Kamis, 24 Oktober 2019

Orang Flores Doyan Sayur Kelor (Merungge)



Ada pohon kelor di pinggir jalan raya kawasan Rungkut, Surabaya. Sangat hijau dan rimbun. Padahal tanaman yang nama Latinnya Moringa oleifera ini tidak pernah disiram. Kelor bahkan dianggap tanaman liar di Jawa.

Ada orang yang mengaitkan kelor dengan orang mati. Daun kelor dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Lalu airnya dipakai untuk memandikan jenazah. "Untuk menghilangkan ilmu-ilmu atau susuk yang sekiranya dipakai jenazah itu," kata teman dari Sidoarjo.

Karena itu, daun kelor tidak pernah dijadikan sayur di Jawa. Aneh rasanya makan sayur yang dikaitkan dengan kematian. "Saya sih makan aja karena gak punya ilmu hitam," kata Mbah Thelo, almarhum, pelukis senior di Sidoarjo.

Lain padang lain belalang. Di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, kelor justru merupakan sayur yang paling populer. Di mana-mana orang makan nasi atau jagung atau singkong dengan sayur merungge alias kelor itu. Mirip sayur bening.

Orang Flores Timur memang menyebut kelor dengan merungge. Di Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada kata MERUNGGAI yang sinonimnya kelor (Moringa oleifera). Jadi, sangat wajar kalau orang Flores menyebut kelor dengan merungge. Bahasa Lamaholot: MOTONG. Orang-orang kampung biasa bilang MOTONG LOLON. 

Motong: kelor, merunggai. 
Lolon: daun.
Motong lolon: daun merunggai.

Merunggai alias merungge alias kelor ini tanaman yang sangat bandel. Tahan hidup di lahan kering. Saat kemarau panjang pun tetap hidup dari tetesan embun dini hari. Karena itulah, NTT yang kering sangat familiar dengan kelor.

Memasaknya pun sangat cepat. Tidak ruwet. Masukkan daun kelor ke dalam air mendidih. Lalu dicampur sedikit bumbu macam bawang, garam, dan sebagainya. Jangan lama-lama agar tidak hancur di dalam air panas.

Yang menarik, meskipun merungge alias kelor ini dimakan (hampir) setiap hari, tidak ada orang yang menanam sayur ini secara khusus. Beda dengan sawi atau kol, kelor tumbuh liar di mana-mana.

 Ada yang berusia hingga puluhan tahun. Batang dan cabangnya besar. Tapi yang umum sebaiknya kelor jangan dibiarkan terlalu tua. Memetik daunnya yang sulit.

Saya perhatikan 10 atau 15 tahun terakhir kelor mulai lumayan populer di Jawa Timur. Ini setelah muncul buku-buku dan tulisan-tulisan di internet tentang manfaat kelor. 

Ada yang bilang kelor punya 10 manfaat. Artikel lain bilang 15 manfaat. Yang lain lagi 18. Ada lagi yang menulis 25 manfaat kelor. Suka-sukalah orang menulis apa saja. Toh tinggal jiplak alias copy and paste saja.

Yang menarik, para penulis buku atau artikel tentang kelor itu sebetulnya bukan pemakan sayur kelor alias merungge. Tak ada satu pun dari NTT atau Flores.

 Orang Lembata seperti saya malah tidak tahu manfaat kelor. "Manfaat makan sayur merungge supaya tidak lapar," kata Reynold, bocah SD di Lewotolok, Lembata.

Rabu, 23 Oktober 2019

Kabinet tanpa Orang Papua


Tidak mudah bikin kabinet di Indonesia. Terlalu banyak kepentingan dan pertimbangan. Padahal kursi menteri kalau tidak salah cuma 34 biji.

Partai-partai pasti minta jatah. Tim sukses. Representasi Indonesia Barat, Tengah, Timur. Ada juga perwakilan agama. Jangan sampai 100 persen menteri beragama Islam. Jangan sampai yang nonmuslim terlalu banyak.

Yang Islam pun harus dilihat dari ormas Muhammadiyah, NU, dsb. Ormas-ormas Islam sangat banyak dan punya visi misi sendiri.

Bagaimana dengan representasi Tionghoa?

Ini juga sangat perlu. Dan sejak dulu dilakukan Presiden Soekarno. Rezim Orde Baru yang sangat anti-Tionghoa memang tidak kasih tempat untuk menteri yang dari Tionghoa.

Bagi saya, kabinet di Indonesia harus ada menteri asal Bali dan Papua. Wakil Bali juga representasi umat Hindu. Papua wakil kawasan Indonesia Timur. Bisa juga Maluku. Tapi Papua tetap lebih afdal. Jangan lupa, meskipun penduduknya sedikit, wilayah Papua sangat sangat luas.

Makanya, pagi ini saya agak kaget tidak ada orang Papua yang jadi menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada menteri dari kawasan timur macam Johny Plate (NTT) dan Yasin Limpo (Sulsel). Tapi sulit dikatakan kedua menteri ini bisa mewakili orang Papua dan Papua Barat.

Syukurlah, Jokowi masih kasih tempat untuk orang Bali. Ibu Gusti Ayu Bintang jadi menteri PPA. Paling tidak masih ada orang Hindu di kabinet.

Orang Flores Jadi Menteri - Johny Plate


Orang Flores kembali masuk kabinet. Johny Plate dari Manggarai, Flores Barat, NTT, dipercaya Presiden Jokowi jadi salah satu menterinya. Johny politisi kawakan dari Nasdem. Tangan kanan Surya Paloh ini menjabat sekjen Partai Nasdem.

Tentu saja Johny dipilih bukan karena latar belakang daerah Flores atau agama Katolik. Tapi bagaimanapun juga orang Flores atau NTT patut bersyukur. Orang kita setidaknya dianggap layak jadi menteri.

Dulu orang Lembata juga jadi menterinya Presiden Megawati. Dr Sonny Keraf, dosen Unika Atmaja, jadi menteri lingkungan hidup. Orang Rote, NTT, Saleh Husen juga jadi menterinya Presiden SBY.

Orang Flores jadi menteri bukan cerita baru. Meskipun sebagian besar rakyat Flores masih buta huruf pada 1960an dan 1970an, ada orang Flores yang dianggap hebat sehingga pantas jadi menteri pada masa lalu.

Dialah Frans Seda. Tokoh besar dari Maumere, Sikka, ini dipercaya sejak zaman Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, Presiden Soeharto juga mengangkat Frans Seda sebagai salah satu menteri kepercayaannya.

Yang menarik, orang Flores dan Lembata yang jadi menteri biasanya berlatar belakang seminari. Eksem: eks seminari alias protolan seminar. Waktu kecil ingin jadi pastor tapi gagal di tengah jalanan. Bukan panggilan, begitu alasan khas para eksem itu.

Sonny Keraf dulunya sekolah di Seminari Hokeng, dekat Larantuka, Flores Timur. Johny Plate eks Seminari Kisol, Manggarai.

 "Di mana pun kita berada, kita harus melayani negara dan gereja," kata Johny Plate yang dulu aktivis PMKRI saat mahasiswa di Atmajaya Jakarta.

Pro ecclesia et patria!
Untuk gereja dan negara!

Begitulah semboyan orang muda Katolik di Indonesia. Moto ini dilanjutkan dengan "100% Katolik + 100% Indonesia%".

Ada lagi semboyan anak-anak muda gereja:

Ora et Labora.
Mangan Ora Mangan....

Selamat bertugas Bung Johny!
Bae sonde bae
Flobamora lebe bae!

Senin, 21 Oktober 2019

Naik KA Ekonomi Serasa Pesawat

Cukup lama saya tidak naik kereta api. Khususnya kelas ekonomi. Karena itu, saya takjub bukan main dengan perubahan manajemen layanan di perusahaan plat merah itu. Benar-benar revolusioner.

Karcis KA Maharani dari Pasar Turi ke Semarang cuma Rp 49 ribu. Inilah kereta kelas terbawah yang dulu disebut Gaya Baru alias kelas kambing itu. Tapi pelayanannya di tahun 2019 ini boleh dikata gak kalah dengan kelas atas.

