Minggu, 23 April 2023

Rumah pemalaman tempo doeloe di Kota Lama Malang

Musim libur Lebaran 2023 ini Ayas sempat jalan-jalan di Kota Lama, Malang. Kawasan pecinan yang ada Eng An Kiong, kelenteng terkenal. Ayas tidak asing dengan kawasan itu. Dulu biasa tinggal di paman punya rumah di Jalan Martadinata alias Kota Lama itu.

Ayas sempat tengok hotel bergaya tempo doeloe. Orang lama biasa bilang Losmen Mansion. Nama resminya sekarang Losmen Megah MS. Turis-turis ransel atawa backpackers, komunitas sepeda pancal yang touring, rombongan dari kampung biasa nginap di losmen ini.

 Maklum, tarifnya murah. Apalagi yang kamar mandinya di luar. Tidak ada kipas angin, apalagi AC. Tapi hawa Malang yang sejuk memang tidak perlu AC segala.

Ayas tidak bahas losmen atau hotel tapi istilah tempo doeloe. Di losmen itu terpasang tulisan: Perusahaan Rumah Pemalaman Losmen Mansion.

Wow... rumah pemalaman!
Ayas baru kali ini baca kata bentukan "pemalaman". Apalagi "rumah pemalaman". Orang tempo doeloe memang punya banyak istilah sederhana yang aneh untuk selera masa kini. Khususnya baba-baba Tionghoa yang terbiasa berbahasa Melayu Tionghoa.

Ayas langsung periksa kamus. Apakah ada kata "pemalaman"? Ternyata memang ada. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

<< permalaman: n rumah dan sebagainya tempat bermalam; penginapan >>


Kamus Bahasa Melayu Malaysia:

<< pemalaman, permalaman ark tempat (rumah dll) bermalam, penginapan >>

Kata "pemalaman" ada di KBBI tapi dianggap tidak baku. Yang baku "permalaman".

Di kamus bahasa Malaysia kata "pemalaman" tapi diberi keterangan sebagai kata arkaik. Kata tempo doeloe, old school, yang tidak dipakai lagi.

Rumah Pemalaman Mansion di Jalan Martadinata 15 Malang ini mendapat izin dari Kotamadya Malang pada 24 Februari 1977 alias 46 tahun lalu. Tapi bangunannya yang model kolonial diyakini sudah ada sebelum kemerdekaan.

"Zaman Londo sudah ada kayaknya. Sampai sekarang masih relatif asli," kata Mas Kus, pegawai rumah pemalaman kepada Ayas. "Sampean bisa bedakan mana bangunan baru dan bangunan era kolonial," tambah pria asli Malang itu.

Tahun 1977 istilah "rumah pemalaman" ternyata masih digunakan di Kota Malang. Sekarang istilah itu terasa janggal. Bahkan kata "losmen" pun sudah jarang dipakai. Sekarang losmen, inn, pemalaman, homestay disebut hotel. Pemalaman Mansion di Malang ini mungkin lebih cocok disebut hotel melati. 

Jumat, 21 April 2023

Lebaran "dore pemerenta" atau "dore heku" (ikut siapa)?

Satu agama, beda mazhab, beda denominasi dsb. Semua aliran, mazhab, sekte punya hujah dan dalil-dalil. Semuanya punya klaim paling benar. Itu berlaku di agama mana pun. 

BBC Indonesia menulis:

"Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syattariyah, dan An Nadzir meyakini Idul Fitri jatuh pada Hari Kamis 20 April 2023. Sementara pemerintah masih menunggu sidang Isbat, dan Muhammadiyah menentukan Lebaran pada 21 April 2023."

Ada kawan bagi informasi di grup media sosial rekapan 1 Syawal dan Idul Fitri 1444 H di Indonesia:

✅ Rabu, 19 April 2023 = Jemaah al-Muhdhor, Wates, Tulungagung. 

✅ Kamis, 20 April 2023 = Jemaah Nasqabandiyah, Sumut dan Tarekat Sattariyah, Aceh

✅ Jumat, 21 April 2023 = Muhammadiyah

✅ Sabtu, 22 April 2023 = Pemerintah RI, NU, PERSIS, LDII

✅ Ahad, 23 April 2023 = Jemaah Aboge, Purbalingga, Jateng.

Lalu kapan hari raya Lebaran di NTT, khususnya Pulau Lembata? Beta sempat tanya kepada seorang Ama Watanen, tokoh muslim di kampung.

"Kame dore pemerenta!" katanya dalam bahasa daerah Lamaholot.

Artinya, "Kami ikut pemerintah!" 

Ata Watanen, sebutan orang Islam di daerah pelosok Lembata, memang dari dulu "dore pemerenta" (ikut pemerintah) untuk penentuan awal puasa, Lebaran, dan Idul Adha.

Karena itu, dulu, waktu beta masih kecil, Ama Ansyar Paokuka, imam masjid kampung, selalu nguping radio transistor. Memantau hasil sidang isbat pemerintah pusat di Jakarta. Apa pun keputusan "pemerenta" (pemerintah) selalu diikuti.

Setelah merantau ke Jawa baru beta tahu ternyata penentuan awal puasa, Idul Fitri, Idul Adha tidak harus ikut pemerintah. Juga tidak harus meneropong hilal macam model Muhammadiyah. 

 Jemaah Nasqabandiyah di Sumut, Tarekat Sattariyah di Aceh,  Jemaah Aboge di Purbalingga punya metode lain lagi. Semuanya punya hujah dan dalil. 

"Riyoyo gak bareng adalah bukti bahwa ajaran syariat iku gak mutlak. Gak mutlak dalam artian syariat itu gak harus kaku, luwes, dan bisa disesuaikan.  Syariat gak harus memaksakan kehendak dan keyakinan pada orang lain," kata Fathur Rojib, seniman dan santri asal Buduran, Sidoarjo, dalam diskusi enteng-entengan, Jumat 21 April.

Selamat Idul Fitri untuk semua orang Islam di Indonesia dan seluruh dunia.

Minal aidin wal faidzin! 

Kamis, 20 April 2023

Mengenang Teror Kepala Manusia di Kantor Koran SI Tahun 1984 di Malang

BBC Indonesia pekan lalu memuat liputan tentang kasus penembakan misterius (Petrus) pada 1982-1985. Salah satu kota yang jadi target operasi Petrus adalah Malang. Sebab banyak preman alias korak alias bromocorah berkeliaran di kota dingin itu.

Wartawan BBC Heydar Afan menulis:

"Pada Rabu dini hari, 16 November 1984, sekitar pukul 03.00, kantor redaksi SI dikirimi paket berisi potongan kepala manusia. Potongan kepala yang ditengarai potongan kepala korban 'petrus' ini diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi.

"Peter Rohi menjadi salah satu saksi mata teror akibat sejumlah berita dan tajuknya," ungkap Stanley, mantan komisioner Komnas HAM asal Malang. 

Atas kejadian tersebut, SI memutuskan untuk tidak terbit keesokan harinya. "Itulah teror terdahsyat yang pernah dialami pers pada masa rezim Orde Baru. Namun tundukkah Suara Indonesia?

"Ternyata Peter Rohi dan kawan-kawan justru terus melawan dan memberitakan soal 'petrus'," ungkap Stanley. 

Beta jadi ingat mendiang Peter A. Rohi. Juga Suara Indonesia alias SI. Koran sangat terkenal di Malang pada 1980-an. Aku beberapa kali menanyakan kasus teror kepala manusia saat bertemu Bung Peter di Kampung Malang, Surabaya.

Wartawan kawakan asal Pulau Sabu, NTT, itu antusias bercerita tentang liputan-liputan investigasi di SI tempo doeloe. Salah satunya tentang kasus Petrus di Malang. 

"Beta sonde takut dengan itu teror. Beta malah perintahkan semua wartawan untuk bikin reportase soal Petrus tiap hari," kata mending yang logat Kupangnya yang khas.

"Sonde ada tekanan dari pemerintah atau ABRI-kah?" Beta pancing sedikit biar Bung Peter tambah semangat. 

 "Pasti ada lah. Tapi kita tetap laporkan kasus Petrus. Pers tidak boleh gentar dengan intimidasi, tekanan dsb. Kita kerja jadi wartawan itu vivere pericoloso. Nyerempet-nyerempet bahaya maut. Tapi hidup mati ada di tangan Tuhan. Kalau takut mati ya jangan jadi tentara atau wartawan," kata Bung Peter yang pernah jadi anggota KKO (sekarang Marinir).

Cerita mendiang Peter A. Rohi sama persis dengan liputan BBC Indonesia itu. Termasuk soal kematian petinju Johny Mangi secara misterius. Johny aslj Sumba, NTT, tapi besar di Malang. Dia juga diduga jadi korban operasi penumpasan premanisme era 80-an.

Minggu lalu beta blusukan di Jalan Hasyim Ashari Nomor 7 Malang. Alamat kantor redaksi Suara Indonesia era 1980-an. Peter Rohi jadi pemimpin redaksi (meski di boks redaksi ditulis redaktur pelaksana). Hampir tak ada bangunan lama yang tersisa. Kantor redaksi SI jadi ruko jualan kaos olahraga, sepatu dsb. 

Ada seorang abang becak mangkal di dekat situ. Beta sempat pancing itu bapak tua. Apakah dia tahu eks kantor koran SI di Jalan Hasyim Ashari?

"Kulo mboten ngertos," jawabnya halus. Yo, wis!

Derana, renjana, produksi performa yang komplet

Ayas sudah lama tidak baca Kompas. Kali terakhir awal Maret lalu. Koran terbitan Jakarta itu memang makin sulit ditemukan di Surabaya dan sekitarnya.

Pagi tadi, awal libur panjang Lebaran, Ayas mampir di kios koran dan majalaj di dekat Sungai Porong. Ternyata ada Kompas. Harganya sekarang Rp 7500. Mahal banget? Gak bisa Rp 5000 kayak Jawa Pos?

Sudah naik sejak awal Januari, kata pedagang media cetak itu. Setorannya naik. Kalau jual 5000 ya aku tekor.

Apa boleh buat. Ayas membeli Kompas yang makin tipis itu. 16 halaman saja. Padahal dulu biasanya 36 halaman. Di era digital ini dagang koran cetak memang tidak gampang. Koran-koran lama berguguran. Pekan lalu Koran Sindo berhenti terbit.

Ayas sering menemukan kata-kata unik di Kompas. Dulu kata "petahana"  untuk incumbent. Kata "tengkes" untuk stunting. Bulan lalu kata "renjana" untuk passion.

Kali ini ada kata "derana". Ayas belum pernah dengar dan baca kata itu. Maka langsung buka kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Ternyata ada lemanya. 

<< derana (ark):
tahan dan tabah menderita sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa, dsb). >>

Ayas juga buka kamus bahasa Melayu (Malaysia). Penjelasannya singkat: derana artinya sabar (ark).

Keterangan ark artinya arkaik. Kata yang sudah kuna. Saking kunanya tidak dipakai lagi. Hebat, Kompas malah menghidupkan lagi kata-kata arkaik macam renjana dan derana ini. Dulu kata arkaik "canggih" juga dihidupkan dan kini sudah sangat umum.

Ayas baca berita kemenangan AC Milan atas Napoli itu sampai selesai. Di alinea terakhir ada terjemahan langsung Marca yang terkesan 'maksa'. Hanya sekadar ganti ejaan saja.

Kompas menulis ucapan pelatih Ancelotti:

"Kami memproduksi performa yang sangat komplet." 

Ayas yakin orang kampung di pelosok NTT tidak paham gaya bahasa wong pinter (keminter) di Jakarta itu. Orang desa lebih mengerti: 

"Penampilan kami sangat hebat."

"Anak-anak bermain dengan luar biasa."

"Penampilan kami ciamik soro." 

Selasa, 18 April 2023

Giliran Koran Sindo Pamit

Teman lama bagi kabar duka. Satu lagi media cetak tutup. Giliran Koran Sindo berhenti menyapa pembaca media cetak.

Sururi, CEO, yang umumkan kabar penutupan medianya. Versi koran dan e-paper sama-sama berhenti. "Hingga batas waktu yang ditentukan kemudian," tulisnya.

Ayas agak kenal Sururi. Dulu redaktur Jawa Pos. Orangnya serius, teliti, detail, banyak banyak, ilmiah. Sururi dan beberapa eks JP boyongan untuk bikin Sindo. Satu grup dengan RCTI yang oke itu.

Koran Sindo sempat heboh di awal. Terbit dengan desain dan model pemberitaan yang menarik. Ayas sering baca.. gratisan. Tebal sekali saat itu.

