Kamis, 09 April 2020

Misa Kamis Putih Cuma 54 Menit

Misa Kamis Putih baru saja selesai. Perayaan ekaristi awal pekan suci itu dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vinventius Sutikno Wisaksono. Didampingi tiga romo. Salah satunya Romo Y. Eko Budi Susilo, Vikjen Keuskupan Surabaya.

Misa Kamis Putih diadakan di Gereja Katedral HKY Surabaya, Jalan Polisi Istimewa. Tidak ada umat layaknya pekan suci normal yang luar biasa meriah itu. Cuma lektor, pemazmur, dan dua atau tiga orang penyanyi.

Suasana prihatin gara-gara Covid-19 sangat terasa. Pembasuhan kaki 12 murid ditiadakan. Begitu juga perarakan sakramen mahakudus di akhir misa.

Umat Katolik di Keuskupan Surabaya cukup ikut misa di rumah masing-masing. Lewat live streaming YouTube. Sudah tiga minggu gereja-gereja di Jawa Timur memang tutup. Begitu juga di daerah lain di tanah air.

Saya ikuti misa Kamis Putih online ini dengan sangat fokus. Kebetulan juga libur. Secara umum sama saja dengan misa di gereja. Cuma sangat tidak meriah.

Lagu-lagu paduan suara yang bagus ala pekan suci tak ada. Aklamasi pun tidak dinyanyikan. Kor cuma menyanyi lagu pembukaan, kyrie, gloria, agnus dei, dan lagu penutup.

Karena itu, misa jadi sangat padat dan singkat. Cuma intinya saja yang dipakai. Tidak heran misa Kamis Putih yang lazimnya berlangsung antara dua sampai tiga jam itu selesai dalam tempo 54 menit. Kurang satu jam.

Pandemi Covid-19 merebak saat teknologi internet dan jaringan data di tanah air sudah bagus. Karena itu, konten-konten liturgi berseliweran dari berbagai keuskupan dan paroki di seluruh Indonesia.

Belum lagi online mass atau misa bahasa Inggris yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi bahasa-bahasa lain di ratusan negara yang juga bikin misa online. Belum lagi live streaming dari Vatikan.

Sulit dibayangkan jika si corona ini datang di era pra-internet. Mudah-mudahan wabah corona ini segera berlalu.

Kyrie eleison!
Christe eleison!

Jumat, 03 April 2020

Gamang menutup sementara tempat ibadah

Sudah dua minggu ini gereja-gereja di Surabaya tutup. Tidak ada misa atau kebaktian. Kebijakan yang sempat ditentang banyak umat kristiani itu untuk memutus mata rantai penyebaran coronavirus.

Bagaimana dengan masjid-masjid di Surabaya?

Tidak semuanya tutup. Masjid Al Falah di Raya Darmo yang pertama kali meniadakan salat Jumat dua pekan lalu. Kemudian diikuti masjid-masjid lain. Khususnya yang bernaung di bawah Yayasan Muhammadiyah.

Jumat pagi 3 April 2020. Saya perhatikan delapan masjid di kawasan Rungkut dan Gununganyar. Tutup semua. Tidak adakan salat Jumat berjemaah.

"Apakah masjid-masjid di Surabaya hari ini tidak gelar Jumatan?" tanya saya kepada seorang tukang ojek di Rungkut Menanggal.

"Ada yang tetap Jumatan, ada yang tidak. Kebijakannya tidak sama," kata Mas asal Sidoarjo. Dia sambat kehilangan pendapatan hingga 60 persen gara-gara corona.

Indonesia memang negara yang sangat religius. Tidak gampang meminta tempat-tempat ibadah untuk tutup sementara sesuai protokol Covid-19. Apalagi masjid. Bisa panjang urusannya. Kudu hati-hati dan super bijaksana.

Saking bijaksananya, pemerintah pusat dan daerah tidak berani meminta masjid-masjid ditutup sementara. Kata-katanya cuma "imbauan", "anjuran", "sebaiknya", "alangkah bagusnya" dsb dsb.

Beda dengan PM Singapura yang bisa dengan enteng meminta masjid-masjid, gereja, dan semua tempat ibadahnya ditutup sementara. "Vatikan juga tutup sementara. Arab Saudi juga menghentikan sementara ibadah umrah," kata PM Lee.

Pagi ini saya baca tulisan Dahlan Iskan di disway.id. Mantan menteri BUMN ini kelihatannya gregetan karena orang Indonesia kelihatannya masih sangat longgar dalam menghadapi corona. Padahal pasien positif naik terus.

Dahlan Iskan menulis:

<< Saya pun mendapat kiriman pidato Bupati Lombok Timur, Sukiman Azmy. Yang begitu tegas. "Semua masjid harus ditutup. Yang melanggar bawa ke kantor polisi," katanya.

Ia tidak mau banyak berdebat soal alasan. "Kurang berkah apa Masjidil Haram di Makkah. Ditutup. Kurang hebat apa para ulama di Al Azhar, Kairo, Mesir. Mereka telah berfatwa agar masjid ditutup," kata Sukiman Azmy. >>

Misa Pekan Suci via Streaming dan TV

Romo Eko Budi Susilo meneteskan air mata seusai memimpin misa di kapel Keuskupan Surabaya. Misa yang tidak ada umatnya. Cuma ada beberapa petugas liturgi. Umat Paroki HKY Katedral Surabaya bisa mengikuti online mass ini dari rumah masing-masing.

"Selama 30an tahun jadi imam, baru pertama kali ini memimpin misa tanpa umat. Biasanya umat yang hadir misa seribu sampai 3.000 orang," kata Romo Eko BS yang juga Vikjen Keuskupan Surabaya.

Begitulah. Sudah dua minggu ini semua gereja katolik di Keuskupan Surabaya tutup. Gara-gara coronavirus. Uskup Surabaya Mgr Sutikno Wisaksono memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan yang melibatkan banyak umat di wilayah Keuskupan Surabaya. Termasuk misa mingguan dan misa harian.

Minggu 5 April 2020 sudah masuk Minggu Palma. Awal pekan suci. Liturgi paling meriah di lingkungan Gereja Katolik.

Ada pawai, arak-arakan umat membawa daun palma. Mengenang Yesus masuk ke Yerusalem naik keledai. Ratusan bahkan ribuan umat Katolik di Flores biasanya jalan kaki cukup jauh. Sambil menyanyi Hosanna... Putra Daud!

Tapi besok tidak akan ada arak-arakan itu. Misa Minggu Palma sederhana saja. Bapa Uskup atau Romo Eko (dan romo-romo lain) memimpin ekaristi dari gereja yang kosong. Umat cukup di rumah saja. Mengikuti online mass.

Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah?

Sama saja. Tidak ada misa raya di gereja-gereja. Cukup misa live streaming. Di rumah saja. Jangan ke mana-mana agar Covid-19 ini segera berakhir.

Barusan ada informasi dari Ama Paul, tokoh Lamaholot, Flores Timur, di Sidoarjo. Katanya misa pekan suci akan disiarkan TVRI dan Kompas TV. Mulai

Lumayan, bisa hemat data! Tidak perlu beli pulsa internet. "Tite misa te lango onen," katanya. Kita misa di dalam rumah saja. Begitu arti kalimat dalam bahasa Lamaholot.

Mungkin sepanjang sejarah baru kali ini perayaan ekaristi pekan suci Paskah tidak diadakan di gereja. Mungkin baru tahun 2020 ini gereja-gereja ditutup di (hampir) seluruh dunia.

Sampai kapan?

Hanya Tuhan yang tahu!

Rabu, 25 Maret 2020

Misa Online Jadi Kebutuhan saat Covid-19

Jauh sebelum ada Covid-19, saya sudah biasa ikut misa online. Bukan karena malas pigi misa di gereja atau ada halangan lain. Saya ingin tahu suasana misa bahasa Inggris di Amerika Serikat dan Kanada.

Di Surabaya juga ada misa bahasa Inggris tiap Minggu pukul 10.00 di Dukuh Kupang Barat. Tapi paternya bukan english native speaker. Biasanya romo Tionghoa, Jawa, Flores, atau Filipina.

