Senin, 27 September 2021

Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika

Ada berita kecil di media online dan cetak yang sangat menarik. Setidaknya untuk orang NTT baik di bumi Flobamora maupun tanah rantau.

Yesti Rambu Jola Pati diwisuda di Unitomo Surabaya. Lulus S1 FKIP jurusan matematika. IPK 3,49.

Yesti Rambu lulusan terbaik? Tidak juga. Malah hampir DO karena terlalu sibuk kerja di rumah. Yesti bukan siapa-siapa.

Perempuan asal Waibakul, Pulau Sumba, NTT, itu hanyalah seorang pembantu rumah tangga (PRT). Istilah sekarang ART: asisten rumah tangga.

Yesti merantau ke Surabaya tahun 2013. Punya ijazah SMA. Lalu cari kerja ke mana-mana. Akhirnya diterima sebagai pembantu alias ART itu.

Uang hasil kerjanya disimpan sedikit demi sedikit. Lalu Yesti pun punya tekad kuliah. Agar jadi sarjana. Agar tidak terus-terusan jadi pembantu. Agar lebih berguna bagi nusa dan bangsa.

Berbekal uang simpanan Rp 2,7 juta, Yesti Rambu pigi daftar ke Unitomo. Tidak jauh dari rumah majikannya di Nginden. Ouw.. kurang duit. Sebab uang pendaftaran saat itu Rp 4 juta.

Namun, bukan orang Sumba kalau gampang menyerah. Nekatlah dia. Akhirnya bisa kuliah. Banting tulang di rumah sebagai ART dan menyisihkan waktu untuk kuliah, garap tugas, dan sebagainya.

"Saya tidur jam 02.00 dan sudah bangun sebelum pukul 06.00," katanya.

Durasi tidur si Yesti jauh di bawah anjuran dokter yang delapan jam itu. Syukurlah, badannya kuat. Otaknya juga main. Padahal, jurusan matematika atau eksakta tentu tidak sederhana.

Sempat terancam DO karena ada masalah. Lalu tekadnya bulat lagi. Hingga sampai ke garis finis. 

Yesti Rambu menulis:

"Trima Kasih Tuhan Yesus Atas PenyertaanMu, AnugerahMu, Mujizatmu, PertolanganMu Kepdaku Slma Inu Tuhan😭😭.

Trimkasih Engkauh Sudah Membayar Air Mataku, Air KeringatKu Dengan Hasil Yng Memuaskan😭🙏🏻🙏🏻.
Trimksih Kepda BapakKu Umbu Delu D Raba, Mamaku Rambu Dulu Mosa...."

Mukjizat itu nyata!

Begitulah salah satu lagu rohani yang sangat populer di NTT. Yesti sudah merasakan mukjizat itu dalam perjalanan hidupnya sebagai ARTis hingga jatuh bangun pigi kuliah matematika.

Selamat untuk Yesti Rambu!

Sabtu, 25 September 2021

Pelajaran Disiplin Waktu dari Prof Sahetapy

Di masa pandemi ini kita kehilangan banyak tokoh besar. Terakhir Prof JE Sahetapy. Guru besar emeritus FH Univeritas Airlangga itu berpulang dalam usia 88 tahun.

Prof Sahetapy lahir di Saparua, Maluku Tengah pada 6 Juni 1933. Kiprahnya sebagai akademisi hukum berlangsung selama puluhan tahun. Sahetapy juga salah satu dari sedikit pakar hukum kita yang fasih berbahasa Belanda.

Karena itu, Sahetapy yang paling getol menjelaskan latar belakang dan makna pasal dan ayat-ayat di KUHP, KUH Perdata, serta literatur-literatur hukum lain yang memang banyak merujuk ke Negeri Belanda.

Sahetapy bukan saja galak di luar tapi juga dalam gereja. Kritikannya sangat tajam dengan pelesetan yang khas. "Kalian ini selalu teriak Haleluya, Haleluya, Haleluya... tapi keluar dari gereja Hale Lupa," begitu ucapan khas Sahetapy di depan mahasiswa Kristen di mana-mana.

Kisruh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pun tak lepas dari sorotan Sahetapy. Ia menyebut Gereja HKBP sebagai Hancur Karena Bapak Pendeta.

Mahasiswa, aktivis GMKI, jemaat biasanya tertawa dan keplak-keplok. Tapi pendeta-pendeta (juga rama-rama) sering kebakaran jenggot karena disikat Sahetapy. Mendiang ini ibarat pendeta yang pintar menemukan ayat-ayat Alkitab untuk membantah argumentasi pendeta-pendeta tertentu yang dianggap keliru menafsirkan ayat suci.

"Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku menjadi musuhmu?"

Galatia 4:16 ini selalu dikutip Prof Sahetapy dalam ceramah-ceramahnya di komunitas kristiani. Kebenaran meski pahit harus disampaikan. Apa pun risikonya.

Saya sendiri senang mendengar kritik-kritik Sahatepy kepada pemerintah dan para pemimpin gereja. Plong karena unek-unek kita diwakili beliau. Tidak banyak orang yang berani menghajar penguasa dengan kata-kata yang keras dan kasar.

Sebagai akademisi Hollands Spreiken, Sahetapy dikenal sangat disiplin. Khususnya disiplin waktu. Janjian jam sekian harus ditaati. Terlambat sedikit saja habislah kau.

Itu yang pernah saya alami di awal reformasi. Saya janjian wawancara one-on-one di rumahnya tanggal sekian jam sekian. Prof Sahetapy sudah menunggu. Sayang, saya terlambat karena ada gangguan kendaraan. Terlambat tidak sampai 10 menit.

Saya pencet bel. Prof Sahetapy keluar. Wajahnya tegang. "Selamat sore, Prof. Maaf, saya terlambat," kataku sambil tersenyum.

Pak Sahetapy langsung nyemprot. "Anda ini paham disiplin atau tidak? Sekarang jam berapa? Anda janjian jam berapa? Silakan Anda pulang saja karena Anda ini sulit dipercaya!"

Apa boleh buat. Saya pun pamit pulang. Tak ada wawancara. Jantungku berdegup kencang. Baru kali ini saya dapat pelajaran mahal tentang disiplin waktu dari seorang profesor sekaliber JE Sahetapy.

Sekitar dua minggu kemudian ada seminar penting di Surabaya. Salah satu pembicaranya Prof Sahetapy. Saat sesi wawancara, para wartawan mengerubuti beliau. Rupanya Sahetapy masih ingat betul keterlambatan saya tempo hari.

"Kalian jangan tiru anak dari Flores itu. Anaknya tidak disiplin. Sudah janjian wawancara jam sekian tapi tidak ditepati," ujar Sahetapy.

Mati aku!
Malu aku!
Kapok aku!

Tapi saya tidak marah, malah senyum. Teman-teman wartawan yang ketawa melihat aku dikerjain Prof Sahetapy.

Sejak korsleiteng dengan Prof Sahetapy itu saya benar-benar belajar disiplin. Kalau janjian dengan siapa saja, saya biasanya datang 30 menit lebih awal. Paling sial 10 menit lah.

Sayang, tidak semua orang Indonesia punya prinsip dan disiplin keras macam Prof Sahetapy. Kita orang sudah disiplin, eh, narasumbernya malah bisa molor satu jam, bahkan dua jam. Mati aku!

Selamat jalan, Prof Sahetapy!

Sabtu, 11 September 2021

Menyambangi Tante Yuyun di Kelenteng Bangkalan

Baru kali ini kita orang pigi jalan-jalan sebentar di Madura. Hampir dua tahun tidak sempat ngeluyur ke pulau garam itu gara-gara pandemi Covid-19. Orang Madura sendiri sebenarnya tidak begitu ketat soal pembatasan sosial, social distancing, pakai masker dsb.


Setelah menikmati es degan di kaki Suramadu, sisi Madura, saya meluncur ke Bangkalan. Mampir ke Kelenteng Eng An Bio di Jalan PB Sudirman yang terkenal itu. Terkenal karena pernah dirusak dan dibakar oleh perusuh jelang lengsernya Pak Harto.

Namun, kejadian itu ibarat berkat tersembunyi. Kelenteng yang tadinya sempit kini jadi makin luas. Mungkin salah satu TITD yang paling luas dan indah interiornya di Jawa Timur. Asap-asap dupa, lilin, dan sebagainya tidak menimbulkan bau khas seperti di kelenteng-kelenteng lain.

Ni hao ma? Ibu Yuyun Kho tersenyum. "Yo, opo kabare? Kita orang bae-bae saja," kata pengurus kelenteng alias biokong asal Salatiga ini.

Meskipun Tionghoa, Yuyun Kho ini mengaku buta bahasa Mandarin. Bahasa Hokkian pun sedikit-sedikit. Dia lebih sering berbahasa Indonesia ala Melayu Tionghoa lawas. Bahasa cakapan yang mirip banget dengan bahasa Nagi alias Melayu Larantuka di Flores Timur.

