Senin, 12 Desember 2022

Tata Perayaan Ekaristi (TPE) Baru Bikin Bingung

Selama pandemi covid-19 liturgi daring jadi kebutuhan. Misa langsung di gereja tak boleh karena protokol kesehatan dsb. Apa boleh buat, kita orang harus ikut misa streaming dari rumah, warkop, hutan, pantai, di mana saja.

Teknologi digital membuat segalanya jadi mungkin. Ayas malah lebih senang ikut English Mass dari Kanada atau Amerika karena lebih padat dan singkat. Ekaristi cuma 30 menit saja. Di Indonesia, meski tidak sepanjang misa normal, misa streaming masih tetap lama.

Gara-gara terlalu sering misa online selama pandemi, Ayas jadi pangling saat misa offline di gereja. Ternyata selama masa pandemi ada sedikit perubahan Tata Perayaan Ekaristi (TPE). Perubahan sedikit redaksional kalimat di doa syukur agung dan beberapa lagi.

Perubahannya tidak terlalu besar. Cuma penambahan beberapa kata serta penyuntingan kalimat. Tapi tetap saja membuat umat Katolik kehilangan hafalan lama.

Doa-doa lama yang sudah hafal di luar kepala kini berubah. Padahal misa bahasa Inggris, bahasa Latin, dsb masih sama seperti dulu. Bahasa Indonesia memang paling tidak stabil. Bahasa Latin yang paling stabil.

Dari dulu doa tanda salib dalam bahasa Latin tidak berubah: In nomine Patris...

Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia sering berubah. Waktu Ayas kecil di desa selalu berdoa "Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus". Kemudian diganti jadi "Demi nama Bapa.."

Versi sekarang "Dalam nama Bapa..."

Yang paling terasa, bagiku, adalah lagu-lagu tanggapan doa syukur agung. Lagu-lagu lama di Puji Syukur dan Madah Bakti tak lagi dipakai. Ada lagu-lagu baru yang harus dipelajari, dihafal, dan dibiasakan.

Maka saya pun hanya diam saja selama misa berlangsung. Takut salah. Padahal biasanya saya bernyanyi dengan agak keras macam pelatih paduan suara. 

Apa boleh buat. Semuanya memang berubah. Disesuaikan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Ayas mampir di toko buku paroki dan membeli buku Tata Perayaan Ekaristi baru. 

Ayas Dukung Jerman Barat, Ebes Dukung Argentina

Minggu lalu Bapa Niko Hurek berulang tahun ke-82. Di surga. Tanggal lahirnya tidak jelas seperti orang-orang kampung tempo doeloe. Tuan Pater asal Belanda lalu tetapkan tanggal 6 Desember. Pesta Santo Nikolaus.

Entah mengapa Tuan Pater memilih tanggal yang sama dengan Pesta Sinterklaas. Mungkin ia ingin Bapa Niko jadi orang yang suka berbagi, peduli anak-anak, menyenangkan macam Sinterklaas.

Bulan Desember 2022 ini ada pesta bola di Qatar. Kali pertama Piala Dunia diadakan di kawasan Arab yang panas. Maka agendanya pun digeser. Bukan lagi pada musim panas tapi Desember. Agar pemain-pemain asal Eropa dan utara katulistiwa tidak kepanasan.

Ayas jadi ingat Ebes di kampung pelosok Pulau Lembata, NTT, tempo doeloe. Belum ada jaringan listrik. Tak ada televisi. Informasi hanya dari radio dan koran dua  mingguan Dian. Baru tahun 1990-an Dian jadi SKM: surat kabar mingguan. 

 Ebes pelanggan sekaligus distributor koran Dan milik kongregasi SVD yang didirikan dan dipimpin Pater Alex Beding SVD asal Lamalera, Lembata, itu. Saat itu di NTT hanya ada dua koran, yakni Dian dan Kupang Post. 

Ebes juga melanggan majalah mingguan Hidup. Isinya tentang gereja, liturgi, aneka informasi tentang Katolik di Indonesia dan luar negeri. Ada juga halaman anak, notasi lagu baru ciptaan Pater Soetanta SJ. Pastor inilah komponis dan arranger sebagian besar lagu di Puji Syukur.

Meski tidak ada TV, Bapa Niko sangat gandrung sepak bola. Tak pernah melewatkan siaran pandangan mata di radio. Mulai turnamen Piala Eltari antarkabupaten di NTT, timnas Indonesia, hingga Piala Dunia. Modalnya cuma dengar radio merek Conion. Tajam sekali tangkapan radio pakai gelombang SW itu.