Sayang, usia Sindo tak panjang. Sururi dan kawan-kawan sudah kerja keras tapi era digital datang terlalu cepat. Konsumsi berita, informasi, hiburan, tiket, pesan makanan, pesan ojek.. apa saja ada di HP.

Sindo dan kawan-kawan terguncang. Ada yang bertahan tapi ada juga yang gulung tikar. Yang masih hidup kudu kreatif, banyak akal agar bisa tetap bertahan. 

"Makanya saya sangat salut pada media cetak yang tetap eksis sampai sekarang. Orang-orang di baliknya sungguh ruar biasa," tulis Marlin, mantan redaktur koran cetak.

Ayas jadi ingat kata-kata di kuburan di pelosok NTT: 

"Hari ini saya, besok kamu."

Minggu, 16 April 2023

Napak Tilas Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim di Malang

Ayas dulu sering mampir ke rumah tua gaya kolonial di Jalan Diponegoro 3 Malang. Ketemu dan ngobrol dengan Ratna Indraswari Ibrahim. Orangnya asyik, selalu tersenyum, kelihatan bahagia meski sejak kecil duduk di kursi roda.

Biasanya Bu Ratna mengajak duduk di samping rumah. Lalu dia menjawab pertanyaan apa saja secara runut dan detail. Satu pertanyaan singkat biasanya dijawab penjelasan yang panjang.

Karena itu, ngobrol dengan Ratna Indraswari ibarat kuliah tiga SKS di kampus. Tapi dosennya enak. Ngangeni. 

Ayas kagum karena Ratna yang fisiknya rapuh ternyata sangat produktif menulis cerpen, novel, artikel dsb. Ratna juga sangat aktif di berbagai organisasi, LSM, di Malang.

Ratna Indraswari tutup usia pada 28 Maret 2011. Ayas masih simpan dua buku pemberiannya. Beberapa buku lain dipinjam teman dan tidak pernah kembali.

Ayas sempat blusukan nostalgia ke rumah Bu Ratna di Diponegoro 3 pekan lalu. Salah satu kawasan elite di Malang. Pagar bangunan tua itu tertutup rapat. Suasananya beda dengan saat Bu Ratna masih hidup. Kelihatannya sekarang jadi kos-kosan.

"Permisi, rumahnya almarhum Bu Ratna Indraswari di mana?" Ayas bertanya pura-pura tidak tahu. Sekadar mengetes pengetahuan seorang wanita 50-an tahun tentang sastrawan terkenal Ratna Indraswari Ibrahim.

"Maaf, saya gak tau," katanya. "Di sekitar sini gak ada yang namanya Bu Ratna."

Begitulah, sastrawan sekaliber Ratna Indraswari Ibrahim pun ternyata tidak dikenal di Malang. Bahkan tetangganya pun gak nyambung. Sastra memang asing di negeri ini. Pramoedya Ananta Tour pun belum tentu dikenal orang Indonesia hari ini. Wis.

17 Tahun Dahlan Iskan Ganti Hati di Tianjin


Oleh Dahlan Iskan


SETELAH istirahat dua malam di Beijing, saya bisa dapat slot di rumah sakit Tianjin: 第一中心医院. Di situlah, 17 tahun yang lalu, saya memperpanjang umur.

Saya pun naik kereta cepat dari Beijing ke Tianjin. Itulah jalur kereta cepat pertama yang dibangun di Tiongkok. Yang kemudian mewabah ke seluruh negara. Kini menjadi jaringan kereta cepat terluas di dunia.

Pun bila seluruh kereta cepat di dunia dikumpulkan, belum menyamai separonya jaringan kereta cepat di Tiongkok.

Kali pertama naik kereta cepat Beijing-Tianjin saya perhatikan layar display: 320 km/jam. Jarak Beijing-Tianjin 120 km. Ditempuh hanya dalam waktu 29 menit.

Mengapa saya menjalani transplantasi hati di rumah sakit Tianjin setelah Anda sudah tahu: dokter di Singapura menyatakan umur saya tinggal 6 bulan. Itu bila dilihat secara teknis kedokteran. Tidak ada cara lain lagi. Kanker saya sudah memenuhi hati. Darah sudah sulit masuk liver: lalu tertahan di banyak tempat. Terutama di saluran pencernaan. Muncul banyak gelembung-gelembung darah di mana-mana. Lalu ada yang pecah. Itu yang membuat saya muntah darah.

