Sabtu 20 Agustus 2022. Saya blusukan lagi ke Balongbendo, Tarik, Penambangan dan beberapa kawasan Sidoarjo Barat. Sudah tiga tahun lebih tidak mampir ngombe dawet gara-gara covid.
Joko Tingkir ngombe dawet lagi populer. Di depan pintu pagar eks pabrik PT Pertekstilan Ratatex memang ada penjual es dawet. Dawet Ratatek, istilah warga setempat. Lumayan segeeer.
Lahan bekas pabrik, perumahan, lapangan, sekolahan sekitar 12 hektare (ada yang bilang 14) kini berubah jadi hutan. Tanaman-tanaman liar tumbuh subur. Ada juga tanaman pisang.
Jainuri, salah satu dari tiga satpam, angon wedhus di dalam pagar tembok itu. Hasilnya lumayan bagus. "Tapi ada kambing yang dicuri," kata satpam asal Penambangan, desa tetangga Suwaluh, lokasi pabrik Ratatex.
Saya agak paham sedikit Ratatex meskipun bukan asli Sidoarjo. Ini karena saya sering mampir di beberapa rumah karyawan Ratatex saat pihak kurator mengirimkan surat somasi sekitar 2010. Satu tahun setelah PT Ratatex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Intinya, sekitar 40 atau 50 rumah di kompleks Ratatex harus dibongkar. Mesin-mesin pabrik tekstil dan aset-aset lain juga dipindahkan. Kurator Soedeson yang berkuasa. Manajemen dan ahli waris Ratatex sudah kehilangan kuasa.
Nah, ada penghuni yang siap boyongan tapi banyak yang tidak siap. Lalu melakukan perlawanan di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dari situlah saya yang berasal dari NTT paham sikit lah riwayat Ratatex hingga pailit alias gulung tikar.
Ratatex itu akronim dari Rahman Tamin Textile. Rahman punya visi membangun pabrik tekstil terbesar di Indonesia. Itu didukung Bung Karno, Bung Hatta, serta politik benteng saat itu. Yakni kebijakan khusus untuk memajukan pengusaha-pengusaha bumiputra. (Agar tidak kalah dengan Tionghoa.)
Produk tekstil Ratatex memang langsung sukses di pasar. Sayang, usia Rahman Tamin tak panjang. Pada 11 Oktober 1960 pengusaha sekaligus pejuang kemerdekaan itu meninggal dunia dalam usia 54 tahun.
Praktis, Rahman Tamin hanya dua tahun mengelola PT Pertekstilan Ratatex. Manajemen belum kuat karena masih tahap pengembangan.
Anak Rahman Tamin yang dua orang itu, Sofjan dan Rahmaniar, masih sangat muda. Sofjan yang diharapkan jadi putra mahkota masih sekolah di Belanda.
Maka manajemen Ratatex diambil alih adik-adik Rahman Tamin. Almarhum Rahman Tamin ini anak sulung H Tamin dan Aisjah dari 11 bersaudara. Ada Agus Tamin, Mochtar Tamin, Darwis Tamin, Anwar, Arifin, Azwar, Nursidah, Alwis dsb.
Ayah Rahman Tamin punya 5 istri. Kalau ditotal maka anak-anak H Tamin ada 23 orang. Luar biasa! Rahman Tamin ini 23 bersaudara satu bapa lima mama.
Nah, sepeninggal Rahman Tamin, PT Ratatex dikelola adik-adik Rahman. Agus Tamin, anak kedua, yang dominan dibantu adik-adik lainnya. Produk-produk kain Ratatex masih laku di pasar hingga 1980-an.
Tahun 1990-an mulai seret, banyak kompetitor yang inovatif, ditambah serbuan tekstil impor. Agus Tamin yang kian sepuh kemudian tutup usia. Diganti Hendarmin Tamin putranya. Karena itu, karyawan penghuni Perum Ratatex dulu kalau ditanya siapa bos (pemilik) Ratatex selalu menjawab: Hendarmin Tamin.
Di tangan Hendarmin boleh dikata Ratatex tidak produksi lagi. Yang ramai cuma berita soal gugatan di pengadilan, somasi-somasi, pembongkaran rumah, pengosongan lahan, dan sejenisnya.
Orang Tionghoa punya ungkapan klasik: Harta tidak akan bertahan sampai tiga generasi.
Kejayaan Ratatex di Balongbendo ini malah tidak sampai dua turunan.
Sofjan Tamin, anak kandung Rahman Tamin, malah sudah disingkirkan dari Ratatex pada September 1969. Sofjan malah membangun PT Moon Lion yang memproduksi mur, baut, sekrup, dsb.
Sofjan tak terlena dengan nama besar ayahnya, Rahman Tamin, dan Ratatex.