Jumat, 19 Juni 2020

Sembahyang diam-diam di dalam kamar

Wabah corona belum bisa diatasi di Indonesia. Khususnya di Jawa Timur. Lebih khusus lagi di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Tapi suasananya sudah new normal. Gak ada bedanya dengan sebelum Covid-19.

PSBB atau lockdown ringan selama 42 hari sudah berlalu. Ekonomi sempat macet cet. Rakyat menjerit minta PSBB dihapus. Pemerintah akhirnya ngalah. Sebab duit negara untuk bansos dsb pun sudah cekak.

''Sekarang ini masa transisi menuju new normal,'' kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Toko-toko, mal, tempat hiburan, warkop... sudah buka. Tempat-tempat ibadah juga mulai dilonggarkan. Masjid-masjid bahkan sejak lama pun tetap buka dengan pembatasan.

Bagaimana dengan gereja-gereja?

Sampai sekarang masih tutup. Misa streaming tiap hari. Bisa berkali-kali ekaristi lewat laptop atau ponsel. Lebih efisien. Cuma tidak bisa komuni suci.

''Keuskupan masih bikin protokol jelang new normal,'' kata seorang romo di Surabaya.

Besar kemungkinan bulan Juli baru bisa misa di gereja. Itu pun tidak akan normal. Jemaat dibatasi 50% atau 60% saja.

Bagaimana cara membatasi umat? Pakai tahun lahir ganjil genap? Pakai nomor HP ganjil genap seperti usulan mantan Wapres Jusuf Kalla untuk masjid?

Belum ada putusan resmi. Aku sih enjoy aja mengikuti misa-misa online yang sangat kaya dan variatif. Mulai misa yang cuma 20 menit hingga misa tridentina Latin ala pra-KV 2 yang bisa sampai dua jam.

Pagi ini aku nggowes sepeda lawas. Mampir ngombe di depan Gereja Bethany Rungkut. Tepatnya di kompleks ruko. Tetangganya toko pakaian anak, apotek, dan BRI.

''Ibadahnya mulai hari Minggu besok. Jemaatnya dibatasi untuk jaga jarak,'' kata ibu pekerja Bethany Successful Family.

Di depan gereja ruko dipasang panduan pelaksanaan ibadah di gereja sesuai protokol kesehatan Covid-19. Banyak banget aturannya. Aku hitung ada 24 aturan.

Di antaranya, bawa masker, jaga jarak selama beribadah, tidak berjabat tangan, jendela dibuka, lama ibadah kurang dari 50 menit.

Aku rasa protokol di Bethany ini kurang lebih sama dengan di gereja-gereja lain. Aku jadi gak semangat pigi gereja. Lebih baik sembahyang di rumah saja sampai corona benar-benar hilang.

Beta jadi ingat ayat suci dalam bahasa Melayu Kupang:

''Kalo bosong sambayang, na, maso pi dalam kamar ko tutu pintu. Ais sambayang diam-diam pi sang bosong pung Bapa. Biar orang laen sonde lia, ma bosong pung Bapa yang lia.''

Kalau mau sembahyang, masuklah ke dalam kamar, tutup pintu, dan sembahyang diam-diam. Tidak usah ramai-ramai.

4 komentar:

  1. Membaca ayat suci bahasa melayu orang Kupang, beta orang cina jadi ingat masa lampau ketika masih sekolah dan indekost bersama seorang Flores dan seorang Minang.
    Dari jenis suku, maka orang lain bisa tebak agama kami masing2.
    Si Flores mantan anak seminari Katolik. Si Minang orang Muslim yang sangat soleh, Sholat 5 kali sehari sudah mendarah daging. Beta si-cina penyembah polytheisme, bila perlu setan pun disembah.
    Di asrama, kami tiap orang punya kamar sendiri-sendiri, tetapi saya dan si Flores suka bertandang ke kamarnya si Minang, sebab dia selalu punya makanan. Terutama di bulan Ramadhan selalu dia mendapat kiriman Rendang dari keluarganya di Bukittinggi.
    Selagi kami enak2 ngobrol, jika sudah waktunya, selalu si Minang dengan sopan permisi untuk Sholat. Dia punya sajadah dan kompas-kiblat dari Mekkah. Kasihan dia harus kepojok kamarnya untuk menunaikan ibadah. Biasanya si Flores hanya geleng2 kepala, sambil melirik kearah beta. Tetapi ada juga kalanya si Joseph marah2 sambil mengucapkan Ayat Suci orang Kupang : Kalau mau sembahyang, masuklah ke dalam kamar, tutup pintu, dan sembahyang diam-diam. Kamu itu jangan suka show !
    Masya Allah, si Joseph kadang kala koq kumat seperti Londo silit ireng. Kita berdua, tamu2 tak diundang, yang menduduki, mengokupasi kamarnya si Minang, koq bisanya menyuruh pemilik kamar pergi ke kamar lain dan menutup pintu, kalau mau sholat. Persis seperti orang kolonialis kulit putih.
    Herannya mengapa kami bertiga bisa rukun, tanpa basa-basi, tidak ada dibenak kami issuu SARA sebagai masalah yang sensitiv atau tabu.
    Apakah karena kami bertiga kala itu sama-sama sebatang-kara hidup di perantauan. Apakah kami sudah paham Prisip pertama dari Sanmin Zhuyi, yaitu Minzu Zhuyi. ( Berbangsa Satu yang terdiri dari ber-macam2 suku, agama, ras dan aliran, berdasarkan kesamaan budaya dan sejarah, bersatu mengusir penjajah ). Kalau penjajah sudah pergi, haruskah kita saling cakar-cakaran ?
    Waktu zaman suharto, si Minang selalu bilang cinak, cinak, cinak.
    Waktu zaman Gus Dur, mendadak si Minang bilang tiong..tiong..hoooaa.
    Mangkanya beta bilang ke dia: Masya Allah, kita kenal dan berteman sudah puluhan tahun, kenapa lu harus mengubah sebutan cinak dengan tiong...tiong..hoooaaa ? Sekali cinak ya tetap cinak, seperti lu sekali minang ya tetap minang. Lihat si Flores, apakah rambut keritingnya bisa jadi lurus !

    BalasHapus
  2. Hahaha... londo silit ireng.
    Angel diterjemahno nang bahasa daerah Lamaholot karena kata silit tidak ada. Yang ada cuma kata untuk pantat.

    Itulah hebatnya bahasa Jawa yang vokabularinya sangat banyak dan sangat spesifik.
    kamsia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coro Jowo kuwi pancene hebat, tetapi wong jowo-nya sendiri tidak mau pakai bahasa jawa. Contoh :
      Pancasila adalah way of life kita. Ada yang lebih extrem,
      Pancasila adalah Weltanschauung kita. Lacur bapak guru civics membaca nya agak aneh, wel tan tjung, atau kadang2 welt an tjung.
      Orang Jawa sifatnya suka kebersihan, resikan. Sitik-sitik merasa jijik, lalu ngomel : jemberi, jember aku.
      Mergone kuwi, lek pingin dadi pemimpin, kudu dhuwe pengalaman angon wedhus utawa kebo.
      Seorang Uskup diberi tongkat-gembala untuk angon ummatnya.
      Orang Eropa punya ungkapan; Zuckerbrot und Peitsche, Rotimanis dan Cambuk.
      Waktu sekolah kelas 2 sampai kelas 4 SR, saya hidup di Bumi Blambangan. Oleh kakang, saya diberi hadiah 2 ekor wedhus gibas betina, satu bulunya putih mulus dan lainnya putih campur hitam.
      Jadi selama 3 tahun, pulang sekolah, saya tiap hari angon wedhus.
      Untuk jadi gembala dibutuhkan tampar (tali) untuk mengikat dan pecut (cambuk) untuk memecut.
      Manusia kelakuannya sama seperti hewan, kalau tidak diikat dan dipecut, dia akan jadi liar, lari ngalor ngidul sakarepe dhewe,
      primitif dalam arti tidak tahu tata-krama.
      Di negeri tercinta banyak hewan Kadal-Gurun, suka bikin onar. Kadal-Gurun yang mancung2, yang jadi pemimpin, mereka itu tidak bodoh, tetapi primitif, tidak tahu tata-krama, dayo berlagak sing dhuwe omah. Mereka kenal betul sifat orang Jawa yang jemberan, giloan, jijikan. Jadi Kadrun tidak takut kalau diancam mau DIGIGIT. Orang Jawa mana yang berani atau mau menggigit seekor kadal, apalagi kadal import.
      Dicancang dengan tampar Pak De, terus dipecut, ben-ne kapook !
      Dicokot ? Sopo sing sudi nyokot !

      Hapus
  3. Bahasa melayu kupang, melayu ambon, melayu tionghoa dan melayu2 lain itu sebetulnya sangat mirip. Bahasa lingua franca yang sangat fleksibel. Bisa dilipat dan dicampur dengan kata2 lokal atau asing sesuai kebutuhan.

    Beta juga senang lihat orang Tionghoa yg pigi sembahyang diam2 di kelenteng. Mereka sembahyang sendiri2 tanpa pimpinan imam atau romo dan tanpa khotbah. Jam sembahyangnya pun tidak ditentukan. Mau pigi sembahyang pagi, siang, malam.. terserah. Mau sembahyang di rumah aja pun sonde apa2.

    BalasHapus