Minggu, 11 Juli 2021

Perginya Dalang Kondang Raja Sabetan

''Kancaku mati, kancane kancaku mati, ana sing mati merga penyakit, ana sing merga kopit. Malaikat ketoke seneng kerja borongan. Mesisan kesele, ngono ta?''

Itu tulisan khas Bambang Tri, seniman di Sidoarjo. Pelukis yang paling jago nulis pentigraf: cerpen tiga paragraf dalam bahasa Jawa. Asyik dan bikin senyum.

Semalam saya nonton pertunjukan wayang kulit di televisi lokal Surabaya. Dalange Ki Manteb Soedarsono, lakone Amartha Binangun. Ada hiburan sinden bule dan sinden Jepang.

Tentu saja itu rekaman lawas. Ki Manteb banyak bahas sikap politik seniman jelang coblosan sekian tahun lalu. ''Saya netral. Mau ditanggapi si A monggo, ditanggap B, C, D silakan. Saya malah terima kasih kalau sering ditanggap,'' kata dalang yang terkenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala itu.

Dalang kondang Ki Manteb Soedarsono juga berpulang ke pangkuan-Nya gara-gara Covid-19. Sempat uji coba pertunjukan di Jakarta, live streaming, tapi ternyata ada virus korona yang menempel di tubuhnya.

 Sang dalang pun ambruk. Meninggal dunia karena covid. Bahkan kabarnya tidak sempat dapat rumah sakit karena BOR sudah di atas 100 persen. Itulah akhir perjalanan sang dalang setan itu.

Mengapa Pak Matheb disebut dalang setan?

''Sabetannya luar biasa. Kayak setan. Adegan perangnya sangat hidup kayak beneran. Nonton Ki Mantheb itu nggak ada bosannya,'' ujar Pak Ignatius Sarman, ketua lingkungan yang juga guru wayang kulit saya di Jember dulu.

Di mana pun Ki Mantheb main, selama masih di Jawa Timur, Pak Sarman dkk selalu berusaha nonton langsung. Saya sering diajak ke Lumajang, Kepanjen, Blitar, Malang Selatan untuk nonton Ki Manthep. Ada fans setia yang sama-sama fanatik kayak Pak Ignatius Sarman ini.

''Kalau suluknya lebih enak Ki Anom Suroto kayaknya. Suaranya bulat banget. Ki Mantheb agak cempreng,'' kata saya memancing pendapat Pak Sarman yang asli Sendangsono, cikal bakal Katolik di Jawa.

''Makanya, Ki Mantheb lebih fokus mengembangkan sabetan sebagai dalang setan. Orang rela jauh-jauh datang untuk nonton Ki Mantheb karena sabetan itu. Adegan perang itu yang penting,'' katanya.

Cukup lama saya tidak nonton Ki Mantheb di YouTube atau pertunjukan langsung. Di Sidoarjo yang paling sering ditanggap adalah Ki Anom Suroto. Tiap tahun minimal satu kali di pendapa untuk Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo. Di Juanda pun selalu Ki Anom, dalang raja suluk.

Karena itu, makin lama saya makin kehilangan referensi tentang Ki Mantheb Soedarsono. Apalagi Pak Ignatius Sarman juga sudah lama berpulang sebelum covid. Tinggal Dalang Puspa Sutadji di Sidoarjo yang jadi referensi saya tentang ilmu pedalaman. Namun, Ki Puspa lebih suka bahas Alkitab sesuai dengan latar belakangnya sebagai dalang wayang wahyu tempo doeloe.

''Filsafat, pesan-pesan, eksposisi itu yang paling penting. Anda jangan cuma asyik nonton sinden-sinden ayu thok,'' kata Ki Puspa yang kawin dengan sinden yang sudah tidak ayu lagi karena usia.

Baru semalam saya nonton rekaman Ki Mantheb di BBS TV Surabaya. Benar juga. Sabetannya masih edan khas dalang setan. Penontonnya pun banyaaak sekali... sebelum covid. Adegan-adegan perang sangat seru dan ngangeni.

Kita kehilangan seniman besar, dalang setan. Selamat jalan, Ki Mantheb.