Ebes mendengarkan radio seakan-akan melihat televisi. Ia bisa membayangkan gerakan pemain-pemain hanya berdasar laporan reporter-reporter radio saat itu macam Ripto Savidi. Dan, harus diakui, deskripsi siaran pandangan mata pada era 80-an sangat hidup. Pendengar radio benar-benar dibawa ke stadion.

Ayas pernah menemani Ebes menonton.. eh, mendengarkan siaran pandangan mata final Piala Dunia 86 di Meksiko. Argentina vs Jerman Barat. Ayas yang masih remaja terbangun karena Ebes ini terbawa emosi atau baper sekali. Ebes pendukung berat Argentina yang diperkuat Diego Maradona.

Ebes hafal nama-nama pemain Argentina macam Brown, Valdano, Ruggeri, dan Maradona tentu saja hanya berdasar ingatan dari siaran RRI itu. Ayas yang belum paham sepak bola mendukung Jerman Barat. Itu karena ada foto Rummenige di koran Dian yang merepro foto di koran Kompas.

SKM Dian terbitan Ende, Flores, dulu memang sering merepro foto-foto Kompas. Apalagi saat itu ada kerabat Pater Alex Beding SVD yang jadi redaktur dan orang penting di Kompas. Bung Marcel ini eks frater SVD juga asal Lembata.

Nah, pertandingan berlangsung sangat seru. Ayas yang awalnya kurang semangat ikut-ikutan panas ketika Jerman Barat melakukan serangan. Siaran radio memang ada virusnya meski hanya suara alias audio.

"Goooool!" Ayas berteriak ketika Rummenige cetak gol. 

Kelihatannya Jerman Barat bakal memang. Tapi Ebes sangat yakin Argentina yang bakal juara karena ada Maradona. Dan.. benar Argentina yang jadi juara saat itu. Maradona jadi mahabintang!

Sejak saat itulah Ayas jadi pendukung Jerman Barat. Belakangan Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung jadi satu. Ayas tetap dukung Jerman meski tak pernah melihat permainan Rummenige, Brehme, Olaf Thon, Klinsmann, Matthaeus, Moller, dkk di televisi.

Ayas baru benar-benar nonton sepak bola di televisi pada Piala Dunia 1990. Nonton bareng hampir tiap malam di halaman Radio Suara Akbar di Jember. Siaran dari RTM Malaysia pakai parabola. Saat itu TVRI tidak menyiarkan semua pertandingan World Cup itu.

Ayas ternyata tidak salah. Timnas Jerman yang dilatih Kaisar Beckenbauer saat itu memang luar biasaaa. Kualitas permainannya jauh lebih bagus ketimbang yang saya bayangkan di radio di pelosok Lembata dulu. Dominasi total, passing kaki ke kaki, mengalahkan lawan dengan mudah.

Singkat cerita, Jerman akhirnya juara. Itulah timnas terbaik yang pernah Ayas lihat di televisi. Sampai sekarang pun masih terekam di memoriku gaya permainan der Panzer yang mengalir, flowing, atraktif. Stamina pemain Jerman pun sangat kuat laksana panzer.

Sayang, di Piala Dunia 2022 ini Jerman lambat panas. Kalah di laga pertama oleh Jepang. Permainan yang flowing dan attacking ala Kaisar masih terlihat tapi sudah merosot tajam. Jadi, wajarlah kalau Jerman tidak lolos ke babak 16 besar.

Dengan gugurnya Jerman, maka Ayas tak punya jago di Piala Dunia 2022. Siapa pun yang jadi juara bukan masalah bagiku. Namun, Bapa Niko tentu akan sangat senang kalau tahun ini Argentina yang juara! 

Parah! Satpam gereja marahi dan usir pastor terkenal

HANYA CERITA AJA

Oleh Romo Yohanes Gani, CM

Apa yang akan kuceritakan bukan untuk meremehkan suatu profesi atau pekerjaan sebab semua pekerjaan itu baik asal tidak merugikan orang lain. Ceritanya suatu hari aku membuat janji dengan seorang romo di suatu paroki. Dia meminta agar aku datang ke tempatnya. Kami janjian sekitar pukul 2 siang. 

Pada pukul 2 siang lebih sedikit aku baru sampai di pastorannya. Sampai di halaman gereja aku telpon dia dan mengatakan aku sudah sampai di halaman gereja. Dia menjawab agar aku masuk saja, sebab dia ada di lantai 2. Pastoran terdiri dari 2 lantai. Aku tanya lagi apakah motorku boleh dimasukan dalam garasi atau tidak? Dia menjawab masukkan saja. Garasinya cukup luas dan hanya ada satu mobil. 

