Sejak ada corona kayaknya orang Indonesia, khususnya Jawa Timur, makin jarang pakai batik. Bahkan sebelum covid pun semangat pakai baju batik sudah sangat berkurang. Kecuali pegawai-pegawai yang memang diwajibkan oleh manajemennya pakai batik sebagai dresscode setiap Jumat.
Jumat pagi ini saya amati selintas jalan raya di Surabaya. Kawasan perbatasan Surabaya-Sidoarjo dari Rungkut Menanggal, Pondok Candra, hingga Juanda Sedati. Sangat sedikit yang pakai batik. Tidak sampai 50 persen.
Padahal, dulu Jumat identik dengan batik. Euforia batik luar biasa setelah PBB mengakui batik sebagai warisan dunia asal Indonesia. Sampai-sampai si kera pemain topeng monyet pun dipakaikan seragam batik.
Saya sendiri berusaha pakai batik setiap Jumat karena memang imbauan manajemen. Tapi lama-lama makin banyak yang tidak pakai batik. Berkurang terus terus terus... hingga di bawah 50 persen.
Suatu ketika saya jadi aneh sendiri karena pakai batik. Sebab teman-teman lain berpakaian bebas. Banyak yang pakai kaos oblong. Terlalu formal kalau batikan, kata teman.
Apa boleh buat, saya pun tak lagi pakai batik setiap Jumat. Cuma ke gereja saja yang pakai batik. Tapi sudah tiga bulan tidak pigi misa. Ekaristi cukup live streaming atau rekaman english mass via telepon seluler. Karena itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali pakai batik.
"Batik itu kebanggaan bangsa Indonesia. Kita harus lestarikan dan mengembangkan terus," kata Dr Lintu Tulisyantoro, dosen UK Petra sekaligus ketua komunitas batik Jatim.
Lintu paling antusias meneliti dan mengembangkan batik di Jatim. Koleksi batiknya di Larangan, Sidoarjo, memang luar biasa. Sering ia pamerkan di pendopo kabupaten dan tempat-tempat mentereng di Surabaya.
Meskipun euforia batik sudah lama berlalu, Lintu selalu kampanye batik batik batik. Di masa pandemi ini dia bahas batik lewat webinar, seminar online dsb.
"Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai batik?" katanya.
Biasanya kalau sudah diklaim negara sebelah baru kita ngamuk. Sama dengan lagu Rasa Sayang yang sudah lama hilang di Indonesia. Orang sekarang lebih suka Pamer Bojo Anyar, Suket Teki, Bojo Galak, Banyu Langit...
Jumat pagi ini saya amati selintas jalan raya di Surabaya. Kawasan perbatasan Surabaya-Sidoarjo dari Rungkut Menanggal, Pondok Candra, hingga Juanda Sedati. Sangat sedikit yang pakai batik. Tidak sampai 50 persen.
Padahal, dulu Jumat identik dengan batik. Euforia batik luar biasa setelah PBB mengakui batik sebagai warisan dunia asal Indonesia. Sampai-sampai si kera pemain topeng monyet pun dipakaikan seragam batik.
Saya sendiri berusaha pakai batik setiap Jumat karena memang imbauan manajemen. Tapi lama-lama makin banyak yang tidak pakai batik. Berkurang terus terus terus... hingga di bawah 50 persen.
Suatu ketika saya jadi aneh sendiri karena pakai batik. Sebab teman-teman lain berpakaian bebas. Banyak yang pakai kaos oblong. Terlalu formal kalau batikan, kata teman.
Apa boleh buat, saya pun tak lagi pakai batik setiap Jumat. Cuma ke gereja saja yang pakai batik. Tapi sudah tiga bulan tidak pigi misa. Ekaristi cukup live streaming atau rekaman english mass via telepon seluler. Karena itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali pakai batik.
"Batik itu kebanggaan bangsa Indonesia. Kita harus lestarikan dan mengembangkan terus," kata Dr Lintu Tulisyantoro, dosen UK Petra sekaligus ketua komunitas batik Jatim.
Lintu paling antusias meneliti dan mengembangkan batik di Jatim. Koleksi batiknya di Larangan, Sidoarjo, memang luar biasa. Sering ia pamerkan di pendopo kabupaten dan tempat-tempat mentereng di Surabaya.
Meskipun euforia batik sudah lama berlalu, Lintu selalu kampanye batik batik batik. Di masa pandemi ini dia bahas batik lewat webinar, seminar online dsb.
"Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai batik?" katanya.
Biasanya kalau sudah diklaim negara sebelah baru kita ngamuk. Sama dengan lagu Rasa Sayang yang sudah lama hilang di Indonesia. Orang sekarang lebih suka Pamer Bojo Anyar, Suket Teki, Bojo Galak, Banyu Langit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar