Kamis, 28 Oktober 2021

Nostalgia Alumni Graffiti SMAN 1 Malang

Saya suka lagu-lagu tempo doeloe, nostalgia, tapi kurang suka nostalgia sekolah. Karena itu, saya tidak pernah ikut reuni. Mulai SD di pelosok Lembata, SMPK San Pankratio di Larantuka, SMAN 1 Larantuka lalu pindah ke SMAN 1 Malang, hingga kuliah.

Saya pun hampir tidak pernah kontak-kontakan dengan teman sekolah. Hanya satu orang teman sekolah yang sering kontak. Gabriel Hokon, teman satu kelas di SMAN 1 Larantuka (dulu namanya SMAN 468). Kebetulan Gabriel tinggal di Surabaya dan kayaknya ia perlu teman yang bisa berbahasa Lamaholot dan Nagi alias Melayu Larantuka.

Saya cuma satu tahun di SMAN 1 Larantuka. Lalu kabur bareng ke Jawa bersama teman-teman seperjuangan dari berbagai kabupaten di NTT. Ada yang pindah ke Jogja, Semarang, Malang, dan beberapa kota lain. Saya bersama lima kawan ditempatkan di Malang.

Dua orang di SMAN 1 Malang (Lambertus dan Ivon), dua di SMAN 3 (Yohanes dan Yoke), dan dua di SMAN 4 (Paulina dan Ruth Laiskodat). Praktis tidak ada kontak dengan lima kawan ini meski kami pernah senasib dan sependeritaan. Makan bareng di Belakang RSSA, sempat kesulitan adaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan di NTT.

Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba ada 'orang penting' yang mencari saya. "Katanya teman satu kelas sampean di SMA dulu. Pak Edwin namanya," kata kolega di kantor. Edwin tinggalkan nomor WA-nya. Minta segera dihubungi.

Edwin.. Edwin.. Daya ingat saya sudah tidak sebagus dulu. Edwin kawan sekelas di SMA? Ouw.. Edwin Kurniawan. Orangnya asyik, suka guyon, bikin kerasan anak pindahan seperti saya.

Begitu saya kontak nomornya, Edwin langsung nyambung. Suaranya sudah beda tapi ketawanya masih khas orang sukses.

Singkat cerita, saya diminta segera masuk WA Group bernama Graffiti Smansa Ngalam. "Sampean dicari teman-teman," katanya.

Saya agak bimbang masuk WAG. Sudah banyak grup yang saya tinggalkan (left) karena materi obrolan dan konten-konten tidak menarik. Hanya bikin penuh memori ponsel.

Tapi ini grup satu kelas sesama Mitreka Satata, julukan populer SMAN 1 Malang. Sama-sama Graffiti: julukan Jurusan Fisika, A1-3. Semuanya saling kenal. Umurnya sebaya. Kalaupun ada selisih usia paling banyak cuma setahun. Tidak akan ada pemalsuan umur atau identitas lainnya.

Satu kelas ibarat keluarga besar. Sama-sama saling tahu kelebihan, kekurangan, kenakalan, kekonyolan, dsb.

Pikir punya pikir.. akhirnya saya gabung grup Graffiti. Dan, nama-nama lawas pun bermunculan. Semula samar jadi terang. Teman-teman yang dulu kurus-kurus kini jarang yang kurus. Itu terlihat dari fotonya. Yang dulu gondrong sudah banyak yang tipis.

Masuknya saya membuat grup mendadak jadi ramai. Kangen-kangenan. Nostalgia. Cerita-cerita ringan, kadang konyol, saat saya digembleng sebagai anak pindahan. Juga siswa asal NTT yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Yang logatnya aneh sehingga mengundang tawa.

Di kelas Graffiti, saya memang cukup terkenal. Bukan karena pintar atau punya prestasi, tapi aksen Flores Timur yang kental. Saat itu saya pun belum begitu lancar berbahasa Indonesia baik dan benar.

