Sabtu, 09 September 2023

Showroom Honda pertama di Kembang Jepun 171

Iklan kecil di koran Duta Masjarakat, 26 Juni 1963, akhirnya menjawab pertanyaanku. Gedung tua di sebelah markas Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun itu dulunya kantor apa?

 Sudah lima tahun lebih aku bertanya. Tapi tidak ada yang paham. Memori orang kita memang pendek. Mudah lupa!

Mbah Sapuan, tukang pijat, pekerja serabutan, pernah tinggal di depan gedung di Kembang Jepun Nomor 171 Surabaya. Tapi mbah asal Sembayat, Gresik, ini pun tidak paham. Dia cuma diberi izin untuk menjaga kantor kosong itu. 

Selama bertahun-tahun Sapuan tidur di situ. Juga menyimpan barang-barang rosokan untuk dijual ke pengepul. Pemandangan di dekat gapura Kya-Kya pun jadi jelek. Gedung tua peninggalan Hindia Belanda jadi tempat rongsokan. 

Nah, iklan di koran lawas itu tentang sepeda motor pabrikan atawa built up Honda tahun 1963 dari Jepang. Ada tiga tipe motor yang bisa dipesan indent beserta harganya. Honda C100 dibanderol dengan Rp 318 ribu,  C110 dihargai Rp 378 ribu, dan C114 harganya Rp 378 ribu. 

Betapa kuatnya nilai rupiah saat itu!

Di Surabaya motor Honda impor utuh bisa dipesan di Jalan Kembang Jepun 171, Jalan Slompretan 60, dan Bunguran 8-10. Si pemesan harus menunggu paling cepat tiga bulan karena persediaan sangat terbatas. Saat itu sepeda motor masih tergolong barang mewah banget.

Akhirnya terjawab. Gedung di Jalan Kembang Jepun Nomor 171 Surabaya itu dulunya agen atau diler Honda. Generasi pertama motor Jepang yang masuk ke Indonesia. Sebelum ada pabrik rakitan Honda tahun 1971 yang kondang dengan Honda S90Z dengan kapasitas mesin 90 cc.

Setelah motor Honda bisa dirakit di Indonesia, tak ada lagi impor motor utuh. Maka kantor di Kembang Jepun, Slompretan, dan Bunguran pun beralih fungsi. "Kalau gak salah sempat jadi kantor dagang semacam trading," kata Cak Sur, mantan karyawan Jawa Pos era Kembang Jepun pada 1980-an.

Tak hanya bekas showroom Honda generasi pertama, masih ada lagi beberapa kantor tua di Kembang Jepun yang mangkrak. Pabrik es Kalimalang sudah lama tutup. Pasar Terang yang berdiri di atas bekas gedung Bank Taiwan juga sudah lama hancur ditelan sang kala.

Minggu, 03 September 2023

Jejak Komunitas dan Gereja Armenia di Surabaya - Minoritas yang Hilang

Esther Alviah Ekawati Ndoen, anggota komunitas Jawa Timur Tempo Doeloe, baru saja memuat foto Soerat Pendoedoek (semacam KTP) ayah angkatnya di Kebraon, Surabaya. Waktu itu kawasan Kecamatan Karang Pilang masih ikut Kabupaten Surabaya.

Esther menulis:

"Soerat pendoedoek dari almarhum papi saya, Charles Albert Apcar, tahun 1952, saat itu Kebraon masih dipimpin oleh Kepala Desa (Desa) dan Camat disebut Oenderan, Kawedanan Goenoengkendeng, Kaboepaten Soerabaja (jadi Surabaya masih berupa Kabupaten)."

Wow, menarik sekali. Sudah lama saya mencari warga keturunan Armenia di Surabaya tapi tidak ketemu. Sebelum covid pun Dubes Armenia menemui Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Juga bertanya tentang komunitas Armenia di Surabaya. 

Bu Risma saat itu tidak bisa memberi banyak informasi. Maklum, warga Armenia ini sudah lama "hilang" di Surabaya. Tinggal bangunan Gereja Armenia di Jalan Pacar yang kini dijadikan Gereja Tionghoa "GKA": Gereja Kristen Abdiel. 