Gerbongnya pakai AC. Tidak ada lagi penumpang duduk atau tidur di sela-sela kaki seperti yang sering saya alami dulu. Tidak ada pedagang asongan yang wira-wiri seenaknya di dalam gerbong. Semuanya bersih dan tertata. Ada juga nona-nona manis pramugari resmi yang jualan kopi dan makanan.

Jadwal keberangkatan pun tepat waktu. On time schedule. Tiba di Stasiun Tawang Semarang juga persis jadwal. Bahkan lebih cepat dua menit. Bandingkan dengan pesawat-pesawat terbang yang masih sering delay atau cancel.

Ada lagi yang bikin saya kagum. Tiket KA itu langsung boarding. Beda dengan naik pesawat yang harus check in, antre panjang, untuk mendapatkan nomor tempat duduk.

Di KA Maharani yang kelas super ekonomis ini semuanya serba otomatis. SSW: set wet wet.

Luar biasa perubahan yang dilakukan manajemen PT KAI. Diawali gebrakan Ignasius Jonan saat menjabat dirut PT KAI. Revolusi layanan pelanggan itu dipertahankan sampai sekarang.

Kalau kereta yang 49 ribu saja layanannya sangat modern, bagaimana dengan KA kelas premium yang tiketnya Rp 1,2 juta? Saya belum coba.

Mungkin dua atau tiga kali lebih cepat daripada kelas ekonomi. KA Maharani harus singgah di 8 stasiun kecil, sedang, dan besar. Kereta eksekutif premium bisa jadi cuma singgah di 2 atau 3 stasiun saja.

Selamat untuk PT KAI!

Minggu, 20 Oktober 2019

Perlu Belajar ke Tiongkok


Masih banyak orang Indonesia yang memandang remeh Tiongkok. Itu memang hasil indoktrinasi sejak orde baru akhir 60an. Tiongkok disebut negara tirai bambu, komunis, tertutup, sangat miskin.

"Lihatlah pakaian orang Tiongkok itu. Seragam semua. Ke mana-mana naik sepeda pancal atau jalan kaki. Kurang makan dan kurang gizi," begitu antara lain pelajaran bapak guru di Indonesia tahun 80an.

Indonesia sendiri saat itu juga belum maju. Tapi dianggap sudah jauh lebih maju ketimbang Tiongkok yang komunis itu. Pesan moralnya:

"Kalau mau maju jangan jadi negara komunis. Hancurkan paham komunisme sampai ke akar-akarnya. Ikut santiaji atau penataran P4. Indonesia akan lepas landas, jadi adil dan makmur."

Begitu kira-kira sedikit materi pelajaran PMP, PSPB, dan P4 yang masih saya ingat. Betapa bahayanya Tiongkok itu. Filsafat dan ideologi komunisnya bikin negara mundur.

Tidak sampai tiga dasawarsa Tiongkok bikin kaget dunia. Kemajuannya luar biasa pesat. Dibandingkan dengan suasana di foto hitam putih itu. Negara yang masih komunis, satu partai, tapi kok bisa melesat jauh melebihi Indonesia? Kapan Indonesia adil dan makmur?

Pagi ini saya baca catatan Dahlan Iskan. Mantan menteri BUMN, wartawan senior, yang bolak-balik pigi ke Zhongguo untuk urusan kesehatan, bisnis, rekreasi, studi banding dsb. Dahlan Iskan juga pernah menulis buku Pelajaran dari Tiongkok. Saat itu Mr Yu (sapaan Dahlan Iskan di Tiongkok, Yu Shigan) masih jadi laoban di Grup Jawa Pos.

Pagi ini Mr Yu menulis tentang pentingnya membereskan sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Tiongkok yang penduduknya miliaran bisa jadi rujukan. Mengapa Tiongkok bisa, Indonesia tidak (belum) bisa?

Mister Yu menulis:

"Saya tidak kagum pada administrasi kependudukan di Singapura. Negara itu begitu kecil. Pendudukan hanya 3 juta. Pendidikannya tinggi.

