Jumat, 03 Februari 2023

Arus Balik Misionaris SVD ke Eropa dan Amerika

Tiga imam baru ditahbiskan di Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. Ketiganya ordo Societas Verbi Divina (SVD) atau Serikat Sabda Allah.

 Inilah kali pertama tahbisan imam diadakan di gereja paroki. Biasanya dipusatkan di Gereja Katedral Surabaya. Imam-imam praja ditahbiskan bareng dengan imam-imam kongregasi macam SVD.

Tuaian banyak tapi pekerjanya sedikit. Kebun anggur Tuhan begitu luas. Di seluruh dunia. Karena itu, pater-pater baru tidak akan pernah kesulitan cari job. Beda dengan sarjana-sarjana yang harus melamar di sana-sini. 

Pater Siprianus Jegaut SVD asal Rejeng, Manggarai, Flores, ditugaskan di SVD Provinsi Jawa. Pater Joan Nami Pangondian Siagian SVD asal Bandar Purba, Aceh Tenggara, Keuskupan Agung Medan, bermisi di Polandia. Kemudian Pater Kondradus Tampani SVD asal Oekam Keuskupan Agung Kupang, NTT,  penempatan di  Bolivia.

Luar biasa!

Pater-pater SVD asal Indonesia langsung bertugas jauh di negara lain. Ada yang di Amerika Latin, Eropa, Afrika, hingga Tiongkok (tepatnya Taiwan). Negara Tiongkok masih belum ramah dengan misionaris Katolik.

Pater Siagian yang ditugaskan di Polandia sangat menarik. Meski berdarah Batak, sejak kecil dia lahir dan besar di Aceh Tenggara. Provinsi yang dikenal sangat fanatik beragama. Toh, ada saja yang mampu mendengar suara Tuhan memanggil.

Kalau pastor-pastor asal Flores, atau NTT umumnya, sih sudah lazim. Bahkan saat ini pimpinan tertinggi alias superior general SVD di Vatikan adalah orang Flores Timur. Pater Leo Budi Kleden SVD asal Waibalun, kampung di dekat Larantuka.

Misi Pater Siagian di Polandia sangat menarik. Inilah arus balik misionaris SVD dari Indonesia, negara mayoritas muslim, ke Polandia. Kita tahu rombongan misionaris asal Polandia dikirim ke Indonesia tahun 1964. Mereka kemudian jadi pastor-pastor yang sangat hebat.

Ayas jadi ingat Pater Josef Glinka SVD. Mendiang pater asal Polandia itu cukup lama bermisi di Flores sebelum ditarik ke Surabaya. Pater Glinka jadi profesor antropologi Universitas Airlangga.

Ada lagi Pater Stanislauw Pikor SVD, kawan Pater Glinka di Surabaya. Pater Pikor ini juga hebat. Khususnya menangani manajemen dan aset-aset SVD di tanah air. Pater Pikor juga sudah pulang ke rumah Bapa.

Kedatangan rombongan misionaris SVD (dan kongregasi lain) ke Nusantara tampaknya tak akan lagi terjadi. Alih-alih jadi misionaris, orang Eropa dan USA makin lama makin jauh dari gereja. Sulit mengharapkan panggilan subur untuk kebun anggur Tuhan.

Pater Siagian SVD  tentu tak akan kesulitan bertugas di Polandia. Sebab bahasa Inggris dikuasai dengan baik rakyat Polandia. Beda dengan Pater Glinka dkk dulu yang awalnya sangat kesulitan karena orang-orang kampung di NTT tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia pun tidak lancar. 

Pater Tampani SVD yang bertugas di Bolivia pun tak akan sesulit pater-pater misionaris awal di Nusantara tempo doeloe. Apalagi Pater Siagian dkk ini bermisi di negara-negara yang sudah Katolik. Atau paling tidak Katoliknya pernah sangat dominan.

Selamat untuk tiga pater baru! 

Rabu, 01 Februari 2023

MK kembali tolak gugatan nikah beda agama

<< Ramos Petege, a Catholic man, was aggrieved at the Marriage Law's ambiguous stance on interfaith marriage after he and his Muslim partner of three years' marriage wish was annulled.