Esther menceritakan, ayah angkatnya bernama Charles Albert Apcar alias Papa Charlie itu adalah anak laki-laki dari Opa George Lazar Apcar alias Opa Golan. "Beliau dulu adalah pemilik pabrik tepung tapioka di Kediri," katanya.

Anda masih punya informasi tentang orang keturunan Armenia lain di Surabaya? Apakah masih ada yang bisa saya temui?

"Tidak ada. Saya tidak punya informasi apa-apa tentang orang Armenia. Saya hanya tahu sebatas ayah angkat saya saja," kata Esther yang punya darah NTT dari Pulau Rote.



Syukurlah, Gereja Armenia di Indonesia pernah diteliti beberapa mahasiswa teologi. Salah satunya Alle G. Hoekema. Makalahnya berjudul Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil yang Sudah Punah.

Pada tahun 1927 didirikan gedung gereja untuk komunitas Armenia di Surabaya, dengan bantuan dana dari Perserikatan Armenia Nasional. Namanya Gereja St. George. "The 16 marble foundation stones were sent from Jerusalem by blessed Thorgom Patrarch Gooshakian, and were laid by Archpriest Bardan Simon Vardanian."

Gedung gereja itu terletak di Jalan Pacar 15, Surabaya. Dibangun oleh arsitek Belanda dengan gaya Armenia, dan diresmikan pada 11 November 1927. Menurut Soerabajasche Courant, imam Vardan S. Vardanian, yang datang dari Batavia,

"Di sebelah gereja itu juga didirikan sebuah bengkel teater dan musik (namanya Edgar Hall). Di sana segala macam perayaan diselenggarakan. Pada tahun 1935 perayaan 1.500 tahun berdirinya abjad Armenia dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Armenia klasik. Dan sebuah sekolah dibuka dengan tiga kelas," tulis Hoekema.

Krisis ekonomi dahsyat pada 1930-an sangat memukul usaha dagang orang Armenia di Surabaya dan Hindia Belanda. Gereja pun ikut goyang. Apalagi Gereja Armenia sangat eksklusif. Tidak berakar dengan masyarakat Indonesia. Liturgi pakai bahasa Armenia. Kiblatnya pun ke New Julfa, Armenia. Semua aset gereja pun milik Armenia.

Indonesia merdeka! Hukum kolonial yang mempersamakan status orang Armenia dengan orang Belanda dicabut. Orang Belanda rame-rame pulang kampung ke Holland.

Sama seperti orang Belanda, pada tahun 1950-an hampir semua orang Armenia, kira-kira 600 orang di Surabaya, memutuskan untuk beremigrasi. Sejauh mereka punya kewarganegaraan Belanda, mula- mula banyak pindah ke negeri Belanda. 

 Kemudian ada juga yang beremigrasi ke Australia. Komunitas Armenia di Australia cukup kuat dengan 50 ribu orang.

Kebaktian terakhir di Jakarta dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 1961, dipimpin Imam Aramais Mirzaian. Gedung gereja terpaksa dijual kepada pemerintah Indonesia, yang ingin melebarkan jalan Gang Timboel. Dua tahun kemudian Gereja Yahya Pembaptis dibongkar. 

Sekarang, kira- kira di tempat bekas Gereja Armenia adalah Bank Indonesia, di sudut Jalan Muhammad Husni Thamrin dan Kebon Sirih. Sebagai ganti rugi, pemerintah Indonesia membangun gedung gereja untuk umat Armenia di lain tempat di Jakarta. Namun hal itu tidak bisa menghindarkan lenyapnya komunitas Armenia. 

Gedung Gereja Armenia di Surabaya pada tahun 1976 dijual kepada Gereja Kristen Abdiel Gloria. Saat itu semua anggota Armenia sudah beremigrasi ke Australia.

 Perhimpunan orang Armenia di Indonesia secara resmi dibubarkan dalam tahun 1978. Sisa harta gereja diserahkan kepada komunitas Armenia di Australia yang makin bertumbuh.