Saat aku sedang telpon, seorang satpam mendatangiku. Dia berdiri di dekatku dengan wajah garang. Dia tanya aku mau apa? 

Aku mengatakan mau bertemu dengan romo X. Bapak itu menjawab tidak bisa, sebab jam segini romo sedang istirahat. Aku jawab bahwa baru saja telpon dan disuruh masuk. Bapak itu pergi meninggalkan tempatnya. Kupikir masalah selesai.

 Maka aku menuntun motor ke garasi. Ternyata bapak itu bergegas mendatangiku lagi dan menyuruhku agar mengeluarkan motor dari garasi, sebab itu khusus untuk mobilnya romo. Kupikir dari pada ribut yang tidak ada gunanya, maka aku kembali menuntun motor ke halaman gereja. 

Temanku ternyata sudah menunggu di ruang makan yang berada di lantai 1. Dia tanya mana sepeda motorku? Aku jawab diparkir di halaman gereja. Dia bertanya mengapa tidak dimasukkan garasi saja biar tidak kepanasan. Aku jawab motorku sudah terbiasa berjemur jadi tidak ada masalah. Dia mengajakku naik ke lantai 2, ke ruang rekreasi. Kami pun membicarakan beberapa masalah yang terkait dengan situasi masyarakat saat itu.

Satu jam lebih kami tenggelam dalam diskusi. Akhirnya aku pulang. Temanku mengatakan mengantar, aku jawab tidak apa. Aku tahu jalannya ke halaman gereja. 

Saat aku sudah duduk di atas jok sepeda motor dan siap meninggalkan halaman gereja, satpam itu datang lagi. Dengan kata-kata penuh tekanan dia menegur agar lain kali kalau mau bertemu romo harus lapor dia dulu. Biar dia yang memanggilkan. Tidak langsung telpon dan masuk begitu saja. 

Melihat wajahnya dan caranya bicara aku hanya tersenyum saja. Akhirnya setelah puas meluapkan kemarahannya dia pun pergi begitu saja. Sekali lagi aku hanya tersenyum. 

Aku sudah beberapa kali mengalami hal semacam ini. Bertemu dengan orang-orang yang seolah penguasa. Merasa diri penguasa yang berhak menentukan siapa saja yang boleh masuk dan bertemu pemilik rumah. Merasa bahwa dialah penjaga yang sah, maka semua orang harus melewatinya baru dapat masuk.

 Merasa paling tahu keinginan pemilik rumah. Merasa paling tahu apa yang boleh dan tidak boleh kalau mau memasuki rumah itu. Padahal belum tentu pemilik rumah akan seketat dan sekeras itu. Dalam kehidupan beragama pun ada banyak yang menjadi seperti pak satpam itu. (*)

Sabtu, 10 Desember 2022

Brasil memang layak angkat koper

Brasil ternyata tidak sebagus yang diberitakan di media massa. Permainan Neymar dkk saat melawan Kroasia di 8 besar Piala Dunia 2022 sangat membosankan.

Kroasia juga jelek. Kedua tim sama-sama kurang menarik. Sampai 90 menit skor sama kuat 0-0.

 Betapa tidak enaknya nonton bola yang tidak ada golnya. Boleh seri asalkan ada golnya. Entah 2-2, 3-3, 5-5...

Makin banyak gol makin bagus permainan. Ayas punya prinsip seperti itu. Sepak bola harus ada golnya. Lebih bagus lagi kalau 30 menit sudah ada gol. Ayas sering mencak-mencak sendiri menonton pertandingan yang tak ada golnya.

Ayas sebetulnya sudah malas nonton Piala Dunia. Sebab Jerman sudah tersisih. Belum lagi pertandingan selalu diadakan sampai dini hari. Tapi Ayas dituntut bisa menceritakan sedikit suasana Piala Dunia. Termasuk aksi para bintangnya.

Perpanjangan waktu Neymar bikin gol. Tapi dibalas Kroasia. Skor 1-1 tidak berubah. Tapi pertandingan tetap kurang menarik.

Ayas kurang suka adu penalti sejak dulu karena mirip judi. Sepak bola ya harus ada gol dalam masa 90 menit itu. Dan, kalau bisa skornya besar macam futsal. 6-3, 7-4, 5-3 dst. Ayas jadi mengerti mengapa orang Amerika tidak suka sepak bola lantaran tidak banyak gol selama 90 menit.

Syukurlah, Brasil tersingkir lewat adu penalti. Siapa suruh tidak bikin 3 atau 4 gol dalam masa 2x45 menit?