Yuyun Kho baru saja kasih sajian untuk para dewa penghuni kelenteng. Tuan rumahnya Dewa Bumi atawa Hok Tik Ceng Sing. Ada Kwan Kong, Kwan Im, dan beberapa lagi.

"Hok Tik Ceng Sing itu dewa yang bawa rejeki. Orang Tionghoa biasanya rame-rame dateng ke sini biar rejekine  lancar. Malah bulan lalu ada orang Jawa yang dateng ke sini juga karena sudah dapet rejeki," kata Tante Yuyun.

Tante yang lahir bersamaan dengan tahun kemerdekaan Indonesia itu bilang ada tujuh altar di Eng An Bio. Dia siapkan teh tawar setiap hari untuk para dewa asal Tiongkok itu. Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.

Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati. 

Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.

Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.

"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.

Covid-19 atawa virus corona. Topik ini jadi bahan obrolan sembari menikmati kopi sasetan di aula kelenteng. Ada dua bapak Tionghoa dan satu orang Madura di situ. Ngomong ngalor ngidul soal corona yang berkepanjangan itu.

Gara-gara corona itulah acara-acara di kelenteng stop total selama hampir dua tahun ini. Sembahyang awal dan tengah bulan tidak ada. Kelenteng dinyatakan tertutup... meskipun sebenarnya kita orang bisa masuk pada jam kerja. Tentu saja kulo nuwun dulu sama Tante Yuyun Kho.

Bagaimana dengan acara kue bulan? Covid kan agak turun sekarang?

"Tetep ndak ada. Sembahyang sendiri-sendiri di rumah," kata Tante Yuyun.

Semoga pandemi ini segera berlalu dan kehidupan kembali normal. Termasuk persembahyangan di kelenteng-kelenteng. Kalau tidak ada sembahyangan, rezeki yang diterima Tante Yuyun pun anjlok. Bahkan nihil.

 Jemaat kelenteng itulah yang bagi-bagi rezeki untuk biokong macam Tante Yuyun. Tentu saja tidak mengabaikan perang sang dewa pembawa rezeki yang empunya kelenteng.

Kamis, 02 September 2021

Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas

Tempo doeloe wartawan biasa disebut njamoek pers. Makhluk kecil, terbang ke sana kemari, tidak punya otot tapi bisa bikin orang tidak bisa tidur nyenyak. Si nyamuk bisa ngang-nging-ngung di kuping atau mencokot kaki manusia.

Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.

Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.

Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.

Masalahnya, 99 persen orang Jawa Timur ini tidak punya watch dog. Tidak ada anjing penjaga yang menyalak dan menggigit pencuri atau maling. Andaikan ada watch dog, pelaku-pelaku kejahatan akan lari terbirit-birit. Dan majikannya akan bangun.

Kembali ke pers atau media massa.

Setelah era njamoek pers datanglah era koeli tinta. Lama benar istilah koeli tinta beredar meski para wartawan sudah pakai komputer.

Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.

Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.

Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.

Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.

"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.

"Di daerah Kalimas sana."

"Tanjung Perak?"

"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.

Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.

"Sampean bagian apa di Kalimas?"

"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.

Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.

Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.

"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.

Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.

Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.

Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.

"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."

"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.

Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.

Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o

Sabtu, 28 Agustus 2021

Selamat untuk Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Keuskupan Surabaya mendapat tambahan satu paroki baru. Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono memimpin langsung peresmian Paroki Santa Monika, Krian, Jumat 27 Agustus 2021. Bapa Uskup yang asli Tanjung Perak, Surabaya, itu didampingi sejumlah pastor dari Surabaya, Mojokerto, dan sekitarnya.

Selama puluhan tahun umat Katolik yang ada di Krian dan sekitarnya bergabung dengan Paroki St Yosef, Mojokerto. Meskipun Krian berada di Kabupaten Sidoarjo, lokasinya memang lebih dekat Mojokerto.

Perjuangan umat Stasi Krian untuk memiliki gereja sendiri, sekaligus paroki mandiri, sudah sangat lama. Perjuangan yang melelahkan, penuh cucuran keringat, air mata.. dsb. Mungkin Krian ini yang paling berat di Jawa Timur.

Sampai sekarang masih ada bangunan mangkrak yang jadi saksi bisu perjuangan itu. "Umat di Katolik di Krian ini memang sangat sabar, sabar, tidak putus asa," kata Uskup Sutikno.

Penantian dan kesabaran selama 30 atau 40 tahun itu akhirnya berbuah manis. Stasi Krian resmi melepaskan diri dari Paroki Mojokerto. Jadi paroki sendiri bernama Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Paroki terbaru di Keuskupan Surabaya ini memiliki 2.440 jiwa umat Katolik yang aktif. Ada lima wilayah, 23 lingkungan, dan dua stasi.

Stasi Mojosari, Mojokerto, sekarang ikut Paroki Krian. Stasi Citra Harmoni, Taman, yang sebelumnya masuk wilayah Paroki Karangpilang, Surabaya, juga resmi gabung ke Paroki Krian. Jauh lebih dekat ketimbang ke Karangpilang.

Sebagai paroki baru, tentu saja dewan pastoral paroki yang baru dilantik Uskup Surabaya perlu melengkapi sejumlah fasilitas standar sebuah paroki. Uskup Sutikno sempat menyebutkan beberapa pekerjaan rumah. Termasuk pastoran atau tempat tinggal pastor.

Profisiat untuk umat Paroki Krian!
Selamat melayani Tuhan dengan iman, harapan, dan cinta!

Rabu, 25 Agustus 2021

Tak Ada Lagi Umi di Jalan Karet dan Kembang Jepun

Dia lebih suka disapa Umi. Bukan Ibu atau Mak atau Bu.

Kalau disapa Umi, lekas banget dia menyahut. Sebaliknya, kalau dipanggil Mak atau Ibu, dia pura-pura tuli. Kurang suka sapaan Mak atau Ibu.

Maklumlah, Umi ini sudah lama pigi haji ke tanah suci. Hajah Umi.

Dan.. tidak gampang bagi wanita yang sehari-hati bekerja sebagai juru parkir (jukir) di pojokan Jalan Karet, Surabaya. Persimpangan Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Panggung, Jembatan Merah, Kalimas Timur.

Ke mana Umi? Kok gak kelihatan mengatur kendaraan-kendaraan yang sering semrawut di dekat gedung perusahaan perkapalan dan gedung tua Jawa Pos?

Seorang kerabat Umi, sesama orang Bangkalan, Madura, mendekat kepada saya. Lalu bicara setengah berbisik, "Umi sudah gak ada. Sudah hampir dua minggu ini," katanya.

Innalilahi...
Selamat jalan, Umi!

"Apakah beliau meninggal karena sakit? Covid atau apa?" gantian saya yang bisik-bisik karena covid itu sensitif.

Umi ini tergolong orang yang kurang percaya covid. Mbak Kholifah, pemilik warkop di pojok Jalan Karet juga sama. Kholifah meninggal sekitar tiga bulan lalu. "Bukan covid lho. Pencernaannya terganggu," kata Umi kepada saya.

"Sampean itu jangan kaitan dengan covid," kata Umi dalam logat Madura yang kental. Meskipun Umi sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya Utara.

Umi berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Dibonceng suaminya, Abah, mudik ke Madura. Saat melintas di Jembatan Suramadu, entah mengapa, motor ambruk. Tubuh Umi terlempar membentur aspal jembatan.

Sempat dibawa ke rumah sakit tapi Tuhan berkehendak lain. Abah selamat meski kakinya cedera. "Sudah takdir Allah. Kita ikhlaskan kepergian Umi," kata putra Umi yang meneruskan usaha warkop almarhumah Umi dan Kholifah.

Cukup lama saya mengenal Umi dan Kholifah. Persisnya sejak pindah kantor dari Ahmad Yani ke Kembang Jepun. Saya selalu mampir ngopi sambil melancarkan bahasa Madura saya. Maklum, sebagian besar pelanggan Umi dan Kholifah berbahasa Madura.

Umi itu narasumber yang akurat untuk jalan-jalan di Surabaya Utara. Khususnya kawasan Pecinan macam Jalan Karet, Gula, Kopi, Cokelat, Kembang Jepun, Samudera, Pasar Bong, Bibis, hingga Ampel, Nyamplungan, sampai ke laut di kawasan Kalimas.

Tukang-tukang ojek sering kesasar karena Google Maps tidak selalu akurat. Biasanya mereka turun dan bertanya ke Umi. Dan.. Umi pun bisa memberi tahu posisi jalan tersebut. "Gimana gak tau, wong sejak masih perawan saya sudah di sini," katanya.

Sejak belum menjadi suami pria sesama Madura yang kemudian jadi Abah (haji), Umi bekerja di kantor Jawa Pos. Kerja serabutan, bersih-bersih, seksi repot dsb. Saat itu koran Jawa Pos masih dikelola pendirinya The Tjoeng Sen.

