Rabu, 08 Juli 2020

Penjahit Putri di Dekat Bandara Juanda

Saat bersepeda di kawasan tambak Desa Tambakoso, Sidoarjo, ada tulisan menarik di pinggir jalan. PENJAHIT PUTRI. Saya pun turun sejenak untuk memotret plang di dekat Bandara Juanda itu.

Penjahit putri. Maksudnya apa?

- Si penjahit berjenis kelamin putri (perempuan)?

- Penjahit khusus busana putri? Penjahitnya bisa saja laki-laki atau waria.

Saya jadi ingat tulisan sejenis di kawasan Aloha, Gedangan. Banyak sekali plang bertulisan PENJAHIT WANITA.

Penjahit wanita identik dengan penjahit putri di Tambakoso. Lain lagi dengan putri penjahit.

Setelah saya cek ke warkop di sebelahnya, seorang ibu mengatakan bahwa PENJAHIT PUTRI itu memang khusus melayani pesanan pakaian perempuan. Dia tidak akan mau menjahit pakaian laki-laki.

"Dari dulu hanya terima pakaian putri," kata ibu itu.

Lalu, penjahitnya memang putri? "Iya lah. Masak, laki-laki," katanya disusul tawa renyah khas orang tambak.

Istilah penjahit putri atau penjahit wanita memang bisa disalahpahami. Bisa diartikan wanita/putri yang dijahit. Bisa berurusan dengan polisi.

Bagaimana kalau dibalik menjadi wanita penjahit atau putri penjahit?

Wanita penjahit lebih pas. Wanita yang bekerja sebagai penjahit pakaian. Putri penjahit lain lagi artinya. Anak si penjahit yang berjenis kelamin perempuan.

Mungkin lebih pas kalau ditulis PENJAHIT BUSANA WANITA atau PENJAHIT BUSANA PUTRI.

Kurang lazim kalau ditulis WANITA PENJAHIT BUSANA PUTRI.

Selasa, 23 Juni 2020

Nostalgia peneng sepeda lawas

Musim corona ini memaksa orang untuk lebih serius menjaga kesehatan, cuci tangan, jaga jarak, olahraga ringan rutin. Salah satunya bersepeda.

Belakangan ini ramai banget anak-anak muda generasi Z di Surabaya berolahraga sepeda. Setiap malam Jalan Tunjungan, Gubernur Suryo, hingga Raya Darmo dan Taman Bungkul berseliweran sepeda pancal.

Mulai sepeda kelas bumbu masak yang Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah ada. Komunitas sepeda tua jarang terlihat. Sebab penggowes-penggowes lawas itu lebih suka ngonthel siang hari. Anak-anak muda gen Z lebih suka malam hari. Sekalian foto-foto selfie di Tunjungan atau Taman Bungkul.

Pagi ini aku ngopi di warkop bersama beberapa penggowes sepeda tua di kawasan tambak Gunung Anyar, Surabaya. Mereka senang dengan tren bersepeda di tengah pandemi ini. ''Mudah-mudahan berlanjut setelah covid,'' kata bapak dari Rungkut.

Namanya juga orang lama, para pesepeda tua itu banyak cerita tentang sejarah dan perjuangan. Khususnya jasa-jasa dan sepak terjang Bung Karno. Apalagi bulan Juni merupakan bulan Bung Karno. Selalu menarik mendengar cerita soal Bung Karno meskipun sudah sering kita dengar.

Ada anggota komunitas sepeda tua dari kawasan Juanda, Sidoarjo, membahas masalah peneng. Semacam pajak sepeda tempo doeloe. Dulu sepeda pancal dipajaki karena dianggap semacam barang mewah.

Namanya penneng atau peneng atau pening. Bisa pening kepala kalau belum bayar peneng. Sebab ada razia peneng di jalan raya. Kayak tilang mobil atau motor saat ini.

