Sabtu, 02 April 2022

Jumat, 01 April 2022

Kambing Haram, Babi malah Halal di Pelosok NTT

Semalam Mas Tri Ongko bagi-bagi berkat akikah. Menu daging kembang yang lezat. Ada sate, gula, krengsengan. Sangat jarang ada acara makan enak seperti ini.

Awalnya saya ragu dengan kuliner kambing. Tapi akhirnya sikat saja. Sudah sekian tahun tidak makan daging kambing meski sangat sering lihat orang angon kambing di tambak-tambak dekat Bandara Juanda.

Bukan apa-apa. Setiap lihat sate kambing, gulai kambing, krengsengan kambing.. saya jadi teringat kampung halaman. Jauh di pelosok Pulau Lembata, NTT. Ada semacam hukum adat nenek moyang yang wajib dipatuhi.. di kampung.

Salah satunya pantang makan daging kambing. Dulu saya pikir semua jenis kambing diharamkan adat Lewotanah. Setelah saya cek ulang, ternyata hanya kambing jenis wedhus gembel atau domba atau biri-biri yang bulunya lebat itu. 

Aturan itu hanya berlaku untuk suku (marga) Hurek Making. Juga beberapa suku yang masih satu tungku atau rumpun.

 Selain domba, daging anjing dan ikan lumba-lumba juga haram untuk suku Hurek. Babi malah tidak haram. Mulai babi kampung, babi belanda, babi putih kuping lebar, babi hutan, celeng dsb. Babi rusak tidak dikenal.

 Tidak ada marga di kampung yang mengharamkan babi. Kecuali mereka yang beragama Islam tentu saja. Macam keluarga besar Ama Hasan Hurek atau keluarga besar Ama Haji Tadong, Ama Imam Paokuma dsb dsb. Mereka-mereka ini golongan Watan Lolon atau orang Islam sejati yang amat taat rukun-rukun agamanya.

Marga-marga lain juga punya pantangan yang berbeda. Ada yang pantang bebek atau sapi. Ada yang haramkan ikan paus. Ini karena setiap marga punya legenda atau riwayat sendiri.

"Ikan lumba-lumba dulu yang tolong kita punya nenek moyang," kata kakek tokoh adat di desa dulu.

"Anjing juga yang menolong kita punya suku lango (keluarga besar) dari bala bencana," begitu tuturan turun temurun.

Bagaimana dengan domba? Ada ceritanya juga tapi saya lupa.

Bagaimana kalau kita melanggar pantangan adat? 

Ada sanksinya. Ada juga ritual untuk penghapusan kesalahan. Waktu SD saya pernah diruwat di rumah adat karena ketahuan makan RW alias krengsengan anjing.

Ketika makan sate kambing, di tanah rantau, apalagi di Jawa, kita tidak tahu pasti itu kambing atau domba. Maka sebaiknya dihindari. Kecuali terpaksa karena tak ada pilihan lain.

Karena itulah, saya biasanya menghindari konsumsi daging kambing. Tapi alasannya sengaja dibuat agak ilmiah: daging kambing bikin darah tinggi. Tekanan darah naik dsb. Kebanyakan makan daging kambing bisa stroke.

Semalam saya anggap menu akikah kambing dari Mas Tri bukan domba. Kalaupun wedhus gembel ya tetap saya anggap wedhus kambing. Agar tidak melanggar nasihat-nasihat adat Lamaholot di Pulau Lembata sana.

Enak sekali ternyata daging kambing itu. Bumbu-bumbunya pas. Jeroannya boleh juga. Alhamdulillah!

Nasi kotak yang dikirim Tri ternyata masih bersisa. Semua orang dapat bonus satu lagi untuk dibawa pulang. Dimakan besok pagi pun masih bisa. Belum basi.

Jumat pagi ini saya sarapan nasi gule kambing, sate kambing, krengsengan kambing. Sedap sekali. Tidak takut darah tinggi atau aturan adat di kampung nan jauh di mata.

