Selasa, 03 November 2020

Pemain Asing Semua Pulang

Tidak banyak topik menarik selama masa pandemi Covid-19. Sudah tujuh bulan media-media membahas korona. Tes cepat, uji usap, protokol kesehatan... calon vaksin dan sebagainya.

Siapa pun jadi jenuh dengan korona. Apalagi seniman pertunjukan dan olahragawan. Mereka tak bisa lagi berlaga di lapangan. Seniman-seniman ludruk atau wayang kulit tidak dapat tanggapan.

"Saya hanya bisa andalkan warung. Itu pun penghasilan enggak menentu," kata seorang dalang wayang kulit di Mojokerto kepada saya.

Pemain-pemain sepak bola lebih parah lagi. Sebab, Liga 1 tidak bisa dilaksanakan meskipun tanpa penonton. Meskipun pakai sekian banyak prokes alias protokol kesehatan.

Pagi ini saya baca di media harian tentang pemain-pemain asing Persebaya. Setelah dapat kepastian Liga 1 batal, mereka memilih pulang ke negaranya. Sambil memantau perkembangan korona di Indonesia.

Saya tergelitik dengan kalimat pertama berita itu:

<< Pemain asing Persebaya akhirnya semua meninggalkan Indonesia. >>

Saya baca tiga kali. Saya merenung sejenak. Mengapa wartawan dan redaktur media itu memuat kalimat seperti itu? Khususnya posisi "semua".

Seandainya saya editor atau redaktur, kata "semua" saya geser ke awal kalimat. 

<< Semua pemain asing Persebaya akhirnya meninggalkan Indonesia. >>

Bisa juga: << Akhirnya, semua pemain asing Persebaya meninggalkan Indonesia. >>

Kata "semua" tidak boleh jauh dari "pemain Persebaya". Agar hukum DM terlihat jelas. Hukum lawas diterangkan-menerangkan ini sering dilupakan wartawan-wartawan muda.

"Yang penting kan pembaca mengerti," kata seorang reporter. "Yang penting medianya laku," tambah yang lain.

Media yang bagus itu, kata beberapa jurnalis veteran, adalah media yang laku. Bukan media yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 "Walaupun bahasa Indonesianya bagus, kalau gak laku ya percuma," kata pria yang kurang peduli bahasa standar itu.

Oktober lalu bulan bahasa. Badan Bahasa melakukan analisis penggunaan bahasa Indonesia di media-media di seluruh Indonesia. Hasilnya, seperti biasa, sebagian besar media kurang peduli bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Kualitas berbahasa wartawan-wartawan perlu ditingkatkan lagi," kata seorang pakar bahasa Indonesia. "Pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing masih terlalu kuat."

< Pemain asing Persebaya akhirnya semua meninggalkan Indonesia. >>

Kalimat di awal berita Persebaya di atas adalah contoh pengaruh bahasa daerah. Khas obrolan di warkop-warkop dengan bahasa Jawa Suroboyoan. 

Bahasa Jawa: Pemain asing kabeh balik nang negorone.

Terjemahan lurus: Pemain asing semua pulang ke negaranya.

Bahasa Lamaholot: Pemain asing wahan kae balika negara raen.

Terjemahan lurus: Pemain asing semua pulang ke mereka punya negara.

3 komentar:

  1. Pemain asing Persebaya akhirnya semua meninggalkan Indonesia.
    Ternyata dugaan, pemain sepak bola asing banyak yang kurang waras, terbukti. Mereka tidak mampu membedakan, Endemi, Epidemi dan Pandemi.
    Zaman Covid-19 seperti sekarang ini mau lari kemana ??
    Ketika wabah wuhan mulai jangkit, saya bilang kepada istri: Seandainya kita ada di Indonesia, khan enak. Kok iso, kata istri-ku.
    Gua baca di Internet, orang Indonesia kebal terhadap wabah ini, sebab mereka tiap hari makan rempah2, kunir, laos, jahe, kencur, sereh, ketumbar, lada, jeruk purut, uyah-sere-tabia, pokoke bumbu genep lah. Para dokter di universitas Airlangga, bahkan sudah memproduksi obat penangkal wabah wuhan ini. Bayangkan gua bisa tiap hari makan nasi babi guling, jukut ares. Perut kenyang sekaligus makan obat wabah.
    Gua tidak percaya, kata istri-ku.
    Lu itu selalu tidak percaya, ngengkel. Yang sakit itu bukan orang Indonesia asli, yang kena wabah hanya turis dari Tiongkok dan Jepang.
    Orang perempuan memang lebih kritis otaknya daripada orang laki, ternyata istri-ku yang benar. Koran-internet kok bisa dusta ??? Aku tertipu.
    Tentang pemain sepak bola banyak yang akhirnya sakit pikun, sudah terbukti di Jerman. Contohnya, Gerd Müller, dll.
    Sebab itu, baru2 ini ada diskusi. Sepak bola tidak boleh lagi Kopfball. Tentu saja dibantah pecinta sepakbola.
    Sepakbola tanpa Kopfball, seperti balap mobil tanpa bensin. Hanya Gubernur Jakarta yang percaya, BELIAU defisit-kognitif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... balbalan gak pake kopkopan ya gak enak. Justru sundulan emas, kepala maut itu yg bikin enak pertandingan balbalan.

      Iya.. banyak orang tidak paham pamdemi. Soalnya kata asing dan sangat teknis kesehatan/kedokteran. Ditambah ilmu2 cocokologi alias ilmu gathuk ya tambah runyam. Pageblug korona sulit diatasi.

      Apalagi presiden USA juga ternyata pengikut aliran sains palsu dan teori konspirasi. Tambah parah jadinya. Orang Indonesia yg senang klenik cocokologi benar2 dapat pembenaran atau justifikasi dari Amerika sana.

      Hapus
  2. Kualitas berbahasa perlu ditingkatkan lagi.
    Pokoknya pembaca mengerti.
    Yang penting enak dibaca dan enak didengar.

    Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
    Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak.

    Peribahasa melayu yang enak dibaca. Apakah nasehat yang terkandung, sifatnya universal, ataukah maksudnya, tafsiren sak karepe sampeyan.
    Soalnya, kenyataan yang ada, tamu lebih galak daripada tuan rumah. Tuan rumah harus tunduk kepada tamu. Katanya... Katanya.. Katanya...Itu Sunnatullah, Tidak bisa ditawar ! Ataukah lu pingin masuk neraka ! Sungguh Apes nasib jadi Inländer.

    Ternyata peribahasa diatas, hanyalah permainan kata-kata belaka.
    Saya lahir dan besar di Banjar Balun Denpasar. Banjar (desa) sebelah namanya Belong. Kita orang Balun mandi di Tukad Banjarubung, sedangkan orang Belong mandi di Tukad Krecek. Kali itu sebenarnya hanya satu, yaitu Kali Badung, cuma disetiap desa diberi nama lain2.
    Kali(tukad) Banjarubung arusnya lambat, karena hilirnya ada tikungan- S, dasarnya berpasir. Sedangkan Tukad Krecek, aliran setelah tikungan-S, arusnya deras, karena lurus, dasarnya berbatu, suaranya gemericik, krecek-krecek kata orang Bali.
    Sialnya di hulu tukad Banjarubung, sebelah utara rumah sakit wangaya, ada permukiman, yang penduduknya (pendatang) punya kebiasaan buang-air-besar, ngising, di kali. Jadi saya dan teman2 tak sengaja sudah kenyang menelan tai-ngambang, yang mengandung kedelai. Orang banjar Belong tidak tahu itu, sebab karena arus yang deras dan berbatu di Tukad Krecek, tai-kambang itu sudah hancur. Orang Belong mengira sungainya bersih.
    Mengapa penduduk pendatang harus berak di kali, dimana penduduk asli orang bali, mandi, sikat gigi, mencuci pakaian, dll. di kali itu.
    Tidak ada orang Bali, setahu saya yang berani berak di kali. Hanya tamu yang berak di kali. Boro-boro, dimana bumi kupijak, disana langit kujunjung. Manusia pada dasarnya sakarepe dewe, egois. Payahnya bahkan diijinkan oleh agama.

    BalasHapus