Sabtu, 02 September 2023

Pater Songkok dari Lembata masih urus kebun di Graha Wacana Prigen

Pater John Lado SVD masih setia mengurus kebun di Graha Wacana dan SVD Family Center di Ledug, Prigen. Sementara pater-pater lain datang pergi silih berganti. Pater John Lado SVD asal Pulau Lembata, NTT, boleh dikata pastor yang paling lama bertugas di rumah retret tersebut.

Di usia yang tergolong senior, Pater John kelihatannya tak mungkin lagi jadi romo paroki. Apalagi keuskupan-keuskupan sudah lama memprioritaskan RD alias romo praja untuk menggembala umat Katolik di paroki-paroki.

Surabaya yang sebelumnya punya 6 paroki SVD pun kini tinggal 3. Itu pun tidak murni lagi imam-imam SVD tapi campur praja. Sudah lama SVD orientasinya ke luar negeri. Hanya sedikit yang masih melayani di Indonesia.

Ayas uji nyali dengan jalan kaki di kawasan Ledug, Prigen. Mampir ke Graha Wacana. Ketemu Kraeng asal Manggarai Flores yang jadi petugas keamanan. Ngobrol ngalor ngidul tentang masa lalu di NTT, suasana di rumah retret, kelanjutan Retret Tulang Rusuk setelah Pater Yusuf Halim SVD meninggal dunia karena covid.

"Sekarang sudah mulai menggeliat tapi belum normal. Belum seperti sebelum covid," kata orang Flores yang sudah karatan di Pandaan dan Prigen itu.

Apa kabar, Pater John Lado?

"Yah, masih begitu-begitu saja. Namanya juga orang tua. Beliau masih rajin urus tanaman, kebun, refleksi, menyendiri di kamar," kata Kraeng.

Pesan WA saya memang belum dijawab Pater John. Sehingga kita orang tidak bisa ketemu langsung dan omong-omong kosong. Kraeng bilang Pater John pekan lalu dirawat di hospital. "Sakitnya ya biasa kayak dulu," katanya.

Ya, sudah, saya tidak bisa bertemu langsung dengan Pater John Lado. Sesama orang Lomblen Island. 

Beberapa jam kemudian Pater John membalas pesan WA.

"Saya masih di rumah Ledug saja. Sejak pandemi  hingga saat ini belum mau terima permintaan pelayanan walaupun selalu ada. Saya ada gangguan saraf di pinggul kanan dan selama 1 bulan siang malam tidak bisa tidur.

Akhirnya masih alami gangguan tidur, jadi belum mau terima pelayanan. Sakit bisa saya atasi. Kalau sudah normal baru saya mulai terima kembali permintaan pelayanan. Makasih," ujar Pater John Lado SVD.

Unik memang pater yang satu ini. Saban hari beliau lebih mirip kiai kampung yang selalu pakai songkok (kopiah). Juga mirip tukang kebun. Karena itu, umat Katolik dari Surabaya yang berkunjung ke Graha Wacana tidak mengira kalau dia seorang pater alias romo alias pastor.

Semoga Pater Songkok segera pulih. 

Deo gratias!

Villa Iboe anno 1941 di Prigen sudah lama mangkrak

Tak jauh dari Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) di kawasan Prigen, Pasuruan, ada Villa Sampoerna. Milik siansen yang dirikan pabrik rokok Sampoerna.

 Kondisi vila anno 1930-an tampak kurang kinclong dari luar. "Tapi dalamnya bagus sekali. Mewah banget," kata pater asal NTT yang sering diajak menikmati Villa Sampoerna itu.

Menanjak sedikit, ada juga vila tua. Villa Iboe di Jalan Plembon, Prigen. Ada tulisan tahun 1941. Berarti rumah peristirahatan itu dibangun pada masa penjajahan Belanda.

Villa Iboe sudah lama sekali mangkrak. Tapi masih terasa sisa-sisa keindahan bangunannya. Beberapa patung malaikat-malaikat bersayap bisa disaksikan dari jalan raya. Kusam tak terurus.

