Sudah lima atau tujuh tahun saya tidak membaca buku cetak sampai selesai. Biasanya cuma baca sedikit, jenuh, terganggu notifikasi wasap lalu berhenti. Apalagi kalau bukunya memang kurang menarik.
Tapi kali ini beda. Saya akhirnya bisa membaca tuntas novel Only a Girl karya Lian Gouw. Versi terjemahan bahasa Indonesia tentu saja. Versi asli dalam bahasa Inggris terlalu berat untuk orang Indonesia, khususnya saya, karena bahasa Inggris yang dipakai Lian Gouw sama dengan penutur asli di US atau UK.
Lian Gouw sudah puluhan tahun tinggal di US. Bahasa sehari-harinya English. Dia boleh dikata tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian di masa tuanya belajar bahasa Indonesia.
Lian Gouw bahkan jadi penutur dan penerbit buku-buku cerita berbahasa Indonesia yang sangat keras melarang kata-kata serapan. Harus pakai kata-kata bahasa Indonesia asli. Pakailah "rekaan", bukan fiksi.
Saya hanya perlu waktu dua hari untuk menyelesaikan novel yang diterbitkan Gramedia tahun 2009. Ceritanya memang sangat menarik. Tentang pergulatan orang Tionghoa elite antek-antek Belanda pada 1930-an hingga 50-an. Tionghoa yang sangat berpihak pada Belanda.
Lian Gouw menggambarkan gaya hidup, alam pikiran, hingga keseharian Tionghoa elite di Bandung yang jadi kaki tangan Belanda. Betapa mereka sangat merendahkan warga bumiputra atau pribumi yang diejek sebagai hwana.
Ejekan dan hinaan untuk hwana ini sering terlontar dari mulut tokoh-tokoh utama dalam novel ini seperti Carolien dan Jenny putrinya. Jenny bentrok dengan Pak Sarjono karena tidak mau berbahasa Indonesia.
"Saya hanya mau berbahasa Belanda," kata Jenny murid cerdas, berani, antek Belanda.
Ibunya, tante-tantenya juga sama-sama gila Belanda. Mereka sepertinya ingin Belanda terus berkuasa di Hindia Belanda. Hwana-hwana tidak akan bisa mengurus negara sendiri, pikir mereka.
Saya pun mengapresiasi Lian Gouw yang menghadirkan cerita fiksi, eh rekaan, tapi berdasar pengamatan dan pengalaman Lian sendiri.
Lian Gouw: "Terima kasih banyak Hurek atas pemberian waktu dan perhatiannya. Sebenarnya ada terjemahan yang lebih bagus: Mengadang Pusaran, penerjemah Widjati Hartiningtyas (Kanisius 2020).
Memang karya itu sering sekali digunakan untuk menulis skripsi."
Kesan saya di novel itu orang Tionghoa yang Ibu ceritakan sangat memihak Belanda dan benci pribumi?
Lian Gouw: Benar.. ditampilkan di novel itu bahwa Carolien sangat amat berpihak Belanda ... entah apakah SELURUH MASYARAKAT TIONGHOA begitu juga .... karena merekalah yang cukup "dicekok" oleh si Belanda itu.
Dan, itu sebabnya, setelah Indonesia merdeka, elite-elite Tionghoa kabur meninggalkan Indonesia karena takut dengan para pribumi yang dihina pada masa kolonial Belanda?
Lian Gouw: "Entah orang lain Hurek … Ibu sendiri pergi TIDAK KARENA TAKUT, tetapi karena BENCI. Tapi sekarang kebencian itu sudah sama sekali hilang dan terganti dengan perasaan cinta dan kesedihan yang dalam."
Obrolan terjeda karena Ibu Lian harus menyiapkan makan siang di rumahnya di Amerika. Dia masih sering menikmati lagu-lagu keroncong tempo doeloe macam Aryati, dikau mawar asuhan rembulan.
Lian Gouw: "Ibu suka dengan lagu-lagu keroncong .... juga suka lagu-lagu Maluku."