Kamis, 08 Oktober 2020

Intrik di Gereja Bethany ala Kerajaan Lama Tiongkok

Oleh Dahlan Iskan

Polemik yang terjadi di Gereja Bethany tidak semata-mata persoalan administratif manajerial gereja. Ranahnya melebar ke mana-mana. Termasuk ke adat istiadat kekerabatan.

Ketika David Aswin tidak menunjukkan minat jadi pendeta, Abraham Alex Tanuseputra melihat ke cucunya: Billy. Anak pertama Hana.

Bambang Tanuseputra, adik Alex, melihat Billy punya minat jadi pendeta. Billy juga sudah besar. Sudah berkeluarga.

Saat Aswin pindah ke Bali, terlihat Billy sering diminta Alex naik panggung. Untuk mendampinginya berkhotbah. Terlihat Alex dengan serius menyiapkan Billy sebagai pengganti.

Maka, tidak heran bila pendeta terkemuka Amerika, Benny Hinn, tertarik pada Billy. Lantas, ketika Hinn berkhotbah di Gereja Bethany Nginden Surabaya, ia menahbiskan Billy sebagai pengganti Alex.

Sayang, Billy adalah cucu dari anak perempuan Alex. Dalam adat Tionghoa Billy disebut cucu luar. Ia membawa marga bapaknya. Bukan marga Alex.

Ini menjadi persoalan serius. Apalagi, kelak, menyangkut harta Alex yang luar biasa banyak.

Entah apa yang terjadi, yang jelas Aswin pulang ke Surabaya. Ia tinggalkan Bali. Bisnisnya di Bali rupanya juga kurang memuaskan.

Tak lama kemudian Aswin ditahbiskan sebagai pengganti Alex. Pimpinan puncak Gereja Bethany pun pindah sepenuhnya ke Aswin. Bukan ke Billy.

Saya pun bertanya kepada Bambang: apa yang terjadi di antara waktu penobatan Billy dengan penobatan Aswin? Siapa yang berperan besar sehingga Alex menobatkan Aswin?

Mengabaikan begitu saja penobatan Billy sebelum itu? Siapa yang mendorong pengabaian itu? Aswin sendiri? Alex pribadi? Atau siapa?

Ternyata bukan salah satu dari mereka.

"Istri Koko Alex," jawab Bambang.

Waktu itu di lingkungan keluarga penuh dengan gambaran yang mirip kerajaan lama di Tiongkok. Yakni ketika sang raja sudah tua dan sakit-sakitan.

Ada menantu yang sangat dominan di situ: Yusak, suami Hanna.

Ada cucu laki-laki yang seperti sudah diangkat menjadi pangeran: Billy.

Dan... ada orang luar, wanita muda, yang dianggap berbahaya bagi dinasti keluarga: Elke Widjanarko.

Bambang Tanuseputra, sang adik, pernah menasihati kokonya itu agar jangan menyerahkan semua kekuasaannya ke Aswin. Mengapa tidak bertahap saja. Tapi Alex seperti berada di bawah tekanan.

Sebaliknya, sang adik juga menasihati kokonya itu: jangan terlalu dekat dengan Elke. Kedekatan itu telah menimbulkan gunjingan yang serius di kalangan jemaat.

Tapi semua sudah terjadi.

Aswin, kata Bambang, sebenarnya masih ingin melibatkan ayahnya.

Suatu saat Aswin mengundang bapaknya untuk hadir di pertemuan pimpinan Bethany. Tiga orang diutus untuk menemui Alex di rumahnya di belakang Gereja Bethany Nginden. Saat itu Bambang juga lagi ada di situ.

Alex rupanya minta pendapat Bambang. Sang adik menyarankan Alex untuk hadir. Tapi Alex rupanya juga minta pertimbangan Elke. Lewat telepon genggam. Oleh tim Elke, Alex diminta untuk tidak hadir.

Mungkin Alex sumpek dengan keadaan. Telepon genggam itu diberikan kepada Bambang. Agar sang adik mendengar sendiri penjelasan dari tim doa Elke mengapa jangan hadir.