Kroasia masuk 4 besar alias semifinal. Sudah pasti membosankan. Tapi Modric dkk bisa saja dinaungi dewa hoki. Main bertahan total, sesekali serangan balik, kemudian adu penalti dan menang.

Ayas sudah lama tidak melekan untuk nonton bola. Tepatnya sebelum covid. Tapi gara-gara Piala Dunia ya terpaksa nonton lagi. Siapa tahu bagus, main terbuka, attacking football.. dan banyak gol. Ternyata ya boring football macam Spanyol, Brasil, dan Jerman. 

Jumat, 09 Desember 2022

Sampean satpam di mana?

"Sampean satpam di mana?"

Begitu pertanyaan seorang wanita setengah tua, pembantu di kawasan Rungkut, Surabaya. Ayas yang bukan satpam kaget sekali.

 Ayas kok disangka satpam? Bisa jadi Ayas punya potongan sekuriti. Punya badan kekar, kuat, macam satpam beneran.

 "Yah.. kerja di daerah Surabaya Utara," Ayas jawab sekenanya lalu ngalih. Agar tidak dikejar lagi pertanyaan susulan.

Pembantu yang rada kentir itu sudah lama minggat. Dibawa kabur seorang duda penjual jamu di awal covid. Ayas lega karena tak lagi ditanya tentang dunia persatpaman di Surabaya. 

Jumat pagi ini Ayas nggowes di kawasan Gunung Anyar. Mampir ngopi di warung kecil. Sekalian beli nasi pecel. Pelayannya wanita di bawah 30. Kecantikan di atas rata-rata. Nilainya sekitar 85.

Basa-basi sejenak tentang Piala Dunia, ekonomi yang ruwet, hingga kuli bangunan. "Sampean gak kerja? Kok masih nggowes jam begini?" tanya wanita satu anak itu.

"Aku biasa masuk sore. Kerja sampai tengah malam?" Ayas jawab ringkas saja.

"Sampean jaga di mana?" kejar penjual pecel itu.

Waduh.. rupanya Ayas dikira satpam yang jaga kantor. Ayas jadi ingat pembantu rada stres dulu di Rungkut. Pertanyaannya mirip atau sama persis. Sampean satpam di mana?

Apa boleh buat. Itulah persepsi. Sudah tiga orang yang bertanya seperti itu. Satu lagi ibu warung di dekat Juanda. Dia tidak percaya ketika Ayas bilang kerja dalam bidang komunikasi, berteman komputer setiap hari, dan blablabla.

"Kerja satpam itu juga halal," kata wanita asal Lamongan.

Tidak mudah memang meyakinkan 3 wanita ini bahwa Ayas bukan satpam. Sebab persepsi mereka sudah sangat kuat. Mereka juga tidak terbiasa dengan pertanyaan terbuka, open question, khas wartawan. Mereka lebih suka closed question. Bertanya untuk justifikasi dugaan mereka.

Pertanyaan tertutup memang bisa berbahaya. Ya, kalau orang yang ditanya itu benar satpam. Seharusnya pertanyaan terbuka yang dikedepankan. "Sampean kerja di mana? Sampean kerja apa? Sampean masuk kerja jam berapa?"

Ayas pun kehilangan selera makan pecel di warung pecel itu. Ayas alihkan perhatian dengan menengok video yang dibagi di grup Flobamora NTT. Anies Baswedan bicara panjang lebar, ngalor ngidul, saat menjawab pertanyaan Karni Ilyas. Padahal yang ditanya itu tentang sumur resapan untuk mencegah banjir di Jakarta.


Hidup satpam!
Haleluya!!! 

Kamis, 01 Desember 2022

Bayar Misa, Mengenang Dua Martir di Aceh Tempo Doeloe

Kamis pagi ini aku nggowes ke Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. Misa harian dimulai pukul 06.00. Biasanya dulu, sebelum covid, 05.30. Kurang pagi menurutku. Tapi pihak paroki tentu punya pertimbangan sendiri.

Go pate misa!
Aku bayar misa.

Bayar misa karena aku tidak ikut misa hari Minggu Adventus 1. Misa online pun tidak ikut. Padahal tidak sampai 40 menit. Padahal nonton sepak bola Piala Dunia dua jam masih disempatkan sampai dini hari.

Karena itu, orang di kampungku dulu, generasi bapa mamaku, biasa bilang pate misa. Membayar misa dengan ikut misa harian, sembahyang rosario, atau ibadat devosi ke Gua Maria, bakti sosial dsb.

Misa pagi ini dipimpin Pater Yosef Jaga Dawan SVD. Pastor asal Larantuka, Flores Timur. Ia didampingi seorang diakon asal Timor. Pater pakai kasula warna merah. Pasti peringatan santo/santa atau martir.