Saya masih sering keceplosan ungkapan lokal seperti "kita orang", "pigi", "su" (sudah). Kata yang mestinya diucapkan pakai e (pepet) saya lafalkan dengan é.

Karena itu juga, saya sering digembleng oleh beberapa guru. Sering sekali disuruh maju di depan kelas. Jadi pusat perhatian teman-teman sekelas yang 40-an orang itu.

Salah satunya Pak Supaat, guru bahasa Indonesia. "Lambertus maju. Coba ceritakan ulang isi bacaan tadi!" perintahnya.

Mati aku! Saya pun maju dan mulai orasi. Menceritakan kembali bacaan dari buku teks bahasa Indonesia itu. Logat NTT sengaja saya tonjolkan, narasinya saya tambahi sendiri agar lebih menarik. Kawan-kawan sekelas pun tertawa ngakak.

Hari lain, Pak Paat menulis kalimat majemuk, panjang, dengan sejumlah kesalahan. "Lambertus maju! Coba Anda jelaskan mengapa kalimat itu salah," katanya.

Tidak mudah memang berdiri di depan kelas di hadapan 40 orang. Apalagi orang desa asal NTT disuruh berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar di depan para pelajar Kota Malang dengan status sosial ekonomi tinggi.

Asal tahu saja, SMAN 1 dan SMAN 3 tergolong sekolah negeri favorit di Malang. Hanya anak-anak yang NEM-nya tinggi yang bisa diterima. NEM saya pun jauh di bawah standar. Saya bisa masuk SMAN 1 Malang karena ada rekomendasi Dikbud NTT.

Kembali ke WAG. Luluk rupanya masih ceria dan telaten mencatat nama-nama teman satu kelas di Graffiti Smansa. Nama saya paling buntut karena anak pindahan. Sama dengan masa sekolah dulu.

Ira yang murah senyum, ramah, tidak banyak bicara, tekun ternyata sudah jadi dokter. Ira sempat share lomba nyanyi dan joget dalam rangka hari jadi rumah sakit tempat kerjanya. Dapat hadiah Rp 500 ribu katanya.

Gak nyangka Ira yang pendiam sudah begitu centil dan heboh begini. Mungkin sejak kuliah di kedokteran. Dokter-dokter memang perlu gembira khususnya di masa pandemi ini. Biar pasien senang dan tahan menghadapi serangan virus.

Bagaimana dengan Sri Astuti? "Sudah nggak ada," tulis seorang kawan di grup.

Oh, Tuhan!
Sri sudah berpulang.

Saya jadi ingat kawan yang satu ini. Periang, ramah, dan sering gojlok saya saat belajar mengenal kata-kata bahasa Jawa. Doaku untukmu Sri.. semoga tenang bersama-Nya.

Selasa, 26 Oktober 2021

Naik kapal terbang harus tas-tes-tos PCR mahal

Pandemi covid ini bikin ngelu. Khususnya tas-tes-tos yang mahal (bagi kebanyakan orang Indonesia). Naik kapal terbang harus tes PCR. Padahal biasanya cuma tes antigen yang relatif murah.

Mau naik kereta api tes covid dulu. Tapi cukup tes sebul ala Genose yang cuma Rp 30 ribu. Sebelumnya Genose Rp 20 ribu. Saya beberapa kali tes Genose saat hendak numpak sepur.

Tes PCR sejak awal panllimkmi memang jadi masalah karena mahaaaal. Pernah Rp 1,3 juta sekali tes. Dan masa berlakunya pun dua hari saja. Bisa mati kelaparan orang Indonesia yang penghasilannya masih di bawah UMK Rp 4 juta sebulan.

Syukurlah, setelah muncul banyak kecaman, pemerintah kemudian menurunkan tarif tes-tes deteksi covid yang selangit itu. Begitu banyak orang Indonesia yang gejala-gejalanya positif covid tidak mau tes PCR karena tidak mampu bayar 1 juta lebih.

