Kamis, 13 Oktober 2022

Bekas Bankgebouw Nuts Spaarbank di Pojok Jalan Karet

Bangunan tua di pojok Jalan Karet Nomor 85 itu tampak kusam. Begitu juga Nomor 83. Bangunan kolonial itu dekat Sungai Kalimas, tepat di stren kali sebelah barat. Nyaris dempet Jembatan Merah.

Tempo doeloe zaman Hindia Belanda gedung apa?

Saya sering bertanya ke orang-orang lawas yang kerja di Kembang Jepun. Termasuk beberapa wartawan Jawa Pos era 80-an yang ngantor di Kembang Jepun 167-169. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Tapi tak ada yang tahu persis.

"Jelas bangunan penting lah," kata Cak Sur, karyawan Jawa Pos sejak 1982 sampai pensiun di musim pandemi covid.

 "Kita gak punya catatan atau dokumen. Anda cari sendirilah." 

Umi Bangkalan yang kerja di pojokan Jalan Karet pun tak oneng (tahu). Padahal umi ini kerja di kawasan Karet dan Kembang Jepun sejak awal 80-an hingga berpulang di musim covid. Anaknya, Taufik, lebih tak oneng lagi.

Saya beberapa kali mampir dan ngobrol dengan karyawan di Jalan Karet 85. Tak oneng juga. Mas Jowo ini hanya tahu bangunan itu punya sejarah penting. Kantor dagang atau notaris atau advokat tempo doeloe.

Sudah lama gedung di pojok Jalan Karet 85 ditempati Daiki & Co, kantor ekspedisi. Daiki pernah jaya tempo doeloe tahun 1950-an dengan laopan Liem Joe Tjie. Luar biasa dulu pengiriman barang-barang atau dokumen ke kota-kota di Nusantara.

Sekarang Daiki hanya melayani ekspedisi jarak pendek macam Surabaya-Malang. Sudah turun kelas jadi skala UKM dari perusahaan besar. Karena itu, gedungnya kurang terawat. Banyak debu di dalam kantor itu.

Apa ada rencana dijual? 

"Waduh, bosnya gak mau karena semacam warisan sejak dulu kala," kata Mas Jowo. Meskipun bisnis ekspedisi lesu betul di era pandemi, Daiki tetap mencoba bertahan di gedung tua itu.

Sebelum menempati Karet 85, kantor Daiki & Co menempati gedung di Jalan Petjinan Kulon 102. Hanya beberapa langkah dari kantor sekarang. Gedung lama itu kemudian diambil alih perusahaan ekspedisi dan perkapalan terkenal Salam Pacific Indonesia Lines alias SPIL.

"Malah dulu Daiki ini satu kantor dengan SPIL," kata karyawan Daiki.

Bagaimana dengan gedung di sebelahnya, Karet 83? 

Sekarang jadi semacam sekretariat perkumpulan lansia suku Hakka. Sesekali mereka adakan pertemuan atau kongkow-kongkow di situ.

Tak heran, gedung tua di Karet 83 Surabaya itu seperti rumah tinggal biasa. Ada jemuran terlihat di lantai 2. Penghuninya baba Tionghoa dan istrinya yang sudah tua.

Sayang, baba ini juga tidak banyak tahu riwayat gedung itu pada zaman Belanda. "Yang penting, kita orang tetep sehat," kata baba itu suatu ketika.

Syukurlah, Bintoro Hoepoedio sempat bagi informasi di grup bangunan tempo doeloe. Ia tampilkan foto lama dengan keterangan: 

"Dulu, Bankgebouw Nuts Spaarbank Soerabaja, ca 1925.  Kini, bangunan di Jl Karet - Jl Kembang Jepun, Surabaya, bagian kanan tinggal separuh, jadi jalan inspeksi."

Ouw.. ternyata itu bangunan jadi kantor bank di era Hindia Belanda.

Tahun 1950-an bangunan di Petjinan Kulon 83 (sekarang Jalan Karet 83) ditulis di buku telepon sebagai kantor Advocaat & Procurreur a.n. Tjoa Soe Tjen.

Senin, 10 Oktober 2022

Teman Punya Anak Mati di Stadion Kanjuruhan

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, menelan korban tewas 130 orang. Itu versi polisi dan pemerintah. Versi lain di media sosial bisa lebih banyak dari angka itu.