Sudah lama saya ingin masuk melihat suasana vila tua itu. Sayang, selalu tertutup pagar besi. Juga tak ada penjaga yang bisa dimintai akses. "Ada penjaganya tapi sekali-sekali aja ke sini," kata warga sekitar.

Akhirnya ada sedikit informasi dari online. "Villa Iboe punya almarhum Opa saya. Liem Sie Bie Gwan," tulis Catherine Eva.

Wanita kelahiran 1977 itu sekarang tinggal di Bogor. Eva sempat blusukan ke Jalan Ngaglik, Surabaya, bekas pabrik Jamu Iboe. Kondisi sekarang mangkrak, telantar, mirip Villa Iboe itu. "Saya akan ngurus itu semua," katanya.

Entah kapan Eva akan mengurus dan memperbaiki vila warisan opanya. Mengapa bukan manajemen Jamu Iboe sekarang yang membiayai? 

Bukankah Jamu Iboe punya pabrik besar di Taman, Sidoarjo? Dan, makin maju? Bagaimana status aset tua di Jalan Ngaglik dan Prigen itu? Eva belum kasih penjelasan.

"Vilanya angker di belakangnya ada tempat pemakaman warga Palmbon. Dulu waktu SD banyak patung2 malaikat bersayap sekarang kemana patung2nya," kata Agus, pemuda asli Prigen.

Senin, 28 Agustus 2023

Nyambangi Dukut Imam Widodo, Senior Ikamisa, Terkenang Manuk Bence di Lowokwaru Malang

Ayas pagi tadi gowes ke kawasan Wiguna: Wisma Gunung Anyar, Surabaya. Dekat perbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Mampir ke rumah Dukut Imam Widodo. Senior Ikamisa alias Ikatan Alumni Mitreka Satata, Malang, ini sangat terkenal di kalangan pembaca buku-buku tempo doeloe di Jawa Timur.

Sam Dukut, sapaan akrabnya, menerbitkan cukup banyak buku tempo doeloe. Di antaranya, Soerabaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Grissee Tempo Doeloe, Sidoardjo Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe, Monggo Dipun Badhog.

Buku-buku Sam Dukut selalu jadi rujukan pemkab dan pemkot di Jatim meski Dukut sendiri tidak berpretensi menulis buku sejarah. Gayanya yang renyah, banyak guyonan ala ludruk membuat buku-bukunya enak dinikmati. Didukung foto-foto tempo doeloe era Hindia Belanda yang menarik.

"Perkenalkan, saya Dukut Imam Widodo arek Malang asli, lahir di Rumah Sakit Lavalette, Rampal Kulon, Malang, pada tanggal 8 Juni 1954. Sejak lahir hingga tumbuh jadi ABG dan lulus SMAN 1, Jalan Tugu, saya tinggal di Malang."

Demikian alinea pertama buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo. "Sam Ikamisa tahun berapa?" Ayas bertanya dan dijawab tahun 1973.

Obrolan menjadi ringan dan enak karena sama-sama Ikamisa. Ayas bertanya soal keaslian gedung SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 di dekat Alun-Alun Bunder itu apakah masih asli. Sebab gedung sekolah eks AMS Belanda itu ikut dihanguskan tahun 1947. Sam Dukut bilang masih relatif asli. Direnovasi seperti aslinya.

Sam Dukut tinggal bersama keluarga orang tuanya di Jalan Lowokwaru 40 (sekarang Jalan Letjen Sutoyo). Ada foto Dukut kecil di buku Malang Tempo Doeloe. 

Tahun 1960-an itu suasana Malang masih sepi. Dukut yang remaja sering menikmati suara burung-burung malam. Salah satunya manuk bence. Kalau kunam itu bersuara artinya ada isyarat bahaya. "Awas, ada maling," kata ebesku.

Zaman telah berubah. Begitu juga dengan Malang. Malang yang dulu sejuk berubah jadi sanap (panas), kata Sam Dukut. Burung bence itu pun menghilang.

