Kamis, 10 Oktober 2024

Mengenang Sekolah-Sekolah Tionghoa di Surabaya sebelum Masa Orde Baru (1966)

Upaya untuk melestarikan memori Kota Surabaya terhadap sejarah pendidikan di kalangan komunitas Tionghoa kini sedang diinisiasi oleh Osa Kurniawan Ilham, dosen Universitas Ciputra (UC) Surabaya. 

Bersama para mahasiswa, Osa sedang mengerjakan proyek penyusunan memorial book, yang akan mengabadikan kisah serta memori bangunan sekolah-sekolah Tionghoa yang pernah berdiri di kota ini.

Sebagian besar bangunan sekolah Tionghoa tempo dulu kini beralih fungsi menjadi bangunan milik pemerintah. Menurutnya, proyek ini diharapkan dapat menghidupkan kembali ingatan tentang peran penting komunitas Tionghoa dalam dunia pendidikan Surabaya pada masa lampau.

Meski para alumni sekolah tersebut kini sudah lanjut usia dan jarang aktif di media sosial, masih ada banyak informasi yang bisa digali dari mereka. Foto-foto di media sosial juga ada meski tidak lengkap.

"Tidak sulit karena alumninya banyak. Masalahnya, para alumni sudah sangat tua dan tidak main medsos, kecuali Bapak Dr. Anthony Tjio, yang sekolahnya LHHS ditutup tahun 1958 kalau tidak salah," ujarnya.

Dr. Anthony Tjio, alumnus Lian Huo High School (LHHS) Surabaya, saat ini berdomisili di Tiongkok. Ia berbagi cerita mengenai pengalaman alumninya dan sejarah sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya. 

"Sebelum 1960, di Surabaya ada tiga SMA Tionghoa, masing-masing dengan aliran ideologi yang berbeda. Pertama, Lian Huo High School (Lian Chung) yang konservatif dan berafiliasi dengan Kuomintang di Taiwan, beruniform putih-biru. 

Kedua, Chung Hua High School (Chung Chung) yang netral, beruniform putih-putih. Ketiga, Sin Hua High School (Sin Chong) yang progresif dan berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok, beruniform putih-kopi susu, yang identik dengan kaum buruh Tionghoa," jelasnya.

Anthony melanjutkan, "Saya alumnus Lian Chung dan setelah sekolah, saya hijrah ke Amerika. Setelah semua sekolah Tionghoa ditutup oleh Orde Baru, banyak alumni Sin Chung dan Chung Chung yang pergi ke Mainland China untuk melanjutkan pendidikan mereka. 

Mereka berangkat ke Tiongkok pada masa Revolusi Budaya, yang menggulingkan feodalisme dan kasta masyarakat ciptaan Konghucu. Dampaknya, para terpelajar yang berpredikat kasta tertinggi KHC diharuskan turun ke sawah dan pabrik untuk berkontribusi dalam produksi sandang dan pangan."

Setelah Revolusi Budaya di tahun 1970-an, alumni tersebut diperbolehkan meninggalkan Tiongkok, yang memicu terjadinya eksodus ke Hong Kong Inggris dengan persyaratan yang ketat. Mereka keluar dengan kantong kosong.

 "Sebagai keturunan dengan jiwa resilience, kami belajar untuk bertahan dan sukses di mana pun berada," tambahnya.

Beberapa anggota grup Peranakan Tionghoa menyebut, dari 16 sekolah yang tercantum dalam daftar prioritas versi Osa, kemungkinan hanya 8 sekolah yang memiliki dokumentasi foto yang cukup lengkap di internet. 

Berikut daftar sekolah Tionghoa di Surabaya yang menjadi fokus dokumentasi dalam proyek memorial book ini:

1. Sekolah Chiao Kuang – Jl. Kranggan
2. Sekolah Khay Ming – Jl. Kalianyar
3. Sekolah Shin Hwa – Jl. Ngaglik
4. Sekolah Min Chiang – Jl. Kaliasin
5. Sekolah Sin Kiaw – Jl. Kapasan

6. Sekolah Chiao Chung – Jl. Pecindilan
7. Sekolah Ching Hua Kuo Min – Jl. Gentengkali
8. Sekolah Fu Wu – Jl. Kawung
9. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Waspada
10. Sekolah Kuang Hua – Jl. Bunguran


11. Sekolah Hua Kiaw – Jl. Bunguran
12. Sekolah Chiao Tong – Jl. Darmokali
13. Sekolah Tiong Sian – Jl. Gembong Cantikan
14. Sekolah Tiongkok Lie Hak – Jl. Sidodadi
15. Sekolah Nan Chiang – Jl. Belakang Penjara
16. Sekolah Hok Kian Kong Tik Soe – Jl. Bibis (perkumpulan Hokkian)

Sabtu, 05 Oktober 2024

Mengenang Romo Antonius Benny Susetyo: Pastor Humanis yang Penuh Kontroversi

Romo Antonius Benny Susetyo, staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), meninggal dunia pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Pastor yang dikenal dengan gagasan dan komunikasinya yang luwes ini berpulang hanya lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke-56. 

