Selasa, 23 Juni 2020

Nostalgia peneng sepeda lawas

Musim corona ini memaksa orang untuk lebih serius menjaga kesehatan, cuci tangan, jaga jarak, olahraga ringan rutin. Salah satunya bersepeda.

Belakangan ini ramai banget anak-anak muda generasi Z di Surabaya berolahraga sepeda. Setiap malam Jalan Tunjungan, Gubernur Suryo, hingga Raya Darmo dan Taman Bungkul berseliweran sepeda pancal.

Mulai sepeda kelas bumbu masak yang Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah ada. Komunitas sepeda tua jarang terlihat. Sebab penggowes-penggowes lawas itu lebih suka ngonthel siang hari. Anak-anak muda gen Z lebih suka malam hari. Sekalian foto-foto selfie di Tunjungan atau Taman Bungkul.

Pagi ini aku ngopi di warkop bersama beberapa penggowes sepeda tua di kawasan tambak Gunung Anyar, Surabaya. Mereka senang dengan tren bersepeda di tengah pandemi ini. ''Mudah-mudahan berlanjut setelah covid,'' kata bapak dari Rungkut.

Namanya juga orang lama, para pesepeda tua itu banyak cerita tentang sejarah dan perjuangan. Khususnya jasa-jasa dan sepak terjang Bung Karno. Apalagi bulan Juni merupakan bulan Bung Karno. Selalu menarik mendengar cerita soal Bung Karno meskipun sudah sering kita dengar.

Ada anggota komunitas sepeda tua dari kawasan Juanda, Sidoarjo, membahas masalah peneng. Semacam pajak sepeda tempo doeloe. Dulu sepeda pancal dipajaki karena dianggap semacam barang mewah.

Namanya penneng atau peneng atau pening. Bisa pening kepala kalau belum bayar peneng. Sebab ada razia peneng di jalan raya. Kayak tilang mobil atau motor saat ini.

Lama-lama peneng sepeda dihapus tahun 1970an dan 1980an. Sebab sepeda onthel bukan lagi barang mewah yang pantas dipajaki. Pajak radio dan pajak TV juga dihapus.

Bisa jadi suatu saat pajak sepeda motor pun dihapus ketika Indonesia sudah makmur dan adil. Cukup mobil saja yang dipajaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar