Selasa, 01 Desember 2020

Ile Ape Meletus: Adat Lamaholot vs Agama


Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Pulau Lembata, NTT, meletus dahsyat pada Minggu pagi 29 November 2020. Ribuan penduduk dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba. Inilah erupsi terdahsyat dalam sejarah gunung api di kampung halamanku itu.

Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, Ile Ape aman-aman saja. Cuma batuk kecil. Baru kali ini erupsi mengeluarkan material hingga ketinggian 5.000-an meter. Jadi pemandangan yang langka di Flores Timur dan Lembata, bahkan NTT.

Karena itu, semua orang Ile Ape terkejut, panik, dan gelagapan. Tidak sempat membaca tanda-tanda alam beberapa bulan sebelum terjadi letusan ini.

Ada apa dengan Ile Ape? Ada pesan apa di balik letusan gunung setinggi 1.400-an meter itu?

Diskusi informal pun terjadi di Jawa Timur. Di antara sesama orang Ile Ape, Lembata, atau Flores Timur. Yang sama-sama etnis Lamaholot.

Ama Paul Manuk yang asli Adonara Barat punya perhatian khusus terhadap Ile Ape. Guru senior di SMAK Petra Surabaya itu punya suku yang satu nenek moyang dengan suku Manuk di Ile Ape. Ia punya konsen dengan adat leluhur Lamaholot.

Ama Paul: "Ini jadi pelajaran juga buat orang tua rae lewo. Tutu koda untuk gena ana. Berjagalah terus. Dan jangan lupa koda adat ama."

(Ini pelajaran untuk kita di kampung supaya tidak lupa adat istiadat. Mungkin ada adat yang diabaikan selama ini.)

Ama Paul meneruskan:

"Itu termasuk isyarat teti lodo. Sudahkah ribu peten oneka. Terus bagaimana dengan cerita ILE TELO? Tentu ada riwayat sambungannya. Tobo hama2 tutu lagi dan lagi. . ..ama. Pe ada jasmerahnya."

(Kejadian Ile Ape meletus itu isyarat dari langit. Sudahkan kita semua duduk bersama, bicarakan adat istiadat, harus duduk lagi. Semua itu ada jasmerahnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.)

Beberapa menit lalu Ama Cornelis Hurek di Kota Lama, Jalan Pecinan Malang, telepon. Pasti bertanya tentang Ile Ape meletus. Berikut pendapat dan analisisnya.

"Bernie, perkembangan rae lewo nega?" (bagaimana perkembangan erupsi di kampung.)

Saya bilang baru membaca laporan terakhir di situs Magma ESDM. Erupsi masih terjadi tapi tinggi semburan tinggal 800 meter. Tidak lagi 4.000 meter seperti hari pertama.

Data resmi PMBGV ini menunjukkan bahwa erupsi Ile Ape makin lama makin reda. Mudah-mudahan bisa cepat selesai. Agar ribuan warga segera pulang ke kampung masing-masing. Musim hujan saatnya mula wata hokot ekan (menanam jagung dan menyiangi rumput di ladang).

Saya sudah menduga Ama Cornelis di Malang ini lebih banyak bicara soal kristianitas dan alkitabiah. Kontras dengan Ama Paulus yang konsen ke adat istiadat orang Lamaholot.

"Itu peringatan untuk kita semua. Pasti ada hikmah di balik bencana ini," kata Ama Cornelis yang pernah merantau lama di Malaysia Timur.

Hikmah apa?

"Masyarakat kita di kampung itu sudah ratusan tahun terlalu sibuk dengan urusan adat. Bahkan, ada yang sampai lupa dengan Tuhan. Adat, adat, adat.. koda kiring tula gudung," katanya.

"Bukan berarti saya anti sama adat di kampung. Tapi mestinya jangan berlebihan. Gunung meletus ini jadi peringatan agar kita semua kembali pada Tuhan," ujar Ama Cornelis mirip khotbah evangelis yang lahir baru.

Hemmm... repot juga memang. Satu peristiwa alam disikapi dengan sudut pandang yang berbeda meski sama-sama orang Lamaholot. Sama-sama peduli Lewotanah.

Ama yang satu menganggap masyarakat di kampung sudah mengabaikan adat istiadat nenek moyang. Terlalu ikut arus modernisasi. Koda kiring, tula gudung.. sudah tidak seintens pada masa lalu.

Sebaliknya, Ama yang satunya lagi menganggap kami orang-orang Ile Ape terlalu larut dalam adat istadat. Agama di KTP Katolik tapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab, 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, katekismus dsb.

Saya sih manut Mbah Rono aja. Sang profesor pakar gunung berapi itu punya pendapat yang sangat menarik tentang erupsi dan perilaku volcano. Gunung api itu sahabat manusia, bukan musuh.

Gunung api pasti meletus atau erupsi. Itulah mekanisme alam untuk mengeluarkan material yang sudah dimasak di dapurnya selama sekian tahun. Material-material itu pun bermanfaat untuk manusia. Kawasan Ile Ape dan Lembata umumnya akan lebih subur.

Gunung Ile Ape di Kampungku Meletus

Ada panggilan berkali-kali dari Pulau Lembata, NTT, lewotanah alias kampung halaman. Tidak segera saya angkat karena masih OTW alias di jalan raya. Saya agak trauma telepon-teleponan di jalan karena pernah kesenggol. Terkilir sedikit.

Saya sudah bisa menduga isinya. Berita kurang enak dari kampung. Deg-degan karena hampir tidak ada telepon atau SMS atau pesan WA yang isinya berita bahagia.

 "Gunung Ile Ape meletus. Semua warga panik dan sedang mengungsi ke Lewoleba," kata Kristofora di Desa Lewotolok. Adik bungsu ini tani gareng atau menangis sejadi-jadinya karena memang emosinya paling peka. Mudah sedih dan menangis.

Oh Tuhan!

Minggu pertama Masa Adven! Pagi-pagi Ile Ape alias Ile Lewotolok erupsi. Meletus hebat. Benar-benar gawat karena wedhus gembelnya sangat tinggi. Hujan abunya menyebar sangat jauh.

Meski namanya Ile Ape (ile: gunung, ape: api), gunung di kampung kami itu sudah lama tidak erupsi. Bahkan sering dianggap sangat aman karena sudah mati. Meskipun setiap hari melelehkan cairan belereng dan kepulan asap.

Saya cek internet dan media sosial. Foto-foto Ile Ape meletus sudah mulai viral. Tinggi sekali semburannya. Orang-orang di Pulau Adonara yang sebenarnya agak jauh dari Lembata pun ngeri melihat letusan Ile Ape.

 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut erupsi pertama 500 meter, disusul erupsi kedua mencapai 4.000 meter. Tinggi Ile Ape sendiri sekitar 1.400-an meter dari permukaan laut.

Ketinggian erupsi yang mencapai 4 km, ada yang bilang 5 km, itu yang viral di berbagai media. Ile Ape atau Ile Lewotolok sekaligus Pulau Lembata tiba-tiba jadi terkenal. Padahal selama ini tidak banyak orang di luar NTT yang tahu tentang Lembata. 

Saya sendiri pun selalu mengaku berasal dari Pulau Flores kalau ditanya orang Jawa Timur. Tidak pernah saya bilang Lembata atau Lomblen. Sebab pasti muncul pertanyaan lanjutan, ''Lembata itu di mana?"

Sebagai orang yang lahir di kampung tua, kawasan gunung itu, saya sangat paham risiko dan dampak bencana geologi letusan Ile Ape. Sebanyak 26 desa seluruhnya berlokasi di sekeliling gunung. Semua desa berada di pinggir pantai tapi juga tidak terlalu jauh dari gunung sakti itu.

Kampung-kampung yang jauh cuma di kawasan tanjung seperti Tuak Wutun, Dulitukan, Tagawiti, Palilolon. Sementara kampungku di kawasan Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Lamawara, Lewotolok, Waowala... sudah pasti terkena siraman abu gunung api.

"Bungamuda dan Lamawara parah. Banyak atap rumah yang rusak," ujar Kristofora dengan suara masih panik. Padahal sudah mengungsi di Lewoleba.

Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati si bungsu ini. Bahwa erupsi itu tidak akan lama. Sebagai gunung api, Ile Ape memang harus mengeluarkan semua isi perutnya. Percayalah, letusan akan semakin kecil dan lama-lama akan mereda.

"Ramalan di sini letusan nanti sore akan lebih besar lagi," katanya.

"Tenang, sabar, banyak sembahyang kontas (rosario)... semoga erupsi ini segera berakhir," kata saya.

Omonganku kayak penasihat spiritual yang paham rahasia gunung berapi. Padahal, saya pun ngeri melihat foto-foto dan video erupsi Ile Ape di grup medsos Flobamora Jawa Timur:  "Pray for Lembata! Ile Lewotolok Meletus! Ribuan Warga Ngungsi!"

Gara-gara Ile Ape meletus, saya jadi rajin membaca laman Magma milik Kementerian ESDM yang rutin melaporkan aktivitas semua gunung berapi di Indonesia. Saya perhatikan ketinggian erupsi cenderung makin turun. 

Satu jam lalu ketinggian erupsi sekitar 800 meter. Jauh di bawah 4.000-an meter pada Minggu 29 November 2020 lalu. Berita di media online pun tidak lagi seru. 

Mudah-mudahan letusan Ile Ape segera berakhir. Apalagi saat ini masih pandemi virus korona. Pulau Lembata memang berstatus zona hijau. Tapi kalau pengungsi berjejalan di tenda, relawan-relawan dari luar berdatangan... bisa tambah runyam.

Kamis, 19 November 2020

Tahbisan 3 Imam Baru di Lewotolok

Biasanya kabar dari kampung halaman kurang menyenangkan. Paling banyak berita kematian. Atau orang sakit keras. Atau bencana alam gunung meletus, banjir, kekeringan, gagal panen.  Terakhir kabar tentang kebakaran puluhan rumah adat di Kampung Napaulun, Pulau Lembata, NTT.

Karena itu, kalau ada panggilan telepon atau SMS atau WA dari kampung biasanya saya deg-degan. Orang-orang NTT lain di perantauan pun sama. Jangan-jangan... jangan-jangan... Dan biasanya dugaan itu tidak terlalu meleset.

Kali ini agak lain. Kabarnya bahagia. Kristofora, adik saya, mengirim pesan singkat:

"Met malam kame wia misa tahbisan di Stasi Lewotolok.. terlalu rame sekali.

Ini malam syukuran misa perdana di Lamawara. Romo orang Lamawara suku Langobelen.

Imam suku Langobelen yang bapa matay na berkat bapa pe  tabis ia Stasi Lewotolok ra ete telo."

Deo gratias!
Syukur kepada Allah!

Ada tahbisan imam baru di Gereja Stasi Stella Maris, Lewotolok, Ile Ape, Lembata. Tiga imam baru sekaligus. Pater Antonius Bisu Markus SVD, Pater Yoseph Bala Roma SSCC, dan Romo Yohanes Watan Langobelen Pr.

Saya ingat... Frater Yohanes Watan Langobelen bulan Juli 2019 lalu yang memberkati jenazah Bapa Nikolaus Nuho Hurek di kampung Bungamuda. Sekarang sudah resmi jadi pastor.

Tak pernah saya bayangkan, dulu... Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong datang ke Lewotolok untuk menahbiskan tiga imam baru sekaligus. Bukan apa-apa. Paroki kami di pesisir pantai utara Laut Flores sering dianggap gersang panggilan. Daerah yang kurang katolik karena adat istiadat nenek moyangnya terlalu kuat. 

Orang lebih takut melanggar aturan adat ketimbang tidak pigi sembahyang misa. Rajin pigi sembahyang di gereja tapi juga sangat rajin bikin ritual di rumah adat yang terbakar itu.

Karena itu, waktu saya kecil, tidak banyak pater atau romo asal paroki kami. Tidak sampai hitungan jari sebelah alias tidak sampai lima orang. Beda dengan Lembata bagian selatan yang panggilannya sangat subur. Bahkan mungkin paling subur di NTT, bahkan Indonesia.

Karena itu, dulu, Pater Petrus M. Geurtz SVD dan Pater Willem van der Leurs SVD, keduanya asal Belanda, selalu mengajak umat di stasi-stasi kami untuk banyak mendoakan panggilan. Agar ada orang Ile Ape yang dipanggil masuk seminari. Agar bisa menggantikan pater-pater Eropa dan Amerika itu.

Rupanya Tuhan menjawab doa-doa sejak tahun 1980-an dan 1990-an itu. Pelan... tapi mulai ada hasil. Kalau dulu selalu ada tahbisan di Lamalera, Boto, Hadakewa dan sekitarnya, kini Ile Ape pun mulai disebut. 

Bapa Uskup Larantuka makin sering turne ke kawasan pesisir utama. Bukan sekadar untuk memberi sakramen krisma, tapi sakramen imamat. Dari 15 desa (sebelum pemekaran), saat ini hampir semua desa atau stasi sudah melahirkan pastor. Kecuali tentu saja beberapa desa atau kampung muslim seperti Tuak Wutun atau Pali Lolon.

Bahkan, tahun lalu ada imam baru asal kampung kami yang ditahbiskan di Keuskupan Kupang. Romo Yeremias Ama Bodo Lingiraman Laper Making. Romo Yeremias yang asli Napaulun itu cucu Ama Bodo, seorang pemuka adat paling kuat pada tahun 1980-an di kampung halaman kami.

"Itulah rencana Tuhan," kata orang kampung.

Romo Yeremias boleh dikata menggantikan Romo Paskalis Hurek Making yang meninggal dunia karena tabrak lari di Larantuka tahun 2019. Juga Romo Zakarias Benny Niha Making yang meninggal karena sakit.

"Saya merasa bahagia dan senang karena tidak sendiri lagi. Sudah ada adik yang jadi imam baru," kata Romo Paskalis saat khotbah misa perdana di kampung tahun lalu.

Tak lama kemudian Romo Paskalis yang jago nyanyi dan main band itu dipanggil menghadap-Nya. Kini ada gantinya imam baru dari kampung sebelah. Tiga orang sekaligus.

Rabu, 18 November 2020

Bapa, tolong kasih makanan!

Pagi ini ada orang Kupang bagi-bagi firman. Orang itu memang paling hobi bagi ayat. Jarang bagi roti atau nasi bungkus. 

"Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, Bung!" katanya di grup medsos orang NTT di Jawa Timur.

Firman pagi ini berjudul "Tuhan Yesus Ajar Orang Sambayang"
(Lukas 11:2-4). 

Pasti sudah tak asing lagi. Pasti doa Bapa Kami. Doa yang selalu diucapkan orang Katolik tiap hari bersama Salam Maria, dan Kemuliaan.

"Kalo bosong sambayang, na, maso pi dalam kamar ko tutu pintu. Ais sambayang diam-diam pi sang bosong pung Bapa. 

Biar orang laen sonde lia, ma bosong pung Bapa yang lia. Nanti Dia balas kasi sang bosong deng berkat bam-banya."

Begitu seringnya mengucapkan Bapa Kami membuat mulut kita seperti mesin doa. Otomatis nerocos begitu saja. Makna kata-katanya seperti tenggelam.

Kemarin ramai di grup Sidoarjo. Ada seorang kakek 70an tahun ditemukan sendirian di tanah kosong. Hutan bambu. "Tinggal sendiri. Masak sendiri seadanya," kata anak Candi yang memotret gelandangan itu.

Saya bayangkan kakek itu setiap hari berdoa Bapa Kami... meski bukan serani. Meskipun kata-kata yang diucapkan tidak sama persis seperti di Alkitab.

"Bapa, tolong kasi sang botong makanan yang cukup tiap hari."

Bapa, tolong beri kami makanan yang cukup tiap hari.

Makanan yang cukup. Ukuran cukup itu memang macam-macam. Kakek ini mungkin bisa makan Rp 10 ribu sehari. Sementara yang lain Rp 30 ribu, Rp 50 ribu, Rp 200 ribu.

Tapi paling tidak bisa bertahan hidup di tengah pandemi virus korona yang berkepanjangan. "Bisa makan aja alhamdulillah," kata gelandangan lain di dekat Kalimas Surabaya.

Di masa pandemi ini, doa Bapa Kami rasanya lebih sering diucapkan ketika banyak perusahaan limbung, PHK di mana-mana, berbagai usaha lesu.

Bapa, tolong kasih makanan tiap hari!

Rabu, 11 November 2020

Trump Masih Yakin Menang

Koran-koran di tanah air memberitakan bahwa pemilihan presiden di USA sudah berakhir. Dan.. pemenangnya adalah Joe Biden dari Partai Demokrat. Angka kursi perwakilan negara-negara bagian alias EC sangat meyakinkan.

Tapi benarkah pilpres USA sudah tuntas? 

Donald Trump bilang belum. Capres petahana itu malah mengklaim dialah yang menang. Kubu Biden curang. Karena itu, dia akan menempuh segala cara agar kursinya bisa bertahan.

Sudah seminggu pilpres berlalu. Tapi hasilnya masih dipertanyakan Presiden Donald Trump.

Pagi ini saya intip twitter presiden yang dikenal sebagai raja twitter itu. Akun resmi Donald J. Trump bernama @realDonaldTrump menulis:

WE WILL WIN!

Wow... masih ramai banget.

 Amerika masih panas! Ciutan-ciutan Trump ibarat bensin yang bakal membakar amarah jutaan pendukungnya. Baik di media sosial maupun di dunia nyata.

Pasti akan ada unjuk rasa berjilid-jilid untuk mendukung junjungannya Mr Trump. Apalagi mereka punya pakar-pakar teori konspirasi yang selalu memasok bahan-bahan sesuai keyakinan mereka.

Sangat menarik situasi politik di USA. Benar-benar berbeda dengan kebiasaan selama ratusan tahun. Biasanya capres yang kalah langsung menelepon yang menang. Kasih ucapan selamat.

Kali ini Donald Trump mengklaim menang. Joe Biden juga menang versi resmi KPU negara-negara bagian.

Bagaimana kalau Trump terus bertahan dengan klaimnya hingga masa jabatannya selesai?

 Transisi akan mulus untuk periode kedua (Trump), kata Pompeo. Orang penting ini kaki tangan Presiden Trump. Selalu mendukung apa pun yang dikatakan Trump meski dinilai pihak lawan ngawur, tak berdasar, tak didukung bukti.

Pilpres di Indonesia tahun lalu juga ramai. Prabowo sampai harus maju ke MK untuk mempertanyakan suaranya yang hilang.

MK akhirnya menetapkan Jokowi sebagai pemenang pilpres. Presiden Jokowi kemudian mengangkat Prabowo sebagai menteri pertahanan.

Rasanya Presiden Joe Biden tak akan mengangkat Trump sebagai anggota kabinetnya.

Minggu, 08 November 2020

Trump tidak menyerah kalah

Koran-koran pagi ini memberitakan tentang kemenangan Joe Biden. Headline Kompas: Biden Menangi Pemilu Presiden. 

Jawa Pos memuat di halaman 2: Joe Biden Menangi Pilpres AS.

Isi berita-berita di Indonesia juga mirip. Bahwa Biden unggul dalam electoral vote di beberapa negara bagian tersisa tapi sangat menentukan. Donald Trump sudah dipastikan kalah.

Saya pun mengecek Twitter resmi Donald J. Trump. Sebab saya yakin presiden ke-45 itu tidak merasa kalah. Tidak ada kata kalah dalam kamus Trump.

 Bahkan, sebelum penghitungan suara selesai pun Trump sudah mengumumkan kemenangan di hadapan pendukung fanatiknya. Kalah kalah berarti pemilu curang. Suaranya dicuri kubu lawan. 

Betul memang. Trump masih seperti yang dulu. Kata-katanya di Twitter masih galak. Pakai huruf besar semua.

Donald J. Trump:

"THE OBSERVERS WERE NOT ALLOWED INTO THE COUNTING ROOMS. I WON THE ELECTION, GOT 71,000,000 LEGAL VOTES. BAD THINGS HAPPENED WHICH OUR OBSERVERS WERE NOT ALLOWED TO SEE. NEVER HAPPENED BEFORE. MILLIONS OF MAIL-IN BALLOTS WERE SENT TO PEOPLE WHO NEVER ASKED FOR THEM!"

Sudah bisa ditebak. Proses pilpres di USA tidak akan semulus pilpres-pilpres sebelumnya. Gara-gara Trump wajah USA jadi sangat berubah. Bukan USA yang kita kenal selama puluhan atau ratusan tahun.

Biasanya capres yang kalah langsung menelepon pemenang untuk mengucapkan selamat, basa-basi siap bekerja sama blablabla. Bahkan, ucapan selamat itu sering disampaikan sebelum penghitungan suara selesai 100 persen.

