

(Kutipan dari Threes Nio, Kompas, 11 Juli 1967)

Jumat, 10 Mei 2024

Pendeta Gunawan Gagal di Pileg, Coba Maju Pilwali lewat Jalur Independen, Syarat Terlalu Berat, Waktunya Sangat Mepet

Gunawan ini pendeta + politikus di Surabaya. Dulu lebih berat pendetanya, makin ke sini makin politis. Kalau dulu biasa kutip ayat-ayat Alkitab, sekarang sudah fasih bicara ayat-ayat Surya Paloh, Grace Natalie, Harry Tanoe, Angela Tanoe, dan sejenisnya.

Ambisi Gunawan masuk jalur politik katanya demi memperjuangkan kepentingan masyarakat Surabaya. Tak pandang suku, agama, etnis, dsb. Karena itu, dia biasa bergaul dengan santri-santri keturuna n Madura di Surabaya.

Lelaki Tionghoa Surabaya ini awalnya pentolan PSI Surabaya. Partai baru yang getol menyuarakan suara kaum muda milenial dengan isu-isu menarik. PSI yang belum diambil alih Kaesang Jokowi.

Tak puas di PSI, Gunawan pindah ke Nasdem. Partainya Surya Paloh ini mengusung tema restorasi Indonesia. Apanya yang direstorasi? Semuanya, kata Gunawan dulu ketika jadi kader Nasdem.

Pendeta Gunawan blusukan ke mana-mana untuk kampanye pileg. Mengusung tema restorasi dsb. Tapi gagal terpilih jadi wakil rakyat.

Tiba-tiba Gunawan bikin kejutan. Maju sebagai calon wakil wali kota Surabaya dari jalur independen. Calon wali kotanya Moh Yasin keturunan Madura. Paslon independen Madura-Tionghoa ini nyaris lolos pertandingan Pilwali Surabaya 2020.

Setelah diverifikasi ulang, paslon Yasin-Gunawan ternyata kurang syarat dan ketentuan. Dinyatakan TMS: tidak memenuhi syarat.

Saya pikir Gunawan kapok main politik dan kembali fokus mengurus domba-domba di gereja. Susah juga kalau gembalanya terlalu sibuk di politik. Domba-domba bisa keleleran + kelaparan.

Eh, tiba-tiba muncul baliho Gunawan di mana-mana. Gambarnya disandingkan dengan Angela anaknya Harry Tanoe. Rupanya Gunawan sudah pindah ke Perindo, partainy Harry Tanoe.

Kali ini pun gagal. Perindo tidak lolos ke parlemen. Tapi Gunawan tidak patah semangat. Energinya untuk restorasi lewat jalan politik masih meluap-luap. Kalau cuma khotbah di gereja efeknya tidak ada. Apalagi Gunawan bukan pendeta kelas kakap macam Stephen Tong atau Alex Abraham Tanuseputra (+) bapaknya Bethany.

Dua hari lalu, saya dapat pesan elektronik dari Pendeta Gunawan. "Saya lagi di KPU Surabaya terkait calon independen wali kota," katanya.

Haleluya! 

Rupanya Gunawan ingin maju lagi sebagai calon perseorangan di Pilwali Surabaya 2024. Sebab hampir semua partai di Surabaya merapat ke paslon petahana Eri Cahyadi dan Armuji dari PDI Perjuangan. 

Bukan tidak mungkin Eri-Armuji tidak punya lawan di pilwali 27 November 2024. Ini tidak sehat. Demokrasi perlu kompetisi. Lucu kalau pemilihan wali kota hanya diikuti satu paslon vs kotak kosong.

Bagaimana hasil konsultasi di KPU Surabaya?

 Gunawan: "Menurut pandanganku, Pilkada khususnya Pilwali Surabaya 2024 ini "tidak bersahabat" dengan calon dari perserorangan.

Tanpa adanya beifing kepada bakal kontestan perseorangan. KPU RI mengumumkan bahwa 12 Mei 2024 akan menjadi batas waktu penyerahan surat dukungan. Bilamana bakal kontestan masih belum jelas, bisa bertanya kepada Help Desk KPU setempat yang dibuka mulai 5-8 Mei."

 Gunawan: Tanggal 5 Mei (Minggu) saya sempat datang ke KPU Surabaya tapi tutup.  Barulah pada hari Senin saya melihat IG KPU Surabaya tentang berita batas waktu penyerahan surat dukungan tersebut.

 Dalam berita yang disampaikan melalui IG KPU Surabaya tersebut tidak ada penjelasan mengenai aturan main seperti:

1. Bagaimana mendapatkan akun Silon untuk meng-upload surat dukungan?

2. Berapa jenis surat dukungan yang digunakan?

3. Apakah tidak ada kesempatan perbaikan?

4. Apakah tetap berlaku penalti seperti saat 2020 lalu?"

Gunawan kembali mendatangi KPU Surabaya di Jalan Adityawarman. Intinya, batas waktu penyerahan  12 Mei  (Minggu)

"PASTI TIDAK NUTUT," tulis Gunawan dalam huruf kapital semua.