Lama-lama peneng sepeda dihapus tahun 1970an dan 1980an. Sebab sepeda onthel bukan lagi barang mewah yang pantas dipajaki. Pajak radio dan pajak TV juga dihapus.

Bisa jadi suatu saat pajak sepeda motor pun dihapus ketika Indonesia sudah makmur dan adil. Cukup mobil saja yang dipajaki.

Sabtu, 20 Juni 2020

Sujud Bumi vs Sujud Gawai

Sudah lama saya kenal Heri Lentho. Seniman dan penata tari terkenal di Jatim. Banyak pertunjukan tari dan kesenian di Surabaya digarap Cak Lentho yang asli Malang itu. Salah satunya festival seni dalam rangka HUT Kota Surabaya.

Tahun 2020 ini tidak ada perayaan hari jadi Kota Surabaya. Gara-gara pandemi Covid-19. Normalnya sepanjang bulan Mei ada agenda untuk memeriahkan HUT Surabaya yang bersamaan dengan awal pembentukan Majapahit itu.

Namun, Heri Lentho tidak lantas kehilangan ide dan ekspresi. Dalang tak pernah kehilangan lakon. Ada beberapa ritual olah gerak yang disebarkan Lentho secara virtual. Ritual, ibadah, bersih-bersih.. itu juga ritual keseharian bangsa kita, katanya.

Sayang, ritual ala nenek moyang itu, makin hilang di era digital. Bangun tidur ambil HP, cek media sosial. Sebelum tidur main gadget main medsos, nonton YouTube, Facebook, Twitter, WAG, Instagram... dsb.

Setelah capek baru tidur. Kadang sampai pukul 24.00 atau 02.00. Banyak orang yang melekan di warkop-warkop sampai dini hari hanya untuk numpang WiFI gratisan.

Dulu, sebelum ada ponsel pintar, orang biasa berdoa sebelum tidur. Bangun tidur, melipat selimut, merapikan tempat tidur dsb. Ada juga yang olah batin dengan meditasi. Heri Lentho biasanya melakukan olah gerak menyambut matahari pagi atau bulan purnama.

"Sekarang orang sudah sangat ketergantungan sama HP," katanya. Bisa gila kalau kehilangan sinyal seluler atau internet. Gadget sudah jadi kebutuhan.

Maka, Heri menggagas puasa gadget. Tidak perlu lama-lama. Cukup satu hari saja. Seniman 53 tahun itu mulai menggagas gerakan puasa gawai alias gadget pada 20 Mei 2020 lalu. Sebelumnya ada gerakan sujud bumi. Intinya sama.

"Kita kurangi ketergantungan sama gadget. Mari kita sama-sama sujud bumi, adakan ritual sederhana di kediaman kita masing-masing," katanya.

Gagasan Heri Lentho rupanya kurang cukup bergaung meskipun dimuat besar di koran lokal. Puasa gawai di jaman now?

Rasanya sangat sulit meski tidak mustahil. Apalagi di masa pandemi yang sering menuntut kerja dari rumah. Tapi paling tidak kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Paling tidak mengurangi aktivitas sujud gawai dan mencoba sujud bumi dan sujud alam.

Jumat, 19 Juni 2020

Selamat ulang tahun di surga

Tidak banyak orang Indonesia yang merayakan ulang tahun. Kata-kata 'happy birthday' sangat asing. Khususnya di desa. Orang desa bahkan tidak tahu tanggal dan bulan lahirnya. Tahunnya pun sering tidak pasti.

Karena itu, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan ngarang sendiri hari lahirnya: 17 Agustus. Biar gampang diingat. Dan dirayakan ramai-ramai oleh semua orang Indonesia.

Almarhum bapaku, Nikolaus N. Hurek juga sama. Tanggal lahirnya tidak jelas. Tahunnya 1940. Karena itu, dulu pater asal Belanda menulis asal aja tanggal lahir Bapa Niko 6 Desember. Disesuaikan dengan pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas alias Sinterklas setiap 6 Desember.