Selasa Kliwon ini koran-koran memuat berita tarif PCR diturunkan jadi Rp 300 ribu. Masa berlaku 3x24 jam. Alasan pemerintah: sebagai penyeimbang pelonggaran PPKM.

Tapi mengapa harus PCR? Mengapa tes antigen tidak boleh? Apalagi genose yang dikecam banyak pakar kesehatan atawa dokter itu?

Celakanya lagi, Menteri Luhut Pandjaitan bilang syarat tes PCR ini akan diperluas jelang libur panjang akhir tahun. Bukan cuma kapal terbang, tapi juga kapal laut, dan kapal darat (kereta api). Tes antigen dan genose yang relatif terjangkau tidak akan lagi dipakai.

Lengkap sudah penderitaan ini. Pandemi korona menghancurkan begitu banyak tatanan. Namun, di sisi lain, tas-tes-tos jadi ladang dagang bisnis yang tak ada matinya.

Senin, 25 Oktober 2021

Syukurlah, koran masih laris!

Semalam ada dua pertandingan sepak bola kelas kakap. Big game. Barcelona vs Real Madrid dan MU vs Liverpool. Kedua laga tidak terlalu larut. El Clasico kali ini tidak lagi di atas pukul 01.00 WIB.

Saya nikmati kedua laga itu. Anggap saja hiburan penambah imunitas badan di masa pandemi covid. Sayang, Manchester United meski sudah diperkuat Ronaldo tetap saja melempem. Dipermalukan 0-5 di depan pendukungnya.

Mo Salah jadi protagonista dengan borong tiga gol. Ronaldo dan Pogba jadi antagonista. Pogma kena kartu merah. Mestinya Ronaldo juga begitu. Masih untung cuma dapat kartu kuning.

El Clasico kali ini hambar. Ibarat sayur tanpa garam. Tanpa superstar sekelas Messi dan Ronaldo, maka Barcelona vs Real Madrid tidak jauh berbeda dengan pertandingan-pertandingan lainnya di Eropa.

Saya tidak terlalu sedih meski Barca kalah 1-2. Tim asuhan Koeman itu memang masih jauh dari era keemasan Tika Taka. Atau era Ronaldinho dulu yang bagaikan tukang sihir di lapangan hijau.

Nonton dua pertandingan sekaligus ujung-ujungnya membuat badan lelah. Mata ngantuk berat. Aku pun ketiduran di dalam gedung tua di kawasan Oud Soerabaia. Dekat medan pertempuran Arek-Arek Suroboyo di kawasan Jembatan Merah yang terkenal itu.

Syukurlah, tidak sempat mimpi ketemu nonik- onik atawa mevrouw Belanda yang galak-galak. Ada tasbih kecil 33 biji dari kawasan Ampel yang saya beli saat mampir wisata ke sana. Tasbih itu dipakai untuk mendaraskan Ave Maria Gratia Plena....

Senin pagi, 25 Oktober 2021. Aku balik lewat Kembang Jepun, berhenti sejenak di pinggir Jalan Kapasan. Ada dua lapak surat kabar. Satunya ibu-ibu, satunya bapak-bapak. Jualan koran jauh sebelum ada internet.

Aku pun membeli koran Jawa Pos dan Kompas. Lalu ngobrol sejenak, pura-pura wawancara khas pegawai pemasaran yang menyamar. "Korannya laku, Bu? Beritanya menarik gak?"

"Alhamdulillah, ada saja rezekinya. Masih banyak yang beli koran kok," kata mama yang logatnya agak berbau telo lema.

Wawancara atawa survei pasar enteng-entengan seperti ini memang tidak boleh gratisan. Harus membeli korannya dulu. Bila perlu uang kembalian dijadikan tips.

Ibu itu bilang penjualan koran merosot sejak ada internet, media sosial, dan sebagainya. Ditambah PSBB yang kemudian ganti nama berkali-kali, PPKM darurat, level 3, level 3 dst, hasil jualan korannya turun banyak.