Verifikasi administrasi (VerMin) dan verifikasi faktual (VerFak) surat dukungan di bawah Sarminduk 144.209 secara otomatis GUGUR. 

"Tentu ini SANGAT BERAT bagi bakal kontestan," kata Gunawan.

Sangat berat, tapi tidak ada yang mustahil bagi Allah, kata Alkitab.

Hotel Tanjung Surabaya Tinggal Kenangan, Dijual setelah Kalah Bersaing di Era Milenial

Semalam Ama duduk di depan Hotel Tanjung, Jalan Panglima Sudirman 43-45 Surabaya sambil menunggu nobar pertandingan Indonesia U-23 vs Guinea di samping belakangnya. Ngeri-ngeri sedap suasananya. Suwung.

Salah satu hotel tua di tengah Kota Surabaya itu kosong melompong. Jadi bangunan mangkrak. Ada beberapa banner besar: DIJUAL. Rupanya belum laku meski sudah lama Hotel Tanjung ditutup dan ditawarkan kepada khalayak di media sosial dan banner besar.

Ama lalu coba hubungi nomor yang tertera di spanduk itu. Mbak Susi sang agen  properti membenarkan bahwa tanah dan bangunan eks Hotel Tanjung memang dijual. Siapa berminat?

Susi menulis pesan pendek di WA:

"Luas 2170m (40x52) l. Dua Sertifikat (1755m HGb sd 2036 dan 415 m SHM).  55 kamar kosongan."

Berapa yang diminta? "Harga 60 juta per meter," kata Susi.

Apakah sudah ada yang berminat?
"Iya, ada beberapa perusahaan minat dan msh dlm proses pengajuan."

Wawancara atau lebih tepat obrolan pendek itu selesai. Sebab laga krusial timnas Indonesia vs Guinea segera dimulai. Informasi dari Susi sangat penting meski hanya sekilas.

Hotel Tanjung termasuk salah satu hotel tua di Surabaya. Tempo doeloe atawa zaman Hindia Belanda sudah ada ini hotel dengan nama Pension Palmenlaan.

Doeloe (ejaan lama sebelum kemerdekaaan) banyak sekali hotel di Surabaya yang pakai nama pension. Pension Embong Tandjoeng, Pension Embong Woengoe, Pension Splendid, Pension Klopper, Pension Laarman, Pension Huize Wolf dsb dsb.

Pension ini tidak ada hubungan dengan pensiun atau pensiunan. Mbah Gugel menulis:

"A pension hotel is usually not a boarding house, but is a real hotel. A pension hotel provides rooms with no or few amenities. They usually have private bathrooms with showers. A pension hotel usually has a window air conditioning unit, but the hallways and other areas of the hotel are usually cooled only by fans."

Kembali ke Pension Palmenlaan di Jalan Palmenlaan (sekarang Jalan Panglima Sudirman). Bangunan lama pada zaman Belanda dibongkar lalu dibangun hotel baru pada 1970. Dinamakan Hotel Tanjung.

Lokasinya yang sangat strategis di tengah Kota Surabaya. Karena itu, dulu Hotel Tanjung termasuk salah satu hotel yang sangat laris. Okupansinya selalu tinggi.

Selain jual kamar, Hotel Tanjung juga punya tempat untuk seminar, pertemuan, pesta, serbaguna lah. Ama dulu sering mengikuti seminar-seminar di Hotel Tanjung ini.

Sebelum 2000-an sebagian besar tim sepak bola yang bermain di Surabaya biasanya menginap di Hotel Tanjung. Selain nyaman dan wah (pada masanya), jarak ke Stadion Tambaksari juga tidak terlalu jauh. 

Karena itu, dulu banyak anak muda yang datang ke Hotel Tanjung untuk minta tanda tangan pemain-pemain sepak bola top atau pelatih. Sekaligus ngobrol atau wawancara tipis-tipis dengan pemain idolanya.

Salah satunya Fifin gadis asal Malang berdarah Madura. Modusnya minta tanda tangan Paul Cumming, pelatih Perseman Manokwari, tahun 1980-an. Fifin juga memanfaatkan Paul untuk praktik berbicara dalam bahasa Inggris dengan native speaker.

Tak disangka, hubungan antara Fifin dan Paul Cumming makin erat dan sulit dipisahkan. Mereka akhirnya jadi pasangan suami istri hingga mau memisahkan. Paul Cumming meninggal tahun 2023 lalu di Malang.

"Hotel Tanjung itu penuh kenangan dan nostalgia. Saya kenalan dan akrab dengan Paul ya di situ," kata Fifin.

Kini, hotel tua yang punya banyak kenangan dan romantisme itu - bagi orang-orang lawas - tinggal kenangan.