Setelah tingkat pendidikan makin baik, wajib sekolah 9 tahun, tanggal lahir orang Indonesia lebih akurat. ''Tabe gewan hala muri,'' kata orang Lamaholot di NTT. Tidak lagi ngawur atau mencongak kayak Pater Belanda atau Pak Dis itu.

Namun, tradisi ulang tahun yang dirayakan tetap belum banyak. Sebab dianggap budaya Barat. Semua yang berbau Barat dianggap kurang bermoral, tidak sesuai dengan budaya timur. Apalagi pakai tiup lilin, menyanyi dsb. Kayak Londo aja.

Kini, sejak ada media sosial, hari lahir atau birthday selalu dirayakan. Paling tidak selalu diingatkan oleh Facebook dan medsos yang lain. Ucapan HBD atau Happy Milad (makin populer) berseliweran di media sosial.

Bahkan, ulang tahun itu juga dirayakan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Maklum, Facebook tidak tahu akun-akun mana saja yang orangnya sudah tidak ada lagi di dunia.

''Selamat berbahagia Sayang di surga. Lagi ngapain di sana? Kayaknya ramai banget di sana deh," tulis istri temanku untuk suaminya yang sudah berpulang.

Menarik. Sangat menarik habitus baru orang Indonesia di era kejayaan media sosial ini. Orang tidak lagi alergi HBD, kue ultah, lilin ultah. Ulang tahun dirayakan ramai-ramai secara virtual atau daring.

Saya jadi ingat budaya Tionghoa di kelenteng-kelenteng. Setiap tahun ada pesta ulang tahun dewa-dewi tuan rumah kelenteng secara besar-besaran. Bukan tahun baru Imlek yang dirayakan secara meriah. Pesta sejit dewa bisa tiga hari sampai satu mimggu.

Saya biasa hadir di acara HUT Kong Tiek Tjung On di Kelenteng Cokro Surabaya dan HUT Makco di Kelenteng Sidoarjo. Perayaan HUT dewa dan dewi yang sudah meninggal sekian ratus atau ribu tahun lalu.

Seperti kebanyakan orang Indonesia, awalnya saya heran mengapa orang Tionghoa selalu merayakan HUT orang mati. Bukankah birthday party itu untuk orang hidup?

Tapi lama-lama saya paham makna, filosofi, serta teologi di balik sejit dewa-dewi itu. Bahwa sesungguhnya orang yang sudah meninggal itu tetap berada di tengah-tengah kita.

Orang tua, kakek nenek, keluarga, sahabat yang sudah tiada itu sejatinya cuma berubah dimensi. Roh mereka immortal. Tidak akan pernah mati.

Karena itu, saya tidak lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepada Mas Juniarto, pelukis Sidoarjo, komite seni rupa Dewan Kesenian Sidoarjo, yang telah berpulang ke pangkuan-Nya bulan lalu.

Selamat bahagia di surga!

Sembahyang diam-diam di dalam kamar

Wabah corona belum bisa diatasi di Indonesia. Khususnya di Jawa Timur. Lebih khusus lagi di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Tapi suasananya sudah new normal. Gak ada bedanya dengan sebelum Covid-19.

PSBB atau lockdown ringan selama 42 hari sudah berlalu. Ekonomi sempat macet cet. Rakyat menjerit minta PSBB dihapus. Pemerintah akhirnya ngalah. Sebab duit negara untuk bansos dsb pun sudah cekak.

''Sekarang ini masa transisi menuju new normal,'' kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Toko-toko, mal, tempat hiburan, warkop... sudah buka. Tempat-tempat ibadah juga mulai dilonggarkan. Masjid-masjid bahkan sejak lama pun tetap buka dengan pembatasan.

Bagaimana dengan gereja-gereja?