Sekarang kecepatan kereta itu 350 km/jam. Tidak perlu takut tiket. Tiap 10 menit ada kereta ke Tianjin. Dan sebaliknya. Bahkan di jam-jam tertentu tiap 5 menit sekali. Penuh semua.

Presiden Jokowi pernah naik kereta ini. Di awal jabatan beliau dulu. Beliau terinspirasi. Lalu bikin keputusan membangun kereta serupa untuk Jakarta-Bandung.

Orang Tiongkok menyebut kereta cepat Jakarta-Bandung itu Yawan. Singkatan dari Yajiada - Wanlong. (呀家达-万隆). Yajiada Anda sudah bisa menduga: Jakarta. Wanlong adalah Bandung. Wan di situ artinya selamanya. Long di situ artinya panjang. Panjang umurnya. Baik selamanya. Bukan panjang masa pembangunannya.

Begitulah. Mereka menyebut Bandung dengan Wanlong. Tokyo dengan Dongjing. Palembang menjadi Jigang. Surabaya mereka sebut Sishui.

Saya belum tahu apakah Yawan nanti juga bisa tiap 10 menit. Agar investasinya bisa kembali. Kalau setiap 10 menit apakah juga bisa penuh: agar pengeluaran untuk listriknya tertutup.

Seperti Ya dan Wan, Beijing dan Tianjin sama-sama kota besar. Tapi keduanya sama-sama berstatus provinsi. Di Tiongkok ada empat kota yang berstatus provinsi. Dua lainnya Anda sudah tahu.

Meski ada kereta tiap 10 menit jalan tol-nya masih padat. Padahal ada tiga jalan tol antara Beijing-Tianjin: utara, tengah, selatan. Kalau naik jalan tol perlu waktu 2 jam.

Kereta Beijing-Tianjin ini pun mereka sebut Bei-Jin. Semua jurusan diberi nama singkatan dua kota seperti itu. Nama jalan tol pun sama. Maka tidak ada kereta dengan nama, misalnya, Argo Wilis. Ups... Ada. Namanya Tatar Maja. Singkatan dari Tawang (Malang)-Blitar-Madiun-Jakarta.

Dari tempat bermalam di Beijing saya naik kereta bawah tanah ke stasiun kereta cepat itu. Di Beijing ada empat stasiun kereta cepat. Stasiun Barat, Stasiun Utara, Stasiun Timur, dan Stasiun Selatan. Semua besar-besar. Modern. Seperti bandara masa kini.

Saya menuju yang Stasiun Selatan. Dari sinilah kereta cepat jurusan Tianjin, Shandong, Yangzhou, Nanjing, dan Shanghai berangkat.

Dalam perjalanan kereta bawah tanah itu semua penumpang harus pakai masker. Saya lihat tidak satu pun yang tidak pakai. Peraturan kereta bawah tanah di Beijing masih begitu. Sedang di jalan-jalan, di mal, di kantor-kantor sudah tidak pakai masker.

Tentu ini bukan kali pertama saya ke Stasiun Selatan. Sudah puluhan kali. Sudah hafal. Termasuk harus lewat gate yang mana untuk pemegang paspor asing: yang ada petugas pemeriksanya. Selebihnya serba diurus oleh mesin.

Pun sampai di Tianjin, saya naik kereta bawah tanah. Cari yang ke jurusan rumah sakit. Jauh lebih sederhana. Tidak usah gengsi. Jarak antar stasiun bawah tanah hanya 1,5 menit. Di setiap stasiun hanya berhenti 0,5 menit. Maka hanya diperlukan 20 menit untuk sampai rumah sakit. Bandingkan kalau naik mobil: 1 jam.

Saya pun merasa jadi Ontorejo. Muncul dari dalam bumi: hallooo Tianjin! Sudah empat tahun tidak melihatmu!

Ups... Kok ini bukan seperti Tianjin yang saya kenal. Yang pernah empat bulan saya tinggali sambil menunggu ada hati orang mati yang bisa dipasang di badan saya. Kok semua gedung di sekeliling ini baru. Kok ada hutan kota segala.

Minggu 16 April 2023