Tim doa di Jakarta itu rupanya tidak tahu bahwa telepon genggam sudah pindah tangan. Maka tim doa itu terus saja memberi penjelasan soal "jangan hadir di rapat pimpinan" itu.

Maka, Bambang sendiri mendengar semua yang dikatakan tim doa: Alex tidak boleh hadir. Di rapat itu Alex akan bernasib jelek. Tim doa sudah mendapat gambaran dari Tuhan: mendungnya sangat gelap.

"Apakah yang bicara di telepom itu Elka sendiri?" tanya saya.

"Bukan," jawab Bambang.

"David? Yang adik kandung Elke itu?"

"Bukan," jawab Bambang.

"Siapa?"

"Anggota tim doa lainnya. Laki-laki," ujar Bambang.

Bambang pun tetap minta kakaknya itu hadir. Tapi Alex tetap tidak mau. Ia sudah percaya penuh bahwa Elke itu punya kemampuan spiritual. Yakni berkat kedekatan Elke dengan Tuhan.

"Pendeta besar kok percaya begituan," kata sang adik mengkritik kokonya.

Tapi Bambang sudah bukan siapa-siapa lagi. Ia sudah dipecat Aswin dari Bethany. Ia juga sudah tidak mau ke Gereja Bethany. Ketika masih bertahan di Surabaya, Bambang pilih ke gerejanya Yusak yang juga sudah dipecat oleh Aswin. Apalagi Billy, sudah takut ke Bethany.

Maka, Kerajaan Bethany menjadi bersih dari pangeran-pangeran di luar jalur yang semestinya. Tinggal sejarah yang akan membuktikan: apakah kejayaan Bethany bisa pulih kembali. (*)

Rabu, 07 Oktober 2020

Flobamora di Jawa Banyak Masalah

Di mana ada orang NTT, di situ ada Flobamora. Paguyuban keluarga besar NTT di perantauan. Biasanya sama-sama menyanyikan Himne Flobamora. Semua orang NTT boleh dikata hafal "lagu kebangsaan" NTT yang diciptakan pada masa pemerintahan Gubernur Ben Mboy itu.

Tapi itu dulu. Sejak akhir 1990-an Flobamora mulai surut. Mati di mana-mana. Jangankan Flobamora, ikatan keluarga tingkat kabupaten pun mati suri. Ada yang hidup kalau mau bikin Natal bersama atau halalbihalal Idulfitri.

Anggota DPRD Jatim Daniel Rohi salah satu saksi pasang surut Flobamora di Surabaya. Maklum, sejak 1980-an Daniel sudah tinggal di Surabaya. Jadi mahasiswa UK Petra. Kemudian jadi dosen UK Petra.

"Sekarang beta nonaktif karena jadi wakil rakyat," kata Daniel Rohi.

Beta pun iseng-iseng bertanya tentang eksistensi Flobamora bagi para perantau asal NTT. Ini karena belakangan muncul organisasi Flobamora Jatim yang kelihatannya lebih serius tata kelolanya.

Bung Daniel, mengapa Flobamora selalu dibentuk, kemudian vakum, hidup lagi, mati lagi, hidup lagi?

Begini. Beta analisis ada beberapa penyebab dari tahun ke tahun. Pertama, Flobamora terlalu heterogen. Pengikatnya tidak ada. NTT itu punya 22 kabupaten dengan suku, adat, bahasa yang berbeda-beda. Lain dengan orang Jawa yang bahasa dan adat istiadatnya sama.

Kedua, orang NTT atau Flobamora punya karakter individu yang menonjol atau gengsi tinggi. Itu sering jadi sumber konflik dan keretakan di organisasi karena banyak orang yang ingin menonjol.

Ketiga, tidak punya tokoh yang bisa mempersatukan dan punya kepedulian. Sulit menemukan tokoh yang diakui semua orang Flobamora dari berbagai daerah dan latar belakang.