"Tapi pembeli-pembeli tetap masih banyak. Ini paling dua jam lagi habis," kata mama itu.

Alhamdulillah. 

Kata-kata pedagang koran di Kapasan ini bikin senang orang-orang yang masih bekerja di pabrik media cetak, khususnya surat kabar alias koran. Sudah lama koran-koran diramalkan lekas mati gara-gara dirupsi digital, revolusi internet, dsb. Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya benar.

Memang benar sudah banyak koran yang gulung tikar dalam 10 tahun terakhir. Majalah-majalah juga begitu. Tapi yang namanya bisnis ya seperti itu. Airlines juga banyak yang bangkrut. Perusahaan taksi lama pun kolaps karena ojek dan taksi online.

 Warung, restoran, depot, bahkan gereja sekalipun banyak yang kehilangan pelanggan. Kita orang harus optimistis. Sebab, kitab suci bilang bahwa burung-burung di udara pun Dia kasih makan.

Minggu, 10 Oktober 2021

Gregorius Soeharsojo Goenito berangkat menemui Tuhan sumber gembira



Gara-gara pandemi kita orang dianjurkan untuk mengurangi mobilitas. Mengurangi bepergian. Jaga jarak. Pakai masker (dua lapis). Rajin cuci tangan pakai sabun. Disiplin prokes 5M.

Protokol kesehatan itu memang baik untuk mengatasi wabah korona. Tapi di sisi lain kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan teman, kerabat, kenalan, atau orang dekat.

Eh, tiba-tiba muncul kabar dukacita. Mas X sudah nggak ada. Bapak Y sampun kepundut. Innalilahi...

Sudah satu tahun ini saya tidak mampir ke rumah 
 di kawasan Beringinbendo, Taman, Sidoarjo. Pria kelahiran 10 Februari 1936 itu seniman serbabisa yang dulu dibuang di Pulau Buru gara-gara aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Pak Greg dipenjara beberapa kali. Terakhir di Nusa Kambangan. Kemudian dibawa ke Pulau Buru. Banyak sekali cerita-cerita menarik yang disampaikan Pak Greg tentang pengalaman di Buru. "Puji Tuhan, kita orang masih dikasih napas oleh Tuhan. Sementara Pak Harto sudah lebih dulu dipanggil Tuhan," kata Pak Greg lantas tertawa kecil.

Musik, puisi, melukis, deklamasi... tak pernah lepas dari Greg Soeharsojo. Selama di Pulau Buru pun ia tetap berkarya. Bikin sketsa para tahanan politik yang kerja di sawah, babat alas, ngopi sambil diskusi, hingga terpaksa makan tikus untuk menambah protein.

"Tikus itu biasa dimakan mentah," kata Greg.

Seniman yang tempo dooeloe belajar di Balai Pemuda Surabaya itu tak lupa mengabadikan adegan para tahanan Pulau Buru makan tikus itu dalam salah satu karya sketsanya. Jadi guyonan pahit.

 "Yah.. namanya juga tahanan ya rekoso. Yang penting, kita orang masih hidup to. Tuhan Allah masih piara kita," kata kakek yang selalu riang itu.

Pak Greg selalu menirukan gaya bahasa Melayu pasaran ala Pulau Baru, Maluku, setiap kali bertemu saya. Mengenang masa-masa pembuangan yang pahit. Logat Maluku masih bagus meski sudah lama jadi orang bebas di Jawa dengan bonus kode ET di kartu tanda penduduknya.

Akhir September atau awal Oktober biasanya saya mampir ke rumah Greg Soeharsojo. Pancing dia bicara tentang G30S, Pancasila sakti, pembuangan sekitar 15 ribu tahanan politik ke Pulau Buru karena dianggap simpatisan kelompok kiri.

Diskusinya ringan-ringan saja. Lebih banyak guyon. Pak Greg yang juga seniman biola itu kadang saya minta menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang menggelegar itu. Karya Subronto Kusumo Armodjo, komponis hebat yang juga dibuang di Pulau Buru.