Nasi sudah jadi bubur. Yang mati tidak akan hidup lagi. Tim investigasi sedang bekerja kumpulkan informasi dan data dari banyak pihak.

Yang bikin saya tak habis pikir: pemerintah daerah, kepolisian, tentara dsb sepertinya lupa bahwa pandemi covid masih ada. Stadion Kanjuruhan dibuka lebar-lebar seakan tak ada covid. Bahkan lebih parah ketimbang sebelum ada penyakit aneh yang disebut covid itu.

Jumlah penonton di dalam Stadion Kanjuruhan lebih dari 100 persen. Belum lagi ribuan orang di luar stadion saat Arema vs Persebaya. Orang Ngalam, khususnya forkopimda, lupa dengan covid.

Di masa pandemi, saat ini, mestinya penonton bola dibatasi. Paling banyak 70 persenlah. Tidak boleh kapasitas penuh. Apalagi sampai 150 persen kayak di Kepanjen itu.

Sambil mikir covid dan pertandingan bola, tiba-tiba datang pesan WA dari Gabriel Hokon. Teman lama satu kelas di SMAN 1 Larantuka itu bilang ada orang Flores Timur jadi korban di Kanjuruhan. Oh, Tuhan! 

"Korban meninggal di antaranya anak teman kita Daniel Doweng Kumanireng dan pacarnya. Sudah dimakamkan," tulis Gabriel yang tinggal di kawasan Kenjeran.

Daniel Doweng.. sudah 30-an tahun tidak ketemu. Saya cuma satu tahun sekelas di A1-1 - jurusan fisika di SMAN satu-satunya di Kabupaten Flores Timur itu. Setelah itu saya merantau ke Jawa. Minggat ke Malang dan seterusnya.

Daniel menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Begitu juga Gabriel. Tapi kami tak pernah ketemu muka. Bahkan, saya tidak pernah tahu bahwa Daniel sudah lama jadi dosen di Malang. Dan.. gila bola, khususnya Arema FC - seperti saya dulu gila Arema Galatama di Stadion Gajayana.

Hobi nonton sepak bola itu kemudian menurun ke Philip, anaknya. Pemuda itu (hampir) selalu nonton Arema bertanding di Kanjuruhan. Bersama pacarnya yang juga Aremanita. 

Begitulah kalau orang terlalu fanatik. Fanatik bola, fanatik capres, fanatik ormas, fanatik agama dsb! 

"Kalau fanatik di kampung paling hanya baku pelungku terus bubar. 
Di sini gas airmata, diinjak sampe mati," kata kawan Gabriel yang asli Tanjung Bunga, dekat Larantuka, itu.

Nasi sudah jadi bubur.
Philip sudah pulang bersama 130 suporter Arema lainnya.

Semoga semuanya bahagia di surga.

Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik mereformasi tata kelola sepak bola di Indonesia. Jangan ada lagi nyawa-nyawa melayang hanya karena sepak bola. 

212 Tahun Gereja Kepanjen, Paroki Kelsapa Surabaya

Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria  (Kelsapa), Surabaya, baru saja merayakan hari jadi ke-212. Dua abad lebih. Gereja di Jalan Kepanjen 9 ini disebut-sebut sebagai gereja katolik tertua di Surabaya. Mungkin tertua di Jawa Timur juga.

Tidak ada perayaan besar 212 tahun Paroki Kelsapa. Bukan hanya karena masih ada sisa-sisa pandemi covid, tapi memang itu sudah jadi kebiasaan umat Katolik di Indonesia. Pesta atau perayaan besar hanya digelar orang Katolik  lima tahun sekali alias Lustrum.

Pesta hari jadi paroki atau gereja hanya dirayakan pada ulang tahun kelipatan lima. Misalnya, ulang tahun ke-50, 55, 70, 75, 100, 200, 205, 210, 215, dst. 

"Terlalu capek, buang energi, buang duit, kalau dirayakan tiap tahun," kata seorang pater tua yang sudah tiada. 

Perayaan ekaristi atau misa HUT ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya dipimpin Romo Martinus Paryanto, CM. Saya ikut misa daring alias live streaming - habitus baru sejak awal pandemi covid. 

Saya lihat banyak jemaat mengenakan busana adat Nusantara. Orang-orang Flores, NTT, tak ketinggalan memakai busana tenun ikat khas Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor dsb.

Sejak dulu Gereja Kepanjen memang jadi jujukan perantau-perantau asal NTT yang katolik untuk misa mingguan. Maklum, dulu perhubungan hanya mengandalkan kapal-kapal kayu yang sandar di Kalimas. Kos-kosan atau kontrakan orang NTT (dulu) pun hampir semuanya di kawasan Surabaya Utara. 

Gerejanya ya cuma di Kepanjen ini. Belum ada Paroki Santo Mikael di Jalan Tanjung Sadari yang kini digembalakan imam-imam SDB alias Selesian itu. Juga belum ada paroki di Pogot, dekat Kedungcowek, dan Paroki Marinus Yohanes di Kenjeran Perum AL.

Maka, saya dulu pun pertama kali misa di Surabaya ya di Gereja Kepanjen yang legendaris itu. Orang-orang Flores dan Lembata dulu saya lihat sudah banyak sekali. Jadi dirigen, paduan suara, pastor, lektor, pengurus lingkungan, hingga juru parkir. 

Setiap kali lewat di kawasan Indrapura, kita orang biasanya mampir ke Jalan Kepanjen. Ngombe es teh, mangan mi, di depan gereja lalu masuk untuk sembahyang tasbeh alias doa rosario meski sering tidak genap 5 peristiwa. Apalagi di bulan Oktober yang disebut bulan rosario ini. 

Selamat hari jadi ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya.

Berkah Dalem.

Kamis, 06 Oktober 2022

Ikut senang teman sekelas jadi jenderal


Kanca lawas, teman sekelas di Mitreka Satata Malang, ternyata sudah bintang satu. Kepala Pusat Perbekalan dan Materiil TNI Angkatan Udara alias Kapusbekmatau Marsma TNI Nur Surachman. 

Ah, Ayas jadi sungkan dengan Nur. Biasanya panggil nama saja tanpa kata sandang Mas, Sam, Cak.. sekarang kudu sapa Pak Nur, Pak Komandan, Siap Ndan... 

Lama nian Ayas tidak bertemu muka dengan Nur dan kawan-kawan sekelas di Smansa, A1-3,  tempo doeloe. Ayas pun tak pernah ikut reuni, jalan sehat, anjangsana, halal bihalal dsb. Juga baru dimasukkan grup oleh Heru dan Edwin yang jadi admin.

Karena itu, Ayas tidak mengikuti perkembangan karir kanca-kanca lawas. Ayas cuma tahu yang dekat-dekat saja macam Ipong yang juragan kafe di Klojen dan Ijen. Begitu juga Edwin dan Jokpram di Jakarta.

Pekan lalu, Ayas iseng-iseng baca berita di laman TNI AU. Ada nama Nur Surachman, pangkat marsma. Nur dari Ngalam? Yang pendiam dan sopan itu? Jadi pati TNI?

Luar biasa!

 Saat di Smansa, Nur ini bukan tipe siswa yang punya bakat jadi tentara. Kurang suka main basket atau olahraga lain. Beda dengan Jokpri atau Yanuar yang main basket saban hari.

 Badannya pun tidak kekar dan berotot. Beda dengan Jokpram, Yanuar, Tanuki, yang atletis. Karena itu, Ayas tidak menyangka Nur menempuh jalur militer hingga jenjang yang tinggi.

Ayas ikut senang Nur sudah jadi jenderal bintang satu.  Selamat! 

Dirgahayu TNI.

Jumat, 30 September 2022

Terharu Menonton Final Piala Memorial Eltari 2022: Persebata Lembata vs Perse Ende

Turnamen Piala Eltari, kemudian ganti nama jadi Piala Memorial Eltari (ETMC) sudah digelar 31 kali. Dirintis Gubernur NTT El Tari pada 1968. Kejuaraan sepak bola antarkabupaten ini sangat heboh di NTT. Jauh melebihi Divisi Utama Perserikatan, Galatama, Liga 1, bahkan Piala AFF sekalipun.

Dulu pesertanya 12 perserikatan karena pada masa Orde Baru hanya ada 12 kabupaten di NTT. Setelah reformasi jadi 22 kabupaten. Hampir dua kali lipat.