Senin, 28 Juni 2021

Tuhan tidak gembira kalau yang hidup musnah lenyap

Misa daring terus-menerus selama satu tahun lebih terasa membosankan. Meskipun durasinya singkat, hampir tidak ada nyanyian kor yang panjang, suasana ekaristi normal memang hilang.

Corpus Cristi, hostia pun virtual. Cukup komuni batin saja. Yang sekarang diolah syairnya menjadi lagu yang indah. Orang NTT, khususnya Flores, dulu bilang misa tanpa komuni tidak sah. Datang misa setelah bacaan pertama juga tidak sah.

Padahal pater-pater tidak pernah melarang umat yang terlambat misa. Kecuali satu dua pater Eropa tempo doeloe. Better telaat dan nooit!

Minggu 27 Juni 2021 pagi. Awak ikut misa streaming secara acak. YouTube menawarkan misa di salah satu paroki di Jakarta. Gereja Santa Teresa kalau tidak salah.

Romo yang njawani, meski lama di Jakarta, kasih khotbah menarik. Bacaan dari Kebijaksaan Salomo (Wis 1,13-15;2,23-24).

''Be­cause God did not make death, nor does he re­joice in the loss of the liv­ing. 

For he cre­ated all things that they might exist, and he made the na­tions of the world cur­able, and there is no med­i­cine of ex­ter­mi­na­tion in them, nor a king­dom of hell upon the earth.''

''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

Cocok banget dengan suasana pandemi Covid-19 ini. Romo yang saya lupa namanya itu memang mengaitkan bacaan dari Kebijaksaan itu dengan lonjakan pasien covid di tanah air. Khususnya Jakarta.

Begitu banyak orang mati karena covid membuat semua pihak kewalahan. Tukang gali kubur, sopir ambulans, dsb. ''Sekarang jenazah tidak lagi diangkut satu per satu. Tapi beberapa peti jenazah diangkut bersama ke makam,'' katanya.

Pater ini punya keluarga dan teman yang meninggal akibat virus setan korona ini. Jadi, ia tahu persis tata cara, protokol pemakaman dsb. Tidak ada misa requiem. Tidak ada doa-doa untuk orang meninggal dunia secara layak.

''Jenazah langsung ditanam begitu saja. Itu yang membuat kita tambah sedih,'' katanya.

Romo lalu mengajak umat untuk taat prokes. Membantu pemerintah sekuat tenaga, bahu-membahu dengan siapa saja untuk mengatasi pandemi berkepanjangan ini. 

''Lama-lama uang pemerintah habis kalau pandemi ini tidak selesai,'' katanya.

Di tengah dukacita itu, Kitab Kebijaksaan menghibur kita orang. Bahwa ''Maut tidak dibuat oleh Allah. Dan Ia pun tak bergembira karena yang hidup musnah lenyap.''

De Ligt Kena Kartu Merah, Awak Kalah Taruhan

Gara-gara Piala Eropa 2020, yang digelar tahun 2021, saya melekan lagi. Nonton bola sesi pertama pukul 23.00 dan sesi kedua pukul 02.00.

Biasanya saya pilih salah satu laga yang saya anggap seru. Big match. Tidak kuat kalau nonton kedua laga di benua mata biru itu. Bisa lemas.

Masa pandemi ini harus jaga kekebalan tubuh, bukan?

Nonton Euro 2020 bukan semata hobi tapi karena tugas. Saya diminta mengawal turnamen Piala Eropa 2020. Mengunggah informasi yang menarik seputar turnamen itu. 

Makanya aneh kalau seorang editor tidak nonton siaran langsung di TV. Bisa saja nonton cuplikan gol di YouTube. Tapi suasana pertandingan tidak akan dapat. Misalnya, Eriksen yang henti jantung di lapangan. Suasananya benar-benar langka dan dahsyat.

Semalam saya nonton Belanda vs Ceko. Saya baca komentar beberapa pandit bola siangnya. Tim mana yang diunggulkan.

 Sudah pasti saya dukung Belanda. De Oranje menang tiga kali di fase grup. Ceko tidak diunggulkan sama sekali.