Sampai sekarang masih tutup. Misa streaming tiap hari. Bisa berkali-kali ekaristi lewat laptop atau ponsel. Lebih efisien. Cuma tidak bisa komuni suci.

''Keuskupan masih bikin protokol jelang new normal,'' kata seorang romo di Surabaya.

Besar kemungkinan bulan Juli baru bisa misa di gereja. Itu pun tidak akan normal. Jemaat dibatasi 50% atau 60% saja.

Bagaimana cara membatasi umat? Pakai tahun lahir ganjil genap? Pakai nomor HP ganjil genap seperti usulan mantan Wapres Jusuf Kalla untuk masjid?

Belum ada putusan resmi. Aku sih enjoy aja mengikuti misa-misa online yang sangat kaya dan variatif. Mulai misa yang cuma 20 menit hingga misa tridentina Latin ala pra-KV 2 yang bisa sampai dua jam.

Pagi ini aku nggowes sepeda lawas. Mampir ngombe di depan Gereja Bethany Rungkut. Tepatnya di kompleks ruko. Tetangganya toko pakaian anak, apotek, dan BRI.

''Ibadahnya mulai hari Minggu besok. Jemaatnya dibatasi untuk jaga jarak,'' kata ibu pekerja Bethany Successful Family.

Di depan gereja ruko dipasang panduan pelaksanaan ibadah di gereja sesuai protokol kesehatan Covid-19. Banyak banget aturannya. Aku hitung ada 24 aturan.

Di antaranya, bawa masker, jaga jarak selama beribadah, tidak berjabat tangan, jendela dibuka, lama ibadah kurang dari 50 menit.

Aku rasa protokol di Bethany ini kurang lebih sama dengan di gereja-gereja lain. Aku jadi gak semangat pigi gereja. Lebih baik sembahyang di rumah saja sampai corona benar-benar hilang.

Beta jadi ingat ayat suci dalam bahasa Melayu Kupang:

''Kalo bosong sambayang, na, maso pi dalam kamar ko tutu pintu. Ais sambayang diam-diam pi sang bosong pung Bapa. Biar orang laen sonde lia, ma bosong pung Bapa yang lia.''

Kalau mau sembahyang, masuklah ke dalam kamar, tutup pintu, dan sembahyang diam-diam. Tidak usah ramai-ramai.

Jumat, 05 Juni 2020

Banyak Orang Takut Dites Corona

Dulu orang ramai-ramai minta dites masal. Kalau bisa semua warga Surabaya, Sidoarjo, Gresik... seluruh Jatim dites. Biar ketahuan siapa yang kena corona dan siapa yang sehat walafiat. Tapi peralatan tes cepat dan swab masih sedikit.

Maka yang dites hanya warga di kampung-kampung zona merah. Itu pun sebatas di sekitar rumah pasien Covid-19. "Kalau pemerintah serius mestinya semua orang dites," begitu omongan sebagian warga di media sosial.

Sejak dua minggu lalu peralatan rapid test makin banyak. Tes masal dilakukan di berbagai kawasan Surabaya Raya. Mulai pasar-pasar hingga kampung-kampung padat.

Pemerintah pusat juga mengirim mobil lab untuk tes swab. Hasilnya cepat diketahui. Tak perlu menunggu seminggu atau 10 hari. Sebab Surabaya Raya sudah lama merah. PSBB sudah tiga jilid.

Anehnya, belakangan warga malah takut dites cepat. Ada saja alasannya. Ada yang tutup kios lalu lari. Seperti di Pasar Taman Sidoarjo. "Aku sehat kok. Gak mau tes," kata seorang pedagang.

"Rapid test gak oleh sangu," kata pedagang yang lain.

Mengapa warga takut dites?

Sebab, khawatir hasil tesnya reaktif. Lalu diisolasi selama 14 hari oleh pemkab atau pemkot. Lalu diswab dan sebagainya.

"Bagaimana dengan anak-anak dan istrinya di rumah? Makan apa kalau kepala keluarga diisolasi dua minggu?" kata ibu pemilik warkop di Gunung Anyar Surabaya.

Wanita asal Madura ini menolak ikut rapid test masal gratis di puskesmas. Sebab, itu tadi, takut reaktif atau positif corona. Bukan takut mati, tapi takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya.

Sampean gak takut corona?

"Hidup dan mati kita di tangan Allah. Kalau memang sudah ajal ya meninggal," katanya enteng.

Ibu Madura itu serta hampir semua pengunjung warkop bahkan menjadikan corona sebagai bahan guyonan. Sakit jantung mati dibilang corona. Pasien TBC mati corona. Diabetes, komplikasi dsb pun dianggap corona.

"Aneh-aneh aja pemerintah itu," kata seorang bapak asal Segoro Tambak, Sidoarjo.

Sudah tiga bulan kita bergulat dengan corona. Tapi belum ada tanda-tanda virus aneh itu segera dijinakkan. Angka pasien justru naik naik naik terus. PSBB pun diperpanjang entah sampai kapan.

"Pasien naik itu karena tes masal makin banyak. Coba kalau gak ada tes ya gak ada yang sakit corona," kata pria Segoro Tambak itu.

Jumat Batik yang Makin Redup

Sejak ada corona kayaknya orang Indonesia, khususnya Jawa Timur, makin jarang pakai batik. Bahkan sebelum covid pun semangat pakai baju batik sudah sangat berkurang. Kecuali pegawai-pegawai yang memang diwajibkan oleh manajemennya pakai batik sebagai dresscode setiap Jumat.

Jumat pagi ini saya amati selintas jalan raya di Surabaya. Kawasan perbatasan Surabaya-Sidoarjo dari Rungkut Menanggal, Pondok Candra, hingga Juanda Sedati. Sangat sedikit yang pakai batik. Tidak sampai 50 persen.

Padahal, dulu Jumat identik dengan batik. Euforia batik luar biasa setelah PBB mengakui batik sebagai warisan dunia asal Indonesia. Sampai-sampai si kera pemain topeng monyet pun dipakaikan seragam batik.

Saya sendiri berusaha pakai batik setiap Jumat karena memang imbauan manajemen. Tapi lama-lama makin banyak yang tidak pakai batik. Berkurang terus terus terus... hingga di bawah 50 persen.

Suatu ketika saya jadi aneh sendiri karena pakai batik. Sebab teman-teman lain berpakaian bebas. Banyak yang pakai kaos oblong. Terlalu formal kalau batikan, kata teman.

Apa boleh buat, saya pun tak lagi pakai batik setiap Jumat. Cuma ke gereja saja yang pakai batik. Tapi sudah tiga bulan tidak pigi misa. Ekaristi cukup live streaming atau rekaman english mass via telepon seluler. Karena itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali pakai batik.

"Batik itu kebanggaan bangsa Indonesia. Kita harus lestarikan dan mengembangkan terus," kata Dr Lintu Tulisyantoro, dosen UK Petra sekaligus ketua komunitas batik Jatim.

Lintu paling antusias meneliti dan mengembangkan batik di Jatim. Koleksi batiknya di Larangan, Sidoarjo, memang luar biasa. Sering ia pamerkan di pendopo kabupaten dan tempat-tempat mentereng di Surabaya.

Meskipun euforia batik sudah lama berlalu, Lintu selalu kampanye batik batik batik. Di masa pandemi ini dia bahas batik lewat webinar, seminar online dsb.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai batik?" katanya.

Biasanya kalau sudah diklaim negara sebelah baru kita ngamuk. Sama dengan lagu Rasa Sayang yang sudah lama hilang di Indonesia. Orang sekarang lebih suka Pamer Bojo Anyar, Suket Teki, Bojo Galak, Banyu Langit...