Sabtu, 04 Juni 2022

Covid Mereda, Wisata Jolotundo Mulai Menggeliat

 


Suasana di kawasan wisata Jolotundo, Trawas, mulai agak normal lagi. Namun belum seramai sebelum pandemi. Pengunjung asal Surabaya dan Sidoarjo masih mendominasi. Terlihat dari plat L dan W.

Ayas baru mampir lagi setelah cukup lama jaga prokes covid. Jaga jarak, kurang mobilitas, hindari kerumunan. Di Jolotundo ini agak sulit jaga jarak. Sebab warga setempat (sebagian besar) kurang percaya covid. Juga kurang percaya manfaat vaksinasi hingga dosis. 

"Orang sehat kok disuntik?" kata Mbok Ponami kepada Ayas. 

Sejak awal pandemi, puncak varian Delta, hingga sekarang wanita asli Balekambang, Jolotundo, itu juga tidak pakai masker. Juga tidak pernah menyediakan air untuk cuci tangan di warungnya. "Silakan cuci tangan di belakang. Ada kamar mandi," katanya santai.

Beberapa jam lalu saya jalan kaki ke kolam petirtaan Jolotundo. Ngos-ngosan karena tanjakan sangat tajam. Orang kota yang jarang jalan kaki pasti kesulitan. Kecuali anak-anak muda yang biasa mendaki gunung. 

Ayas mampir sebentar ke reruntuhan warungnya Ningsih. Masih berantakan. Warung ini ditimpa pohon tumbang pada 14 November 2021. Tiga orang meninggal dunia. Salah satunya Ryan, anaknya Ningsih. Ayas kenal dekat Ningsih, Ryan, ibunya Ningsih hingga neneknya Ningsih. 

Ayas berhenti dan kirim doa untuk para arwah korban pohon tumbang itu. Masih tak percaya kalau Ryan meninggal secara tragis di usia yang masih belia. Meninggalkan seorang anak balita. 

Ayas lanjutkan mendaki hingga ke markas Pak Dalang. Ngobrol soal kesenian tradisional, pewayangan, dsb. Situasinya sulit, kata dalang Jawa Timuran itu.

Sebelum ada covid pun dalang-dalang sepi tanggapan. Setahun bisa main dua kali saja sudah bagus. Dua tahun pandemi membuat seni pertunjukan sekarat. Bukan hanya wayang kulit tapi juga kesenian yang lain. 

Karena itu, Pak Dalang dari dulu buka warung di dekat pintu masuk Jolotundo. Asap dapurnya bisa ngepul terus berkat warung di kompleks wisata utama di Kabupaten Mojokerto. Seniman tradisional belum bisa hidup dari kesenian. 

4 komentar:

  1. " Orang sehat kok disuntik ? ".
    Kalimat ini seharusnya dipahat diseluruh pintu masuk fakultas kedokteran barat.
    Orang sehat paling sial dicukit dan dijiwit, biasanya cukup diborehi, diurut, dijamoni, dilulur, dipijat, dimandeni, dikeloni, disusoni. Mana ada orang sehat disuntik !
    Mama-saya dulu suka marah2, jika saya ke dokter cuma dikasih se carik kertas resep, tetapi tidak disuntik. Lu bayar berapa ?
    200 rupiah, Ma ! Lu disuntik ? Ndak, cuma dikasih resep !
    Lain kali kalau lu ke dokter itu, jangan tanya berapa dok, kalau disuntik kasih 200, kalau tidak disuntik kasih 100 saja.
    Mama bersedia membayar 2 ml. aqua seharga 100 rupiah, di tempatnya mbok Ponami, aqua gunung gratis, boleh pakai sesukanya.

    BalasHapus
  2. Itu juga kebiasaan di Lomblen Island tempo doeloe. Kalau sakit pigi ke puskesmas atawa BKIA wajib disuntik biar senang. Kalau cuma dikasih makan pil dianggao kurang mujarab. Makanya bidan2 dan mantri2 di deda dukllu doyan sekali suntik orang. Makin sakit rasanya makin disenengi biar lekas sembuh.

    BalasHapus
  3. Kawasan pegunungan Jolotundo ini memang punya 33 sumber air pegunungan berkualitas tinggi. Sering diambil orang2 kota. Termasuk pedagang2 air isi ulang.

    Orang Bali di Surabaya dan Sidoarjo senang ambil air jolotundo karena dianggap air suci peninggalan Airlangga, Udayana, dsb. Upacara Melasti jelang Nyepi pun selalu diadakan besar2an di petirtaan Jolotundo.

    Rahayu.. rahayu...

    BalasHapus
  4. Biaya ke dokter tempo doeloe, sekali konsultasi 200 rupiah, kala itu harga seliter bensin 4 rupiah, ergo, sekali pegang-pegang perut pak dokter dapat 50 liter bensin.
    Doeloe, waktu Soekarno, bensin murah, ataukah dokter mahal ?

    BalasHapus