Dulu, sebelum 1999, Pulau Lembata ikut Kabupaten Flores Timur. Sejak zaman Hindia Belanda pun Lembata jadi bagian dari Larantuka, kota utama di ujung timur Pulau Flores. Bahkan, sejak zaman Portugis pun Lomblen Island (nama lama Lembata) ikut Larantuka juga.

 Maka, saya pun tercatat di KTP dan dokumen lainnya lahir di Flores Timur - meski sebenarnya di Pulau Lembata. 

Betapa fanatiknya orang-orang Lembata dulu dengan Perseftim: Persatuan Sepak Bola Flores Timur. Setiap kali Perseftim main pasti kumpul mendengarkan siaran pandangan mata di radio. Seru banget! Apalagi Flores Timur dulu memang jagoan sepak bola.di NTT.

Singkat cerita, saya dan anak-anak kampung angkatan lama tidak pernah menonton pertandingan Piala Eltari. Tapi hafal nama-nama pemain top macam Cor Monteiro, Valens Fernandes, Isak, dsb. Om Cor dulu memang idolanya orang Flores Timur saking hebatnya di lapangan hijau.

Saya baru satu kali nonton Piala Eltari alias ETMC ya bulan ini. Ketika turnamen Liga 3 NTT itu diselenggarakan di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Berkat teknologi live streaming yang sudah menjangkau pelosok Nusantara. 

 Saya ikut terharu, bangga, terkejut.. ternyata Lembata bisa jadi tuan rumah kejuaraan sepak bola terbesar di Provinsi NTT. 

Bukan itu saja. Kualitas tim Persebata Lembata juga di atas rata-rata. Bukan karena tuan rumah, jago kandang, didukung ribuan suporter, tapi memang punya kualitas. Tak heran Lembata lolos ke partai final jumpa Perse Ende, tim kawakan dan unggulan. 

Kamis sore, 29 September 2022. Saya menyaksikan live streaming partai final Lembata vs Ende. Benar-benar haru rasanya. Anak-anak Lembata yang sering diejek di media sosial bisa melangkah sejauh ini. 

Skor 2-2 bertahan hingga 90 menit + tambahan waktu 2x15 menit.

Gol kedua Lembata dari umpan panjang, long ball, sangat menarik. Laskar Kelimutu tidak menyangka Lembata mampu menyamakan kedudukan jadi 2-2.

Apa boleh buat. Harus adu penalti. Kali ini nasib baik berpihak ke Ende. Perse Ende yang jadi juara ETMC 2022. Sekaligus menepis anggapan bahwa Piala Eltari ini cuma piala arisan untuk host. Siapa pun yang jadi tuan rumah akan juara. 

Anak-anak Lembata kalah terhormat. Ribuan penonton memberikan respek, penghargaan luar biasa, atas perjuangan tim Sembur Paus ini. Juga respek untuk pemain-pemain Ende yang jadi juara. Pendukung tuan rumah malah ikut mengelu-elukan Perse Ende sebagai sang juara.

Selamat untuk Perse Ende!
Selamat untuk Persebata Lembata!

Kamis, 29 September 2022

Ulama khusus Islam, Pastor khusus Katolik?

Saya baru tahu setelah baca kliping koran di laman Perpustakaan Nasional. Dahulu, tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bikin pernyataan menarik. Bahwa kata atau istilah ulama hanya digunakan untuk pemuka agama Islam saja. (Waspada, 23 Mei 1975)

Majelis Ulama DKI Jakarta menyampaikan bahwa setiap agama mempergunakan istilah yang lazim bagi agamanya, seperti untuk agama Kristen dapat menggunakan istilah "pendeta", untuk agama Katolik "pastor" dan untuk pemuka agama Buddha dapat memakai istilah "biksu".

Saya belum baca konteks pernyataan MUI Jakarta ini. Bisa jadi dulu ada orang atawa media yang menggunakan istilah ulama Kristen atau ulama Buddha. Dikira ulama itu istilah netral dan umum.

Dulu kata pastor pun hanya merujuk ke romo atau pater atau imam Katolik. Pendeta Yesaya tentu pemuka agama Kristen Protestan. 