Belakangan baru saya sadar. Jumat ini hari pantang. "Jangan makan daging pada hari pantang," begitu bunyi salah satu butir Lima Perintah Gereja.

Mea culpa, mea culpa!
Mea maxima culpa!

Semut pesta jemblem

beli jemblem di pasar krempyeng

lima ribu dapat empat

biasanya dapat lima

saiki sembarang larang, lengo larang, gulo larang, kata pedagang telo lema


sudah lama kita orang tak makan jemblem

singkong parut campur gula merah

cocok jadi teman ngopi

jemblem itu tak langsung dimakan

agak siang sajalah


kopi tubruk kapal api siap ngombe

ratusan semut mengepung jemblem

bagai tentara putin mengepung ukraina

semut pesta jemblem

Kamis, 31 Maret 2022

Gedung Tua Cagar Budaya di Kembang Jepun yang Wingit

Mama tua asal Madura jualan kopi di emperan Kembang Jepun. Dekat Bank Mega d/h Bank Karman. Gedung-gedung tua di kawasan kota lama Surabaya itu memang banyak yang tutup. Ada tukang becak dan pengelana istirahat.

Saya pesan kopi tubruk. Pisang rebus dua biji. Mama asal Madura, tinggal di Pesapen, bicara dalam bahasa Madura. Selalu semangat dan bersyukur atas rezeki saban hari meski tidak banyak. Alhamdulillah, katanya.

Di depan mata ada Kya Kya. Gapura Kembang Jepun. Kawasan pecinan yang pernah jaya di masa lalu. Pernah dihidupkan jadi semacam pasar malam tapi kini lengang setelah magrib.

Di sebelah selatan jalan raya ada beberapa gedung tua. Kembang Jepun 165 ditempeli tanda bangunan cagar budaya. Bangunan kolonial yang masih lestari dan dianggap jadi penanda kawasan. Tidak boleh diubah, kata aturan undang-undang.

Dulunya gedung apa? Tak oneng, kata mama tua Pesapen itu. Meskipun sudah puluhan tahun jualan di situ, dia tak oneng (tahu) gedung apa di depannya. Dari dulu tutup terus, katanya.

Di Google pun tak ada keterangan. Cuma ditulis bangunan cagar budaya di Surabaya. "Pintu depan tutup terus sejak dulu. Biasanya ada pegawai masuk dari belakang," kata Suryadi yang bekerja di Kembang Jepun sejak pertengahan 1980-an.

Lumayan, Cak Sur tahu sedikit. Kembang Jepun 165 itu semacam kantor administrasi bangunan di kawasan Oud Soerabaia. "Orangnya selalu ngetik pakai mesin ketik lawas. Manual," kata lelaki asli Kaliasin itu.

Sembari nyeruput kopi tubruk, saya iseng periksa buku daftar telepon Surabaya tahun 1954. Perusahaan-perusahaan Tionghoa, Belanda, Arab, India, hingga pribumi masih eksis di Surabaya. Kembang Djepun, Kalimati, Petjinan Kulon, Tepekong, Kalimas, Bakmi.. dan nama-nama jalan gaya lawas lainnya.

Wow... akhirnya ketemu di buku telepon lawas koleksi orang Belanda itu. Bond van Huiseigenaren Jalan Kembang Jepun 165. Direkturnya Poeh Toeng Chan.

Kalau diartikan secara bebas: asosiasi para pemilik rumah. Mungkin itu yang dimaksud Suryadi sebagai kantor urusan administrasi untuk Surabaya Utara.

Gedung di sebelahnya, Kembang Jepun 163, juga sudah lama tutup. Puluhan tahun. Tapi banyak orang lama yang pernah tahu. Dulunya pabrik es balok. Pabrik es Kalimalang. Jalan pendek di selatan Kembang Jepun itu memang bernama Jalan Kalimalang.

