Sabtu, 25 Desember 2021

Ayas Mampir ke Koopen Ngalam, Salut Sam Ngopi

 Dua tahun ini saya tidak mudik Natal. Pandemi berkepanjangan, PPKM, PSBB, dan entah apa lagi membuat kita orang tidak bisa bebas ke mana-mana. Belum lagi tes antigen, PCT, prokes 3M atau 5M atau 7M.

Maka saya pun menyepi saja di Malang. Kota dingin penuh kenangan. Apalagi belakangan ini kawan-kawan lama eks satu kelas di Smansa aktif sekali di grup WA. Salah satunya cerita tentang kopi, kopi, kopi.

Begitu hebatnya kultur ngopi di Malang beberapa tahun belakangan. Ipong, teman satu kelas Graffiti dulu, pun jadi salah satu juragan kopi di Malang. Terkenal sekali Sam Ngopi (Mas Ipong, dibaca terbalik) alias Arif Murahman ini. Kalau ada diskusi atau seminar tentang kopi, biasanya kawan yang juga sesama alumni Jember ini jadi pembicara.

Kopi dengan kafeinnya yang pahit dianggap obat. Bisa menetralkan lemak, kolsterol, dsb. Ipong senang makan duren. Ketika diingatkan teman segrup yang dokter, "Gampang. Kopi jadi penetral," katanya.

Sabtu 25 Desember 2021. 

Setelah menengok sejenak suasana Natalan, misa pagi di Gereja Katedral Malang, Jalan Ijen, saya mampir ke Koopen di Jalan Ijen juga. Kafe dengan suasana tempo doeloe. Mencoba mencicipi kopi yang sering dipamerkan di media sosial.

Cukup profesional layanannya. Ala hotel bintang tiga. Silakan pilih kopi varietas apa. Ada karlos, bumiaji, ijen, dan entah apa lagi. Ayas (saya, dibaca terbalik ala Malang) pilih karlos. Lalu duduk di luar dekat taman. Mirip meneer Belanda tempo doeloe.

Ehem... rasanya memang beda. Lain dengan kopi sasetan atau racikan di warkop-warkop Sidoarjo atau Surabaya. Ayas tambahkan gula satu saset agar tidak terlalu pahit. Siiip.

Ayas coba cari informasi Koopen Malang di Google. Ternyata banyak banget tulisan atau liputan tentang si Koopen itu.

Salah satu portal berita menulis:

"Toko kopi yang juga warkop milik Arif Ipong ini sudah dikenal sampai ke mancanegara. Lokasi pertamanya ada di Jalan Trunojoyo A1, Kota Malang, Jawa Timur, tepatnya ada di pojok Prapatan Klojen. Toko kopi ini hanya sekitar lima menit dari Stasiun Malang Kota Baru.

"Tidak disangka, Toko Kopi Koopen membuka cabang kedua setelah suskes menggemparkan warga Malang di cabang pertamanya. Lokasi cabang kedua ada Jalan Ijen Nomor 90 , Kota Malang, Jawa Timur. Wah, seiring berjalannya waktu Toko Kopi Koopen ini mulai menjadi primadona kopi di Kota Malang."

Wow.. luar biasa Ipong. Teman kelas yang ramah, murah senyum, bahasanya halus itu sudah berhasil bikin sesuatu di Malang. Membuat arek-arek Malang makin ketagihan kopi. 

Rahayu wong sing doyan ngopi!

Misa Natal di Surabaya dan Larantuka - Tak Ada Pesta Lagi

Perayaan ekaristi atau misa Natal masih online atau dalam jaringan (daring). Sudah dua tahun. Gara-gara pandemi covid yang tak kunjung sudah. Suasananya berbeda jauh.

Misa hari raya ini sepi sendiri. Cukup duduk di depan laptop atau HP. Tidak perlu pakai baju batik atau kemeja baru. Saya hanya pakai kaos Liverpool dan bawahan sarung. Baik misa Vigili Natal dari Katedral Surabaya, Jumat (24/12), dan misa Fajar Natal, Sabtu (25/12), dari Katedral Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, NTT.