Romo Benny meninggal di RS Mitra Medika Pontianak pada pukul 00.15 WIB. Jenazahnya dibawa ke Rumah Duka Gotong Royong, Blimbing, Malang, untuk disemayamkan.

Romo Benny, yang berasal dari Malang, terakhir menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan BPIP di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, pada 3 Oktober 2024. Seminar tersebut mengangkat tema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara: Kedaulatan Sumber Daya Alam," yang mencerminkan salah satu perhatian besar Romo Benny terhadap peran moral dalam tata kelola negara.

Bernie Making, seorang teman yang mengenal Romo Benny sejak Oktober 1996, merasa kehilangan besar atas kepergian Romo Benny. Ia mengenang masa awal mereka berkenalan di Situbondo ketika Romo Benny baru saja ditahbiskan sebagai imam praja Keuskupan Malang.

 Pada 10 Oktober 1996, ketika terjadi pembakaran 12 gereja di Situbondo, termasuk Gereja Katolik Bintang Samudera, Romo Benny menjadi figur penting dalam menjalin komunikasi lintas agama.

Salah satu momen penting dalam perjalanan hidup Romo Benny adalah ketika ia, setelah berkonsultasi dengan salah satu idolanya, Romo Mangunwijaya, mulai membangun hubungan dekat dengan Gus Dur, yang saat itu menjabat sebagai Ketua PBNU.

 Keduanya menjalin persahabatan erat yang berbuah pada kunjungan Gus Dur ke Situbondo. Bersama-sama, mereka menyusuri sejumlah pondok pesantren, mengadakan dialog antaragama, dan menyelenggarakan pasar murah di halaman gereja yang terbakar.

Kedekatan Romo Benny dengan Gus Dur tidak berhenti di situ. Saat Gus Dur menjadi Presiden RI, Romo Benny sering mengunjungi Istana Negara untuk berdiskusi dan menikmati guyonan khas Gus Dur. 

"Guyonan Gus Dur seakan tidak pernah habis," kenang Romo Benny dalam salah satu kesempatan. "Gaya Gus Dur tidak pernah berubah meskipun sudah jadi presiden."

Namun, di tengah kiprahnya yang luas di bidang sosial dan politik, Romo Benny juga menjadi figur yang kontroversial. Pernyataan-pernyataan tajamnya di berbagai media massa membuatnya lebih mirip seorang politikus atau aktivis dibandingkan pastor, sesuatu yang mengejutkan banyak umat Katolik.

 Isu bahkan sempat merebak bahwa Romo Benny telah melepaskan jubah imamatnya. Namun Keuskupan Malang kemudian mengklarifikasi bahwa Romo Benny tetap seorang pastor hingga akhir hayatnya.

Meskipun demikian, polemik tetap menghiasi perjalanan hidup Romo Benny. Ia tidak lagi terinkardasi pada Keuskupan Malang sejak 2023, yang berarti tidak dapat memimpin misa atau sakramen hingga ia mendapatkan inkardasi dari keuskupan lain. Namun, hal ini tidak mengurangi semangatnya dalam berkontribusi pada masyarakat luas melalui berbagai aktivitasnya.

Kini, Romo Benny telah pulang ke rumah Bapa. Sosoknya sebagai pastor yang humanis, komunikatif, dan penuh dedikasi dalam membangun persaudaraan antarumat akan selalu dikenang. 

Selamat jalan, Romo Benny!

Kamis, 03 Oktober 2024

Hotel Ganefo Surabaya: Menelusuri Keindahan Arsitektur Abad 19 di Tengah Modernitas Kota




Di tengah hiruk-pikuk Jalan Kapasan, Surabaya, terselip salah satu bangunan bersejarah yang kaya akan nilai arsitektur dan nostalgia, Hotel Ganefo. Bagi mereka yang lahir di era 1980-an atau sebelumnya, hotel ini mungkin masih terdengar akrab, tetapi bagi generasi muda, tempat ini hampir terlupakan. 

