Suasana di kawasan wisata Jolotundo, Trawas, mulai agak normal lagi. Namun belum seramai sebelum pandemi. Pengunjung asal Surabaya dan Sidoarjo masih mendominasi. Terlihat dari plat L dan W.
Ayas baru mampir lagi setelah cukup lama jaga prokes covid. Jaga jarak, kurang mobilitas, hindari kerumunan. Di Jolotundo ini agak sulit jaga jarak. Sebab warga setempat (sebagian besar) kurang percaya covid. Juga kurang percaya manfaat vaksinasi hingga dosis.
"Orang sehat kok disuntik?" kata Mbok Ponami kepada Ayas.
Sejak awal pandemi, puncak varian Delta, hingga sekarang wanita asli Balekambang, Jolotundo, itu juga tidak pakai masker. Juga tidak pernah menyediakan air untuk cuci tangan di warungnya. "Silakan cuci tangan di belakang. Ada kamar mandi," katanya santai.
Beberapa jam lalu saya jalan kaki ke kolam petirtaan Jolotundo. Ngos-ngosan karena tanjakan sangat tajam. Orang kota yang jarang jalan kaki pasti kesulitan. Kecuali anak-anak muda yang biasa mendaki gunung.
Ayas mampir sebentar ke reruntuhan warungnya Ningsih. Masih berantakan. Warung ini ditimpa pohon tumbang pada 14 November 2021. Tiga orang meninggal dunia. Salah satunya Ryan, anaknya Ningsih. Ayas kenal dekat Ningsih, Ryan, ibunya Ningsih hingga neneknya Ningsih.
Ayas berhenti dan kirim doa untuk para arwah korban pohon tumbang itu. Masih tak percaya kalau Ryan meninggal secara tragis di usia yang masih belia. Meninggalkan seorang anak balita.
Ayas lanjutkan mendaki hingga ke markas Pak Dalang. Ngobrol soal kesenian tradisional, pewayangan, dsb. Situasinya sulit, kata dalang Jawa Timuran itu.
Sebelum ada covid pun dalang-dalang sepi tanggapan. Setahun bisa main dua kali saja sudah bagus. Dua tahun pandemi membuat seni pertunjukan sekarat. Bukan hanya wayang kulit tapi juga kesenian yang lain.
Karena itu, Pak Dalang dari dulu buka warung di dekat pintu masuk Jolotundo. Asap dapurnya bisa ngepul terus berkat warung di kompleks wisata utama di Kabupaten Mojokerto. Seniman tradisional belum bisa hidup dari kesenian.