Ramos questioned Article 2 paragraphs 1 and 2 of the Marriage Law, which he believed contained legal uncertainty. Paragraph 1 states that marriage is legal if it is carried out according to the laws of one's religion and belief, while paragraph 2 states that every marriage is recorded according to the prevailing laws and regulations. >>

Itu berita lama di The Jakarta Post. Tak banyak media utama yang muat berita gugatan Ramos tentang pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi. Nikah beda agama memang dilarang di Indonesia. Alias ilegal.

Ramos dari Papua mengalaminya. Juga ratusan, mungkin ribuan pasangan lainnya. Tapi selalu ada pintu darurat untuk menyiasati kasus kawin campur yang pelik itu. Yang ilegal bisa dibuat legal.

Semua bisa diatur.. kalau mau.

Ramos Petege bukan tipe pelaku nikah beda agama yang main siasat atau akal-akalan. Maunya lurus. UU Perkawinan tahun 1974 dianggap bermasalah. Tak ada ruang untuk Ramos yang Katolik dan pasangannya yang Islam untuk diakui pernikahannya oleh negara Indonesia.

Ramos bukan orang pertama. Sudah ada beberapa orang yang gugat pasal-pasal di UU Perkawinan itu. Hasilnya ditolak semua oleh MK.

Maka, sudah bisa diduga, gugatan Ramos ditolak MK kemarin. Namun, 2 hakim konstitusi punya pendapat berbeda. Tujuh hakim konstitusi copas aja pertimbangan hukum lama untuk menolak gugatan Ramos. Intinya, nikah beda agama ilegal di Indonesia. Haram hukumnya. 

Ramos malah disalahkan. Sudah tahu pacar beragama Islam kok nekat menikah beda agama? Mengapa tidak jadi mualaf? Atau mengapa pasangannya ikut agama suami saja?

Mengapa tidak nikah di Singapura saja? Atau di negara-negara lain yang hukum sipil pernikahannya sama sekali tidak dikaitkan dengan agama apa pun.

Bagaimana kalau orang Indonesia yang tidak beragama hendak menikah? Penganut agnostisme misalnya? Pelakon agama-agama asli Nusantara?

Masih banyak pertanyaan lain soal nikah beda agama yang tak akan ada habisnya. Dan, nikah beda agama ini selalu akan terjadi di negara majemuk macam Indonesia. Dan, bisa jadi akan ada gugatan lagi di masa depan.

Nikah beda agama ini juga termasuk pasangan Katolik dengan Kristen Protestan, Pentakosta, Baptis, Karismatik, Advent Hari Ketujuh, Reformed dan ratusan denominasi lainnya.

Gereja Katolik sendiri menganggap pernikahan umat Katolik dengan Protestan, Pentakosta dsb bukan beda agama, tapi beda gereja. Disparitas cultus, istilah resminya. Kalau dengan Hindu, Buddha, Islam dsb disebut mixta religio.

Di era media sosial ini kita jadi semakin tahu sikap dan pandangan gereja-gereja (bukan Katolik) soal kawin campur. Betapa kerasnya penolakan gereja-gereja protestan terhadap nikah umat Protestan dan Katolik. Keras, tajam, kasar.. seakan Katolik itu begitu buruk dan sesat.

Pendeta Stephen Tong termasuk paling keras menghantam Katolik di YouTube. Begitu juga pendeta-pendeta Protestan asal NTT di YouTube.

 "Kalau ada anak muda Protestan yang pacaran dengan orang Katolik saya minta segera putussss!" kata pendeta Atock dari Kupang disambut tepuk tangan jemaat.

"Kalau Saudara kawin dengan orang Katolik nanti Saudara basuh muka saban hari dengan air mata," kata Pendeta Stephen Tong disiarkan luas di YouTube dan media sosial.

Bagaimana kalau pemuda Protestan aliran Tong GRII mau nikah dengan gadis Bethany aliran karismatik, bahasa roh, haleluyaaaa? Apakah cuci muka dengan air mata juga? Tong pasti punya penjelasan dan eksposisi panjang lebar.