"Sekarang suara manuk bence sudah tidak terdengar lagi di malam hari. Itu pertanda bahwa di kota ini sudah tidak ada lagi maling!" tulis Dukut.

"Yang ada adalah.. begal!" Dukut menambahkan.

 Hehehe.. iso ae sam asli Ngalam iki!

Ayas pamit pulang karena obrolan sudah agak panjang. Sam Dukut memberikan oleh-oleh berupa buku Malang Tempo Doeloe. 

Tidak lupa Sam Dukut menulis pesan untuk ayas di buku itu: "Jangan pernah menyerah! Jangan! Jangan!"

Rutam nuwus, Sam Dukut!

Uklam Tahes Ikamisa Edisi 107 di Selecta Batu

Makin tua makin senang uklam tahes (mlaku sehat). Jalan sehat lebih dianjurkan dokter ketimbang lari sehat. Orang tua yang memaksakan diri lari jauh bisa bahaya. Jantung terlalu dipacu... wassalam.

Karena itu, nawak-nawak (kawan-kawan) senior dan junior makin sering bikin acara Uklam Tahes. Sekaligus kumpul-kumpul atawa reuni tipis Ikamisa: Ikatan Alumni Mitreka Satata. Kera Ngalam pasti paham Mitreka Satata itu julukan SMAN 1 Malang di dekat Alun-Alun Bunder, depan Balai Kota itu.

SMAN 3 Malang yang sangat favorit biasa disebut Bhawikarsu. Hampir semua sekolah (SMA) punya julukan sendiri-sendiri. Tiap kelas pun punya julukan. Ayas kelas Grafity karena ada bau fisikanya. Dulu ada A1, A2, A3, A4.

Minggu 27 Agustus 2023, Uklam Tahes edisi 107 diadakan di Selecta, Batu. Kawasan pemandian dan rekreasi yang sangat kondang sejak era Hindia Belanda. Sekarang masih lestari meski sudah banyak modifikasi.

Semua peserta pakai busana khas Hari Kemerdekaan: merah putih. Beda dengan Uklam Tahes biasa yang setiap angkatan memakai kaos khasnya. 

Kalau bulan lalu angkatan ayas jadi tuan rumah (host), kali ini giliran Ikamisa 83. Cukup profesional. Layaknya acara gathering di perusahaan. Padahal kegiatan Uklam Tahes ini biasanya informal dan apa adanya. Makin lama setiap angkatan ingin memberikan yang terbaik untuk sesama alumni Mitreka Satata.

Begitulah di era media sosial. Acara reuni dengan kemasan jalan sehat, uklam tahes, silaturahmi, halalbihalal dsb jadi makin sering. Belum dicuci kaos lama Uklam Tahes 106, kini sudah ada lagi Uklam Tahes 107. Menyusul Uklam Tahes 108 entah di mana lagi. Sesuai keinginan tuan rumahnya.

Ayas dan nawak-nawak di luar Ngalam kebanyakan lebih senang Uklam Tahes di kompleks sekolah. Diikuti para bapak ibu guru yang sudah sepuh serta kepala sekolah dan guru-guru sekarang yang masih aktif. Nuansa nostalgia dan romantika masa SMA lebih dapat. 

Masalahnya, nawak-nawak yang tinggal di Malang Raya (mayoritas) bosan kalau Uklam Tahes selalu diadakan di kompleks sekolah peninggalan Belanda itu. "Lokasinya beda-beda biar gak bosen," kata nawak lama.

Salam tahes!
Merdekaaaaa!

Rabu, 16 Agustus 2023

Romo Eko Budi Susilo Resmi Jadi Pengganti Sementara Uskup Surabaya

Selasa petang, 15 Agustus 2023, misa arwah 7 hari meninggalnya Uskup Surabaya Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono di Gereja Katedral Hati Kudus Yesus (HKY), Jalan Polisi Istimewa Surabaya. Misa dipimpin Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya Romo Yosef Eko Budi Susilo.