Pater Yosef Dawan memberi pengantar tentang peringatan Beato Dionisius dan Redemptus. Keduanya jadi martir di wilayah Kerajaan Aceh pada tahun 1600-an.

Pater Dionisius dan Bruder Redemptus dibunuh di Aceh atas titah Raja Sultan Iskandar Thani. Majalah Hidup menulis:

"Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk menyebarkan agama Katolik diwilayah Aceh. Karena itu, semua anggota misi ini ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa agar menyangkal imannya.

 Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan imannya untuk membeli kebebasan mereka."

Aku sudah sering dengar nama Dionisius dan Redemptus. Tapi cerita tentang kemartiran kedua misionaris itu di tanah Aceh jarang terdengar. Pater Yosef yang menyegarkan kembali kisah martiria yang luar biasa itu.

Keduanya tidak gentar mewartakan sabda Allah hingga ke ujung dunia. Tidak takut mati demi Sang Kristus.

Renungan singkat yang disampaikan diakon asal Timor itu pun kembali menyinggung soal Beato Dionisius dan Redemptus. Ia kaitkan dengan bacaan Injil tentang dua macam dasar.

Matius 7 : 24
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu."

Misa harian di Rungkut ini tidak lama. Hanya 40 menit saja. Meski singkat, saya bisa salaman dengan Pater Yosef Larantuka dan Suster Imelda dari Kefamenanu, NTT. Bisa basa-basi beberapa kalimat khas Flobamora alias NTT. 

Rabu, 30 November 2022

Surabaya ternyata kota nomor 10 di Indonesia

Surabaya pernah jadi kota terbesar di Indonesia. Lebih tepat di Hindia Belanda. Waktu itu lebih tepat Soerabaia atawa kadang ditulis Soerabaja. Belum ada Surabaya.

Batavia malah kota terbesar kedua. Belum ada Djakarta, apalagi Jakarta. Padahal Batavia itu pusat pemerintahan Hindia Belanda. Soerabaia kota dagang.

Itu dulu. Sebelum ada Republik Indonesia. Sebelum ada pertempuran heroik Arek-Arek Surabaya itu. Sebelum para meneer dan mevrouw pemakan roti dan keju itu dipulangkan ke negaranya di Holland sana.

Pagi ini ada anggota grup tempo doeloe yang mengangkat lagi nostalgia ini. Bahwasanya doeloe Surabaya kota terbesar nomor 1 di Indonesia (d/h Hindia Belanda). Jumlah mobil lebih banyak di Surabaya. Omzet dagang pun lebih banyak di Soerabaia.

"Sekarang Surabaya nomor berapa?" Ayas bertanya iseng saja.

Bung TS tidak jawab. Tapi ada anggota lain yang jawab Jakarta. Sudah pasti Jakarta lah, kata yang lain lagi. Ayas respons dengan hahahaha...

Ayas ingat betul tulisan seorang pewarta senior. Sebelum ada media sosial, ponsel pintar. HP sudah ada tapi hanya bisa menelepon dan kirim SMS. Juragan media itu bilang Surabaya bukan kota nomor 2 tapi nomor 6.

Nomor 2 kota apa? "Nomor 1 sampai 5 Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta," kata sang juragan koran.

Begitu terpusatnya ekonomi, bisnis, peredaran uang, pemerintahan dsb dsb di Jakarta. Kota-kota lain di luar Jakarta hanya kebagian remah-remah. Soerabaia yang doeloe unggul atas Batavia pun kalah jauh dari Jakarta yang nomor 5 (Jakarta Timur). 

Ayas sering kutip ungkapan Surabaya kota nomor 6 itu. Tapi dua pekan lalu tokoh kita rupanya punya versi baru tentang Jakarta vs Surabaya. Surabaya pada tahun 2022 ini ternyata cuma kota nomor 10 di Indonesia.

Berikut kutipan tulisan Siansen itu:

"Hermawan sudah identik dengan marketing. Ia sudah jadi ikan besar marketing di Surabaya. Tapi Surabaya itu ibarat kolam kecil. Yang disebut kolam besar adalah Jakarta. 

Surabaya memang kota terbesar kedua setelah Jakarta, tapi kedua yang jauh. Kota terbesar kedua yang sebenarnya masih Jakarta. Nomor tiganya masih Jakarta. Pun nomor 8-nya. 

Surabaya itu nomor 10. Nomor 9-nya Bekasi atau Tangerang. Secara ekonomi.

Maka Hermawan itu ibarat ikan besar di kolam kecil. Untuk bisa lebih besar ia harus mencari kolam besar. Ia pun pindah ke Jakarta."