Ayas jadi ingat sistem perkawinan nenek moyang Lamaholot tempo doeloe. Belum ada agama Katolik, Protestan, Islam, Buddha, Hindu, dan sebagainya. Hukum adatnya tidak rumit. Siapa saja boleh menikah asalkan sama-sama manusia, pria dan wanita.

Yang berat pasti belis atau maskawin gading gajah itu. Saking beratnya seorang laki-laki almost impossible punya lebih dari satu istri. Dan tak ada perceraian.

Ayas jadi ingat lagu lama John Lennon: Imagine that no countries... and no religion too! 

Ketemu Lagu Anak Old School di Warkop Cak Man

Sudah lama Ayas tidak membaca partitur musik. Paling cuma menengok partitur lagu-lagu Puji Syukur kalau ikut misa di gereja. Kalau ikut misa virtual di ponsel pasti tidak mungkin. Sebab aplikasi Puji Syukur dengan notasi sopran, alto, tenor, bas (SATB) itu hanya ada di HP.

Masalahnya, sejak pandemi hingga tahun ketiga ini Ayas tidak pernah misa langsung di gereja hari Sabtu malam atau Minggu. Cuma sekali thok ikut misa Malam Natal di Gereja Kayutangan, Malang, 24 Desember 2022 lalu.

Pagi ini, Ayas nggowes ke kawasan Juanda lalu mampir ke warkop Cak Man di Rungkut Menanggal. Dulu dia langganan Jawa Pos. Jadi, kita orang bisa istirahat, ngopi, sambil baca koran. Sejak awal pandemi Cak Aman berhenti langganan koran.

"Kemahalan koran sekarang. Sing baca juga wong tuwek-tuwek kabeh. Langgananku lebih sering main HP, " kata Cak Man tinggal di Brebek, Waru.

Karena tak lagi melanggan koran, Cak Man menutup gorengannya dengan kertas apa saja. Bukan lagi kertas koran. Buku-buku pelajaran anak sekolah pun dicopot. Kadang ada buku teks mahasiswa pun dirobek.

Oh, Tuhan.. betapa tak berharganya buku-buku kertas di era serba digital ini!

Ayas seperti biasa senang gorengan jemblem. Singkong diparut, dimasukkan gula merah, digoreng. Lekas kenyang. Makan dua jemblem sama dengan makan nasi.

Yang bikin Ayas kaget (dan kangen), Cak Man menutup gorengan jemblem dengan sobekan buku pelajaran seni suara SD. Ada partitur lagu ciptaan AT Mahmud berjudul Ambilkan Bulan Bu. Pakai not angka dan not balok.

Notasi Ambilkan Bulan, Bu di buku pelajaran kelas 6 SD itu pakai tangga nada natural. Akibatnya, nada-nadanya tinggi semua. Ketika sampai C (do) tinggi, maka garis paranada yang hanya lima itu tidak cukup. Harus dibuat garis bantu di atasnya.

Kok bisa main nada tinggi begitu? Mungkin cocok dengan suara anak yang mirip suara perempuan. Konsep dasar ini sering kita lupakan.

Ayas jadi ingat guru SD di pelosok Lembata tempo doeloe. Bapa Guru Paulus pernah mengajarkan lagu ini di kelas 3. Notasi angka ditulis di papan tulis hitam. Anak-anak kampung di NTT tidak pernah diajarkan not balok. Bapa Guru Paulus menulis not-not pakai kapur tulis cap Sarjana. 

Murid-murid lalu diajak ke depan. Mengelilingi papan tulis itu. Bapa Guru kasih contoh. Sambil membuat ketukan pakai penggaris. Lalu ditirukan anak-anak.

Begitulah cara anak-anak di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor dulu belajar lagu-lagu baru. Harus pakai baca partitur. Sebab tidak ada kaset atau album artis sebagai contoh. Belajar dengan membaca partitur.

Lagu-lagu karya AT Mahmud tergolong enak dan mudah. Begitu juga lagu-lagu Ibu Soed, Bu Kasur, dan komposer lokal Flores Timur macam Petrus Pati Niron atau Anton Sigoama Letor.

Mendiang Petrus Pati Niron bahkan menerbitkan buku kumpulan lagu-lagu ciptaannya berjudul Marni. Buku itu dibagikan ke semua SD di Kabupaten Flores Timur. Dulu Pulau Lembata gabung dengan Flores Timur sebelum jadi kabupaten sendiri pada 1999.

Guru Paulus, Guru Martinus, Guru Sinta.. cukup menguasai lagu anak-anak khas Flores Timur di buku Marni itu. Yang paling hebat Guru Modesta.

 Bu Modesta saat itu boleh dikata pelatih dan dirigen paduan suara terbaik tingkat kecamatan. Sebab kompetensinya tingkat SMA tapi Desta mau jadi guru SD di kampung. Sayang, Bu Desta meninggal dunia dalam usia di bawah 30 tahun.

Kopi panas racikan Cak Man sudah habis. Jemaah warkop makin banyak. Ayas harus melanjutkan gowes sepeda tua. Sambil bersenandung lagu anak-anak zaman old school itu: Ambilkan Bulan, Bu! 

Minggu, 29 Januari 2023

Kesambet Firaun di Jawa vs Belodin di Lembata

Cak Nun baru saja kesambet. Jokowi disamakan dengan Firaun. Ada 10 naga. Anthony Salim. Nama Luhut juga disebut. Rezim Jokowi identik dengan Firaun, kata Cak Nun.

Banyak yang protes, tapi tidak sedikit yang tepuk tangan. Menertawakan Firaun versi Cak Nun. Penceramah dan budayawan asal Jombang itu lalu klarifikasi. "Saya kesambet," kata Cak Nun.

Kata "kesambet" ini tidak pernah saya dengar di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jember, dsb. Bisa jadi karena jarang ada orang yang kesambet. Kosa kata ini baru muncul di awal tahun 2023 ini. "Itu kata lama," kata seniman di Sidoarjo.

Seniman Sidoarjo Widodo Basuki kemudian menulis geguritan (puisi bahasa Jawa) berjudul Kesambet. Seniman Sidoarjo lainnya, Bambang Tri, menulis pentigraf Jawa. Judulnya juga kesambet. 

KESAMBET

Ringin Growong kuwi arane wit ringin sing umure wis tuwa banget. Mbah kakungku tau crita yen jaman cilikane dicritani embahe, wit ringin kuwi wis ana nalika embahe isih cilik. 

Sing tak elingi biyen ora ana wong sing wani sembarangan ana ngisore wit ringin kuwi. Yen ana sing wani tumindak aneh-aneh bakal nanggung akibate.

 Ana sing lara, ana sing ngomyang ora genah ucape, ana sing bingung kaya wong pekok. Yen ana kedadeyan ngono kuwi diarani kesambet sing mbaurekso.

 (Bambang Tri ES)

Aha.. akhirnya jelas makna kesambet itu. Kerasukan. Bisa kerasukan setan, kerasukan arwah, kerasukan genderuwo dsb.

Sekitar 5 tahun lalu ada wanita kesambet di Jolotundo. Teriak-teriak gak karuan. Suara orang lain yang lebih tua. Mas Wahyu yang rada santri komat-kamit mendoakan, siram itu wanita dengan air dingin. Masih kesambet, kesambet, kesambet.

Wahyu memarahi oknum yang merasuki si wanita. Dihardik. Dimarahi. Akhirnya wanita itu perlahan-lahan siuman. Tamat kesambetnya.

Cerita Bambang Tri tentang ringin growong di Jawa Timur ternyata sama dengan di Pulau Lembata, NTT. Pohon beringin besar, tua, di pinggir kampung sangat ditakuti. Apalagi malam hari. Gelap gulita tanpa listrik.

Kita orang harus hati-hati saat lewat di situ. Banyak sembahyang. Tidak boleh ucap kata-kata kotor, maki-maki dsb. Ringin growong dan pohon-pohon besar lain dipercaya ada penunggunya. Ada saja yang kesambet, kena pukau, semaput dsb.

Di Lembata kesambet biasa disebut belodin. Dulu sering sekali orang kena belodin. Bisa karena melanggar pamali di pohon besar. Bisa juga karena dirasuki orang yang punya ilmu hitam. Geger seluruh kampung. Korbannya meronta-ronta, omong dengan suara yang berbeda. 

