Biasanya kabar dari kampung halaman kurang menyenangkan. Paling banyak berita kematian. Atau orang sakit keras. Atau bencana alam gunung meletus, banjir, kekeringan, gagal panen. Terakhir kabar tentang kebakaran puluhan rumah adat di Kampung Napaulun, Pulau Lembata, NTT.
Karena itu, kalau ada panggilan telepon atau SMS atau WA dari kampung biasanya saya deg-degan. Orang-orang NTT lain di perantauan pun sama. Jangan-jangan... jangan-jangan... Dan biasanya dugaan itu tidak terlalu meleset.
Kali ini agak lain. Kabarnya bahagia. Kristofora, adik saya, mengirim pesan singkat:
"Met malam kame wia misa tahbisan di Stasi Lewotolok.. terlalu rame sekali.
Ini malam syukuran misa perdana di Lamawara. Romo orang Lamawara suku Langobelen.
Imam suku Langobelen yang bapa matay na berkat bapa pe tabis ia Stasi Lewotolok ra ete telo."
Deo gratias!
Syukur kepada Allah!
Ada tahbisan imam baru di Gereja Stasi Stella Maris, Lewotolok, Ile Ape, Lembata. Tiga imam baru sekaligus. Pater Antonius Bisu Markus SVD, Pater Yoseph Bala Roma SSCC, dan Romo Yohanes Watan Langobelen Pr.
Saya ingat... Frater Yohanes Watan Langobelen bulan Juli 2019 lalu yang memberkati jenazah Bapa Nikolaus Nuho Hurek di kampung Bungamuda. Sekarang sudah resmi jadi pastor.
Tak pernah saya bayangkan, dulu... Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong datang ke Lewotolok untuk menahbiskan tiga imam baru sekaligus. Bukan apa-apa. Paroki kami di pesisir pantai utara Laut Flores sering dianggap gersang panggilan. Daerah yang kurang katolik karena adat istiadat nenek moyangnya terlalu kuat.
Orang lebih takut melanggar aturan adat ketimbang tidak pigi sembahyang misa. Rajin pigi sembahyang di gereja tapi juga sangat rajin bikin ritual di rumah adat yang terbakar itu.
Karena itu, waktu saya kecil, tidak banyak pater atau romo asal paroki kami. Tidak sampai hitungan jari sebelah alias tidak sampai lima orang. Beda dengan Lembata bagian selatan yang panggilannya sangat subur. Bahkan mungkin paling subur di NTT, bahkan Indonesia.
Karena itu, dulu, Pater Petrus M. Geurtz SVD dan Pater Willem van der Leurs SVD, keduanya asal Belanda, selalu mengajak umat di stasi-stasi kami untuk banyak mendoakan panggilan. Agar ada orang Ile Ape yang dipanggil masuk seminari. Agar bisa menggantikan pater-pater Eropa dan Amerika itu.
Rupanya Tuhan menjawab doa-doa sejak tahun 1980-an dan 1990-an itu. Pelan... tapi mulai ada hasil. Kalau dulu selalu ada tahbisan di Lamalera, Boto, Hadakewa dan sekitarnya, kini Ile Ape pun mulai disebut.
Bapa Uskup Larantuka makin sering turne ke kawasan pesisir utama. Bukan sekadar untuk memberi sakramen krisma, tapi sakramen imamat. Dari 15 desa (sebelum pemekaran), saat ini hampir semua desa atau stasi sudah melahirkan pastor. Kecuali tentu saja beberapa desa atau kampung muslim seperti Tuak Wutun atau Pali Lolon.
Bahkan, tahun lalu ada imam baru asal kampung kami yang ditahbiskan di Keuskupan Kupang. Romo Yeremias Ama Bodo Lingiraman Laper Making. Romo Yeremias yang asli Napaulun itu cucu Ama Bodo, seorang pemuka adat paling kuat pada tahun 1980-an di kampung halaman kami.
"Itulah rencana Tuhan," kata orang kampung.
Romo Yeremias boleh dikata menggantikan Romo Paskalis Hurek Making yang meninggal dunia karena tabrak lari di Larantuka tahun 2019. Juga Romo Zakarias Benny Niha Making yang meninggal karena sakit.
"Saya merasa bahagia dan senang karena tidak sendiri lagi. Sudah ada adik yang jadi imam baru," kata Romo Paskalis saat khotbah misa perdana di kampung tahun lalu.
Tak lama kemudian Romo Paskalis yang jago nyanyi dan main band itu dipanggil menghadap-Nya. Kini ada gantinya imam baru dari kampung sebelah. Tiga orang sekaligus.