Sudah lama ada ide agar di setiap gereja (katolik) dibuat ruangan untuk menampung para musafir. Siapa saja boleh bermalam di situ. Makan, minum, mandi dsb gratis.
Uang kolekte kan banyak? Ada juga amplop persembahan, aksi puasa, aksi Natal, derma atau donasi umat. Ada juga yang kasih perpuluhan meski kadang tak sampai 10%.
Sayang, ide lawas itu belum terbentuk. Gereja-gereja di kota, khususnya di Jawa, yang dibangun justru ruang adorasi, ruang dan Gua Maria dan sebagainya. Padahal sembahyang adorasi & sembahyang rosario bisa dilakukan di dalam gereja.
''Bahkan, ada desas desus kalau gedung semakin indah, maka kolekte semakin banyak. Jadi yang dikejar adalah uang," tulis Romo Yohanes Gani, CM.
Romo Gani pagi ini kembali melakukan otokritik terhadap gereja-gereja, ya pastor, pendeta, jemaat, dsb yang mengabaikan kesalehan sosial. Orang kota makin terjebak ritualisme. Lupa dengan kata-kata Yesus Kristus:
"Sabab nalika Ingsun kerapan, sira ora nyaosi dhahar; nalika Ingsun kasatan, sira ora nyaosi ngunjuk;
nalika Ingsun lelana, sira ora nyaosi palereban; nalika Ingsun gerah, lan ana ing pakunjaran, sira ora sowan."
Tulisan Romo Gani ini patut direnungkan. Syukur-syukur ada pater atau dewan paroki yang mau mengawali proyek kemanusiaan peduli kaum papa.
ROBOHNYA SURAU KAMI
Oleh Romo Yohanes Gani CM
Robohnya Surau Kami adalah judul cerita yang ditulis oleh AA Navis dan diterbitkan dalam majalah Kisah pada tahun 1955. Inti cerita adalah ada seorang kakek yang saleh dan menjaga surau.
Suatu hari dia kedatangan seorang bernama Ajo Sidi yang bercerita tentang seorang bernama Haji Saleh yang masuk neraka. Padahal haji Saleh adalah seorang saleh yang melakukan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Dia protes kepada Tuhan, mengapa Tuhan memasukannya dalam neraka. Tuhan menjawab kesalahan haji Saleh karena dia hanya mementingkan diri sendiri, yaitu sembahyang, membaca kitab, dan menjalankan ajaran agamanya tetapi lupa akan situasi sekitarnya. Dia dianggap tidak peduli pada masyarakat yang menderita di sekitarnya.
Cerpen ini merupakan kritik AA Navis terhadap penganut agama yang hanya fokus memuji Allah tetapi lupa akan situasi di sekitarnya. Orang berlomba membuat rumah ibadah besar dan megah, padahal ada banyak orang miskin dan terlantar.
Dorothy Day pernah mencetuskan pemikiran agar di setiap gereja ada sebuah ruangan untuk menampung orang-orang yang dalam perjalanan atau orang-orang yang tidak punya rumah agar mereka dapat melewati malam dengan aman dan nyaman. Tetapi sampai sekarang ide itu belum terwujud.
Sebaliknya di setiap gereja sekarang ada ruang adorasi, meski orang dapat adorasi di dalam gereja. Orang berlomba memperindah gedung, padahal berapa persen umat yang datang untuk berdoa. Bahkan ada desas desus kalau gedung semakin indah, maka kolekte semakin banyak. Jadi yang dikejar adalah uang.
Seandainya dana untuk pembangunan gedung-gedung ibadah itu dijadikan modal berputar bagi kaum miskin, tentu akan ada banyak orang tertolong.
Dengan demikian, kritik AA Navis masih berlaku sampai saat ini, dimana orang hanya sibuk dan ribut soal aturan ibadah, aturan agama, bahkan sampai bertengkar hebat, tetapi melupakan atau tidak peduli pada situasi masyarakat yang miskin.
Menurut penelitian Yayasan Bertelsman di Jerman, Indonesia termasuk negara yang paling relegius di dunia. Hal ini didasarkan kriteria sebagian besar rakyat Indonesia percaya pada Tuhan, percaya dunia roh dan kuasa gaib, berdoa secara teratur dan fanatik terhadap agama. Tetapi hampir semua umat beragama masih fokus pada pengejaran kesalehan pribadi agar masuk surga, sehingga melupakan kesejahteraan masyarakat.
Orang memeluk agama tanpa memeluk kemanusiaan atau rasa keagamaannya lebih tebal daripada rasa ketuhanannya. Orang hanya menjunjung tinggi agama tetapi melupakan substansinya. Akibatnya meski mengaku dan diakui sebagai negara religius tetapi tingkat korupsi masih tinggi, pelecehan terhadap sesama manusia masih kuat, kebebasan sipil (beragama, berserikat, berpendapat) kurang perlindungan. Maka tidak heran bila ada bupati atau masyarakat yang melarang perayaan Natal.
Maka tidak cukup beragama dan hanya fokus untuk masuk surga dengan menjalankan ajaran agama secara ketat. Perlu mencintai Tuhan yang terwujud dalam cinta kepada sesama dan semesta. Perlu menghargai sesama dan semesta.
Jika hanya fokus hanya berdoa dan membuat gedung megah atau liturgi mewah maka mungkin apa yang diceritakan oleh Ajo Sidi bahwa haji Saleh masuk neraka ada benarnya. (*)