Teknologi komunikasi, era digital, membuat kita bisa sangat fleksibel. Termasuk dalam urusan ibadah atau liturgi. Bisa memilih misa yang singkat, bahkan super padat di bawah 30 menit, atau misa yang super lama ala High Latin Mass di internet.

Misa Malam Natal di Katedral Surabaya dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vencentius Sutikno Wisaksono. Beliau ini tipe gembala yang efisien, tidak suka bertele-tele. Dan cenderung ke gregorian. "Kita tidak perlu yang dahsyat-dashyat, pakai band, jingkrak-jingkrak," katanya beberapa kali.

Lagu ordinarium misa malam Natal di Surabaya ini memang pakai Gregorian. Misa VIII atau de Angelis yang terkenal itu. Saya hafal karena pernah jadi misdinar saat remaja. Juga pernah jadi dirigen kor kelas lingkungan dan mudika tempo doeloe. Padahal, saya tidak bisa baca not balok. Hanya bisa not angka.

Yang menarik, sebelum misa, ada penampilan Ervinna, penyanyi senior asal Surabaya. Mbak Ervinna membawakan lagu O, Holy Night dalam bahasa Inggris. Meski sudah senior dan jarang muncul ke publik, suara Ervinna masih oke. Pernapasannya pun masih terjaga.

Bapa Uskup Sutikno dalam homilinya menekankan kesederhaan Natal. Apalagi di tengah pandemi. Kita dipaksa dan terpaksa merayakan ekaristi dengan berbagai prokes, protokol kesehatan, selama dua tahun. Namun, menurut Bapa Uskup, tidak boleh menghilangkan sukacita kedatangan Sang Immanuel.

Sabtu, 25 Desember 2021. Pagi-pagi sudah live streaming misa dari Katedral Larantuka. Beda waktu satu jam dengan Surabaya. Karena itu, gereja-gereja di Surabaya belum mulai misa. Kalau mau nggowes pagi, sebaiknya ikut misa daring dari Papua atau Australia. Sebab, misa Natal di Jawa umumnya di atas 09.00.

Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kur yang pimpin misa di Katedral Larantuka. Ada PPKM juga tapi tidak seketat di Jawa kelihatannya. Anggota paduan suara di Flores kelihatannya lengkap, tidak pakai masker, seperti kondisi normal. Beda dengan di Surabaya yang cuma beberapa penyanyi saja.

Kualitas kor di NTT tidak terlalu istimewa. Tapi semangat menyanyi dan memuji Tuhan sangat tinggi. Volume suara mereka selalu keras. Istilah musiknya: forte dan fortessimo. Jarang ada piano dan pianossimo. Karena itu, sulit menang kalau ikut lomba paduan suara tingkat nasional.

Dinamika dan ekspresi itu penting. Menyanyi itu ada halus kasar, keras lembut, cepat, lambat, largo, accelerando, largato dan sebagainya. Saya paham ini semua ya setelah hijrah ke Jawa dan ikut paduan suara yang baek dan bener.

Ada satu lagu lama Natal yang sudah jarang saya dengar. Transeamus! Paduan suara di Larantuka membawakan dengan semangat dan gembira. Transeamus, usque Bethlehem, et videamus hoq verbum quod factum est!

Lagu ini tingkat kesulitannya cukup tinggi. Ada kejar-kejaran ala kanon. Sopran, alto, tenor, bas punya part sendiri-sendiri. Beda dengan Malam Kudus atau Adeste Videles yang homofoni. Salut untuk saudara-saudari di Larantuka yang tetap semangat merayakan Natal di tengah pandemi.

Bagi warga Keuskupan Larantuka di perantauan macam saya, Gereja Katedral Larantuka ini punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Mungkin inilah satu-satunya gereja peninggalan Portugis yang masih ada di Indonesia. Beda dengan gereja-gereja tua di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain yang didirikan kolonial Belanda.

Kerajaan Larantuka juga satu-satunya kerajaan Katolik di Nusantara di masa lalu. Karena itu, Raja Larantuka menjadi pelindung gereja tua di kawasan Postoh, Larantuka, itu. Raja Diaz Viera Godindho (DVG) dan keturunannya juga yang menjaga tradisi prosesi Semana Santa selama Pekan Suci Paskah. Ini tidak ada di tempat-tempat lain di Nusantara.

Suasana di Gereja Katedral Larantuka itu praktis masih sama seperti yang saya lihat 30-40 tahun lalu. Bedanya cuma tidak ada lagi organ pipa. Dulu, ketika saya dapat giliran jadi misdidar saat SMP, masih ada organ atau orgel pipa yang megah di balkon belakang. Organis paling top adalah Ama Anton Kedang.

Sepeninggal Anton Kedang, mulai beralih ke organ elektrik seperti di mana-mana gereja. Dan, memang sangat sulit menemukan pemain organ pipa di kalangan generasi muda. Di Jawa yang hebat sekalipun sangat jarang saya temukan pemain organ pipa.

Apalagi dengan gerakan inkulturasi musik liturgi yang sangat intensif pada tahun 1980-an dan 1990-an, dengan buku Madah Bakti, maka otomatis orgel pipa tidak cocok untuk mengiringi lagu-lagu bercorak etnik seperti Sembahan Sudra, Tenang-Tenang Mendayung, Kenanga Bunga Utusan, Di Relung Gunung-Gunung, Ingin Kami Sesaji Sembah, atau Misa Dolo-Dolo yang notabene berasal dari Flores Timur alias Keuskupan Larantuka itu.

"Selamat Pesta Natal," kata Bapa Uskup Frans Kopong di akhir misa.

Selamat Natal... tanpa pesta... karena masih pandemi.

Semoga tahun depan Natal kembali dipestakan, potong sapi, potong babi, potong kambing, makan bersama seperti tradisi di kampung-kampung di Flores Timur dan Lembata.

Kamis, 23 Desember 2021

Natal super sederhana di tahun kedua pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 sudah berjalan dua tahun. Tak jelas kapan berakhir. Angka korban serangan virus corona memang sudah anjlok di tanah air. Namun, belakangan muncul Omicron, varian baru yang katanya jauh lebih menular.

Maka, pembatasan sosial yang dikenal dengan PPKM, PSBB, atau apa pun namanya tetap berlaku. Masyarakat dilarang bepergian ke mana-mana. Tidak boleh libur ke luar kota. Tidak boleh kumpul-kumpul. Jaga jarak. Pakai masker dsb dsb.

Bagaimana dengan misa Natal? Sama saja. Boleh tapi dibatasi. Jemaat yang boleh ikut misa langsung di gereja cuma 25 persen atau 30 persen. Pakai macam-macam protokol kesehatan yang ketat. Prokes-prokes ini bikin bosan saking seringnya disebut selama dua tahun terakhir.

Kamis Pon, 23 Desember 2021. Saya mampir ke Gereja Roh Kudus di Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Mau lihat suasana jelang misa Natal. Dekorasi gereja, kesibukan umat, dan sebagainya.

Sayang sekali, suasananya masih muram. Seakan-akan tidak ada perayaan ekaristi besar atau misa raya Natal. Suasananya mirip hari biasa. Bahkan lebih muram. Tidak ada orang di halaman gereja. Kecuali dua orang satpam.

Syukurlah, saya masih diizinkan masuk ke Taman Doa yang ada Gua Maria. Sekalian doa rosario satu peristiwa saja. Rosario yang normal harus lima peristiwa. Sembahyang lama-lama pun khawatir melanggar protokol kesehatan.

Dari Gua Maria saya cuma melihat dekorasi sederhana di depan pintu gereja yang tertutup rapat. Hanya itu yang menunjukkan bakal ada ekaristi Natal di Gereja Roh Kudus.

