Kamis, 05 November 2020

Ada Orang Indonesia Pemuja Trump

Hasil pilpres US belum jelas. Trump sudah klaim menang meski penghitungan suara belum selesai. Biden belum klaim menang meski yakin bakal jadi presiden. Seru!

Pilpres Amerika Serikat 2020 ini sangat seru. Semula saya pikir Biden menang mudah. Ternyata Trump punya kekuatan besar. Ternyata banyak rakyat Amerika yang pikiran dan tindakannya sama dengan Trump. Sama-sama tidak pakai masker. Sama percaya teori konspirasi. Sama-sama Make Amerika Great Again.

Tadinya saya pikir orang Indonesia tidak suka Trump yang nyentrik, suka omong besar, doyan mengejek orang lain itu. Apalagi orang Indonesia yang mukim di USA. Sebab, yang kita tangkap di sini Trump terkesan melecehkan manusia-manusia yang tidak berkulit putih.

Lihatlah betapa serunya Trump mengecam Tiongkok tak habis-habisnya. Virus korona pun disebut china virus. Kata 'china' selalu diucapkan dengan nada mengejek. China alias Tiongkok rupanya jadi musuh besar USA. Lebih tepatnya musuh besar Trump.

Yang bikin saya kaget ternyata ada orang Indonesia yang jadi pendukung berat Trump. Laman media sosialnya penuh dengan doa dan pujian untuk Trump. Juga hujatan untuk Biden dan Demokrat.

Orang Sumatera itu rupanya sudah lama banget tinggal di Georgia, USA. Karena itu, aktivitas politiknya sama dengan orang Amerika tulen. Bahkan lebih konservatif ketimbang banyak bule USA yang agak cuek dengan politik.

Nah, orang-orang Indonesia di Amerika yang mendukung Trump itu sangat militan. Ada saja argumentasinya untuk mengklaim kemenangan. Menuduh kubu Demokrat main curang, mengubah angka, dsb.

Dia berdoa agar Tuhan memberi jalan untuk kemenangan Trump. Saya pun membalas komentarnya dengan berdoa agar Biden yang menang. Orang itu kelihatannya marah karena dikira saya orang Demokrat pendukung Biden.

Padahal, sejujurnya siapa pun yang jadi presiden USA tidak ada pengaruhnya dengan rakyat Indonesia. Hidup tetap sulit, dan makin sulit, saat pandemi korona yang tak kunjung berakhir. Rakyat makin terseok karena penghasilannya berkurang banyak, bahkan hilang.

3 komentar:

  1. Fenomena alami, sunatullah,: Orang Indonesia yang menetap di Amerika merasa lebih amerikanis daripada Obama.
    Orang Indonesia yang menetap di Netherlands merasa lebih belanda daripada londo totok, sebab itu teman2 saya yang disana suka nyinyir, mencibir kaum pendatang lainnya. Londo silit ireng kuwi suka me-maki2 orang belanda keturunan maroko, tunisia, china, suriname, dll. Entah mengapa mereka merasa lebih berhak daripada pendatang bangsa lain.
    Orang Indonesia yang katolik, lebih katolik daripada Paus di Vatikan.
    Orang Indonesia yang nasrani, lebih haleluja daripada Martin Luther.
    Orang Indonesia yang ngarab, lebih arab daripada orang arab asli. Ini bukan bualan, sebab saya punya banyak teman2-kuliah dan-kerja bangsa arab dari Palestina, Jordania, Syria, Irak, Mesir.
    Kakek-buyut saya datang dari Tiongkok ke Surabaya tahun 1870, tetapi saya oleh mertua dan istri masih dipanggil singkek. Mereka merasa lebih Indonesia daripada Untung atau Pak Urip, pegawai kakak saya.

    Fenomena tersebut kita orang Indonesia tidak bisa memahami, tetapi orang Bule-Jerman (istri abang saya) selalu bilang; kita orang Indonesia masih punya sifat Mental-Kolonial.
    Setiapkali saya berkunjung kerumah abang di Aachen, selalu kami pergi ke Belanda untuk berbelanja makanan, masakan Indonesia. Istrinya dia bilangnya, kita masih selalu rindu kepada bekas Tuan-Kita, dasar orang kolonial ! Kita juga tetap rindu kepada Jepang. Sunatullah.

    BalasHapus
  2. Joseph Biden, orang Katholik kedua yang terpilih menjabat presiden amerika, setelah JF.Kennedy. Dia pengagum Paus Johannes XXIII.

    BalasHapus
  3. Sangat menarik dan bersejarah. Ada orang Katolik yang terpilih jadi Presiden USA.

    Dulu kita anggap tidak mungkin karena katolik cuma minoritas di Amerika. Belum lagi orang Amerika yang cenderung evangelical alias gereja haleluya, mormonisme, adventisme, etc.

    Presiden John F. Kennedy yang katolik pun selama ini kita anggap pengecualian saja. Cuma sekali dan ditembak mati pula.

    Saya pikir psikologi orang Amerika dari kubu Demokrat jelang pilpres adalah asal bukan Trump. Mereka tidak peduli capres yg agamanya katolik atau wapres keturunan India, yang penting Trump harus dikalahkan.

    Suasana politiknya tidak normal. Kalau normal ceritanya akan beda lagi.

    BalasHapus