Di Ayas punya kampung ada 4 pohon besar. Bukan pohon bao (beringin) tapi niang. Bahasa melayunya belum tahu kita orang. Wingit betul pohon-pohon di luar kota itu. Tidak ada rumah di dekat situ. Rumah terdekat sekitar 4 kilometer yang ada makam umum.

Karena itu, Ayas dkk waktu kecil deg-degan saat lewat di depan itu pohon besar. Biasanya langsung sembahyang Bapa Kami & Salam Maria. Setan-setan tentu takut dengan doa-doa kita, bukan?

Saat Ayas mudik tahun 2019, sebelum pandemi covid, pohon-pohon besar itu sudah tak ada lagi. Malah di depan pohon itu berdiri dua atau tiga rumah. Sudah jadi terusan kampung. Tidak ada gangguan, kata penghuni rumah baru di depan (bekas) tempat angker itu.

"Masih ada orang belodin di sini?" Ayas bertanya.

"Ada tapi sedikit. Beda dengan zaman kita kecil dulu. Anak-anak muda sekarang lebih rasional. Main HP, main game, kurang percaya sia-sia (takhahul)," kata teman lama di kampung.

Bung Ayas pun sering jalan kaki sendiri malam hari. Gelap gulita. Sesekali pakai senter di HP. Masih ada sedikit rasa takut tapi tidak separah saat usia sekolah dasar dulu. Toh pohon besar tak ada lagi. Ada pula rumah baru di sebelahnya.

Anehnya, orang-orang lama di atas 40 tahun masih percaya belodin, suanggi, santet, belodin dsb. Juga percaya bahwa genderuwo masih ada di batas desa meski pohon besar sudah ditebang. Ayas pun dimarahi karena dianggap mencari masalah.

Bukan itu saja. Pintu-pintu dan jendela-jendela di kampung pun wajib ditutup pada malam hari. Biasanya di atas pukul 19.00. Jangan biarkan pintu dan jendela rumahmu terbuka. Apalagi sampai tengah malam.

Ya, karena itu tadi, ada kepercayaan lama bahwa suanggi-suangi atau genderuwo-genderuwo gentayangan mencari mangsa. Dia orang bisa dengan mudah masuk ke rumah yang pintu dan jendelanya terbuka.

"Kita harus percaya sama Tuhan Allah. Suanggi dan setan bisa diusir dengan sembahyang," kata Ayas menirukan omongan pater-pater Belanda tempo doeloe.

Omongan berbau kitab suci atau agama macam ini kurang mempan di pelosok NTT. Ayas malah dimarahi. "Engkau itu terlalu lama di Jawa sehingga sudah lupa dengan adat istiadat di sini," kata orang kampung dengan nada tinggi.

"Yo wis... sing waras ngalah!"  kata orang Surabaya. 

Sejak itu Ayas tak lagi jalan kaki sendiri malam hari saat mudik di kampung. Ketimbang kena belodin alias kesambet. 

Selasa, 24 Januari 2023

Bersejarah! Tahbisan 3 Imam SVD di Gereja Roh Kudus Rungkut

Panen imam di kebun anggur selalu ada meski sedikit. Tiga diakon Societes Verbi Divini (SVD) bakal ditahbiskan sebagai imam pada Senin, 30 Januari 2023. Uskup Surabaya Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono bakal menahbiskan tiga imam baru itu di Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. 

Ketiga diakon SVD yang akan ditahbiskan itu Siprianus Jegaut,l SVD, Konradus Tampani SVD, Joan Nami Pangondian Siagian SVD.

 Dua dari Flores, satu Tapanuli alias Batak. Saya tidak pernah dengar ada pater SVD asal Batak. Maklum, kawasan Sumatera Utara sejak doeloe identik dengan Ordo Kapusin alias OFM Cap. Sebaliknya, NTT sejak Hindia Belanda memang identik dengan SVD setelah imam-imam SJ dan OP (Dominikan) terusir bersama tuan-tuan Portugis.

Tahbisan khusus SVD di Surabaya pun sangat langka. Mungkin belum pernah ada. Biasanya dijadikan satu dengan imam-imam praja di Katedral HKY, Jalan Polisi Istimewa. Yang sering itu diakon-diakon SVD itu pulang lalu ditahbiskan di kampung halamannya. Meriah sekali. Dulu bisa pesta 5 hari  kalau di Flores Timur dan Lembata.

Yang menarik, tahbisan diadakan di Gereja Roh Kudus, ayas punya paroki. Kebetulan paroki ini digembala pater-pater SVD asal NTT. Belakangan ditambah RD Yohanes Setiawan asal Sidoarjo yang bukan SVD.

SVD Provinsi Jawa rupanya punya kebijakan baru. Tahbisan imam diadakan khusus SVD di paroki yang imam-imamnya SVD.

Semoga pater-pater baru mampu menggembala domba-domba ke padang rumput yang hijau. Juga membawa kembali domba-domba yang sesat. 

Kata Miskin Diganti Prasejahtera (atau MBR)

Kata "miskin" jadi masalah di Surabaya. Jadi bahasan parlemen. Wakil rakyat minta pemkot menarik stiker "keluarga miskin" alias gakin.

Apa yang salah dengan pemkot? Bukankah pemkot memasang stiker untuk menandai keluarga miskin agar dapat bantuan?

Kata "miskin" gak enak didengar. Bisa membawa dampak psikologi, kata Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, mantan wartawan Surya dan Tempo.

Adi mengusulkan kata miskin diganti prasejahtera. Label keluarga miskin itu akan menimbulkan stigma yang kurang baik.

Pola pikir Adi dan anggota dewan lain ini persis era Orde Baru. Eufemisme berkembang subur. Miskin diganti prasejahtera. Harga naik dibilang disesuaikan. Ditangkap diamankan. Buruh jadi pekerja atau karyawan.

Tidak boleh ada serikat buruh. Yang boleh serikat pekerja. Pelacur jadi wanita harapan.

Selain prasejahtera untuk miskin, dulu ada istilah sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3. Sudah lama istilah yang sering muncul di TVRI tempo doeloe itu hilang. Sebab kriterianya tidak jelas. Ribet.

Orde Baru sudah lama tumbang. Diganti reformasi. Tapi pola pikir ala orba dengan segala eufemismenya belum hilang. Ada prasejahtera, MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), dan banyak lagi.

Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono  tahun 90-an ikut mengkritik bahasa jurnalistik khas Orde Baru saat jadi wartawan. Bahasa yang penuh jargon, slogan, eufemisme, propaganda. "Bahasa jurnalistik itu harus sederhana, lugas, mudah dipahami, tidak berbelit-belit," katanya.

Itu dulu. Sebelum jadi politikus. Sebelum jadi ketua parlemen.

Semoga semua orang sejahtera, tidak ada lagi yang prasejahtera! 

Senin, 23 Januari 2023

Mampir Sejenak di Margasiswa PMKRI Surabaya

Cukup lama saya tak singgah di Margasiswa PMKRI Surabaya. Persis di samping Hotel Garden Palace, Jalan Taman Simpang. Gedung tua peninggalan Belanda yang masih sedap dipandang.

Bangunan tempo doeloe itu ada tulisan Houtstra. Mungkin meneer (tuan) Belanda yang empunya rumah. Kemudian diambil alih Keuskupan Surabaya. Diberikan ke PMKRI Sanctus Lukas Surabaya sebagai margasiswa atau kantor sekretariat. Hebat sekali PMKRI Surabaya!

PMKRI di kota-kota lain tidak semujur PMKRI Surabaya. Margasiswanya kontrakan. Pindah-pindah. Lebih sering di kos-kosan pengurus atau ketua presidium. Contohnya PMKRI Jember. Sama sekali tidak ada bantuan dari hirarki untuk kontrak margasiswa.

Karena itu, teman-teman di PMKRI Jember dulu sangat cemburu dengan Surabaya. Jangankan margasiswa, rama moderator pun tak ada. Beda dengan Surabaya yang punya moderator resmi. Diangkat langsung oleh Uskup Surabaya.

Dulu saya sering singgah di margasiswa PMKRI Surabaya ini. Menginap, wisata, ngobrol, diskusi dengan kawan-kawan Sanctus Lukas. Nginap berhari-hari gratis. Kalau urusan makan minum ya beli sendiri di warung Mbak Lis di depan margasiswa. Warung itu sangat terkenal dengan menu rawon yang khas. Penggemarnya sangat banyak.

Sabtu 21 Januari 2023. Saya singgah di rumah singgah, eh, margasiswa PMKRI Surabaya. Istirahat sambil menunggu acara Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besar Flores di Surabaya Raya. Acaranya di Balai Pemuda. Sekitar 100 meter dari margasiswa.

Oh, di manakah warung Mbak Lis? Di mana Mas Gatot?

Halaman PMKRI Surabaya bersih total. Tak ada bangunan warung dan pondokan Mas Gatot sekeluarga di belakang. "Sudah pulang ke Jember," kata seorang pelanggan lama di dekat Garden Palace.

Oh, Tuhan!

Saya dan pelanggan-pelanggan lama kehilangan betul masakan khas Mbak Lis. Selain rawon, soto, pecel, oseng-oseng juga enak. Dulu anak-anak PMKRI biasa ngebon kalau belum dapat kiriman dari orang tua. Mbak Lis hafal di luar kepala.

Mas Gatot juga teman ngobrol yang enak. Apalagi kalau bicara kitab suci. Meski tinggal di dalam kompleks katolik, Mas Gatot ini orang pentakosta. Sangat rajin baca Alkitab. Beda dengan kita orang yang tidak hafal ayat-ayat suci.

"Bu Lis dan keluarga sudah pulang. Ada acara perpisahan cukup besar dengan para senior (alumni)," kata Stanley, mantan ketua PMKRI Surabaya.

Hujan deras, petir menggelegar. Saya pun diajak diskusi bersama ketua presidium, pengurus biro, penghuni margasiswa. Kebetulan semuanya berasal dari Flores. Khususnya Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur. Hanya satu orang mahasiswi yang asal Sulawesi Selatan. Itu pun pacarnya cowok Flores.

Ya, ya, ya... PMKRI di mana pun selalu jadi tempat (mengutip himnenya): melatih diri, menggalang budi, bagi gereja dan negara Indonesia. Pro ecclesia et patria!

Tapi, di sisi lain, yang tak kalah penting, PMKRI juga jadi tempat ajar kenal lawan jenis. Bibit-bibit asmara sering tumbuh subur di sini. Sebagian besar ketua presidium baik di Surabaya, Jember, Malang, Jakarta dsb dapat jodoh di organisasi mahasiswa ekstrakampus itu. Aktivis ketemu aktivis cocoklah.

Hujan masih deras di malam tahun baru Imlek. Para junior ini rupanya sangat antusias bicara tentang kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Juga sikap hirarki atau KWI yang cenderung membisu dalam kasus Papua.

Saya agak kewalahan karena sudah lama kurang minat bahas politik. Apalagi soal Papua. Pengetahuan saya sangat kurang. Maka saya hanya bisa merespons secara normatif. Termasuk "memahami" posisi gereja di Papua. Kebetulan Uskup Jayapura Mgsr Leo Laba Ladjar orang Lembata juga. Bapa Uskup ini memang sangat hati-hati kalau bicara soal Papua yang masih bergejolak itu.

Berkumpul dengan aktivis-aktivis muda, ditemani kopi pahit asli Manggarai, membuat kita orang ikut semangat lagi. Ternyata masih banyak anak muda Katolik yang melakukan "ansos" (istilah khas di PMKRI dulu: analisis sosial). Mereka pun tidak main HP atau gawai saat diskusi.

Saya senang idealisme anak-anak muda masih menyala di era digital. Hujan mulai reda. Saya pamit ke Balai Pemuda untuk pesta Nataru bersama masyarakat Flores, Lembata, dan Alor. Adik-adik PMKRI Surabaya itu rupanya kurang tertarik ikut acara Natal bersama meski mereka semua, kecuali satu cewek itu, juga orang Flores asli.

Viva PMKRI!
Pro ecclesia et patria!