Tiongkok-lah yang benar-benar membuat saya kagum: bagaimana bisa mengadministrasikan 1,3 miliar penduduk dengan modern. Yang wilayahnya juga rumit. Yang dulunya juga sangat miskin.

Saya sudah ke desa-desa di pojok tenggara, pojok barat daya, barat lautnya. Administrasi kependudukannya sangat modern."

Hemmm.... Mungkin banyak orang Indonesia yang belum pernah membaca tulisan-tulisan Bos Dahlan tentang Tiongkok. Bisa juga tidak tahu perkembangan ekonomi Tiongkok dalam 10 atau 20 tahun terakhir.

Karena itu, komentar-komentar sebagian besar orang Indonesia di media sosial tentang Tiongkok atau Tionghoa masih melulu soal Aseng, Aseng, dan Aseng. Mereka lupa tanpa mendiang Aseng dunia tinju profesional di Indonesia sedang sekarat.

Aseng Sugiarto yang satu ini promotor tinju Arek Suroboyo. Bukan temannya Mr Li, Mr Deng, atau Mr Xi dari Tiongkok.

Rabu, 16 Oktober 2019

HM Handoko Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo Berpulang



Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo HM Handoko, 65, meninggal dunia di Roomsch Katholieke Ziekenhuis (RKZ) Surabaya, Senin (14/10/2019) petang. Pria yang juga pemilik Al Handoko Motor di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, itu sebelumnya menjalani perawatan intensif akibat gangguan ginjal.

"Papa selama ini juga harus cuci darah secara teratur. Kondisi Papa terakhir memang drop dan akhirnya berpulang," kata Albert Handoko, putra almarhum HM Handoko.

Jenazah tokoh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Sidoarjo itu disemayamkan di Adi Jasa, Jalan Demak Surabaya. Pihak keluarga masih menunggu kedatangan Valencia dan William, cucu almarhum Handoko, yang berdomisili di Kanada.

Sedangkan Yuliana Handoko, anak pertama Handoko yang tinggal di Kanada, sudah berada di samping ayahandanya di RKZ sejak pekan lalu. "Papa meninggal dengan tenang. Sepertinya Papa sudah tahu kalau waktunya sudah tiba," kata Yuliana Handoko.

"Pemakaman akan dilakukan di Gunung Gangsir," kata Albert yang kini meneruskan bisnis ayahnya.

Selain dikenal sebagai pengusaha yang gigih, pria bernama lahir Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Handoko kemudian dilantik sebagai ketua PITI Sidoarjo oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.
Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.

"Saya sih maunya cukup satu periode, gantian orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk mengurus PITI tidak gampang," kata ayah dua anak itu dalam beberapa kesempatan.

Setelah ada pimpinan yang baru, Handoko pun tetap jadi penasihat dan sesepuh PITI Sidoarjo. Berbagai kegiatan sosial terus ditunaikan pengusaha yang dikenal punya jaringan luas di kalangan pejabat dan politisi itu.

Salah satu keinginan Handoko yang belum terwujud adalah membangun Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo. Rencana itu pernah dipresentasikan di depan Bupati Win Hendrarso. Namun, pihak PITI menemui berbagai kendala di lapangan. "Khususnya pengadaan tanah," katanya.

Meski begitu, Handoko optimistis masjid berarsitektur Tionghoa itu suatu saat bisa terwujud di Sidoarjo meskipun dirinya tidak ada lagi di dunia. Selain sebagai tempat ibadah dan syiar Islam, Handoko ingin menunjukkan eksistensi muslim Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo.

"Orang Tionghoa itu sejak dulu sangat terbuka, toleran, dan guyub. Ada yang Buddha, Khonghucu, Taoisme, Nasrani, Islam, Kejawen, dan sebagainya. Bahkan, dalam satu keluarga agamanya bisa macam-macam. Bhinneka Tunggal Ika," katanya. (rek)

Minggu, 13 Oktober 2019

Soe Tjen Bedah Buku di Jerman


Setiap kali melintas ke arah Kenjeran, baik Suramadu, Pantai Kenjeran, atau taman baru di Bulak, saya selalu ingat Soe Tjen Marching PhD. Arek Tionghoa Surabaya yang tinggal di London, Inggris. Saya sering blusukan masuk ke Taman Putroagung yang ada lapangan bola kaki, kemudian lewat di depan Sekolah Mandala.