Sistem pilpres USA yang pakai jumlah kursi negara bagian atau electoral college (EC) sebenarnya jauh lebih simpel dan cepat ketimbang pilpres kita yang pakai popular vote. Ketika suara salah satu kandidat sudah di atas 50 persen, maka otomatis dia dapat semua kursi EC.

 Penghitungan jutaan suara sisa sebetulnya tidak penting lagi. Sebab popular vote tidak ada gunanya di USA. Empat tahun lalu Hillary Clinton menang telak EC tapi gagal jadi presiden. Trump yang bikin kejutan.

Kali ini Trump juga bikin kejutan. Sebab dia tetap merasa menang meskipun komisi pemilu di sana mengumumkan hasil pilpres versi resmi.

Presiden Trump membuat USA menjadi sangat berbeda selama empat tahun. Kebijakan dan pernyataannya penuh kejutan. Termasuk menganggap remeh pandemi covid. Menganggap pakai masker tidak berguna. Menganggap virus korona hasil rekayasa Partai Komunis Tiongkok.

 Saya perhatikan Trump sangat doyan memuntahkan ajektif atau kata sifat untuk mengejek lawan-lawannya di Twitter dan Facebook. Sleepy Joe. Crooked Hillary. Fake news. Nasty reporter. Nasty question.. etc etc.

Kelihatannya jari-jari Pak Trump akan semakin gatal melihat hasil pilpres yang berbeda dengan bayangannya. Kata-kata kasar, ejekan, risakan, bakal berhamburan di akunnya hingga ia benar-benar out dari Gedung Putih.

Seru! Panas! Tegang.

Kita nikmati saja sambil ngopi dan mendengarkan alunan dangdut koplo! Toh, apa pun hasil pilpres di USA, nasib rakyat Indonesia sama saja.

"aku merasa 
orang termiskin di dunia
yang penuh derita
bermandikan air mata
......."

Kamis, 05 November 2020

Ada Orang Indonesia Pemuja Trump

Hasil pilpres US belum jelas. Trump sudah klaim menang meski penghitungan suara belum selesai. Biden belum klaim menang meski yakin bakal jadi presiden. Seru!

Pilpres Amerika Serikat 2020 ini sangat seru. Semula saya pikir Biden menang mudah. Ternyata Trump punya kekuatan besar. Ternyata banyak rakyat Amerika yang pikiran dan tindakannya sama dengan Trump. Sama-sama tidak pakai masker. Sama percaya teori konspirasi. Sama-sama Make Amerika Great Again.

Tadinya saya pikir orang Indonesia tidak suka Trump yang nyentrik, suka omong besar, doyan mengejek orang lain itu. Apalagi orang Indonesia yang mukim di USA. Sebab, yang kita tangkap di sini Trump terkesan melecehkan manusia-manusia yang tidak berkulit putih.

Lihatlah betapa serunya Trump mengecam Tiongkok tak habis-habisnya. Virus korona pun disebut china virus. Kata 'china' selalu diucapkan dengan nada mengejek. China alias Tiongkok rupanya jadi musuh besar USA. Lebih tepatnya musuh besar Trump.

Yang bikin saya kaget ternyata ada orang Indonesia yang jadi pendukung berat Trump. Laman media sosialnya penuh dengan doa dan pujian untuk Trump. Juga hujatan untuk Biden dan Demokrat.

Orang Sumatera itu rupanya sudah lama banget tinggal di Georgia, USA. Karena itu, aktivitas politiknya sama dengan orang Amerika tulen. Bahkan lebih konservatif ketimbang banyak bule USA yang agak cuek dengan politik.

Nah, orang-orang Indonesia di Amerika yang mendukung Trump itu sangat militan. Ada saja argumentasinya untuk mengklaim kemenangan. Menuduh kubu Demokrat main curang, mengubah angka, dsb.

Dia berdoa agar Tuhan memberi jalan untuk kemenangan Trump. Saya pun membalas komentarnya dengan berdoa agar Biden yang menang. Orang itu kelihatannya marah karena dikira saya orang Demokrat pendukung Biden.

Padahal, sejujurnya siapa pun yang jadi presiden USA tidak ada pengaruhnya dengan rakyat Indonesia. Hidup tetap sulit, dan makin sulit, saat pandemi korona yang tak kunjung berakhir. Rakyat makin terseok karena penghasilannya berkurang banyak, bahkan hilang.