Mbah Wono Kairun yang pernah top di Radio Suzanna dulu juga mengunggulkan Belanda. Ini penting karena ada sayembara tebak skor. Taruhan kecil-keacilan agar lebih seru.

Ungkapan 'bola itu bundar' ternyata masih berlaku di era masker. Siapa nyana Meneer de Ligt dapat kartu merah. Diusir wasit karena pelanggaran fatal. Belanda oleng.

 Ceko memanfaatkan keunggulan pemainnya untuk menghajar de Oranje. Belanda dipermalukan dua gol. Tim asuhan Tuan de Boer itu pun  tersisih dari Euro 2020. Ceko yang lolos ke 8 besar alias perempat final.

Apes nian awak ini. 

Duit taruhan tebak skor akhirnya hilang begitu saja. Gak banyak sih tapi bisa untuk check-in di kamar hotel kelas kambing.

Rabu, 23 Juni 2021

Rumah Sakit di Sidoarjo Penuh, Terkenang Mantan Wabup Sidoarjo yang Meninggal karena Covid-19

Rumah sakit rujukan Covid-19 mendekati penuh. BOR keseluruhan 92 persen. Malah beberapa rumah sakit di atas 100 persen alias melebihi kapasitas tempat tidur yang disediakan untuk pasien covid.

RSUD Sidoarjo sebagai rumah sakit terbesar sudah 104 persen.  Mitra Keluarga Waru 102 persen. RS Bhayangkara, RS Citra Medika, dan Aisyiyah Siti Fatimah 100 persen.

Data okupansi rumah sakit ini menunjukkan bahwa pandemi korona di Sidoarjo sudah gawat. Surabaya juga sama. Belum lagi Bangkalan. Kabupaten/kota lain di Jawa Timur juga tidak jauh berbeda.

Sayangnya, saya perhatikan sebagian besar warga masih meremehkan covid. Prokes 5M dianggap angin lalu. Pakai masker hanya karena takut ditilang petugas.

Bagaimana mungkin pandemi ini bisa dihentikan dalam waktu dekat? 

Gus Bupati perlu lebih tegas lagi. Sosialisasi atau apa pun namanya perlu digencarkan lagi. Sebab, tidak gampang menyadarkan masyarakat bahwa penyakit aneh nan sangat menular bernama covid itu benar-benar ada di sekitar kita.

Jangan lupa, salah satu pejabat di Jawa Timur yang meninggal dunia akibat korona adalah Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin. Saat menjabat sebagai pimpinan daerah, Cak Nur sangat getol sosialisasi prokes, turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi bahaya virus korona.

Bahkan, Cak Nur yang langsung turun untuk mengubur jenazah pasien covid di kawasan Lingkar Timur. Saat itu para penggali kubur tidak berani menguburkan jenazah-jenazah korban covid karena masih minim informasi.

Saat ini saya lagi ngopi di warkop dekat kediaman almarhum Cak Nur, mantan bupati Sidoarjo, di kawasan Waru. Sambil baca koran yang memuat data BOR rumah sakit di Sidoarjo. Sambil melihat delapan pengunjung dan pemilik warkop yang tidak pakai masker.

Gawat! 
Darurat!

Selasa, 22 Juni 2021

Korona Tidak Ada, Yang Ada Markona

Ratusan orang Madura kemarin unjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka meminta Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka penyekatan di Jembatan Suramadu. Pengunjuk rasa dari pulau sebelah itu merasa sangat terganggu karena harus dites antigen, dirazia, dicek dokumen tiap hari di posko.

Sejak 5 Juni 2021 memang dilakukan penyekatan di Suramadu dan Dermaga Ujung-Kamal. Sebab terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan. Ada empat kecamatan yang zona merah. Pasien sangat banyak. Angka kematian tinggi.

Dan, yang gawat, koronanya itu ada varian baru dari India. Virus mutasi ini lebih ganas. Lebih menular dan fatal akibatnya kalau tidak segera ditangani. Yang sudah vaksin pun tetap kena.

Sosialisasi sudah dilakukan berkali-kali sejak awal pandemi. Di media massa, media sosial, pintu ke pintu, tokoh agama, dan sebagainya sudah mengingatkan masyarakat akan bahaya virus korona baru.

