Dulu saya sering menulis tentang toleransi dan kerja sama antarumat Katolik dan Islam di Flores Timur dan Lembata. Atau Flores dan NTT umumnya. Luar biasa! Orang Jawa atau Jakarta atau Sumatera pasti geleng-geleng kepala.
Kok bisa seerat itu?
Tidak pernah ada masalah atau benturan antara orang Katolik dan Islam di Lembata dan Flores Timur (Flotim). Di kampung halaman saya ini sekadar toleransi atau membiarkan atau menghormati (pasif) tidak cukup. Di sana masyarakat hidup guyub rukun tanpa melihat latar belakang agamamu.
Oh ya, daerah saya itu cuma ada 2 agama: Katolik dan Islam. Agama asli yang tidak punya nama (biasa saya sebut Lera Wulan) sudah tak punya penganut karena anak-anak dan cucu mereka masuk Katolik atau Islam. Ada satu dua yang konversi ke Protestan atau Pentakosta setelah menikah di luar NTT.
Tentu saja cerita saya tentang kerukunan hidup beragama di NTT sangat subjektif. Hanya berdasar pengalaman masih kecil saya di Lembata dan masa remaja saya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bukan hasil kajian ilmiah yang objektif.
Nah, akhirnya pagi ini Kementerian Agama RI merilis data tentang indeks kerukunan agama di 34 provinsi di Indonesia. Datanya sangat objektif dan terukur. Bukan cuma klaim subjektif seperti yang saya lakukan dulu di blog yang sudah almarhum itu.
Tapi saya tetap kaget karena Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya peringkat 2. Mestinya nomor 1 menurut saya. Peringkat 1 Papua Barat dengan nilai 82,1. NTT peringkat kedua dengan nilai 81,2.
Berikut data dari Kemenag, Desember 2018 :
1. Papua Barat 82,1
2. NTT 81,2
3. Bali 80,1
4. Sulawesi Utara 79,9
5. Maluku 79,9
6. Papua 79,0
7. Kalimantan Utara 78,0
17. Jawa Timur 73,7
27. DKI Jakarta 71,3
28. Jambi 70,7
29. NTB 70,4
30. Riau 69,3
31. Banten 68,9
32. Jawa Barat 68,5
33. Sumatera Barat 64,4
34. Aceh 60,2
Syukurlah... apa yang saya klaimkan selama 10 tahun terakhir beroleh konfirmasi langsung dari Kemenag RI. Bisa jadi ada sedikit masalah di NTT bagian selatan (Kupang dan sekitarnya) sehingga skor yang diperoleh NTT kalah oleh Papua Barat.
Seandainya sampel yang diambil hanya dari NTT Utara alias Flores, Lembata, Solor, Adonara, dan Alor, saya yakin NTT bisa dapat skor di atas 90.
Begitu banyak contoh kerja sama dan gotong royong antara umat Katolik dan Islam dalam berbagai hal. Masjid di Desa Napasabok Mawa misalnya dibangun ramai-ramai seluruh masyarakat desa. Baik yang Katolik maupun Islam. Penggagas pembangunan masjid justru Bapa Carolus Nimanuho, kepala desa saat itu.
Saya dan kawan-kawan yang masih SD pun ikut mengambil material batu dan pasir untuk pembangunan Masjid Nurul Jannah itu. Saat jadi tuan rumah Idul Fitri, semua warga pun ikut sibuk. Mempersiapkan pesta, sembelih kambing, untuk menjamu umat Islam satu kecamatan.
Di Lembata ada kebiasaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Paskah digilir antardesa. Semua warga, tak peduli agamanya, dengan gembira menerima umat Islam yang berlebaran. Besok siang makan enak bersama setelah umat Islam salat Id di lapangan desa.
Begitu pula perayaan Natal sebentar lagi. Saat ini skalanya tidak lagi satu kecamatan tapi sepertiga kecamatan. Umat Katolik dari 7 desa merayakan ekaristi atau misa kudus di salah satu gereja stasi (desa). Giliran setiap tahun.
Stasi atau desa yang jadi tuan rumah tentu saja "berkewajiban" untuk menjamu tamu-tamu dari 6 desa itu. Tentu saja perlu sembelih babi, kambing, kadang sapi untuk makan bersama. Jadi, Natal tidak melulu urusan liturgi atau ekaristi seperti di Jawa.
Nah, umat muslim di desa yang ketiban sampur jadi tuan rumah natalan ya ikut sibuk. Bahkan saya lihat mereka paling sibuk karena tidak ikut misa, bukan? Sibuk masak, menyiapkan tenda, meja kursi.. untuk tamu-tamu dari desa tetangga.
Selepas misa Natal pagi (bukan Malam Natal) langsung bersalaman di tenda yang sudah disediakan tuan rumah. Ngobrol, cerita ringan... dan makan besar alias pesta ala rakyat desa. Tidak ada heboh Santa Claus atau Sinterklaas di desa-desa di NTT.
Ini cuma contoh kecil betapa toleransi antarumat sudah menyatu dalam napas dan darah manusia-manusia sederhana di Bumi Lamaholot, Keuskupan Larantuka. Orang Lamaholot tidak perlu penataran P4 atau Pendidikan Moral Pancasila untuk melaksanakan toleransi antarumat beragama.
Makanya, orang Lamaholot yang merantau di Jawa atau Sumatera atau Kalimantan sering heran ada unjuk rasa menuntut gereja ditutup. Heran mendengar gereja disegel. Kaget melihat berita di TV acara sembahyang rosario di rumah warga dibubarkan dsb dsb.
Kembali ke data Kemenag RI. Saya perhatikan ternyata provinsi-provinsi yang tingkat toleransinya sangat tinggi berada di kawasan timur dan tengah. Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, Papua.
Dan... kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Ini cuma sekadar pembacaan data statistik kemenag.
Sebaliknya, Aceh yang sudah lama memberlakukan hukum syariat berada di nomor 34 alias juru kunci. DKI Jakarta yang orangnya pintar-pintar, modern, kosmopolitan, paling maju, paling wah... paling segalanya justru berada di nomor 27.
Saya masih optimistis NTT bakal jadi nomor 1 untuk urusan toleransi beragama kalau sampel yang diambil lebih banyak lagi.
Kok bisa seerat itu?
Tidak pernah ada masalah atau benturan antara orang Katolik dan Islam di Lembata dan Flores Timur (Flotim). Di kampung halaman saya ini sekadar toleransi atau membiarkan atau menghormati (pasif) tidak cukup. Di sana masyarakat hidup guyub rukun tanpa melihat latar belakang agamamu.
Oh ya, daerah saya itu cuma ada 2 agama: Katolik dan Islam. Agama asli yang tidak punya nama (biasa saya sebut Lera Wulan) sudah tak punya penganut karena anak-anak dan cucu mereka masuk Katolik atau Islam. Ada satu dua yang konversi ke Protestan atau Pentakosta setelah menikah di luar NTT.
Tentu saja cerita saya tentang kerukunan hidup beragama di NTT sangat subjektif. Hanya berdasar pengalaman masih kecil saya di Lembata dan masa remaja saya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bukan hasil kajian ilmiah yang objektif.
Nah, akhirnya pagi ini Kementerian Agama RI merilis data tentang indeks kerukunan agama di 34 provinsi di Indonesia. Datanya sangat objektif dan terukur. Bukan cuma klaim subjektif seperti yang saya lakukan dulu di blog yang sudah almarhum itu.
Tapi saya tetap kaget karena Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya peringkat 2. Mestinya nomor 1 menurut saya. Peringkat 1 Papua Barat dengan nilai 82,1. NTT peringkat kedua dengan nilai 81,2.
Berikut data dari Kemenag, Desember 2018 :
1. Papua Barat 82,1
2. NTT 81,2
3. Bali 80,1
4. Sulawesi Utara 79,9
5. Maluku 79,9
6. Papua 79,0
7. Kalimantan Utara 78,0
17. Jawa Timur 73,7
27. DKI Jakarta 71,3
28. Jambi 70,7
29. NTB 70,4
30. Riau 69,3
31. Banten 68,9
32. Jawa Barat 68,5
33. Sumatera Barat 64,4
34. Aceh 60,2
Syukurlah... apa yang saya klaimkan selama 10 tahun terakhir beroleh konfirmasi langsung dari Kemenag RI. Bisa jadi ada sedikit masalah di NTT bagian selatan (Kupang dan sekitarnya) sehingga skor yang diperoleh NTT kalah oleh Papua Barat.