"Pak Subronto itu guru musik saya. Beliau komponis yang luar biasa. Juga pakar paduan suara. Beliau yang mengajar kami cara jadi dirigen paduan suara yang benar. Harus tegas, berwibawa, mantap. Jangan lembek tangannya kayak orang usir nyamuk," kata Greg tentang Subronto.

Coba Pak Greg kasih contoh. Maka, Greg pun bernyanyi sambil membirama layaknya dirigen paduan suara besar. "Nasakom bersatu.. singkirkan kepala batu...," begitu antara lain syair Mars Nasakom Bersatu.

Luar biasa, Pak Greg. Masih segar ingatannya tentang seluk beluk remeh temeh di Pulau Buru. Ia juga mencatat syair lagu-lagu lama, khususnya seriosa di buku catatannya. Salah satunya Malam Indah yang memang indah. Orang yang pernah belajar seriosa pasti hafal lagu itu.

Akhir September lalu saya ingin sekali mampir di rumah Pak Greg meski masih ada larangan berkunjung ke rumah lansia. Sebetulnya saya sering melintas di atas jalan layang Trosobo. Rumah Pak Greg kelihatan dari atas flyover itu. Tapi saya tidak berani mampir karena... Mbak Corona itu tadi.

Kali ini saya nekat aja mampir. Pakai masker ganda, jaga prokes. Toh pandemi covid sudah melandai.

Oh, Tuhan... Bapa Gregorius Soeharsojo sudah tak ada lagi di dunia. Pergi menghadap Bapa di surga.

"Bapa meninggal bukan karena covid tapi penyakit yang lain. Sudah lama sakit sih," kata putrinya.

Kelu lidah saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memanjatkan doa pendek. Semoga Pak Greg berbahagia bersama-Nya.

Kali terakhir bertemu kondisi Pak Greg memang kurang segar. Tidak sekuat ketika istrinya masih hidup. Setelah sang istri berpulang, sebelum pandemi covid, kesehatan beliau memang menurun. Lebih banyak diam dan merenung.

Namun, Pak Greg saat itu tiba-tiba antusias menyanyikan lagu gereja lama dari buku Madah Bakti: Tuhan Sumber Gembiraku.

"Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku
Segala rumput pun riang ria
Tuhan sumber gembiraku."

Saya dan Pak Greg pun bersama-sama menyanyikan lagu yang dulu memang sangat populer di Gereja Katolik itu. Rupanya inilah nyanyian terakhir Pak Greg sebelum berangkat menemui Tuhan, sumber sukacita dan kegembiraan itu.

Selamat jalan, Pak Greg!
Matur sembah nuwun!

 

Rabu, 06 Oktober 2021

Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya

Saya jadi ingat Andri Setiawan dan ayahnya, Prof Dr dr Trijono Karmawan Sukana Prija, SpRad (K). Keduanya meninggal hampir bersamaan karena Covid-19.

Pak Tri, sapaan akrab Prof Trijono, meninggal pada 18 Agustus 2021. Sedangkan Mas Andri menyusul papanya pada 26 Agustus 2021. Hanya berselang delapan hari.

Betapa dalamnya kehilangan pihak keluarga. Bu Ani kehilangan suami dan anak sulungnya. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada Bu Ani sekeluarga. Mas Bagus dan Mas Aswin sekeluarga semoga diberi ketabahan menghadapi ujian Tuhan ini.

Saya ikut tahlilan dua kali secara daring lewat Zoom. Pembacaan Surah Yaasiin dan Tahlil untuk mengenang Pak Tri dan Mas Andri Setiawan. Semua peserta larut dalam doa meski tidak bisa tatap muka layaknya tahlilan normal.