Karena itu, dulu, orang NTT biasa tersenyum atau tertawa sendiri membaca tulisan Kepala Paroki Santo Yosef Kupang (misalnya) Pendeta Yakobus Laba SVD.  Pendeta kok pimpin paroki?

Pembedaan pastor/pater/romo dengan pendeta itu memang khas tempo doeloe. Ketika gereja-gereja Kristen Protestan masih kental peninggalan Hindia Belanda. Alias Protestan beneran.

Nah, setelah gerakan Pentakosta dan Karismatik makin marak, maka lahirlah gereja-gereja Haleluya. Yakni gereja-gereja evangelical atau karismatik bercorak Amerika. Perkembangannya luar biasa. Hampir semua ruko, hotel, restoran dsb disewa untuk "ibadah raya".

 Gereja-gereja ini tidak pakai istilah "kebaktian" karena terkesan banget protestannya. Mereka juga tidak suka disebut Protestan. "Kami Kristen, titik," kata teman lama mantan aktivis gereja aliran Haleluya.

Nah, pendeta-pendeta gereja yang entertaining ini tidak disebut pendeta, melainkan pastor. Lah, kok sama dengan pastor Katolik yang tidak menikah itu? 

Yah.. karena istilah American English untuk pemuka gereja-gereja Haleluya memang pastor, bukan reverend. Maka di baliho-baliho sering ada billboard ibadah raya yang menghadirkan pastor-pastor terkenal dari dalam dan luar negeri. Hanya pendeta-pendeta lawas yang masih pakai istilah pendeta seperti Pendeta Dr Stephen Tong dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII).

Pemuka agama Buddha juga tidak mesti pakai istilah biksu versi MUI tahun 1975. Di Surabaya sekarang sudah jarang yang disebut biksu. Lebih banyak yang pakai bhante atau romo atau rinpoche dsb. Dulu saya sering diundang meliput kegiatan rinpoche-rinpoche asal Tibet.

Muktamar dan Milad Partai Komunis Tiongkok

Catatan Yu Shigan selalu menarik. Sejak dulu. Pakai kalimat  pendek. Enak dibaca. Selalu ada humor. Ada kejutan. Masalah ruwet jadi sederhana. 

Kamis pagi ini, 29 September 2022, Tuan Yu menulis di blognya. Juga di koran yang bukan koran. Di Surabaya. Begini kutipannya:

"Kapan Tiongkok akan menghapus kewajiban karantina? Kelihatannya juga terkait dengan muktamar itu.

 Berarti November depan, setelah Muktamar Oktober, semua hal akan lebih longgar di Tiongkok. Termasuk karantina."

Yang menarik, bagiku, bukan kewajiban karantina di Tiongkok atau Taiwan. Kita orang sudah bosan bahas covid. Selama dua tahun lebih. Kata "muktamar" ini kejutan. Rada guyon tapi serius.

Partai komunis bikin muktamar? 

Selama ini media-media di Indonesia hanya pakai muktamar untuk ormas-ormas Islam. Seakan-akan kata "muktamar" hak eksklusif orang muslim. 

Tidak ada acara muktamar KWI atau PGI. Tidak ada muktamar ormas Buddha, Hindu, Khonghucu. Apalagi muktamar partai komunis.

Bukankah muktamar, kongres, musyawarah, pertemuan, sidang agung (gereja, biasanya).. artinya sama? Sinonim?

Memang. Tapi di Indonesia ini agak unik. Ada kata-kata tertentu yang tidak bisa dipertukarkan meskipun artinya sama atau mirip. Salah satunya ya muktamar ini.

Kata ulang tahun pun punya beberapa versi. HUT sangat umum. Ormas NU beserta onderbouw-nya selalu pakai Harlah: Hari Lahir. Jangan bilang Selamat HUT Ke-sekian NU, tapi Selamat Harlah...

Ormas Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam lain, termasuk PKS, pakai kata milad. Milad PKS, bukan HUT atau Hari Jadi PKS. 

Kelihatannya Yu Shigan mau menghapus sekat psikologis dan ideologis kata. Bahwa kata dari bahasa apa pun milik semua. Bukan milik satu agama, sekte, golongan, ormas, dsb.

Bisa jadi suatu saat Mr Yu berkunjung ke Tiananmen, Beijing, untuk menyaksikan perayaan Milad Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok.