Kamis, 24 Maret 2022
Kaget melihat motor plat EB di MERR Surabaya
Selasa, 22 Maret 2022
Pisang goreng diganti pisang rebus
Sabtu, 19 Maret 2022
Menikmati Kapal Rindu di Suramadu Bangkalan
Memeng-memeng telanjang dada di Lembata
Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.
Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.
Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.
Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.
Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.
Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.
Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.
Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum.
Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.
Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!
Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.
Mea culpa, mea maxima culpa!