Suasana kawasan itu memang jauh berbeda dengan di foto-foto Kembang Djepoen tempo doeloe yang meriah. Kini sudah meredup dimakan waktu. The glory is over! 

Mama tua pun berkemas-kemas. Mau kembali ke Pesapen.

Jangan mandi Kali Pesapen
Kali Pesapen banyak lintahnya
Jangan kawin noni Pesapen
Noni Pesapen banyak tingkahnya

Ayun ayun ayun in die hoge klapperboom...

Rabu, 30 Maret 2022

Libur Tsing Bing, HUT Khonghucu, HUT Sun Yat Sen

Minggu ini banyak sekali orang yang nyekar di makam. Bawa kembang kirim doa ke ahli-ahli kubur. Maklum, bulan Ramadan segera tiba.

Orang Tionghoa juga ramai-ramai nyekar. Bukan dalam rangka bulan puasa tapi Ceng Beng. Acara nyekar khas Tionghoa itu tempo doeloe disebut Tsing Bing. Setiap 5 April.

Yang menarik, dulu Tsing Bing jadi hari libur nasional hingga 1949. Setelah Belanda kembali ke negaranya, Tsing Bing pun tenggelam. Orang pribumi bahkan tak pernah tahu yang namanya Ceng Beng atawa Tsing Bing itu.

Daftar hari libur tahun 1949 sangat menarik. Kita jadi tahu bahwa dulu, era Hindia Belanda, ada empat hari Tionghoa yang dijadikan tanggal merah atawa libur nasional. Yakni Tahun Baru Tionghoa, Tsing Bing 5 April, Hari Lahir Khonghucu, dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Hari lahir raja, ratu, dan pangeran Belanda juga libur nasional.

Dari daftar hari libur nasional itu terlihat sekali betapa masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda doeloe punya tempat khusus. Meski statusnya oosterlingen, warga negara asing, orang Tionghoa dapat tempat khusus di mata pejabat-pejabat Belanda.

Saya tidak punya daftar hari libur pada tahun 1960-an atawa Orde Lama. Yang pasti, di masa Orde Baru semua yang berbau Tionghoa dihapus. Jangankan libur Tsing Bing, tahun baru Tionghoa alias Imlek pun dihapus. Apalagi Hari Lahir Confucius dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Libur tahun baru Imlek baru muncul lagi setelah Gus Dur jadi presiden. Libur Tsing Bing cuma ada di Tiongkok sana.

Puisi Pater Fritz Menyentuh Hati Gubernur NTT

Manusia tak hanya hidup dari roti tapi juga puisi. Mazmur adalah salah satu antologi 150 puisi. Belum Amsal, Kidung Agung, hingga Lamentasi atau Ratapan.

Karena itu, pater-pater senang puisi. Banyak sekali pastor asal NTT yang jadi penyair. Salah satunya Pater Fritz Meko SVD. Di sela kesibukannya sebagai imam katolik, Pater Fritz rajin menulis puisi. Juga main musik dan menulis lagu-lagu melankolis. 

Bahkan pater asal Timor ini juga bikin rekaman musik. Saya punya beberapa CD pater yang tinggal di Biara Soverdi Surabaya itu. Enak juga menikmati sajak dan lagu-lagunya. Mengajak manusia untuk metanoia. Kembali kepada Beliau.

Selama pandemi Pater Fritz kelihatannya sibuk berkarya. Dan kemarin meluncurkan buku puisi. Launching dilakukan di Kupang bersama Gubernur NTT Victor Laiskodat.

"Rencananya, waktu audiensi 30 menit, tetapi ternyata molor menjadi satu jam karena keasyikan bicara bersama beliau yang juga seorang Intelektualis. Beliau sungguh "Broad minded. Gayung pun bersambut. Kami hanyut dalam diskusi panjang," tulis pater yang lama bertugas di Kalimantan itu.

Menarik. Saya baru tahu Gubernur Laiskodat antusias dengan puisi. Selama ini ia dikenal sangat keras (dan kasar) saat pidato di depan rakyat. Blak-blakan dan kurang bijaksana ala pejabat.

