Cukup lama saya tak singgah di Margasiswa PMKRI Surabaya. Persis di samping Hotel Garden Palace, Jalan Taman Simpang. Gedung tua peninggalan Belanda yang masih sedap dipandang.
Bangunan tempo doeloe itu ada tulisan Houtstra. Mungkin meneer (tuan) Belanda yang empunya rumah. Kemudian diambil alih Keuskupan Surabaya. Diberikan ke PMKRI Sanctus Lukas Surabaya sebagai margasiswa atau kantor sekretariat. Hebat sekali PMKRI Surabaya!
PMKRI di kota-kota lain tidak semujur PMKRI Surabaya. Margasiswanya kontrakan. Pindah-pindah. Lebih sering di kos-kosan pengurus atau ketua presidium. Contohnya PMKRI Jember. Sama sekali tidak ada bantuan dari hirarki untuk kontrak margasiswa.
Karena itu, teman-teman di PMKRI Jember dulu sangat cemburu dengan Surabaya. Jangankan margasiswa, rama moderator pun tak ada. Beda dengan Surabaya yang punya moderator resmi. Diangkat langsung oleh Uskup Surabaya.
Dulu saya sering singgah di margasiswa PMKRI Surabaya ini. Menginap, wisata, ngobrol, diskusi dengan kawan-kawan Sanctus Lukas. Nginap berhari-hari gratis. Kalau urusan makan minum ya beli sendiri di warung Mbak Lis di depan margasiswa. Warung itu sangat terkenal dengan menu rawon yang khas. Penggemarnya sangat banyak.
Sabtu 21 Januari 2023. Saya singgah di rumah singgah, eh, margasiswa PMKRI Surabaya. Istirahat sambil menunggu acara Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besar Flores di Surabaya Raya. Acaranya di Balai Pemuda. Sekitar 100 meter dari margasiswa.
Oh, di manakah warung Mbak Lis? Di mana Mas Gatot?
Halaman PMKRI Surabaya bersih total. Tak ada bangunan warung dan pondokan Mas Gatot sekeluarga di belakang. "Sudah pulang ke Jember," kata seorang pelanggan lama di dekat Garden Palace.
Oh, Tuhan!
Saya dan pelanggan-pelanggan lama kehilangan betul masakan khas Mbak Lis. Selain rawon, soto, pecel, oseng-oseng juga enak. Dulu anak-anak PMKRI biasa ngebon kalau belum dapat kiriman dari orang tua. Mbak Lis hafal di luar kepala.
Mas Gatot juga teman ngobrol yang enak. Apalagi kalau bicara kitab suci. Meski tinggal di dalam kompleks katolik, Mas Gatot ini orang pentakosta. Sangat rajin baca Alkitab. Beda dengan kita orang yang tidak hafal ayat-ayat suci.
"Bu Lis dan keluarga sudah pulang. Ada acara perpisahan cukup besar dengan para senior (alumni)," kata Stanley, mantan ketua PMKRI Surabaya.
Hujan deras, petir menggelegar. Saya pun diajak diskusi bersama ketua presidium, pengurus biro, penghuni margasiswa. Kebetulan semuanya berasal dari Flores. Khususnya Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur. Hanya satu orang mahasiswi yang asal Sulawesi Selatan. Itu pun pacarnya cowok Flores.
Ya, ya, ya... PMKRI di mana pun selalu jadi tempat (mengutip himnenya): melatih diri, menggalang budi, bagi gereja dan negara Indonesia. Pro ecclesia et patria!
Tapi, di sisi lain, yang tak kalah penting, PMKRI juga jadi tempat ajar kenal lawan jenis. Bibit-bibit asmara sering tumbuh subur di sini. Sebagian besar ketua presidium baik di Surabaya, Jember, Malang, Jakarta dsb dapat jodoh di organisasi mahasiswa ekstrakampus itu. Aktivis ketemu aktivis cocoklah.
Hujan masih deras di malam tahun baru Imlek. Para junior ini rupanya sangat antusias bicara tentang kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Juga sikap hirarki atau KWI yang cenderung membisu dalam kasus Papua.
Saya agak kewalahan karena sudah lama kurang minat bahas politik. Apalagi soal Papua. Pengetahuan saya sangat kurang. Maka saya hanya bisa merespons secara normatif. Termasuk "memahami" posisi gereja di Papua. Kebetulan Uskup Jayapura Mgsr Leo Laba Ladjar orang Lembata juga. Bapa Uskup ini memang sangat hati-hati kalau bicara soal Papua yang masih bergejolak itu.
Berkumpul dengan aktivis-aktivis muda, ditemani kopi pahit asli Manggarai, membuat kita orang ikut semangat lagi. Ternyata masih banyak anak muda Katolik yang melakukan "ansos" (istilah khas di PMKRI dulu: analisis sosial). Mereka pun tidak main HP atau gawai saat diskusi.
Saya senang idealisme anak-anak muda masih menyala di era digital. Hujan mulai reda. Saya pamit ke Balai Pemuda untuk pesta Nataru bersama masyarakat Flores, Lembata, dan Alor. Adik-adik PMKRI Surabaya itu rupanya kurang tertarik ikut acara Natal bersama meski mereka semua, kecuali satu cewek itu, juga orang Flores asli.
Viva PMKRI!
Pro ecclesia et patria!