Saya ingat betul kebersamaan dengan Mas Andri, Pak Tri, sekeluarga. Sekitar tiga pekan sebelum berpulang, Mas Andri mengajak saya bersih-bersih dan semprot disinfektan di rumah kawasan Rungkut, Surabaya. Bantal, guling, kasur, dsb dikeluarkan. Dijemur.

Cairan disinfektan disiapkan. Kita semua harus jaga prokes. "Kita harus hati-hati karena pandemi ini makin berat," katanya.

Rupanya Tuhan punya rencana lain. Pak Tri masuk rumah sakit. Mas Tri belakangan dijemput dengan ambulans. Dirawat di rumah sakit. Perkembangannya naik turun. Kadang stabil, kadang turun.

Hingga akhirnya dipanggil Tuhan.

Begitu cepat Mas Andri pergi. Di usia 41 tahun. Ulang tahunnya 4 September lalu.

Tak banyak yang bisa kita lakukan selain berdoa dan berdoa. Semoga Andri dan ayahnya mendapat kebahagiaan di surga. Amin!

Senin, 04 Oktober 2021

Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?

Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah. 


Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai). 


Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.

 

Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.

 

Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.

 

Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.

 

Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?

 

Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!  

Senin, 27 September 2021

Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika

Ada berita kecil di media online dan cetak yang sangat menarik. Setidaknya untuk orang NTT baik di bumi Flobamora maupun tanah rantau.

Yesti Rambu Jola Pati diwisuda di Unitomo Surabaya. Lulus S1 FKIP jurusan matematika. IPK 3,49.

Yesti Rambu lulusan terbaik? Tidak juga. Malah hampir DO karena terlalu sibuk kerja di rumah. Yesti bukan siapa-siapa.

Perempuan asal Waibakul, Pulau Sumba, NTT, itu hanyalah seorang pembantu rumah tangga (PRT). Istilah sekarang ART: asisten rumah tangga.

Yesti merantau ke Surabaya tahun 2013. Punya ijazah SMA. Lalu cari kerja ke mana-mana. Akhirnya diterima sebagai pembantu alias ART itu.

Uang hasil kerjanya disimpan sedikit demi sedikit. Lalu Yesti pun punya tekad kuliah. Agar jadi sarjana. Agar tidak terus-terusan jadi pembantu. Agar lebih berguna bagi nusa dan bangsa.

Berbekal uang simpanan Rp 2,7 juta, Yesti Rambu pigi daftar ke Unitomo. Tidak jauh dari rumah majikannya di Nginden. Ouw.. kurang duit. Sebab uang pendaftaran saat itu Rp 4 juta.

Namun, bukan orang Sumba kalau gampang menyerah. Nekatlah dia. Akhirnya bisa kuliah. Banting tulang di rumah sebagai ART dan menyisihkan waktu untuk kuliah, garap tugas, dan sebagainya.

"Saya tidur jam 02.00 dan sudah bangun sebelum pukul 06.00," katanya.

Durasi tidur si Yesti jauh di bawah anjuran dokter yang delapan jam itu. Syukurlah, badannya kuat. Otaknya juga main. Padahal, jurusan matematika atau eksakta tentu tidak sederhana.

Sempat terancam DO karena ada masalah. Lalu tekadnya bulat lagi. Hingga sampai ke garis finis. 

Yesti Rambu menulis:

"Trima Kasih Tuhan Yesus Atas PenyertaanMu, AnugerahMu, Mujizatmu, PertolanganMu Kepdaku Slma Inu Tuhan😭😭.

Trimkasih Engkauh Sudah Membayar Air Mataku, Air KeringatKu Dengan Hasil Yng Memuaskan😭🙏🏻🙏🏻.
Trimksih Kepda BapakKu Umbu Delu D Raba, Mamaku Rambu Dulu Mosa...."

Mukjizat itu nyata!

Begitulah salah satu lagu rohani yang sangat populer di NTT. Yesti sudah merasakan mukjizat itu dalam perjalanan hidupnya sebagai ARTis hingga jatuh bangun pigi kuliah matematika.

Selamat untuk Yesti Rambu!