Karena itu, Umi ingat betul nama-nama wartawan dan karyawan Jawa Pos tempo doeloe. Ketika Jawa Pos diambil alih majalah Tempo pada 5 April 1982, Umi pun masih bekerja di surat kabar terkenal tapi nyaris bangkrut itu.

Jawa Pos kemudian membesar dan membesar. Lalu pindah kantor dan percetakan di Karah Agung 45, dekat hamparan sawah yang luas tahun 1989. Bu Umi tidak ikut boyongan ke Karah. "Saya kerja serabutan di sini saja. Rezeki itu ada di mana-mana," katanya.

Maka, jadilah Umi tukang parkir perempuan pertama di kawasan Surabaya Utara. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak melihat jukir-jukir lain di kawasan Pecinan, Jembatan Merah, Kapasan, dan sekitarnya yang perempuan.

Profesi sebagai jukir dijalani dengan tekun. Abah juga usaha serabutan. Sedikit demi sedikit menabung, akhirnya pasangan suami istri itu bisa pigi naik haji. Pulangnya jadi Abah dan Umi.

Umi ini benar-benar hajah yang mabrur. Ibadahnya kuat betul. Di sela-sela jaga parkir dan atur lalu lintas di pojokan Jalan Karet, Umi selalu ngaji, ngaji, ngaji. Juga sembahyang dengan duduk. Umi menyediakan tempat khusus untuk salat dan ngaji di areal parkiran dekat depot terkenal.

Kemarin saya mampir ngopi di tempat yang biasa dipakai ngaji Umi. Sepi. Tidak ada lagi suara Umi yang keras mengatur lalu lintas dan pengendara mobil atau motor yang hendak memarkir kendaraannya.

Jalan Karet dan Kembang Jepun terasa sepi tanpa Umi yang biasanya cerewet.

Sabtu, 21 Agustus 2021

Perjuangan melawan Covid-19 belum usai

Kuenya sudah habis. Tapi kotaknya masih ada. Kue legit untuk Tasyakuran RT 05 RW 03 merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sudah dua tahun ini tak ada acara kumpul-kumpul tasyakuran pada malam 17 Agustus. Surabaya masih PPKM 4 alias level paling tinggi. Lonjakan pasien covid sejak awal Juli lalu masih terasa hingga ulang tahun ke-76 RI.

Karena tidak boleh kumpul-kumpul, jaga jarak, prokes 5M, maka Pak RT mengirim kue tasyakuran ke rumah-rumah penduduk. Lengkap dengan tulisan ini:

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai.
Semoga dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-76 nanti masyarakat bisa semakin kuat dan Indonesia semakin jaya!
MERDEKA!"

Kita orang masih simpan kertas berisi tulisan Pak Eko, ketua RT 05, di kawasan Rungkut Barata, Surabaya. Kata-katanya sangat relevan dengan kondisi yang kita orang rasakan akhir-akhir ini.

Dua pekan sebelum Hari Merdeka Nusa dan Bangsa, ada seorang tetangga meninggal dunia. Positif Covid-19. Dimakamkan di atas pukul 01.00. Paginya baru kita dengar beliau sudah tiada.

Dan... masih dalam suasana "dirgahayu Indonesia", Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan, guru besar FK Unair, meninggal dunia. Jenazah tidak pulang ke rumahnya yang megah di RT 5, RW 3. 

Dari RSUD dr Soetomo geser ke sebelah di kampus FK Unair untuk penghormatan terakhir dari civitas academica. Lalu langsung ke TPU Keputih. Permakaman khusus para korban Covid-19 di Surabaya.

Saya lagi asyik menikmati lagu-lagu perjuangan tempo doeloe di rumah Bapak Prof Trijono. Tidak dapat informasi dokter spesialias radiologi itu berpulang. Asyik-asyik aja nikmati lagu-lagu Ismail Marzuki macam Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Kopral Djono dll.

Eh.. tak lama kemudian datanglah karangan bunga. Susul menyusul. Oh, Tuhan, Pak Prof Trijono berpulang.

Makin lama makin banyak karangan bunga. Dari kampus, kerabat, rumah sakit, organisasi profesi, dsb. Saya pun harus piket hingga jelang pukul 00.00 untuk menerima dan mengatur posisi karangan-karangan bunga dukacita itu.

Malam itu, seperti biasa, saya sulit tidur. Kita orang punya otak melayang ke mana-mana. Betapa rentannya manusia di hadapan virus yang renik itu. Kita orang masih kewalahan mengatasi pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai," kata Ketua RT Pak Eko.

Masih panjaaaaaaang, Pak Eko!