Senin, 25 Oktober 2021
Syukurlah, koran masih laris!
Minggu, 10 Oktober 2021
Gregorius Soeharsojo Goenito berangkat menemui Tuhan sumber gembira
Protokol kesehatan itu memang baik untuk mengatasi wabah korona. Tapi di sisi lain kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan teman, kerabat, kenalan, atau orang dekat.
Eh, tiba-tiba muncul kabar dukacita. Mas X sudah nggak ada. Bapak Y sampun kepundut. Innalilahi...
Sudah satu tahun ini saya tidak mampir ke rumah
di kawasan Beringinbendo, Taman, Sidoarjo. Pria kelahiran 10 Februari 1936 itu seniman serbabisa yang dulu dibuang di Pulau Buru gara-gara aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Pak Greg dipenjara beberapa kali. Terakhir di Nusa Kambangan. Kemudian dibawa ke Pulau Buru. Banyak sekali cerita-cerita menarik yang disampaikan Pak Greg tentang pengalaman di Buru. "Puji Tuhan, kita orang masih dikasih napas oleh Tuhan. Sementara Pak Harto sudah lebih dulu dipanggil Tuhan," kata Pak Greg lantas tertawa kecil.
Musik, puisi, melukis, deklamasi... tak pernah lepas dari Greg Soeharsojo. Selama di Pulau Buru pun ia tetap berkarya. Bikin sketsa para tahanan politik yang kerja di sawah, babat alas, ngopi sambil diskusi, hingga terpaksa makan tikus untuk menambah protein.
"Tikus itu biasa dimakan mentah," kata Greg.
Seniman yang tempo dooeloe belajar di Balai Pemuda Surabaya itu tak lupa mengabadikan adegan para tahanan Pulau Buru makan tikus itu dalam salah satu karya sketsanya. Jadi guyonan pahit.
"Yah.. namanya juga tahanan ya rekoso. Yang penting, kita orang masih hidup to. Tuhan Allah masih piara kita," kata kakek yang selalu riang itu.
Pak Greg selalu menirukan gaya bahasa Melayu pasaran ala Pulau Baru, Maluku, setiap kali bertemu saya. Mengenang masa-masa pembuangan yang pahit. Logat Maluku masih bagus meski sudah lama jadi orang bebas di Jawa dengan bonus kode ET di kartu tanda penduduknya.
Akhir September atau awal Oktober biasanya saya mampir ke rumah Greg Soeharsojo. Pancing dia bicara tentang G30S, Pancasila sakti, pembuangan sekitar 15 ribu tahanan politik ke Pulau Buru karena dianggap simpatisan kelompok kiri.
Diskusinya ringan-ringan saja. Lebih banyak guyon. Pak Greg yang juga seniman biola itu kadang saya minta menyanyikan lagu Nasakom Bersatu yang menggelegar itu. Karya Subronto Kusumo Armodjo, komponis hebat yang juga dibuang di Pulau Buru.
"Pak Subronto itu guru musik saya. Beliau komponis yang luar biasa. Juga pakar paduan suara. Beliau yang mengajar kami cara jadi dirigen paduan suara yang benar. Harus tegas, berwibawa, mantap. Jangan lembek tangannya kayak orang usir nyamuk," kata Greg tentang Subronto.
Coba Pak Greg kasih contoh. Maka, Greg pun bernyanyi sambil membirama layaknya dirigen paduan suara besar. "Nasakom bersatu.. singkirkan kepala batu...," begitu antara lain syair Mars Nasakom Bersatu.
Luar biasa, Pak Greg. Masih segar ingatannya tentang seluk beluk remeh temeh di Pulau Buru. Ia juga mencatat syair lagu-lagu lama, khususnya seriosa di buku catatannya. Salah satunya Malam Indah yang memang indah. Orang yang pernah belajar seriosa pasti hafal lagu itu.
Akhir September lalu saya ingin sekali mampir di rumah Pak Greg meski masih ada larangan berkunjung ke rumah lansia. Sebetulnya saya sering melintas di atas jalan layang Trosobo. Rumah Pak Greg kelihatan dari atas flyover itu. Tapi saya tidak berani mampir karena... Mbak Corona itu tadi.
Kali ini saya nekat aja mampir. Pakai masker ganda, jaga prokes. Toh pandemi covid sudah melandai.
Oh, Tuhan... Bapa Gregorius Soeharsojo sudah tak ada lagi di dunia. Pergi menghadap Bapa di surga.
"Bapa meninggal bukan karena covid tapi penyakit yang lain. Sudah lama sakit sih," kata putrinya.
Kelu lidah saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain memanjatkan doa pendek. Semoga Pak Greg berbahagia bersama-Nya.
Kali terakhir bertemu kondisi Pak Greg memang kurang segar. Tidak sekuat ketika istrinya masih hidup. Setelah sang istri berpulang, sebelum pandemi covid, kesehatan beliau memang menurun. Lebih banyak diam dan merenung.
Namun, Pak Greg saat itu tiba-tiba antusias menyanyikan lagu gereja lama dari buku Madah Bakti: Tuhan Sumber Gembiraku.
"Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku
Segala rumput pun riang ria
Tuhan sumber gembiraku."
Saya dan Pak Greg pun bersama-sama menyanyikan lagu yang dulu memang sangat populer di Gereja Katolik itu. Rupanya inilah nyanyian terakhir Pak Greg sebelum berangkat menemui Tuhan, sumber sukacita dan kegembiraan itu.
Selamat jalan, Pak Greg!
Matur sembah nuwun!
Rabu, 06 Oktober 2021
Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya
Senin, 04 Oktober 2021
Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?
Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah.
Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai).
Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.
Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.
Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.
Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.
Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?
Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!