Keempat, sekarang komunikasi sudah tidak jadi masalah sehingga tidak perlu kontak fisik. Dulu orang NTT masih suka kumpul-kumpul di rantau karena belum ada telepon, HP, media sosial, internet dsb. Makanya orang senang kumpul sesama Flobamora. Sekarang orang bisa ngobrol setiap saat dengan keluarga atau teman-teman di NTT.

Kelima, kebanyakan warga Flobamora masih dalam level survive sehingga sibuk urus diri sendiri dulu. Kalau mapan baru mau kumpul-kumpul. 

Keenam, mungkin warga Flobamora punya daya adaptasi yang bagus sehingga bisa diterima lingkungan. Jadi, dia tidak merasa perlu untuk kumpul-kumpul dengan sesama orang NTT.

Bagaimana Anda melihat Flobamora di Surabaya yang baru dibentuk pada pertengahan 2020?

Beta kebetulan diundang sebagai pembicara saat launching Flobamora di hotel. Beta sampaikan pengalaman jatuh bangun Flobamora masa lalu agar bisa dijadikan pengalaman.

 Beta juga memotivasi Flobamora di Malang agar mereka bisa eksis dan adaptif terhadap perubahan.

Kelihatannya Flobamora yang hidup justru di kalangan mahasiswa. Orang-orang NTT yang lain sibuk cari duit untuk survive?

Betul. Justru yang hidup adalah Flobamora di kalangan mahasiswa UK Petra. Mereka minimal bisa bikin Natal bersama dan syukuran kalau ada yang wisuda. Bahkan buat pembinaan kepemimpinan rutin.

Bisa dipahami karena ada kebutuhan yang sama.

 Betul dan menjawab kebutuhan.

Termasuk kebutuhan untuk cari jodoh sesama NTT?

Hahaha.... tetapi beta "larang" datang jauh-jauh kok jodohnya orang NTT. Cari jodoh dari suku lainlah. 😃

Flobamora Jatim Abaikan Protokol Covid-19


Sebulan ini saya pantau via media sosial, kegiatan Flobamora di Jawa Timur meningkat pesat. Mulai dari deklarasi di hotel, rapat pengurus, hingga pembentukan rayon-rayon di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang.

Di satu sisi, gairah para perantau Flores, Sumba, Timor, Alor dan pulau-pulau lain di NTT yang berada di Jatim sangat mengesankan. Belum pernah ada paguyuban Flobamora seaktif ini. Bahkan di tengah pandemi Covid-19.

Sejak dulu sudah ada Flobamora-Flobamora di berbagai kota di Indonesia. Flobamora juga ada di Malaysia yang banyak perantau NTT. Khususnya Sabah dan Serawak. Tapi biasanya Flobamora cuma sekadar ajang kumpul-kumpul untuk arisan atau Natal bersama.

Karena itu, Flobamora biasanya hidup sejenak lalu mati suri. Hidup lagi saat Natal bersama. Lalu mati lagi. Di Surabaya, Flobamora sudah mati 20an tahun. Salah satu penyebabnya karena tokoh-tokoh senior NTT menghadap Bapa di surga.

Nah, Flobamora 2020 ini kelihatannya lebih serius. Pola mainnya beda dengan Flobamora-Flobamora lama yang tidak punya pengurus beneran. 

Flobamora 2020 punya banyak sekali pengurus. Ada dewan pembina, dewan penasihat, pengurus rayon dsb. Mirip ormas atau partai politik. "Kita sudah bentuk tujuh rayon. Yang lain akan menyusul," kata Mery Mete, pengurus Flobamora asal Sumba.

Mery Mete tak lupa berbagi foto-foto pertemuan untuk membentuk rayon di Sidoarjo dan Gresik. Ramai banget. Seperti tidak ada Covid-19. Orang-orang NTT itu berkumpul, berdekatan, layaknya kondisi normal. Banyak peserta tidak pakai masker. 

Kok bisa begini? 
Apa tidak khawatir virus corona yang jahat itu?
Apakah tidak bisa ditunda pembentukan rayon-rayon itu?
Apakah Flobamora ini begitu mendesak untuk orang NTT di Jatim?

Sebagai orang yang setiap hari diwajibkan masuk bilik disinfektan, cuci tangan, semprot hand sanitizer, ngantor gantian 50%, saya hanya bisa ngelus dada melihat kelakuan saudara-saudari sesama orang NTT di perantauan itu.

Ada kesan seperti meremehkan Covid-19. Mengabaikan protokol kesehatan yang diwajibkan Gubernur Jatim Khofifah dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kepatuhan terhadap prokes sangat rendah.

Covid-19 sudah menjadi bencana dahsyat bagi bangsa kita. Bahkan seluruh dunia. Sudah tujuh bulan dunia digoncang virus korona baru yang telah menelan ribuan nyawa itu.

Mudah-mudahan orang NTT baik di rantau maupun di bumi Flobamora sadar dan mau bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi wabah ini. Apa sih sulitnya pakai masker, jaga jarak, tidak berkerumun?

Sabtu, 03 Oktober 2020

Kapok!!! Presiden Trump Kena China Virus

Donald Trump kena Covid-19? Saya tidak kaget. Saya justru kaget presiden USA itu baru kena sekarang. Saat kampanye pilpres. Jelang pemilihan presiden USA bulan depan.

Saya cukup aktif baca cuitan-cuitan Trump di Twitter. Tegas, sederhana, blak-blakan. Presiden USA itu cenderung meremehkan Covid-19. Tidak peduli dengan jaga jarak, pakai masker, lockdown, tutup sekolah, tutup tempat-tempat ibadah dsb.

Trump malah meminta sekolah-sekolah dibuka. Dia seolah anti protokol kesehatan. Nasihat-nasihat dokter terkemuka macam Dr Fauci juga sering dianggap angin lalu.

Di televisi dan media sosial Trump juga tidak pernah menyebut Covid-19 tapi China Virus. Mulutnya dimonyongkan saat bilang China. Ada kesan Presiden Trump ini sangat anti Tiongkok. Baik itu pemerintah dan masyarakatnya.

Saking bencinya pada China Virus dan China, reporter televisi yang bertampang Tionghoa pun jadi bulan-bulanan di Gedung Putih. Bukannya menjawab pertanyaan tentang penanganan covid, Trump malah menghardik wartawati keturunan Tionghoa itu.

"Anda siapa? Anda bekerja untuk siapa?" kejar Trump sengit.

"Don't ask me. Ask China!!!" begitu antara lain serangan Trump di depan para wartawan di Gedung Putih.

Tentu saja Presiden Trump tidak asal memakai istilah China Virus. Trump dan para pendukungnya sejak lama menganggap virus corona atau Covid-19 sebagai buatan China. Partai Komunis Tiongkok dituduh berada di balik pandemi ini.

Selain Tiongkok, WHO pun jadi bulan-bulanan Trump. WHO dianggap sudah dikooptasi Tiongkok. WHO dianggap gagal bertindak sehingga China Virus alias Covid-19 menyebar luas ke seluruh dunia. USA bahkan menjadi negara terbanyak angka pasiennya.

Kini mulut besar Trump yang meremehkan Covid-19 untuk sementara meredup. Setelah Trump dan istrinya dipastikan terpapar Covid-19. Agenda kampanye dan kepresidenan bisa jadi berantakan.

Mudah-mudahan Presiden Trump bisa ambil hikmah saat menjalani isolasi selama 14 hari. Agar bisa berdebat kusir lagi untuk mempertahankan takhtanya di Gedung Putih.

Minggu, 27 September 2020

Beta Baca Alkitab Bahasa Kupang


Saya perhatikan, anggota grup Flobamora di Jawa Timur lebih suka berkomunikasi pakai bahasa Kupang. Semacam bahasa Melayu Pasar dengan dialek Kupang. Orang NTT pasti tidak asing lagi.

Bahasa Kupang, karena hakikatnya bahasa Melayu Pasar, mudah dipahami orang NTT dari berbagai kawasan. Malah jadi semacam bahasa persatuan atau lingua franca orang-orang NTT di kawasan selatan dan Pulau Sumba.

Mulai dari Kupang dan seluruh Pulau Timor bagian barat, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Raijua dsb. "Beta orang Sabu na. Beta su lama tinggal di Surabaya," kata mendiang Om Peter.

Ia asli Sabu, remaja di Kupang, merantau di Jawa, lama di Jakarta, keliling berbagai kota di tanah air. Tapi aksen Kupang tidak bisa hilang ketika berbahasa Indonesia baku yang baik dan benar.

Orang Kupang sangat sulit, bahkan tidak bisa melafalkan e pepet. Semuanya é alias e benar. "Beta pu badan betul-betul sakit," kata bapa lain yang asli Soe.

Orang Sumba punya beberapa bahasa daerah. Ketika berkomunikasi dengan orang dari daerah lain, yang berbeda bahasa, mereka biasa berbahasa Melayu Kupang. Seperti John Kii, teman satu kosku dulu. Bung John ini benar-benar sonde bisa bilang ē pepet. Semuanya é benar.

Masyarakat Pulau Alor juga begitu. Meskipun jauh dari Kupang, mereka selalu berbahasa Melayu Kupang ketika bertemu orang yang bahasa daerahnya lain.

Unik karena Pulau Alor ini bertetangga dengan Pulau Lembata. Orang Lembata berbahasa Lamaholot seperti warga Kabupaten Flores Timur. Sebelum reformasi, Lembata juga masuk Kabupaten Flores Timur.

Apakah karena sering berbahasa Kupang, Pulau Alor, Pantar, dan sekitarnya masuk Keuskupan Kupang? Entahlah.

Yang pasti, sejak SD saya heran mengapa Alor yang bertetangga dengan Lembata masuk wilayah Keuskupan Kupang. Bukan Keuskupan Larantuka seperti Pulau Lembata, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Flores bagian timur.

Yang pasti pula, daerah-daerah yang lingua franca atau bahasa persatuannya bahasa Kupang mayoritas Kristen Protestan. Masyarakat di Pulau Flores hingga Lembata yang mayoritas Katolik tidak bisa bahasa Melayu Kupang. Alor yang jadi tetangga Lembata mayoritas Protestan. Sedangkan Lembata tidak ada Protestan, kecuali pendatang dari Kupang, Sumba, Alor dan wilayah selatan NTT.

Saya yang dari wilayah utara so pasti tidak lancar bahasa Kupang. Tapi sering pura-pura bahasa Kupang saat berkomunikasi dengan orang Kupang, Sabu, Rote, atau Sumba di Surabaya. Guru bahasa Kupang terbaik adalah Peter A. Rohi (RIP) dan Daniel Rohi, dosen UK Petra yang sekarang jadi anggota DPRD Jawa Timur.

Daniel Rohi ini sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya. Sejak jadi mahasiswa UK Petra, kemudian jadi dosen di kampus terkenal itu. Daniel juga jarang kumpul-kumpul dengan orang NTT. Kecuali saat Natal bersama atau pertemuan keluarga besar Flobamora. Tapi logat Kupangnya tidak hilang. Itu sudah jadi identitasnya.

Akhir-akhir ini beta mulai belajar lagi bahasa Kupang dengan membaca Alkitab Bahasa Kupang. Kata-katanya sederhana dan sangat khas di NTT.

Minggu pagi ini, 27 September 2020, beta baca Injil Lukas 12: 4-7. Begini bunyinya:


"Bosong pikir coba, burung pipit pung harga barapa? Paling mura, to! Lima ekor dua sen, aa? Biar bagitu, ma Tuhan Allah sonde lupa buang satu ekor ju.