Dan.. sudah banyak korban meninggal dunia. Termasuk kenalan kita, tetangga, kerabat jauh, kerabat dekat, hingga keluarga inti kita. Tapi rupanya masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya Covid-19 alias corona.

''Di Madura tidak ada korona. Yang ada cuma markona,'' begitu salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa dari Madura kemarin.

Korona atau corona jadi bahan guyonan. Bukan lagi penyakit yang mematikan. ''Kami tiap hari tidak pakai masker selama satu tahun lebih sampai sekarang. Gak jaga jarak. Biasa aja. Wong korona itu nggak ada,'' kata seorang warga Madura kepada BBC.

Angel, angel.. angeeel.

Pusing. Wali Kota Cak Eri, Gubernur Khofifah, Bupati Bangkalan dan pejabat-pejabat lain pasti pusing dengan sikap ratusan pengunjuk rasa itu. Sebab, cara berpikir, paradigma, filosofinya sangat berbeda dengan kalangan ilmuwan atau pakar-pakar penyakit menular, dokter, epidemiolog dsb.

Kebijakan penyekatan Jembatan Suramadu justru sangat bagus. Orang dites antigen, PCR dsb juga bagus. Agar virus korona bisa diketahui sejak dini meskipun orangnya tanpa gejala.

Tes antigen juga mahal. Apalagi PCR itu. Para pengendara yang disekat ini malah tes gratis. Saya yang naik kereta api pun harus tes covid dan bayar sendiri. Mahal juga kalau dites berkali-kali di stasiun yang berbeda.

Lah, di Suramadu dan Ujung-Kamal tesnya gratis. Dibayar pemerintah tentu saja. Kok malah ngamuk? Posko kesehatan, meja kursi petugas kesehatan dijungkir balik?

''Bisa ambyar kalau masih banyak warga yang bersikap begitu,'' ujar Dr Amien Widodo dari ITS Surabaya.

Kang Amien lalu menyodorkan data korban pandemi flu spanyol di Hindia Belanda tahun 1918. Saat itu korban meninggal paling banyak di Djawa Timoer.

Dan... yang paling banyak di Pulau Madoera.

Sabtu, 12 Juni 2021

Sudah divaksin kok masih kena covid?

Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono terpapar Covid-19. Saat ini sedang isolasi di rumah sakit. Kondisi mantan wartawan Surya dan Tempo ini kian membaik.

''Sekarang saya banyak baca buku dan koran,'' kata politikus PDI Perjuangan itu.

Adi alias Awi tidak sendiri. Sekitar 10 anggota dewan yang lain juga kena covid. Termasuk Dyah Katarina, istri Bambang DH, mantan wali kota Surabaya. ''Saya tidak sakit. Saya cuma terpapar covid,'' kata Dyah.

Mengapa ketua dan anggota dewan terpapar Covid-19? Ada yang mengaitkan dengan ziarah massal di makam Bung Karno awal Juni. Namun, Adi membantah. ''Karena kegiatan kami padat sekali,'' katanya.

Meski sudah menerapkan prokes ketat, virus korona tetap saja punya celah untuk masuk. Apalagi warga senang berkerumun. Tidak jaga jarak. Ada saja yang tidak pakai masker.

Yang bikin saya kaget, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono ini paling pertama yang dapat vaksin. Bersama pejabat-pejabat pemkot, forkopimda, dsb. Divaksin Sonovac yang terkenal itu.

Seminggu kemudian giliran semua anggota dewan disuntik vaksin. Tidak ada yang menolak vaksinasi. Bahkan, para wakil rakyat itu mendesak segera divaksin karena setiap hari bertemu begitu banyak orang.

Mengapa Adi dan para wakil rakyat itu masih terpapar korona? Bukankah sudah divaksin lima bulan lalu? Imunitas tubuhnya ke mana?

Lalu, apa gunanya vaksinasi kalau tetap terserang korona? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan masyarakat di media sosial atau warung kopi.

Yang jelas, klaster Covid-19 di DPRD Surabaya ini menunjukkan bahwa vaksinasi bukan jaminan. Vaksin Sinovac dsb tidak serta-merta membuat orang jadi kebal serangan virus korona.