Saya hanya bisa mengikuti misa lewat streaming di YouTube. Tanpa audio. Maklum, sedang bekerja di kantor. Paling tidak bisa dapat suasananya. Kita juga bisa membaca kata-kata pastor atau lektor dengan menyetel fitur di YouTube.

Yang ditunggu-tunggu umat Katolik di Keuskupan Surabaya adalah ini: pengumuman resmi siapa yang jadi pengganti sementara Bapa Uskup Sutikno. Istilahnya: Romo Administrator Diosesan Keuskupan Surabaya. Romo Administrator inilah yang menjadi pimpinan tertinggi keuskupan (sementara) hingga Paus Fransiskus menunjuk uskup yang baru.

Keuskupan Surabaya sudah punya preseden. Ketika Bapa Uskup Hadiwikarta meninggal tahun 2003 lalu, Vikjen Romo Julius Harjanto CM ditetapkan sebagai administrator diosesan. Sebab vikjen merupakan pastor yang paling dekat dengan uskup. Vikjen paling tahu tata kelola, manajemen, pembukuan dsb.

Karena itu, saat melayat jenazah Monsinyur Tikno dan ikut misa rekuiem pada Kamis malam dan misa pelepasan jenazah ke Puhsarang, Kediri, Sabtu pagi, kami sempat ngobrol ringan soal ini.

 "Calon kuatnya Romo Vikjen (Eko Budi Susilo)," kata Karyadi, kawan lama yang menulis buku biografi Uskup Sutikno dari Tanjung Perak itu.

"Romo Eko Budi Susilo yang paling kuat dan mumpuni," ujar Bung Eddy, mantan seminari di Flores yang jadi aktivis gereja di Surabaya.

Saya juga berpikir begitu. Siapa lagi kalau bukan Romo Eko Budi Susilo yang asli Karanganyar, Solo, itu. Sejak Uskup Sutikno sakit dan sering masuk rumah sakit selama lima tahun, Romo Eko sangat dominan dalam menangani berbagai persoalan di keuskupan.

Akhirnya, jelang penutupan misa arwah di Katedral Surabaya dibacakan pengumuman resmi itu:

"Pada hari Senin, 14 Agustus 2023 sesuai dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik Roma, berkenaan dengan takhta Uskup yang lowong, Dewan Konsultores Keuskupan Surabaya telah memilih dan memutuskan bahwa RD. Yosef Eko Budi Susilo menjadi Administrator Diosesan Keuskupan Surabaya. 

Proficiat dan selamat kepada RD. Yosef Eko Budi Susilo. 

Umat Allah yang terkasih, 
Mari berdoa bagi penggembalaan umat di wilayah Keuskupan Surabaya sehingga kita semua mewujudkan harapan dan arah penggembalaan Alm. Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono untuk menjadi murid-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner."

Sampai kapankah takhta lowong itu?

 Tidak pernah ada kejelasan di Gereja Katolik. Bisa cepat, bisa lama, bisa sangat lamaaa. Ada keuskupan yang lowong kurang dari setahun. Tapi Keuskupan Surabaya dulu sempat takhta lowong alias sede vacante selama 4 tahun (sama dengan masa jabatan Presiden USA).

Semua tergantung kebijaksanaan Bapa Suci di Vatikan sana. Sebab uskup-uskup di seluruh dunia adalah tangan kanan Paus sebagai gembala gereja-gereja partikuler. Meski proses pengusulan, penjaringan nama-nama calon dilakukan (secara rahasia) oleh imam-imam senior di keuskupan itu bersama KWI hingga Duta Besar Vatikan.

Karyadi, mantan ketua PMKRI Surabaya, yang kini politisi, optimistis takhta lowong di Keuskupan Surabaya kali ini bakal lebih cepat terisi. Tidak sampai 4 tahun seperti dulu. "Saya yakin prosesnya sudah berjalan. Apalagi Monsinyur Tikno ini sakitnya cukup lama," katanya.

Selamat bertugas Romo Eko Budi Susilo sebagai Administrator Diosesan Keuskupan Surabaya! 

Tuhan memberkati.