Minggu, 18 Desember 2022

50% lulusan SMA di Jatim tidak kuliah, kata Khofifah. Solusinya apa?

Sekitar 50% lulusan SMA di Jawa Timur tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Itu omongan Gubernur Khofifah. Lulusan SMK yang tidak kuliah tentu lebih banyak lagi.

Mengapa tidak kuliah? Bukankah pembelajaran di SMA diarahkan untuk (wajib) kuliah?

 Pasti kendala ekonomi. Biaya kuliah mahaaal. Apalagi kedokteran. Jual sawah, jual rumah, belum tentu bisa bayar kuliah jadi tabib modern.

Masalah lulusan SMA tidak (mampu) kuliah ini isu lama. Sudah dibahas panjang lebar oleh Pater Drost SJ, pendidik, kepala sekolah SMA paling top di Jakarta (doeloe), pemikir pendidikan, Jesuit, penulis buku-buku yang sebagian besar membahas karut marut pendidikan di Indonesia.

Ayas sangat terkesan dengan pemikiran Pater Drost. Pemikiran Drost doeloe juga sering diadopsi beberapa mendikbud era Orde Baru meski tidak sepenuhnya. Ada link & match ala Menteri Wardiman dan beberapa konsep lagi.

Berdasarkan kajian Pater Drost, lulusan SMA yang bisa kuliah di Indonesia sebetulnya hanya 10%. Tidak lebih. Bukan soal ekonomi orang tua, tidak mampu bayar uang kuliah, tapi karena kemampuan akademis. 

Universitas, kata Drost, harus jadi puncak piramida. Hanya anak-anak berotak cemerlang yang bisa kuliah karena tuntutan akademis di universitas (beneran) sangat berat. Kalau IQ kurang, kompetensi akademis tanggung, sulitlah kuliah, kata Drost.

Masih menurut Drost, hasil tes skalu,  sipenmaru, UMPT,  SNB PTN, atau apa pun namanya sejak doeloe sangat memprihatinkan. Yang lulus murni tak sampai angka 10%. Artinya mereka yang dapat nilai di atas 70. Bahkan yang dapat 60 pun persentasenya sedikit.

Pihak perguruan tinggi tetap saja menerima mahasiswa sesuai kuota kursi di kampus. Misalnya, fakultas yang kuotanya 200 kursi ya terima 200 mahasiswa meskipun yang nilainya di atas 70 tidak sampai 100 anak.

 Belum lagi penerimaan mahasiswa lewat pintu lain semacam PMDK atau seleksi mandiri yang kualitasnya di bawah sipenmaru atau UMPTN. Anak yang tidak lulus UMPTN bisa masuk lewat pintu mandiri.. kalau ortunya punya duit banyak.

Karena itu, idealisme Pater Drost SJ untuk menjadikan universitas sebagai center of excellence tidak akan kesampaian. Hanya angan-angan belaka. Apalagi PTS-PTS mau menampung siapa saja tanpa seleksi ketat soal akademik. Sing penting iso bayar!

Kalau yang boleh kuliah hanya 10% (atau dilonggarkan jadi 20%), mau dikemanakan yang 90% itu? Pater Drost sudah menguraikan panjang lebar di buku-bukunya yang sebagian besar terbitan Kanisius dan Gramedia. Tinggal baca saja.

Intinya, sekolah-sekolah vokasi yang diperbanyak, diperluas, diperbaiki mutunya. Jumlah SMA harus lebih sedikit ketimbang SMK. Bila perlu lulusan SD langsung masuk sekolah kejuruan macam tempo doeloe macam sekolah teknik (ST) lalu lanjut ke sekolah teknik menengah (STM) lalu sudah mahir dan masuk dunia kerja.

Lulusan SMA yang tidak kuliah, nganggur, jauh lebih berbahaya ketimbang lulusan SMK yang tidak kuliah. Ironisnya, pemerintah makin memassalkan SMA dan kurang fokus ke vokasi atawa kejuruan. Kualitas SMA diturunkan dengan model zonasi. 

Lalu, apa solusi Gubernur Khofifah? 

"Pemprov Jatim telah menginisiasi program double track SMA yang menjadi opsi untuk para siswa untuk berkecimpung di dunia kerja.

Dalam program double track, sistem pembelajaran SMA dan SMK dipadukan untuk memberi siswa keterampilan sesuai minatnya. Sehingga, para siswa bisa menggeluti dunia kerja apabila tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah kelulusan," kata Khofifah dikutip Suara Surabaya.

Solusi yang tanggung.

Mengapa SMA dibuat double track alias jadi setengah SMK? Mengapa bukan SMK yang diperkuat? Mengapa anak-anak SMP tidak diarahkan ke SMK sejak awal?

Kalau sudah kadung masuk SMK ya siap-siap kuliah. Program double track di SMA pasti tidak akan sebagus SMK beneran.

Pelik memang dunia pendidikan sedari dulu hingga kiamat. 

Nasi bungkus 5K masih ada di Buduran meski BBM naik terus

Harga bensin naik September lalu. Harga barang dan jasa ikut naik. Harga koran ikut naik sedikit. Sudah pasti inflasi juga naik.

Alhamdulillah, harga nasi bungkus di pinggir jalan raya Buduran, Sidoarjo, masih Rp 5.000. Dari dulu tetap anteng di angka itu. Ayas perhatikan sejak empat atau enam tahun lalu ya segitu.

Mutu menunya pun tak banyak berubah. Tongkol, hati, telor utuh, telor dadar, tahu.. dsb. Biasanya kalau BBM naik ukuran tempe atau dikecilkan. Telor bulat kadang dijadikan separo. Tapi di Buduran ini tetap bulat utuh.

"Alhamdulillah," kata ibu penjual sega bungkus itu.

Ayas bertanya apakah tidak rugi menjual sega bungkus lima ribu di era inflasi ini. Dia akui labanya turun. Tapi tetap puji Tuhan karena rezeki tetap ada. Dagangannya tetap lancar jaya.

Sabtu pagi, Ayas mampir beli sega bungkus di Buduran setelah lama tidak lewat di situ. Tak jauh dari Ayas punya kantor lama di dekat Museum Mpu Tantular. Harganya masih lima ribu.

"Biasanya gak sampe jam 9 sudah habis," kata ibu itu.

Seandainya tiap hari kita makan nasi bungkus macam di Buduran ini maka biaya hidup jadi rendah di Jawi Wetan. Sebulan tak sampai 500 ribu. Itu kalau makan tiga kali.

Kalau makan dua kali sehari ya 300-an. Apalagi yang cuma makan satu kali untuk program diet pengurusan badan. Dijamin cepat langsing. Susut perut 

Dan.. jangan lupa, setiap pekan ada Jumat Berkah. Di sejumlah tempat selalu disediakan sega bungkus gratis. Alhamdulillah. 

Selasa, 13 Desember 2022

Remy Sylado nyanyi di surga

Remy Sylado pulang. 

Selesai tugasnya di dunia ini. Orang ini banyak talenta. Serba bisa: Munsyi, poliglot, seniman teater, novelis, wartawan, musikus, teolog, budayawan dsb dsb. 

Tuhan Allah kasih talenta terlalu banyak untuk satu orang Remy Sylado. Bung Remy lahir di Makassar pada 12 Juli 1945. Terlalu banyak jejaknya di dunia literasi, musik lawas dengan majalah Aktuil di Bandung, hingga novel yang tidak indah tapi menarik.

Remy Sylado ibarat ensiklopedia atau wikipedia berjalan. Semua artikel, novel, ucapan, seminar dsb selalu ada penjelasan tentang kata atau istilah layaknya wikipedia. Malah lebih lengkap dan hidup.

Remy kerap diajak untuk memberikan ceramah tentang bahasa Indonesia kepada wartawan di Surabaya. Khususnya di Jawa Pos Group. Kali terakhir pada Bulan Bahasa 2018 di Graha Pena, Surabaya.

Di usianya yang senja, energinya masih kuat. Ia masih bicara lantang, penuh humor, sindir sana sindir sini.. bikin kita terbahak-bahak. Termasuk menertawakan kekonyolan wartawan sendiri yang bahasanya masih berantakan.

Remy Sylado juga pernah diundang Jawa Pos untuk memainkan teater tentang Sam Po Kong. Teater berdasar novel yang ditulisnya sendiri. Sangat menarik. Remy ternyata jago bahasa Tionghoa suku, khususnya Hokkian, hingga bahasa nasional yang disebut Mandarin itu.

Setelah membaca berita Remy Sylado berpulang, saya membuka lagi novel Sam Po Kong. Tebal sekali. Tapi ukuran hurufnya besar dan ceritanya menarik. Enak diikuti sampai selesai. Beda dengan novel Mata Hari, karya Remy juga, yang agak ruwet karena penuh dengan penjelasan-penjelasan ensiklopedistik.

Cukup banyak buku-buku karya Remy Sylado yang saya miliki. Sebagian besar sudah disumbangkan ke perpustakaan. Saya hanya simpan Sam Po Kong dan Mata Hari. Novel Ca Bau Kan dipinjam orang tak kembali.

Membaca buku-buku Remy ibarat kuliah di kampus. Tapi dosennya asyik sehingga mahasiswa ketagihan. Ibarat menimba air di sumur yang tak pernah kering.

Selamat jalan, Bung Remy Sylado  🙏🏼
Selamat bernyanyi di surga 🙏🏼

Senin, 12 Desember 2022

Tata Perayaan Ekaristi (TPE) Baru Bikin Bingung

Selama pandemi covid-19 liturgi daring jadi kebutuhan. Misa langsung di gereja tak boleh karena protokol kesehatan dsb. Apa boleh buat, kita orang harus ikut misa streaming dari rumah, warkop, hutan, pantai, di mana saja.

Teknologi digital membuat segalanya jadi mungkin. Ayas malah lebih senang ikut English Mass dari Kanada atau Amerika karena lebih padat dan singkat. Ekaristi cuma 30 menit saja. Di Indonesia, meski tidak sepanjang misa normal, misa streaming masih tetap lama.

Gara-gara terlalu sering misa online selama pandemi, Ayas jadi pangling saat misa offline di gereja. Ternyata selama masa pandemi ada sedikit perubahan Tata Perayaan Ekaristi (TPE). Perubahan sedikit redaksional kalimat di doa syukur agung dan beberapa lagi.

Perubahannya tidak terlalu besar. Cuma penambahan beberapa kata serta penyuntingan kalimat. Tapi tetap saja membuat umat Katolik kehilangan hafalan lama.

Doa-doa lama yang sudah hafal di luar kepala kini berubah. Padahal misa bahasa Inggris, bahasa Latin, dsb masih sama seperti dulu. Bahasa Indonesia memang paling tidak stabil. Bahasa Latin yang paling stabil.

Dari dulu doa tanda salib dalam bahasa Latin tidak berubah: In nomine Patris...

Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia sering berubah. Waktu Ayas kecil di desa selalu berdoa "Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus". Kemudian diganti jadi "Demi nama Bapa.."

Versi sekarang "Dalam nama Bapa..."

Yang paling terasa, bagiku, adalah lagu-lagu tanggapan doa syukur agung. Lagu-lagu lama di Puji Syukur dan Madah Bakti tak lagi dipakai. Ada lagu-lagu baru yang harus dipelajari, dihafal, dan dibiasakan.

Maka saya pun hanya diam saja selama misa berlangsung. Takut salah. Padahal biasanya saya bernyanyi dengan agak keras macam pelatih paduan suara. 

Apa boleh buat. Semuanya memang berubah. Disesuaikan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Ayas mampir di toko buku paroki dan membeli buku Tata Perayaan Ekaristi baru. 

Ayas Dukung Jerman Barat, Ebes Dukung Argentina

Minggu lalu Bapa Niko Hurek berulang tahun ke-82. Di surga. Tanggal lahirnya tidak jelas seperti orang-orang kampung tempo doeloe. Tuan Pater asal Belanda lalu tetapkan tanggal 6 Desember. Pesta Santo Nikolaus.

Entah mengapa Tuan Pater memilih tanggal yang sama dengan Pesta Sinterklaas. Mungkin ia ingin Bapa Niko jadi orang yang suka berbagi, peduli anak-anak, menyenangkan macam Sinterklaas.

Bulan Desember 2022 ini ada pesta bola di Qatar. Kali pertama Piala Dunia diadakan di kawasan Arab yang panas. Maka agendanya pun digeser. Bukan lagi pada musim panas tapi Desember. Agar pemain-pemain asal Eropa dan utara katulistiwa tidak kepanasan.

Ayas jadi ingat Ebes di kampung pelosok Pulau Lembata, NTT, tempo doeloe. Belum ada jaringan listrik. Tak ada televisi. Informasi hanya dari radio dan koran dua  mingguan Dian. Baru tahun 1990-an Dian jadi SKM: surat kabar mingguan. 

 Ebes pelanggan sekaligus distributor koran Dan milik kongregasi SVD yang didirikan dan dipimpin Pater Alex Beding SVD asal Lamalera, Lembata, itu. Saat itu di NTT hanya ada dua koran, yakni Dian dan Kupang Post. 

Ebes juga melanggan majalah mingguan Hidup. Isinya tentang gereja, liturgi, aneka informasi tentang Katolik di Indonesia dan luar negeri. Ada juga halaman anak, notasi lagu baru ciptaan Pater Soetanta SJ. Pastor inilah komponis dan arranger sebagian besar lagu di Puji Syukur.

Meski tidak ada TV, Bapa Niko sangat gandrung sepak bola. Tak pernah melewatkan siaran pandangan mata di radio. Mulai turnamen Piala Eltari antarkabupaten di NTT, timnas Indonesia, hingga Piala Dunia. Modalnya cuma dengar radio merek Conion. Tajam sekali tangkapan radio pakai gelombang SW itu.

Ebes mendengarkan radio seakan-akan melihat televisi. Ia bisa membayangkan gerakan pemain-pemain hanya berdasar laporan reporter-reporter radio saat itu macam Ripto Savidi. Dan, harus diakui, deskripsi siaran pandangan mata pada era 80-an sangat hidup. Pendengar radio benar-benar dibawa ke stadion.

Ayas pernah menemani Ebes menonton.. eh, mendengarkan siaran pandangan mata final Piala Dunia 86 di Meksiko. Argentina vs Jerman Barat. Ayas yang masih remaja terbangun karena Ebes ini terbawa emosi atau baper sekali. Ebes pendukung berat Argentina yang diperkuat Diego Maradona.

Ebes hafal nama-nama pemain Argentina macam Brown, Valdano, Ruggeri, dan Maradona tentu saja hanya berdasar ingatan dari siaran RRI itu. Ayas yang belum paham sepak bola mendukung Jerman Barat. Itu karena ada foto Rummenige di koran Dian yang merepro foto di koran Kompas.

SKM Dian terbitan Ende, Flores, dulu memang sering merepro foto-foto Kompas. Apalagi saat itu ada kerabat Pater Alex Beding SVD yang jadi redaktur dan orang penting di Kompas. Bung Marcel ini eks frater SVD juga asal Lembata.

Nah, pertandingan berlangsung sangat seru. Ayas yang awalnya kurang semangat ikut-ikutan panas ketika Jerman Barat melakukan serangan. Siaran radio memang ada virusnya meski hanya suara alias audio.

"Goooool!" Ayas berteriak ketika Rummenige cetak gol. 

Kelihatannya Jerman Barat bakal memang. Tapi Ebes sangat yakin Argentina yang bakal juara karena ada Maradona. Dan.. benar Argentina yang jadi juara saat itu. Maradona jadi mahabintang!

Sejak saat itulah Ayas jadi pendukung Jerman Barat. Belakangan Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung jadi satu. Ayas tetap dukung Jerman meski tak pernah melihat permainan Rummenige, Brehme, Olaf Thon, Klinsmann, Matthaeus, Moller, dkk di televisi.

Ayas baru benar-benar nonton sepak bola di televisi pada Piala Dunia 1990. Nonton bareng hampir tiap malam di halaman Radio Suara Akbar di Jember. Siaran dari RTM Malaysia pakai parabola. Saat itu TVRI tidak menyiarkan semua pertandingan World Cup itu.

Ayas ternyata tidak salah. Timnas Jerman yang dilatih Kaisar Beckenbauer saat itu memang luar biasaaa. Kualitas permainannya jauh lebih bagus ketimbang yang saya bayangkan di radio di pelosok Lembata dulu. Dominasi total, passing kaki ke kaki, mengalahkan lawan dengan mudah.

Singkat cerita, Jerman akhirnya juara. Itulah timnas terbaik yang pernah Ayas lihat di televisi. Sampai sekarang pun masih terekam di memoriku gaya permainan der Panzer yang mengalir, flowing, atraktif. Stamina pemain Jerman pun sangat kuat laksana panzer.

Sayang, di Piala Dunia 2022 ini Jerman lambat panas. Kalah di laga pertama oleh Jepang. Permainan yang flowing dan attacking ala Kaisar masih terlihat tapi sudah merosot tajam. Jadi, wajarlah kalau Jerman tidak lolos ke babak 16 besar.

Dengan gugurnya Jerman, maka Ayas tak punya jago di Piala Dunia 2022. Siapa pun yang jadi juara bukan masalah bagiku. Namun, Bapa Niko tentu akan sangat senang kalau tahun ini Argentina yang juara! 

Parah! Satpam gereja marahi dan usir pastor terkenal

HANYA CERITA AJA

Oleh Romo Yohanes Gani, CM

Apa yang akan kuceritakan bukan untuk meremehkan suatu profesi atau pekerjaan sebab semua pekerjaan itu baik asal tidak merugikan orang lain. Ceritanya suatu hari aku membuat janji dengan seorang romo di suatu paroki. Dia meminta agar aku datang ke tempatnya. Kami janjian sekitar pukul 2 siang. 

Pada pukul 2 siang lebih sedikit aku baru sampai di pastorannya. Sampai di halaman gereja aku telpon dia dan mengatakan aku sudah sampai di halaman gereja. Dia menjawab agar aku masuk saja, sebab dia ada di lantai 2. Pastoran terdiri dari 2 lantai. Aku tanya lagi apakah motorku boleh dimasukan dalam garasi atau tidak? Dia menjawab masukkan saja. Garasinya cukup luas dan hanya ada satu mobil. 

Saat aku sedang telpon, seorang satpam mendatangiku. Dia berdiri di dekatku dengan wajah garang. Dia tanya aku mau apa? 

Aku mengatakan mau bertemu dengan romo X. Bapak itu menjawab tidak bisa, sebab jam segini romo sedang istirahat. Aku jawab bahwa baru saja telpon dan disuruh masuk. Bapak itu pergi meninggalkan tempatnya. Kupikir masalah selesai.

 Maka aku menuntun motor ke garasi. Ternyata bapak itu bergegas mendatangiku lagi dan menyuruhku agar mengeluarkan motor dari garasi, sebab itu khusus untuk mobilnya romo. Kupikir dari pada ribut yang tidak ada gunanya, maka aku kembali menuntun motor ke halaman gereja. 

Temanku ternyata sudah menunggu di ruang makan yang berada di lantai 1. Dia tanya mana sepeda motorku? Aku jawab diparkir di halaman gereja. Dia bertanya mengapa tidak dimasukkan garasi saja biar tidak kepanasan. Aku jawab motorku sudah terbiasa berjemur jadi tidak ada masalah. Dia mengajakku naik ke lantai 2, ke ruang rekreasi. Kami pun membicarakan beberapa masalah yang terkait dengan situasi masyarakat saat itu.

Satu jam lebih kami tenggelam dalam diskusi. Akhirnya aku pulang. Temanku mengatakan mengantar, aku jawab tidak apa. Aku tahu jalannya ke halaman gereja. 

Saat aku sudah duduk di atas jok sepeda motor dan siap meninggalkan halaman gereja, satpam itu datang lagi. Dengan kata-kata penuh tekanan dia menegur agar lain kali kalau mau bertemu romo harus lapor dia dulu. Biar dia yang memanggilkan. Tidak langsung telpon dan masuk begitu saja. 

Melihat wajahnya dan caranya bicara aku hanya tersenyum saja. Akhirnya setelah puas meluapkan kemarahannya dia pun pergi begitu saja. Sekali lagi aku hanya tersenyum. 

Aku sudah beberapa kali mengalami hal semacam ini. Bertemu dengan orang-orang yang seolah penguasa. Merasa diri penguasa yang berhak menentukan siapa saja yang boleh masuk dan bertemu pemilik rumah. Merasa bahwa dialah penjaga yang sah, maka semua orang harus melewatinya baru dapat masuk.

 Merasa paling tahu keinginan pemilik rumah. Merasa paling tahu apa yang boleh dan tidak boleh kalau mau memasuki rumah itu. Padahal belum tentu pemilik rumah akan seketat dan sekeras itu. Dalam kehidupan beragama pun ada banyak yang menjadi seperti pak satpam itu. (*)

Sabtu, 10 Desember 2022

Brasil memang layak angkat koper

Brasil ternyata tidak sebagus yang diberitakan di media massa. Permainan Neymar dkk saat melawan Kroasia di 8 besar Piala Dunia 2022 sangat membosankan.

Kroasia juga jelek. Kedua tim sama-sama kurang menarik. Sampai 90 menit skor sama kuat 0-0.

 Betapa tidak enaknya nonton bola yang tidak ada golnya. Boleh seri asalkan ada golnya. Entah 2-2, 3-3, 5-5...

Makin banyak gol makin bagus permainan. Ayas punya prinsip seperti itu. Sepak bola harus ada golnya. Lebih bagus lagi kalau 30 menit sudah ada gol. Ayas sering mencak-mencak sendiri menonton pertandingan yang tak ada golnya.

Ayas sebetulnya sudah malas nonton Piala Dunia. Sebab Jerman sudah tersisih. Belum lagi pertandingan selalu diadakan sampai dini hari. Tapi Ayas dituntut bisa menceritakan sedikit suasana Piala Dunia. Termasuk aksi para bintangnya.

Perpanjangan waktu Neymar bikin gol. Tapi dibalas Kroasia. Skor 1-1 tidak berubah. Tapi pertandingan tetap kurang menarik.

Ayas kurang suka adu penalti sejak dulu karena mirip judi. Sepak bola ya harus ada gol dalam masa 90 menit itu. Dan, kalau bisa skornya besar macam futsal. 6-3, 7-4, 5-3 dst. Ayas jadi mengerti mengapa orang Amerika tidak suka sepak bola lantaran tidak banyak gol selama 90 menit.

Syukurlah, Brasil tersingkir lewat adu penalti. Siapa suruh tidak bikin 3 atau 4 gol dalam masa 2x45 menit?

Kroasia masuk 4 besar alias semifinal. Sudah pasti membosankan. Tapi Modric dkk bisa saja dinaungi dewa hoki. Main bertahan total, sesekali serangan balik, kemudian adu penalti dan menang.

Ayas sudah lama tidak melekan untuk nonton bola. Tepatnya sebelum covid. Tapi gara-gara Piala Dunia ya terpaksa nonton lagi. Siapa tahu bagus, main terbuka, attacking football.. dan banyak gol. Ternyata ya boring football macam Spanyol, Brasil, dan Jerman.