Soe Tjen memang punya sekolah tiga bahasa di Putroagung (Indonesia, Inggris, Mandarin). Bu Juliana Soesilo, mamanya Soe Tjen, yang bertanggung jawab sehari-hari. Mbak Soe Tjen memantau dari Inggris sana.

Saya pun beberapa kali diskusi dengan Yan Shi, nama pena Bu Juliana, pengurus sastra Tionghoa dan penyair produktif itu. Yan Shi mengisi rubrik sastra Tiomghoa (pakai aksara hanzhi) di koran berbahasa Mandarin terbitan Surabaya, Qiandao Ribao.

"Menulis terus biar gak cepat pikun," kata ibu yang ramah ini. Tahun lalu Yan Shi menerbitkan novelnya yang kesekian. Sempat dibahas di Jawa Pos.

Tiba di Jembatan Suramadu, seperti biasa, pesan kopi hitam rada pahit. Lalu saya cari kabar Soe Tjen Marching pakai telepon seluler. Ouw... rupanya Soe Tjen punya agenda penting di Frankfurt, Jerman. Bedah buku tulisannya yang berjudul
"The End of Silence". Buku yang menceritakan tentang Keluarga Korban Genosida 1965.

EINLADUNG ZUR BUCHBESPRECHUNG

„The End of Silence" von Dr. Soe Tjen Marching - Dozent der SOAS Universität London – über die Familien der Völkermordopfer 65 in Indonesien, am Freitag, den 18. Oktober 2019, von 18:00 bis zum 21:00 Uhr im Seminarhaus Raum SH O 106 Campus Westend der Goethe-Universität, Max-Horkheimer-Straße 4, 60323 Frankfurt am Main.

Luar biasa Soe Tjen ini. Gigih, ulet, ngeyel, wani. Meskipun isu tentang tragedi 1965 sangat sensitif, lulusan SMA Sinlui dan UK Petra itu tidak pernah gentar. Soe Tjen bahkan terang-terangan menghadapi anggota FPI yang hendak membubarkan sebuah seminar di Jalan Diponegoro, Surabaya, beberapa tahun lalu.

"Mereka itu kelihatannya sangar, tapi kalau dihadapi ya biasa aja," kata Soe Tjen lantas tertawa khas.

Soe Tjen Marching memang konsisten mengangkat isu-isu sensitif. Dia pimpinan majalah Bhinneka yang sejak awal menulis panjang lebar topik LGBT, tragedi 65, dan isu-isu sensitif yang dihindari media massa arus utama. Majalahnya pun dibagikan gratis.

Soe Tjen baru saja menyelesaikan naskah novel terbarunya. Ada isu tentang gerakan perempuan aliran kiri yang disebut Gerwani. Tema ini sangat sensitif setiap bulan September di Indonesia. Dia kemudian kerja sama dengan sebuah penerbit besar di Jakarta. "Karena distribusinya bagus," katanya.

Negosiasi untuk penerbitan buku itu pun berlangsung alot. Beda dengan novel Soe Tjen sebelumnya yang berlatar pasien kanker atau kematian. Akhirnya, seperti diduga, penerbit besar itu tidak jadi menerbitkan novel Soe Tjen itu. Apalagi selama ini toko buku milik penerbit itu kerap dirazia aparat dan ormas.

"Akhirnya, naskah saya akan diterbitkan Marjin Kiri," kata Soe Tjen sedikit lega tapi kecewa. Sebab, setelah 21 reformasi Indonesia belum bisa bebas dari trauma 65 dan segala sesuatu yang berbau kiri. "Bagaimana kita bisa meluruskan sejarah?" katanya.

Nah, dalam rangka meluruskan sejarah itulah, Soe Tjen Marching membedah buku The End of Silence di Jerman. Pasti lebih aman karena tidak akan ada ormas yang membubarkan diskusi itu. Pemerintah dan masyarakat Jerman juga tidak punya urusan dengan tragedi 65, Gerwani, Lekra, Manipol Usdek, Nasakom dsb.