Guru besar Ling Tien Kung, Fu Long Swie alias Awiek Wijaya, sudah berpulang setahun lalu. Tepatnya pada 8 Januari 2019 dalam usia 84 tahun.
Fu Laoshi meninggalkan warisan berharga berupa Ling Tien Kung, olah gerak tubuh untuk terapi kesehatan. Fu tidak mau LTK disebut senam. "Saudara keliru kalau menulis Ling Tien Kung itu senam," ujar atlet lompat jauh yang meraih medali emas untuk Jatim di PON V 1961 di Bandung itu.
Dulu, saya memang dekat dengan sang suhu LTK. Bahkan cukup rajin mengikuti 'senam' terapi empet-empet anus, jongkok kocok-kocok, yang kelihatan sederhana tapi sangat melelahkan.
Latihannya tiga kali seminggu di Lapangan Barata, Jalan Raya Ngagel, Surabaya. Kebetulan dekat dengan trmpat tinggalku di Ngagel Jaya Selatan dulu. Saya jadi saksi betapa disiplinnya Laoshi yang mantan guru di Sin Chung itu.
Siapa pun kena tegur kalau terlambat. Tak peduli pengusaha besar, bankir, aparatur negara, wartawan, ustad, pendeta dsb. Semuanya sama-sama murid kalau sudah latihan langsung bersama Fu Long Swie, guru besar sekaligus penemu Ling Tien Kung.
"Anda harus sudah hadir di sini 10 menit sebelum mulai," katanya.
Lalu Fu bicara panjang lebar tentang filosofi LTK. Termasuk gerakan-gerakannya yang harus benar agar peserta dapat manfaat kesehatan. Kalau gerakannya kurang tepat, ngawur, akan sia-sia meskipun setiap hari senam empet-empet.
Beda banget 'senam' langsung dipimpin Fu Laoshi dengan instruktur-instruktur lain. Meskipun kemampuan para instruktur itu sangat bagus. Sebab hanya Fu yang mampu menjelaskan panjang lebar tujuan setiap gerakan LTK.
Instruktur-instruktur lain pun tidak punya kemampuan untuk memarahi peserta yang tidak disiplin. Sie Ie Ai alias Ellia Bestari, istri Fu Long Swie, pun tidak bisa galak seperti suaminya itu.
Setelah tidak lagi di Ngagel, saya tidak pernah lagi ikut LTK. Beberapa kali ikut latihan di Sidoarjo tapi rasanya beda banget dengan di Ngagel, markas besar LTK.
Saya malah beralih ke olahraga sepeda pancal. Olahraga sendirian. Tidak perlu ramai-ramai di lapangan besar. Tidak ada guru yang marah-marah. Tidak ada peserta yang suka terlambat. Tak ada lagi suara Fu Long Swie yang selalu khotbah sebelum latihan dimulai.
Suatu ketika saya lewat di Barata Ngagel. Latihan LTK sedang berlangsung. Saya cuma melihat dari luar pagar karena tidak baik bergabung kalau terlambat. Meskipun Fu Laoshi sudah tiada, prinsip itu tentu masih berlaku.
Peserta latihan terapi ini tidak sebanyak dulu. Maklum sedang pandemi Covid-19. Ada pembatasan sosial, jaga jarak, menghindari kerumunan, dan sebagai. Saya jadi terkenang Bapak Laoshi Fu Long Swie yang tegas, disiplin, dan unik itu.
Bagaimana LTK setelah Laoshi tidak ada lagi?
"LTK akan jalan terus secara alami karena cabang sudah ada di mana-mana. Orang perlu cas aki untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakitnya," kata Fu Long Swie kepada saya suatu ketika.
Ratusan instruktur sudah ia persiapkan. Selalu ada pelatihan berkala untuk instruktur-instruktur itu. Mulai peringkat pemula, menengah, hingga mahir. Apalagi saat ini ratusan video LTK bisa diakses di YouTube dan media sosial.
Minggu lalu, Oktober 2020, saya baca di koran LTK membuka sasana ke-103 di Regency 21, Sukolilo, Surabaya. Peresmian dihadiri Pangdam V Brawijaya Mayjen Widodo Iryansyah. Sejumlah pengusaha top juga jadi anggota LTK. Salah satunya Teguh Kinarto, pengusaha properti papan atas.
Mudah-mudahan warisan mendiang Fu Long Swie ini bisa dirawat dan dilestarikan. Bukan warisan harta atau uang, yang sering jadi bancakan dan sumber sengketa ahli waris, tapi senam terapi untuk menjaga kesehatan masyarakat.
Lamat-lamat saya teringat teriakan khas Fu Long Swie di akhir latihan:
"Ling Tien Kung!!!"
"Jayaaaa!!!"