''Kancaku mati, kancane kancaku mati, ana sing mati merga penyakit, ana sing merga kopit. Malaikat ketoke seneng kerja borongan. Mesisan kesele, ngono ta?''
Itu tulisan khas Bambang Tri, seniman di Sidoarjo. Pelukis yang paling jago nulis pentigraf: cerpen tiga paragraf dalam bahasa Jawa. Asyik dan bikin senyum.
Semalam saya nonton pertunjukan wayang kulit di televisi lokal Surabaya. Dalange Ki Manteb Soedarsono, lakone Amartha Binangun. Ada hiburan sinden bule dan sinden Jepang.
Tentu saja itu rekaman lawas. Ki Manteb banyak bahas sikap politik seniman jelang coblosan sekian tahun lalu. ''Saya netral. Mau ditanggapi si A monggo, ditanggap B, C, D silakan. Saya malah terima kasih kalau sering ditanggap,'' kata dalang yang terkenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala itu.
Dalang kondang Ki Manteb Soedarsono juga berpulang ke pangkuan-Nya gara-gara Covid-19. Sempat uji coba pertunjukan di Jakarta, live streaming, tapi ternyata ada virus korona yang menempel di tubuhnya.
Sang dalang pun ambruk. Meninggal dunia karena covid. Bahkan kabarnya tidak sempat dapat rumah sakit karena BOR sudah di atas 100 persen. Itulah akhir perjalanan sang dalang setan itu.
Mengapa Pak Matheb disebut dalang setan?
''Sabetannya luar biasa. Kayak setan. Adegan perangnya sangat hidup kayak beneran. Nonton Ki Mantheb itu nggak ada bosannya,'' ujar Pak Ignatius Sarman, ketua lingkungan yang juga guru wayang kulit saya di Jember dulu.
Di mana pun Ki Mantheb main, selama masih di Jawa Timur, Pak Sarman dkk selalu berusaha nonton langsung. Saya sering diajak ke Lumajang, Kepanjen, Blitar, Malang Selatan untuk nonton Ki Manthep. Ada fans setia yang sama-sama fanatik kayak Pak Ignatius Sarman ini.
''Kalau suluknya lebih enak Ki Anom Suroto kayaknya. Suaranya bulat banget. Ki Mantheb agak cempreng,'' kata saya memancing pendapat Pak Sarman yang asli Sendangsono, cikal bakal Katolik di Jawa.
''Makanya, Ki Mantheb lebih fokus mengembangkan sabetan sebagai dalang setan. Orang rela jauh-jauh datang untuk nonton Ki Mantheb karena sabetan itu. Adegan perang itu yang penting,'' katanya.
Cukup lama saya tidak nonton Ki Mantheb di YouTube atau pertunjukan langsung. Di Sidoarjo yang paling sering ditanggap adalah Ki Anom Suroto. Tiap tahun minimal satu kali di pendapa untuk Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo. Di Juanda pun selalu Ki Anom, dalang raja suluk.
Karena itu, makin lama saya makin kehilangan referensi tentang Ki Mantheb Soedarsono. Apalagi Pak Ignatius Sarman juga sudah lama berpulang sebelum covid. Tinggal Dalang Puspa Sutadji di Sidoarjo yang jadi referensi saya tentang ilmu pedalaman. Namun, Ki Puspa lebih suka bahas Alkitab sesuai dengan latar belakangnya sebagai dalang wayang wahyu tempo doeloe.
''Filsafat, pesan-pesan, eksposisi itu yang paling penting. Anda jangan cuma asyik nonton sinden-sinden ayu thok,'' kata Ki Puspa yang kawin dengan sinden yang sudah tidak ayu lagi karena usia.
Baru semalam saya nonton rekaman Ki Mantheb di BBS TV Surabaya. Benar juga. Sabetannya masih edan khas dalang setan. Penontonnya pun banyaaak sekali... sebelum covid. Adegan-adegan perang sangat seru dan ngangeni.
Kita kehilangan seniman besar, dalang setan. Selamat jalan, Ki Mantheb.