Masa berlaku vaksin di dalam tubuh pun mungkin sangat terbatas. Tidak bisa lama. Apalagi sampai bertahun-tahun.

Karena itu, gelombang vaksinasi massal yang tengah berlangsung di tanah air belum tentu efektif untuk menekan wabah korona ini. Buktinya, lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Kudus, dan kota-kota lain setelah Lebaran sangat tinggi justru setelah ada vaksinasi.

Kelihatannya perang melawan pandemi korona masih sangat panjang.

Selasa, 08 Juni 2021

Ternyata Ada Korona di Madura

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 melanda tanah air. Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan persebaran virus aneh dari Wuhan ini. PSBB, PPKM, PPKM mikro, lockdown lokal, dan sebagainya.

Vaksinasi pun sedang dimasalkan. Saya ikut gelombang vaksinasi gelombang pertama di kantor gubernur Jawa Timur. Dianggap kalangan berisiko tinggi. Saat ini vaksinasi lansia, ODGJ, dan masyarakat luas.

Hasilnya? Rupanya virus korona sulit dihentikan. Malah muncul lonjakan baru dari Bangkalan, Madura. Pemkot Surabaya geger. Gubernur Khofifah dan Pemprov Jawa Timur kelabakan menangani arus orang dari Pulau Madura itu.

Sejak Sabtu lalu (6/6) ada penyekatan masal di Jembatan Suramadu. Tes antigen masal. Mulai dibangun pula rumah sakit darurat di kaki Suramadu sisi Madura. Kalau ada pengendara yang positif langsung ditangani di situ.

Semua rumah sakit di Surabaya juga siaga. Siap-siap menampung pasien dari pulau seberang itu. Dr Dewa Gede Nalendra, penanggung jawab RS Lapangan Indrapura, khawatir virus korona di Bangkalan ini varian baru. ''Semoga tidak,'' katanya.

Sejak awal pandemi, Maret 2020, saya beberapa kali dolan ke Bangkalan. Memanfaatkan Jembatan Suramadu yang mulus itu. Suasananya biasa saja. Seperti tidak ada korona.

Protokol kesehatan yang disebut 3M (masker, menjaga jarak, mencuci tangan) kurang jalan di Madura. Begitu juga prokes baru yang disebut 5M. Sangat jarang saya lihat orang-orang di sana pakai masker dan jaga jarak.

''Nggak ada korona di sini. Aman, Pak,'' kata penjual es kelapa muda di dekat Jembatan Suramadu.

''Di Madura ini biasa-biasa saja. Kita tidak boleh takut sama korona. Yang penting minta perlindungan ke Allah,'' kata seorang bapak di Bangkalan.

''Korona itu obatnya sholawat (salawat). Sholawat yang banyak. Insya Allah, kita dijauhkan dari segala penyakit,'' kata seorang ibu di tengah Kota Bangkalan.

Bukan hanya di Madura. Banyak orang asal Madura yang tinggal di kawasan Surabaya Utara pun cenderung mengabaikan prokes. Sangat jarang yang pakai masker. Kalau ada razia baru cepat-cepat pasang masker kain.

Itu yang saya lihat di kawasan Rajawali, Jembatan Merah, Kembang Jepun, Kalimas, Pabean, Ampel, Nyamplungan, Semampir, dan sebagainya. Kawasan ini biasa disebut Blok M. Saking banyaknya orang Madura.

''Korona itu komunitas rondo merana,'' begitu guyonan umum di warkop-warkop kawasan Surabaya Utara.

Nah, sikap cuek, mengabaikan prokes, menganggap korona tidak ada di Madura itu akhirnya jadi bumerang. Selepas libur Lebaran muncul ledakan kasus covid di mana-mana. Khususnya di Bangkalan, Madura. Pulau yang selama ini dianggap zona hijau. Dianggap tidak ada pandemi Covid-19.

''Jangan sekali-kali meremehkan Covid-19. Protokol kesehatan 5M harus diterapkan di mana saja. Termasuk di Madura,'' kata seorang pejabat pemprov.

Pejabat itu dari dulu gregetan mendengar ucapan ''tidak ada korona di Madura''.