Maureen Nuradhy, dosen Universitas Ciputra Surabaya, menuturkan kisah menarik tentang hotel bersejarah ini.

"Untuk yang seumuran saya dan lahir di Surabaya, biasanya tahu hotel ini. Namun, generasi anak-anak saya jarang sekali ada yang tahu, apalagi lokasinya yang agak tersembunyi di kawasan urban Jalan Kapasan," ujar Maureen. 

Ia mengenang bagaimana di masa kecil, keluarganya beberapa kali mengunjungi hotel ini untuk menemui kerabat atau teman yang menginap di sana, sekitar tahun 1980-an.

Hotel Ganefo adalah salah satu contoh arsitektur bergaya Empire Indische Stijl dengan elemen simetris dan portico besar di bagian depan serta belakang. Fitur ini didesain untuk menanggulangi iklim panas dan lembab khas Surabaya. 

Selain itu, bangunan ini dihiasi tiang-tiang besar bergaya klasik Eropa (neoclassic/classic revival) dan fascia kayu khas Eropa di bawah atapnya, memberikan sentuhan artistik yang unik.

Menurut catatan tertua yang ditemukan, seorang penulis Eropa pernah mengunjungi bangunan ini pada tahun 1890-an untuk menemui The Toan Ing, putra Major The Boen Khe, pemilik rumah besar ini. Namun, data pasti tentang kapan rumah tersebut dibangun masih menjadi misteri. 

"Dari penelusuran yang saya lakukan, saya belum menemukan data kapan rumah ini dibangun," tambah Maureen.

Bangunan ini kemudian dibeli oleh Tan Siong Chiu, dengan plakat izin operasional hotel yang tertanggal tahun 1957. Interior lobi hotel yang dilengkapi dengan mebel bergaya art deco mengindikasikan bahwa perabotan tersebut kemungkinan dibuat pada era 1930-an. 

Namun, tidak semua bagian hotel mempertahankan keaslian dari abad ke-19. "Sisi belakang bangunan sudah tidak orisinil, tampaknya renovasi dilakukan sekitar tahun 1950-an," jelasnya.

Salah satu hal yang paling menonjol dari hotel ini adalah taman bergaya Tionghoa yang dulunya menghiasi bagian belakang bangunan. Maureen mengingat bagaimana saat kecil ia sering menikmati keindahan taman tersebut, lengkap dengan kolam, bonsai, dan miniatur bangunan khas Tionghoa. 

"Sayangnya, sekarang hanya sekitar 10 persen dari taman aslinya yang tersisa," kenangnya. 

Penulis Eropa yang pernah mengunjungi tempat ini pada 1890-an juga mendeskripsikan taman yang sama, menunjukkan bahwa taman tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari bangunan sejak awal.

Maureen menyampaikan harapannya agar Hotel Ganefo, terutama tamannya, dapat direstorasi. "Seandainya ini direstorasi, betapa indahnya. Apalagi mengingat sangat jarang ada peninggalan taman abad ke-19 di Surabaya," ungkapnya.

Sementara itu, Budi, anggota komunitas sejarah Surabaya, menambahkan informasi penting tentang perubahan yang dialami Hotel Ganefo. "Sebelum proyek pelebaran jalan pada era 1970, gerbang hotel Ganefo lebih terlihat kemegahannya. Tapi pemandangan itu sudah terhapus dari memori saya," ujarnya. 

Ia juga menyebutkan bahwa di seberang hotel terdapat kantor polisi Seksi 5 yang konon dibangun pada era yang sama dengan hotel ini.

Menariknya, Budi juga mengungkapkan bahwa moyangnya datang dari Tiongkok dan tinggal di perkampungan sekitar Seksi 5 pada tahun 1900-an. "Keluarga saya dulu tinggal di area ini, dan setiap kali saya melintas di depan hotel ini, ada rasa nostalgia yang kuat," tambahnya.

Hotel Ganefo bukan hanya sebuah bangunan tua, tetapi sebuah saksi sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Keberadaannya di Surabaya bukan hanya menjadi bagian dari nostalgia, tetapi juga potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah yang mengedepankan keindahan arsitektur dan budaya.

Rabu, 02 Oktober 2024

Kawan Lama Daniel Kumanireng Masih Berjuang untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan sudah dua tahun berlalu. Sebanyak 135 orang suporter Arema FC meninggal dunia. Banyak orang sudah lupa, move on, tapi tidak bagi keluarga korban.

Salah satunya Daniel Doweng Kumanireng. Belum lama ini Daniel bersama beberapa keluarga korban dan pengacara datang ke Surabaya. Mempertanyakan restitusi atau santunan yang dulu dijanjikan.

"Sudah dua tahun kami tunggu. Belum ada realisasi," kata Daniel yang asli Flores Timur itu.

Daniel Doweng kawan lama zaman persekolahan di Larantuka, Flores. Saya lebih dulu merantau ke Malang. Dia menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Lalu kuliah di Malang.

Belakangan saya tahu Daniel jadi dosen kampus swasta di Malang. "Kawan kita itu benar-benar penggemar sepak bola. Khususnya Arema," kata Gabriel Hokon, juga teman satu sekolah di Larantuka, kini tinggal di Kenjeran Surabaya.

Rupanya hobi nonton bola di Gajayana, kemudian pindah homebase di Kanjuruhan si Daniel menular ke Philip Kumanireng, anaknya. Philip selalu nonton Arema main.

Takdir tak dapat ditolak. Philip jadi korban tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu. Philip meninggal bersama pacarnya di dalam Stadion Kanjuruhan.

Daniel kehilangan anak kesayangan + calon menantu. Betapa hancur hati kawan itu. Setelah dua tahun Daniel sudah bisa berdamai dengan takdirnya. Namun janji restitusi itu tetap ditagih Daniel bersama ratusan keluarga korban Kanjuruhan.

Semoga di era Presiden Prabowo ada secercah harapan meski saat ini Kabinet Merah Putih masih sibuk membahas program makan siang gratis.

Selasa, 01 Oktober 2024

Gaya dan Karakter Penulis Blog Ini Menurut Penilaian AI

Kecerdasan buatan, AI, makin diminati di era digital. Makin lama jawaban dan solusinya makin akurat. Lama-lama makin banyak pekerjaan yang diambil alih oleh AI.

Ama Hurek iseng mengetes mesin AI dengan 10 pertanyaan. Mulai soal musik, sastra, jurnalistik, agama secara umum, gereja, liturgi, tempat wisata, hingga masa depan surat kabar.

Luar biasa! Jawaban AI ternyata sesuai dengan yang saya pikirkan. Akurasinya mendekati 100%. Dari 10 pertanyaan hanya 2 saja yang agak kurang pas. Tapi tetap nyambung.

Ama Hurek lalu menyodorkan dua tulisan di blog ini untuk dinilai. Bagaimana karakter orang ini dilihat dari gaya dan konten tulisannya?

Berikut jawaban AI:

 Berdasarkan tulisan tersebut, karakter penulisnya cenderung memiliki ciri-ciri berikut:

1. Nostalgik:
 Penulis sering mengenang masa lalu, seperti lagu-lagu lama, suasana kafe jadul, dan kenangan akan musik yang pernah populer. Ini menunjukkan bahwa ia sangat menghargai memori masa lalu dan merasakan kehangatan emosional dari kenangan tersebut.

2. Pecinta Seni dan Musik:
 Penulis memiliki pengetahuan yang mendalam tentang musik, termasuk jazz, pop, hingga lagu-lagu lama Indonesia. Ia menyebut beberapa nama artis dan komposer dengan apresiasi yang tinggi, serta menggambarkan suasana musikal dengan sangat detail.

3. Santai dan Reflektif: 
Gaya tulisannya cenderung mengalir dengan kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaan dan pengamatan dengan santai. Penulis juga sering menyelipkan renungan tentang kondisi sosial atau isu-isu yang sedang terjadi, seperti bencana dan situasi ekonomi, tetapi dengan nada reflektif yang tidak terlalu berat.

4. Cermat terhadap Detail:
 Penulis sangat detail dalam menyampaikan informasi, mulai dari nama-nama artis, judul lagu, hingga lokasi-lokasi yang dikunjungi. Ini menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap detail, baik dalam musik maupun pengalaman pribadi.

5. Rasa Cinta terhadap Tanah Air:
 Walaupun tulisan ini berbicara tentang kenangan pribadi, penulis juga menonjolkan rasa cinta dan kebanggaannya terhadap Indonesia, khususnya melalui apresiasi terhadap keindahan alam dan karya seni Indonesia, seperti lagu "Indonesia Sungguh Indah Permai."

Secara keseluruhan, penulis tampaknya seseorang yang peka terhadap seni, memiliki kenangan yang kuat terhadap masa lalu, dan menghargai pengalaman-pengalaman kecil dalam hidupnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya dan musik.

Jumat, 13 September 2024

Pater Dr Markus Solo SVD, Poliglot Hebat dari Flores Timur, Pendamping dan Penerjemah Paus Fransiskus

Di pelosok kampungku nun jauh di sana Pater Dr Markus Solo SVD dikenal sebagai pencipta lagu-lagu pop Lamaholot. Paling terkenal dan sangat viral adalah Selen Ro. Lagu ini selalu jadi pengiring tarian di Flores Timur, Lembata, dan daerah lain di NTT. 

Lagu Selen Ro jadi sangat viral setelah dibawakan Ancis Matarau. Kebetulan penyanyi ini satu daerah dengan saya. Satu kecamatan tapi beda desa di Lembata. 

Pekan lalu, Romo Markus Solo jadi sorotan dan viral di grup-grup NTT. Maklum, pater asal Lewouran, Flores Timur, ini jadi pendamping sekaligus penerjemah Paus Fransiskus saat berkunjung ke Indonesia. Pastor itu memang sudah lama jadi staf di Vatikan. 

Pater Markus yang seniman ini poliglot sejati. Menguasai banyak bahasa dunia. Bahasa Inggris sudah pasti. Bahasa Latin sebagai bahasa liturgi jelas bisa. Bahasa Italia, Jerman, Prancis, Portugis, Spanyol, hingga bahasa Arab. 

Itu belum termasuk bahasa Indonesia, Nagi Larantuka, Lamaholot sebagai bahasa ibu dan entah bahasa apa lagi.

Seandainya Paus Fransiskus pekan lalu berkunjung ke Pulau Flores bisa dipastikan lagu ciptaan Pater Markus Solo, Selen To, akan diputar. Dan ribuan orang akan menari bersama Tarian Selen untuk menyambut Santo Bapa dari Vatikan.

Kamis, 12 September 2024

Mendampingi Karin, keponakan yang kuliah di Stikes RKZ Surabaya

Karin diam-diam memilih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) RKZ Surabaya. Gak nyangka keponakan satu ini sudah jadi mahasiswa. Gadis remaja yang pengen jadi perawat.

Beta sebagai paman sampai pangling melihat wajah Karin yang berubah. Beda banget dengan saat masih SD dan SMP di Kupang dulu. Pertumbuhan anak dan remaja memang sangat cepat.

Kali terakhir saya bertemu Karin pada 25 Juli 2019. Saat mudik ke NTT lantaran ayah kandung meninggal dunia di Pulau Lembata. Lima tahun lalu Karin masih kecil dan manja.

Karin putrinya Vincentia Hurek, adik kandungku. Ayahnya Hendrik Watun, sekarang Kepala SMAN 6 Kupang. Hendrik cukup terkenal di Kupang karena sekolahnya jadi pilot project alias uji coba sekolah mulai pukul 05.00 oleh Gubernur NTT Victor Laiskodat.

Kebijakan yang kontroversial itu akhirnya dicabut setelah Victor lengser sebagai gubernur. "Capek sekali, Ama. Kita mesti bangun jam 3 tiap hari," kata Hendrik yang asli Desa Baopukang, Lembata.

Awalnya saya ingin Karin tinggal di Asrama RKZ. Apalagi ibu asrama dan pembinanya suster-suster SSpS yang punya Rumah Sakit RKZ Surabaya. Tapi Karin lebih suka ngekos di dekat kampus. 

"Mahal sonde apa-apa," kata bapaknya. "Yang penting Karin bisa jalan kaki ke kampus. Surabaya terlalu banyak kendaraan. Macet. Kurang aman untuk anak perempuan."

Apalagi Karin ini tidak bisa nyetir sepeda motor. Andaikan naik Gojek saban hari, maka pulang pergi sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Sebulan bisa habis 1.500 untuk transportasi.

Karena itu, Karin punya bapak lebih memilih kos yang agak mahal tapi biaya transportasi Grab atau Gojek nol rupiah. Luar biasa cara berfikir orang Kupang. Beta angkat topi!

Saya akhirnya jadi wakil orang tua alias wali mahasiswa. Mendampingi Karin pada hari pertama PKKMB - istilah baru untuk Ospek jaman old. Banyak hal yang sama dengan kuliah jaman old tapi ada juga banyak kebijakan baru di bidang perkuliahan ala Kampus Merdeka, Merdeka Belajar dan sebagainya.

Selamat kuliah di Surabaya, Karin!

Selamat berjuang dan belajar menempa diri jauh dari bapa dan mama di Kupang!