"Dengar baik-baik, saya ini profesor penjahat. Jangan coba-coba lawan saya," begitu kira-kira ucapan Gubernur Laiskodat di Sumba.

Laiskodat sangat marah karena terlalu banyak pencuri sapi di Pulau Sumba. Sudah berkali-kali operasi tapi rupanya maling-maling lebih pintar. Polisi kelabakan. Laiskodat turun tangan.

Bukalah YouTube. Gaya bicara Laiskodat memang meledak-ledak. Tidak ada kalimat diplomasi, bahasa isyarat, apalagi puisi. Marah-marah melulu di NTT. Apakah NTT bisa maju dengan marah-marah?

 "Orang itu politisi keras yang kepala batu," kata seorang NTT di Jawa Timur. 

Karena itu, saya kaget gubernur yang juga kader Partai Nasdem itu ternyata senang puisi. Sajak-sajak Pater Fritz rupanya menyentuh hati sang pejabat. Haleluyaaaa!!!

Selasa, 29 Maret 2022

Kangen sarapan bentoel rebus di Malang

Kisruh minyak goreng sudah hampir empat bulan. Sudah banyak upaya pemerintah. Operasi pasar. HET nasional. Sidak pabrik. Buru mafia dan kartel.

Tapi hasilnya belum juga cespleng. Situasi makin rawan karena mau masuk bulan puasa. Goreng-gorengan laris manis. Permintaan migor, nama populer minyak goreng, naik drastis.

Presiden Megawati punya cara sederhana untuk mengatasi masalah migor. Cara khas ibu-ibu di dapur. Bikin lomba memasak aneka menu tanpa minyak goreng. Boleh masak apa saja asal enak rasanya.

"Telur kan tidak harus digoreng. Bisa direbus atau dikukus," kata Bu Mega di koran pagi ini.

Bukan hanya telur. Nasi pun tidak perlu digoreng. Ikan bakar, ikan panggang, daging bakar atawa sate juga enak.

Sebagai politisi, pimpinan partai berkuasa, omongan dan tindakan Megawati tentu menimbulkan pro kontra. Dianggap tidak menyelesaikan masalah pokok. Akar masalah migor langka apa?

Terlepas dari politik, tata niaga dsb, saya sudah lama menyoroti kebiasaan goreng-menggoreng yang berlebihan. Begitu sulit cari pisang rebus atau singkong rebus di warung-warung di Jawa Timur saat ini. 

Apalagi bentoel rebus atawa kukus. Padahal dulu di Malang di mana-mana ada bentoel yang bukan rokok. Ada semua di warkop-warkop Klojen, Kota Lama, Gadang, Blimbing, Lawang dsb.

Saya sering nostalgia ke warkop-warkop yang tempo doeloe punya andalan bentoel rebus. Tidak ada. Bahkan pemilik warung rupanya tidak kenal umbi yang jadi merek rokok buatan Malang itu.

Yang ada di warkopnya ya gorengan macam-macam. Ote-ote paling laris. Pisang goreng jarang karena mahal. "Saiki gak ono bentoel. Ada tapi kukus sendiri di rumah," kata Hadi arek Malang di kawasan belakang rumah sakit.

Bentoel ini enak sekali. Dulu biasa dijual di lapak PKL Barata Jaya bersama duren, alpukat, mangga dsb. Tidak banyak tapi biasanya tersedia. Saya biasa beli saat tinggal di Ngagel Jaya Selatan. 

Setelah lapak-lapak PKL dibongkar, normalisasi sungai, hilanglah bentoel itu. Para PKL itu entah ke mana. Apalagi di musim pageblug ini.

Bu Mega yang makin tua ingatkan kita, yang juga makin tua, untuk memasak tanpa minyak. Kurangi gorengan. Bikin menu sehat seperti pasien kencing manis.

Hidup bentoel (bukan rokok)!