Bagitu ju Tuhan taro hati sang bosong. Dia tau parsis barapa banya rambu di bosong pung kapala. Jadi bosong sonde usa taku, te Tuhan nilei bosong lebe dari burung pipit bambanya dong."

Minggu, 20 September 2020

Uji Usap, Uji Cepat, Kuntara, Lokdon

Syukurlah, belakangan ini koran-koran sudah menemukan padanan rapid test dan swab test. Selama enam bulan kedua istilah tersebut sangat produktif di media massa. Tiada hari tanpa rapid dan swab.

Pagi ini ada berita di koran. Judulnya: Uji Usab Sasar Perkampungan.

Di alinea pertama ada istilah tes swab. Bukan lagi swab test. Tes swab alias uji uap memang sedang gencar dilakukan Pemkot Surabaya untuk mengatasi pagebluk Covid-19.

Istilah rapid test pun sudah dapat padanan uji cepat atau tes cepat. Biasanya saya pakai tes rapid meskipun dalam hati ingin tes cepat. Biar tidak terlalu berbeda dengan omongan pejabat-pejabat yang selalu pakai rapid test dan swab test.

Begitulah. Bahasa Indonesia memang sangat kehilangan menghadapi serbuan istilah-istilah asing. Khususnya di bidang kedokteran, kesehatan, teknologi informasi, politik, hingga hiburan. Maklum, kita tidak punya kata-kata teknis yang canggih untuk menyebut istilah-istilah teknis yang sangat modern.

Karena itu, bisa dimengerti kalau orang Malaysia cenderung menganggap bahasa Melayu tidak bisa dipakai sebagai bahasa akademis atau bahasa ilmiah di kampus-kampus. Orang Malaysia justru lebih mendahulukan bahasa Inggris daripada bahasa Melayu. Padahal bahasa Melayu notabene jadi asal bahasa Indonesia.

Di era digital yang kian terhubung ini rasanya bahasa Indonesia akan makin gamang menghadapi serbuan bahasa asing. Khususnya Inggris. Kita tidak akan bisa menemukan padanan kata dalam waktu cepat.

Istilah rapid test dan swab test saja butuh waktu enam bulan menjadi uji cepat dan uji usap.

Lockdown belum ada padanan yang pas. Ada media yang pakai kuntara (kunci sementara), tapi lebih banyak yang menggunakan lockdown apa adanya. Seperti offside atau handball dalam sepak bola. Untungnya ada istilah PSBB yang maknanya seperti PSBB: pembatasan sosial berkala besar.

Goenawan Mohamad, esais ternama, pakai istilah lokdon. Sama dengan di warkop-warkop di  Surabaya. Download jadi donlot. Upload: aplot.

Sabtu, 19 September 2020

Nostalgia Persema Malang 1988

Apa kabar Persema Malang?
Apakah Persema masih ada?
Main di Liga 3?

Persema seperti tinggal kenangan. Padahal dulu namanya sangat berkibar di pentas sepak bola nasional. Sangat diperhitungkan di kompetisi perserikatan meskipun tidak pernah juara.

Persema selalu menyulitkan tim-tim lawan saat bertanding di Stadion Gajayana Malang. Bahkan, Persebaya yang hebat, sejak dulu, sering keok di Gajayana.

Rivalitas Surabaya dan Malang sejatinya dimulai sejak era perserikatan. Arema belum ada. Arema baru lahir tahun 1987 untuk Liga Sepak Bola Utama atau Galatama. Awalnya suporter Arema kalah jauh dibandingkan Persema.

Tapi itu dulu. Sudah lama berlalu. Sekarang Arema yang berkibar. Entah Arema Malang, Arema Indonesia, hingga Arema FC. Arema berhasil menggusur Persema dari jagat balbalan di Malang Raya.

Dulu saya jadi salah satu saksi kehebatan pemain-pemain Persema. Khususnya yang berasal dari klub Gajayana dan Indonesia Muda (IM). Saya selalu nonton latihan pemain-pemain IM di Lapangan Ajendam, belakang RS Saiful Anwar itu.

Pelatih Rohanda sangat keras dan disiplin. Suka berteriak dan bentak-bentak. Pemain-pemain tidak boleh malas lari. Tak boleh lama-lama membawa bola. Harus cepat-cepat passing.

Kiper pun begitu. Mas Dwi, kiper IM, tidak pernah memegang bola di area gawang. Wajib dioper ke pemain belakang atau tengah atau depan. Padahal saat itu belum ada aturan larangan kiper menangkap bola backpass.

Pemain-pemain IM mayoritas sangat muda. Di bawah 23 tahun. Hanya satu dua senior yang dijadikan mentor seperti Mas Karno. Yang lain masih duduk di SMA. Tapi IM selalu menyulitkan Gajayana, klub terbaik milik Pemkot Malang. Satu-satunya tim amatir yang punya wisma bagus ya Gajayana. Di dekat pasar bunga dan pasar bunga dekat Splendid Inn itu.

Gajayana selalu juara, IM posisi kedua kompetisi internal Persema. Maka pemain-pemain kedua tim inilah yang jadi skuad Persema. Ada Maryanto penyerang lincah yang sangat kondang di Malang. Ada Harry Ratu, striker asal Flores yang suka ngamuk kalau teman-temannya tidak ngeyel.

Pasti seru setiap kali Persema main di Stadion Gajayana. Bukan hanya laga-laga resmi, pertandingan uji coba pun selalu ramai. Stadion penuh. Calo-calo tiket berseliweran di sekitar stadion. Anak-anak muda yang tidak punya uang juga punya peluang untuk memanjat tembok.

Nah, nostalgia Persema itu muncul saat saya membaca koran Jawa Pos lawas, edisi 3 Februari 1988, di sebuah warkop di Rungkut Menanggal, Surabaya. Pak Subur, pensiunan AL, rupanya punya koleksi koran-koran tahun 1980-an terbitan Surabaya.

Di halaman olahraga ada berita tentang Persema. Uji coba di Gajayana melawan PS Dafonsoro, Irian Jaya (sekarang Papua). Persiapan menjamu Persegres Gresik pada 6 Februari 1988 di kompetisi Divisi I. Persema menang 2-0.

Gol pertama dicetak Suparman, kiper Persema, menit ke-57 dari titik penalti dan temdangan Samsul Huda menit 72. Suparman memang penjaga gawang yang sangat jago sebagai eksekutor tendangan penalti. Tendangannya sangat keras di pojok gawang. Orangnya juga galak.

Wartawan Jawa Pos di Malang yang meliput pertandingan ini, Agus Purbiantoro, memuat daftar nama pemain Persema dan Persidaf yang diturunkan.

Aha, sebagian besar saya kenal dan paham gayanya di lapangan. Khususnya Suparman, Maryanto, Harry Ratu, Aji Santoso, Totok Anjik, dan Sugito.

Mas Sugito ini penyerang andalan IM Malang yang sangat tajam. Namun dia harus didukung tandem yang tepat untuk wallpass. Beda dengan Maryanto yang bisa mengumpan dirinya sendiri dengan bola daerah karena larinya secepat kijang.

Tak terasa tiga dekade telah berlalu. Nama besar Persema sudah lama tenggelam oleh adiknya, Arema Malang. Persema katanya masih ada tapi terseok-seok di Liga 3 Jawa Timur.

Stadion Gajayana saat ini sangat indah dan terasa modern. Saya selalu melintas di depannya saat mampir ke Malang. Tapi tidak ada lagi keramaian latihan dan pertandingan bola di stadion terkenal itu. Arema FC bahkan lebih suka berlaga di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen.


Skuad Persema Malang Tahun 1988

- Suparman
- Suliadi
- Aji Santoso
- Mujiono
- Cilak
- Sugeng Widodo
- Totok Anjik
- Edi Eko
- Maryanto
- Suheri
- Husein
- Samsul Huda
- Kiswo Handoko
- Sugiyanto
- Harri Ratu
- Arie Suseno
- Sugito