Suasana Natal yang meriah, mirip pesta rakyat, khususnya di NTT, tak ada lagi gara-gara serangan Covid-19. Tak terdengar lagu-lagu Natal dari paduan suara atau pengeras suara. Semuanya hening dalam kegelapan pandemi corona.

Suasana yang muram ini malah mirip suasana Natal di kitab suci. Bayi Yesus hanya ditemani Yosef dan Maria di kandang sederhana di Bethlehem. Tak ada dekorasi. Tak ada kemeriahan, apalagi kemewahan, seperti yang biasa kita lihat di pusat belanja, hotel, dan gereja-gereja sebelum pandemi.

Covid-19 ini punya blessing in disguise. Kita jadi kembali sederhana. Simplicity in everything. Misa Natal yang biasanya berlangsung selama dua jam kini dipangkas paling lama satu jam. Bahkan, misa-misa di USA malah tidak sampai 30 menit.

Selamat Natal!
Semua makhluk berbahagia!

Pastoran Baru di Paroki Roh Kudus Surabaya

Sudah lama saya tidak ikut misa langsung di gereja. Selama dua tahun ini tidak sampai lima kali. Itu pun bukan misa biasa, tapi misa requiem. Ekaristi khusus untuk mendoakan orang yang meninggal.

Karena itu, saya agak pangling ketika mampir di Gereja Roh Kudus, kawasan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, Kamis (23/12) pagi. Sambil istirahat setelah nggowes sepeda pancak agak jauh. Melihat-lihat kondisi gereja menjelang Natal.

"Romo-romo mau boyongan," kata petugas keamanan asal Timor.

Ke mana? "Ke pastoran yang baru."

Pastoran baru itu terpisah agak jauh dari bangunan gereja. Tepatnya di pojok parkiran. Cukup megah. Rupanya sudah diberkati bulan lalu. Tapi baru ditempati hari ini, Kamis Pon 23 Desember 2012.

Kapan bancakan? Seorang bapak, aktivis gereja, tertawa kecil. Pemberkatan itu dianggap bancakan. Tinggal ditempati saja.

Saya lihat Pater Yoseph Jaga Dawan SVD sedang membawa tasnya ke pastoran baru. Kelihatannya sibuk. Tak bagus kalau diganggu. Pastor ini berasal dari Flores Timur. Tepatnya Desa Lamawalang, dekat Larantuka.

Pastor parokinya Pater Dominicus Udjan SVD asal Pulau Lembata, NTT. Cocok sudah! Ditambah rama praja dan pater Soverdi dari Jawa.

Paroki Roh Kudus termasuk paroki baru di kawasan Surabaya Timur, dekat perbatasan Kabupaten Sidoarjo. Pastoran lama memang kurang luas. Jadi satu dengan sekretariat paroki, balai paroki, kelihatan sempit. Karena itu, pastoran yang baru ini memang sangat layak untuk paroki yang pater-paternya kebanyakan SVD sejak awal diresmikan itu.

Semoga pater-pater lebih kerasan dan semangat melayani para domba setelah menempati rumah baru.

Rabu, 17 November 2021

Warung Langgananku di Jolotundo Ditimpa Pohon Tumbang, Mas Riyan Meninggal

Mengapa harus mereka yang terpilih menghadap?
Pasti ada hikmah yang dapat kita petik

(Ebiet G Ade)

Musibah di Jolotundo, Trawas, Mojokerto, ini bikin aku ikut terguncang. Pohon besaaar tumbang menimpa warung. Delapan orang jadi korban.

Tiga korban di antaranya meninggal dunia. Para korban berasal dari kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Mereka sedang istirahat di warung tak jauh dari cagar budaya petirtaan Jolotundo yang terkenal itu.

Saya kenal Riyan Amim, salah satu korban yang meninggal dunia. Masih muda di bawah 20 tahun. Putranya Mbak Ningsih, pemilik warung.  Mbak Ningsih putrinya Bu Saning. Bu Saning putrinya Mbah Jono.

Saya kenal betul empat generasi pemilik warung di depan bumi perkemahan milik Perhutani itu. Mulai Mbak Jono (alm) hingga cicitnya Riyan. Saya begitu dekat dengan mereka.

Mbak Jono berumur panjang. Baru meninggal tahun lalu. Usianya di atas 120 tahun meski doyan merokok. Sebaliknya Riyan hanya dapat kesempatan hidup selama 20 tahun. Malaikan menjemputnya bersama pohon besar yang tumbang itu.

Ngeri.. amat ngeri membayangkan kejadian tersebut. Rekaman video dan gambar di internet bikin saya bergidik. Delapan korban sekaligus di warungnya Mbak Ningsih itu. Tiga orang meregang nyawa. Semuanya 20-an tahun.

Betapa tidak. Saya sering mampir, nongkrong, baca buku, bahkan bermalam di warung itu. Mbah Jono (alm) menyiapkan tempat di pojok depan untuk saya tidur malam. Lengkap dengan selimut tebal warna merah.

"Kemulan ben gak adhem," kata Mbah Jono yang tidak pernah ngomong kromo inggil itu. "Kopine pait yo?" Begitu kata-kata nenek yang pertama kali buka warung di kawasan Jolotundo itu.

Setelah tahlilan 40 hari Mbah Jono, saya mulai jarang mampir ke warung itu. Apalagi Bu Saning pun mewariskan warung itu ke Ningsih. Bu Saning sendiri turun buka warung lagi bersama suami barunya (siri).

Maka, ada semacam gap komunikasi dengan generasi ketiga dan keempat. Saya lebih nyaman ngobrol panjang bersama Mbah Jono dan Bu Saning. Dengan Riyan yang Gen Z sulit karena generasi ini lebih fokus main media sosial atawa gadget. Karena itu, saya tidak pernah ngobrol lama dengan Riyan dan kawan-kawannya.

Rencananya, akhir pekan saya naik lagi ke Jolotundo. Bermalam di warung itu. Menikmati suasana hutan yang sejuk dan aroma dupa dari petilasan Jolotundo dan Narotama. Tapi batal karena hujan lebat. Tidak nyaman kalau hujan deras di Jolotundo. Gazebo-gazebo sederhana sudah pasti basah kuyup.

Lalu datanglah berita duka itu. "Warungnya Mak Saning ketiban pohon. Riyan gak ada," kata Mas Sembada lewat rekaman suara di WA.

Tak lupa ia menyebut nama-nama korban. Tiga orang meninggal. Lima lainnya dirawat di rumah sakit. "Saya barusan ngubur Mas Riyan," ujar Sembada yang juga masih kerabat dekat almarhum Riyan.

Tak ada yang bisa kita lakukan saat mendengar berita dukacita selain kirim doa. Semoga Riyan dan kawan-kawan yang berpulang itu diterima di sisi-Nya. Dan semoga Mbak Ningsih, ibunya, Bu Saning, kakeknya, diberi kekuatan untuk menghadapi ujian ini.

Mengapa harus Riyan dkk yang terpilih menghadap?

Mengapa harus warung yang sudah lama jadi jujukan itu yang ketiban pohon?

Selasa, 09 November 2021

Wang Yaping Jalan-Jalan ke Istana Surga

Tiongkok yang komunis dan ateis ternyata punya proyek Istana Surga. Di luar angkasa. Tidak pakai ceramah atau khotbah-khotbah di media sosial atau rumah ibadah.

Berita terbaru: Wang Yaping jadi wanita Tiongkok yang jalan-jalan di luar angkasa. "Wang is one of three astronauts on a six-month mission to build the Tiangong space station," tulis kantor berita asing.

Luar biasa Tiongkok! 

Tanpa banyak cincong negara komunis itu sudah melejit di berbagai bidang. Mulai soal remeh macam bikin mocin, yang kurang laku dan jelek, vaksin Sinovac yang sangat laku di Indonesia, kereta api supercepat, hingga teknologi luar angkasa.

Aku jadi ingat masa lalu. Kalau tidak salah ingat ada calon angkasawati Indonesia yang bakal jadi astronot. Dr Pratiwi kalau tak salah. Jauh sebelum Wan Yaping mengangkasa di Tiongkok sana.

Sayang, Pratiwi tidak jadi terbang. Dan Indonesia tak lagi punya proyek kapal terbang atau ruang angkasa.

Iseng-iseng saya baca komentar-komentar di media sosial di bawah berita Wang Yaping. Waduh.. komen warganet kita tidak ada yang serius. Malah dijadikan guyonan yang tidak lucu. Seperti wanita yang datang bulan dan sejenisnya.

"Bagaimana kalau Wang datang bulan di bulan?" begitu kira-kira salah satu komentar yang rupanya alergi Aseng.

Begitulah. Suka tidak suka, Aseng-Aseng di Tiongkok sudah maju bisa pigi ke bulan. Kita orang hanya bisa  nyinyir dan menertawakan mereka. Padahal, ada kata-kata bijak yang dulu selalu dikutip: "Carilah ilmu sampai ke Negeri China!"

Senin, 08 November 2021

Car Free Day Hil yang Mustahal

Akhirnya Car Free Day (CFD) digelar lagi di Surabaya. Kegiatan olahraga rekreasi saban Ahad pagi itu dihentikan sejak awal pandemi. Sebab CFD, khususnya di Raya Darmo, biasa diikuti ribuan orang.

CFD pertama di masa PPKM diadakan di Kembang Jepun. Kawasan kota lama yang sempat terkenal dengan Kya Kya ala pasar malam yang meriah. Mengapa di Kembang Jepun?

"Untuk menghindari kerumunan massa. CFD di Kembang Jepun biasanya tidak seramai di Raya Darmo," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya Suharto.

Sebelum ada pandemi aku ikut memantau CFD di Kembang Jepun. Kebetulan kantorku persis di samping Kya Kya itu. Memang sepi. Kawasan Surabaya Utara sudah lama redup. Keramaian berpindah ke kawasan Tunjungan dan Raya Darmo.

Sambil ngopi di warkop meduro di Kembang Jepun, aku jadi penasaran dengan istilah Car Free Day. Mengapa disebut car free? Mengapa tidak pakai bahasa Indonesia?

Kita orang sudah lama keminggris. Senang pakai istilah bahasa Inggris meskipun artinya menyimpang jauh. Yang penting keren, menarik, modern, terkesan gagah. Pemerintah pun ikut-ikutan nginggris. Padahal salah satu tugas pemerintah adalah menjunjung tinggi bahasa nasional.

Anak-anak pun tahu car free artinya bebas mobil. Dus, car free day berarti hari tanpa mobil. Selama satu hari penuh tidak boleh ada mobil (pribadi) di jalan raya. Bukan cuma di Jalan Kembang Jepun atau Jalan Raya Darmo thok selama tiga jam saja.

Apakah bisa ada CFD yang benar-benar car free day di Indonesia, khususnya Surabaya? Itu hil yang mustahal, kata pelawak Asmuni dari Srimulat.

Sulit membayangkan tidak ada mobil pribadi yang melintas di jalan raya kota-kota kita sepanjang hari. Jangankan sehari, satu jam saja hil yang mustahal. Mobil-mobil pribadi sudah begitu melekat dan masih di Indonesia.

 Sekadar belanja di minimarket yang jaraknya tak sampai satu kilometer pun pakai mobil. Bila perlu mobil masuk langsung ke dalam kamar hotel. Layanan drive-thru makin luas di Indonesia.

Maka, sebaiknya CFD diganti saja dengan istilah lain yang lebih pas. Pakai bahasa Indonesia saja. Ketimbang sok keminggris tapi maknanya tidak jelas.