Sekitar satu jam lalu ada mas-mas bertanya kepada saya di warung kopi kawasan Trawas, Mojokerto. "Sampean dari mana?"
"Dari Sidoarjo. Tidak jauh dari Bandara Juanda."
Saya tahu bukan jawaban itu yang ia minta. Sebab ia sudah yakin saya bukan wong Jowo. Bukan asli Surabaya atau Sidoarjo.
"Aslinya dari mana?"
"Jauh dari sini. Daerah Flores."
"Oh, Flores itu di Batak ya?"
"Batak di Pulau Sumatera. Pulau Flores di NTT."
"Ya iya.. Flores itu ya Batak. Logatnya hampir sama."
Flores kok di Batak? Jauh sekali. Tapi mas berumur di bawah 50 tahun itu tetap yakin bahwa Flores itu masih dekat-dekat dengan Batak. Padahal aslinya Flores itu di sebelah timur Pulau Sumbawa NTB.
Sudah sangat biasa saya mendengar pendapat macam ini di Jawa. Pulau-pulau kecil macam Flores, Sumba, Timor tidak dikenal sama sekali meski mungkin dulu diajarkan di ilmu bumi atawa geografi.
Flores, pulau besar di NTT, saja tidak dikenal. Apalagi pulau kecil-kecil macam Lembata, Adonara, Solor, Alor, Pantar, Sabu, Rote, Raijua dsb. Karena itu, saya selalu mengaku berasal dari Flores ketika ditanya orang Jawa di Pulau Jawa meski lebih tepat Lembata.
Orang Adonara atau Solor di Jawa Timur pun selalu ngaku dari Flores. Ada benarnya juga karena Pulau Adonara dan Pulau Solor ikut Kabupaten Flores Timur. Dulu, sebelum reformasi, Pulau Lembata pun masuk Kabupaten Flores Timur.
Obrolan selintas di warkop Trawas itu mirip benar dengan diskusi di grup NTT kemarin. Pater Fritz Meko SVD, asal Pulau Timor, bertugas di Surabaya, menulis pengalaman saat ngobrol dengan petani cendana di Timor. Lalu menyinggung soal peta buta dan buta peta.
Pater Fritz menulis:
<< Saya kagum. Ternyata ia cukup tahu sejarah. Ketika saya tanya tentang latar belakang pendidikannya, ia menjawab: "Saya hanya tamat SMP pada tahun 1968. Saat di SMP kami belajar dan hafal ilmu bumi (geografi) dan sejarah. Kami hafal kota-kota di seluruh Indonesia, kami hafal nama kerajaan-kerajaan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa, hafal nama raja-rajanya juga tahun pemerintahan mereka dan kami belajar peta buta.
Tapi supaya pak tahu, saat saya ke JAWA, saya kecewa sekali karena saya ditanya: "Bapak dari mana dan saya menjawab dari KUPANG, malah ditanya balik oh, Kupang yang di ENDE itu ya?
Ah…. saya cukup marah dan heran. Lah, sepertinya ia tidak belajar Ilmu bumi (geografi). Kok, kami di Timor dan Flores, begitu tahu banyak tentang letak kota, sungai, kerajaan dan nama raja-raja di Jawa, kok kalian di sini tidak belajar tentang Kawasan di luar Jawa ya?"
Ya ampun, ternyata pengalaman bapak ini juga, dialami banyak orang dengan pertanyaan yang kadang berbeda-beda. >>
Theresia Ola, orang Adonara yang merantau di Kalimantan, menulis begini:
"Saya juga waktu masih sekolah sempat ditanya dgn teman saya Flores itu ada di Kalimantan bagian mana ya Kawan? dan Dul masih polos jadi saya jawab ko kamu ini bodoh sekali ya klo bodoh itu dibagi " jangan simpan sendiri akhirnya jadi bebal begini kamu."
Khania Magdalena menulis:
"Pagi Pater pengalaman sama. Dulu di Jakarta sering sekali ditanya Kupang itu di Papua ya..? Papua lebih terkenal dari NTT 😅"
Masih banyak lagi komentar-komentar orang NTT di grup yang nadanya sama. Bahwa Flores, Sumba, Timor, Kupang, Atambua, Belu, Alor, Lembata dsb sangat tidak dikenal di Jawa. Gak masalah.
Wkwkwkwk. Karena mungkin kalau Orang Flores melafalkan huruf e itu sama dengan Orang Batak. Jadi dianggap sama.
BalasHapusBtw, orang Amerika pun mengenal Kepulauan Hawaii dengan nama satu pulaunya saja, walaupun ada pulau2 lain selain Hawaii seperti Maui, Kauai, Oahu (pulau utama). Begitu pula teritori Perancis yang bernama French Polynesia dan terdiri dari banyak pulau2, lebih dikenal dengan nama Tahiti, pulaunya yang terbesar. Mungkin sudah waktunya dikembangkan Provinsi Flores yang dipecah dari NTT, karena ada persamaan budaya yang cukup kental dari Flores dan pulau2 kecil di sekitarnya.
Betul sekali Bung. Sudah lama dipersiapkan Provinsi Flores. Makanya dulu 5 kabupaten, sekarang sudah jadi 9 kabupaten sebagai syarat menjadi provinsi baru.
HapusBetul.. budaya, bahasa, agama, keuskupan, ras dsb sama dengan Flores.
Kalau Madura dan Jawa hanya terpisah 5 km tapi bahasanya bisa berbeda total hehehe.
Lidah Flores masih agak lemas membedakan e dan é. Yang selalu ngotot pake é benar itu orang Timor khususnya Kupang dan Sumba. Fonem e pepet boleh dikata tidak ada. Semuanya jadi é mirip bahasa Latin.
HapusBung, selama saya tinggal di Amerika, pun sering ditanya: darimana asalmu? Kalau saya jawab nama kota di mana saya sudah tinggal 20 tahun, pasti mereka tidak puas. Karena mereka mau tahu dari negara mana saya datang sebelum berimigrasi ke Amerika.
BalasHapusSama juga dengan kita di Indonesia. Kalau saya jawab dari Sidoarjo atau Surabaya pasti penanya tidak puas karena dia ingin saya jawab asli NTT, Flores, Maluku, atau Papua.
HapusKalau orang Tionghoa tentu lebih repot lagi jawabnya. Kan tidak mumgkin jawab asli Hokkian atawa Kwangtung.
Nah ini menarik. Kalau orang putih saya jawab, saya orang Indonesia, mereka cukup. Tapi kalau dgn orang Tiongkok bisa diperpanjang lagi, di mana laoxiang atau kampung leluhurmu? Barulah saya jelaskan: oh di Hokkian timur laut.
HapusKalau kita orang jawab dari Flores, ada yg ngejar lagi. Flores mana? Nah, biasanya mereka sudah pernah bertugas, wisata, bahkan mungkin punya kerabat dari NTT atau Flores.
HapusKepada mereka ini baru kita jawab secara spesifik. Tapi kalau orang Jawa mayoritas cukup dijawab dari NTT saja. Mereka tidak akan nanya lagi.