Sudah lama Ayas tidak membaca partitur musik. Paling cuma menengok partitur lagu-lagu Puji Syukur kalau ikut misa di gereja. Kalau ikut misa virtual di ponsel pasti tidak mungkin. Sebab aplikasi Puji Syukur dengan notasi sopran, alto, tenor, bas (SATB) itu hanya ada di HP.
Masalahnya, sejak pandemi hingga tahun ketiga ini Ayas tidak pernah misa langsung di gereja hari Sabtu malam atau Minggu. Cuma sekali thok ikut misa Malam Natal di Gereja Kayutangan, Malang, 24 Desember 2022 lalu.
Pagi ini, Ayas nggowes ke kawasan Juanda lalu mampir ke warkop Cak Man di Rungkut Menanggal. Dulu dia langganan Jawa Pos. Jadi, kita orang bisa istirahat, ngopi, sambil baca koran. Sejak awal pandemi Cak Aman berhenti langganan koran.
"Kemahalan koran sekarang. Sing baca juga wong tuwek-tuwek kabeh. Langgananku lebih sering main HP, " kata Cak Man tinggal di Brebek, Waru.
Karena tak lagi melanggan koran, Cak Man menutup gorengannya dengan kertas apa saja. Bukan lagi kertas koran. Buku-buku pelajaran anak sekolah pun dicopot. Kadang ada buku teks mahasiswa pun dirobek.
Oh, Tuhan.. betapa tak berharganya buku-buku kertas di era serba digital ini!
Ayas seperti biasa senang gorengan jemblem. Singkong diparut, dimasukkan gula merah, digoreng. Lekas kenyang. Makan dua jemblem sama dengan makan nasi.
Yang bikin Ayas kaget (dan kangen), Cak Man menutup gorengan jemblem dengan sobekan buku pelajaran seni suara SD. Ada partitur lagu ciptaan AT Mahmud berjudul Ambilkan Bulan Bu. Pakai not angka dan not balok.
Notasi Ambilkan Bulan, Bu di buku pelajaran kelas 6 SD itu pakai tangga nada natural. Akibatnya, nada-nadanya tinggi semua. Ketika sampai C (do) tinggi, maka garis paranada yang hanya lima itu tidak cukup. Harus dibuat garis bantu di atasnya.
Kok bisa main nada tinggi begitu? Mungkin cocok dengan suara anak yang mirip suara perempuan. Konsep dasar ini sering kita lupakan.
Ayas jadi ingat guru SD di pelosok Lembata tempo doeloe. Bapa Guru Paulus pernah mengajarkan lagu ini di kelas 3. Notasi angka ditulis di papan tulis hitam. Anak-anak kampung di NTT tidak pernah diajarkan not balok. Bapa Guru Paulus menulis not-not pakai kapur tulis cap Sarjana.
Murid-murid lalu diajak ke depan. Mengelilingi papan tulis itu. Bapa Guru kasih contoh. Sambil membuat ketukan pakai penggaris. Lalu ditirukan anak-anak.
Begitulah cara anak-anak di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor dulu belajar lagu-lagu baru. Harus pakai baca partitur. Sebab tidak ada kaset atau album artis sebagai contoh. Belajar dengan membaca partitur.
Lagu-lagu karya AT Mahmud tergolong enak dan mudah. Begitu juga lagu-lagu Ibu Soed, Bu Kasur, dan komposer lokal Flores Timur macam Petrus Pati Niron atau Anton Sigoama Letor.
Mendiang Petrus Pati Niron bahkan menerbitkan buku kumpulan lagu-lagu ciptaannya berjudul Marni. Buku itu dibagikan ke semua SD di Kabupaten Flores Timur. Dulu Pulau Lembata gabung dengan Flores Timur sebelum jadi kabupaten sendiri pada 1999.
Guru Paulus, Guru Martinus, Guru Sinta.. cukup menguasai lagu anak-anak khas Flores Timur di buku Marni itu. Yang paling hebat Guru Modesta.
Bu Modesta saat itu boleh dikata pelatih dan dirigen paduan suara terbaik tingkat kecamatan. Sebab kompetensinya tingkat SMA tapi Desta mau jadi guru SD di kampung. Sayang, Bu Desta meninggal dunia dalam usia di bawah 30 tahun.
Kopi panas racikan Cak Man sudah habis. Jemaah warkop makin banyak. Ayas harus melanjutkan gowes sepeda tua. Sambil bersenandung lagu anak-anak zaman old school itu: Ambilkan Bulan, Bu!