Seandainya sampel yang diambil hanya dari NTT Utara alias Flores, Lembata, Solor, Adonara, dan Alor, saya yakin NTT bisa dapat skor di atas 90.
Begitu banyak contoh kerja sama dan gotong royong antara umat Katolik dan Islam dalam berbagai hal. Masjid di Desa Napasabok Mawa misalnya dibangun ramai-ramai seluruh masyarakat desa. Baik yang Katolik maupun Islam. Penggagas pembangunan masjid justru Bapa Carolus Nimanuho, kepala desa saat itu.
Saya dan kawan-kawan yang masih SD pun ikut mengambil material batu dan pasir untuk pembangunan Masjid Nurul Jannah itu. Saat jadi tuan rumah Idul Fitri, semua warga pun ikut sibuk. Mempersiapkan pesta, sembelih kambing, untuk menjamu umat Islam satu kecamatan.
Di Lembata ada kebiasaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Paskah digilir antardesa. Semua warga, tak peduli agamanya, dengan gembira menerima umat Islam yang berlebaran. Besok siang makan enak bersama setelah umat Islam salat Id di lapangan desa.
Begitu pula perayaan Natal sebentar lagi. Saat ini skalanya tidak lagi satu kecamatan tapi sepertiga kecamatan. Umat Katolik dari 7 desa merayakan ekaristi atau misa kudus di salah satu gereja stasi (desa). Giliran setiap tahun.
Stasi atau desa yang jadi tuan rumah tentu saja "berkewajiban" untuk menjamu tamu-tamu dari 6 desa itu. Tentu saja perlu sembelih babi, kambing, kadang sapi untuk makan bersama. Jadi, Natal tidak melulu urusan liturgi atau ekaristi seperti di Jawa.
Nah, umat muslim di desa yang ketiban sampur jadi tuan rumah natalan ya ikut sibuk. Bahkan saya lihat mereka paling sibuk karena tidak ikut misa, bukan? Sibuk masak, menyiapkan tenda, meja kursi.. untuk tamu-tamu dari desa tetangga.
Selepas misa Natal pagi (bukan Malam Natal) langsung bersalaman di tenda yang sudah disediakan tuan rumah. Ngobrol, cerita ringan... dan makan besar alias pesta ala rakyat desa. Tidak ada heboh Santa Claus atau Sinterklaas di desa-desa di NTT.
Ini cuma contoh kecil betapa toleransi antarumat sudah menyatu dalam napas dan darah manusia-manusia sederhana di Bumi Lamaholot, Keuskupan Larantuka. Orang Lamaholot tidak perlu penataran P4 atau Pendidikan Moral Pancasila untuk melaksanakan toleransi antarumat beragama.
Makanya, orang Lamaholot yang merantau di Jawa atau Sumatera atau Kalimantan sering heran ada unjuk rasa menuntut gereja ditutup. Heran mendengar gereja disegel. Kaget melihat berita di TV acara sembahyang rosario di rumah warga dibubarkan dsb dsb.
Kembali ke data Kemenag RI. Saya perhatikan ternyata provinsi-provinsi yang tingkat toleransinya sangat tinggi berada di kawasan timur dan tengah. Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, Papua.
Dan... kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Ini cuma sekadar pembacaan data statistik kemenag.
Sebaliknya, Aceh yang sudah lama memberlakukan hukum syariat berada di nomor 34 alias juru kunci. DKI Jakarta yang orangnya pintar-pintar, modern, kosmopolitan, paling maju, paling wah... paling segalanya justru berada di nomor 27.
Saya masih optimistis NTT bakal jadi nomor 1 untuk urusan toleransi beragama kalau sampel yang diambil lebih banyak lagi.