Pater asal Filipina biasanya lebih fasih berbahasa Inggris. Tapi tetap saja logat atau aksennya beda dengan orang USA, UK, Kanada, atau Australia. Sama saja dengan orang Jawa atau Batak atau Flores berbahasa Inggris. Logat asli bahasa ibu tidak bisa hilang.

Karena itu, sejak kecepatan internet di Indonesia meningkat plus data melimpah, saya manfaatkan YouTube untuk Daily Mass dan Sunday Mass. Saya sengaja pilih misa versi Amerika Serikat dan Kanada. Bukan Australia apalagi Filipina atau India. Gereja Katolik di Filipina dan India sejak dulu punya layanan misa online.

Selain aksen American English yang sangat jelas dan menarik, layanan misa dari USA dan Kanada sangat profesional. Kualitas video, audio, angle, hingga tata liturginya paling profesional.

Sunday Mass atau Misa Minggu saya biasa ikut misa bersama pater-pater Pasionis di New York. Pater Paul Fagan OP yang jadi koordinator. Homilinya sederhana dan menarik.

Begitu juga kornya sangat profesional. Empat penyanyi dan satu pemain musik. Mereka bergantian jadi solis untuk Mazmur Tanggapan. Bagus banget.

Umatnya anak-anak sekolah menengah pertama. Ada juga beberapa orang dewasa yang ikut perayaan ekaristi di Kapel Pasionis untuk Sunday Mass itu.

Daily Mass atau Misa Harian saya pilih Kanada. Kapel di Ontorio. Aksen bahasa Inggris pater-pater dan lektor mirip dengan USA. Kecuali pater asal Belanda yang logat Hollands Spreken tidak hilang.

Misa harian ini tidak pakai kor. Lecta Missa. Ordinarium Kyrie dan Gloria diucapkan saja. Kecuali Sanctus dan Agnus Day dinyanyikan solis. Misa harian ini paling lama 29 menit.

Tentu saja kebiasaan saya mengikuti misa harian (beberapa kali bolos misa di gereja) diprotes. Dianggap tidak sah. Tidak ada komuni. Tidak berada di sekitar altar. "Itu kan kayak nonton televisi," kata teman.

Hehehe... Orang NTT itu lupa bahwa selama bertahun-tahun dia juga "menonton TV" saat misa di gereja karena gereja kadung penuh.

Sebagian umat mengikuti misa di balai paroki samping gereja. Ratusan umat di balai paroki itu menyaksikan imam, altar dsb lewat layar lebar yang dipasang di balai paroki. Itu yang selama ini terjadi di Sidoarjo Kota dan Sidoarjo Waru.

"Apa bedanya dengan saya yang nonton TV di rumah? Anda menonton TV di balai paroki?" kata saya bercanda.

"Tapi kan ada komuni. Ada umat. Sementara misa di YouTube tidak ada komuni," katanya.

Tak disangka-sangka datanglah wabah virus corona. Pandemi melanda dunia. Italia dan Vatikan pun dikarantina total. Sulit dibayangkan Lapangan dan Basilika Santo Petrus di Vatikan tutup.

Covid juga melanda Indonesia. Pasien naik terus. Yang mati banyak. Maka pemerintah melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Termasuk ibadah di gereja, masjid, pura, kelenteng dsb.

Apa boleh buat. Uskup-uskup di Indonesia pun bikin surat gembala. Intinya meniadakan misa di gereja dan berbagai kegiatan di paroki. Umat dianjurkan memperbanyak doa-doa di rumah masing-masing.

Sabtu sore, 21 Maret 2020. Kali pertama dalam sejarah Keuskupan Surabaya diadakan misa online. Misa kudus langsung dipimpin Mgr Sutikno Wisaksono dari kapel keuskupan di Jalan Polisi Istimewa Surabaya.

Minggu diadakan dua kali misa secara online streaming. Kemudian misa harian juga diadakan secara daring.

Luar biasa!

Pandemi virus corona tak ayal membongkar tatanan lama yang sudah mapan selama ribuan tahun. Vatikan ditutup sementara! Ibadah umrah di Makkah pun distop sementara oleh Kerajaan Arab Saudi.

Saya sendiri tentu tidak kaget dengan Online Mass. Sebab misa ala nonton TV di kamar itu sudah seperti gaya hidup rutin layaknya nggowes sepeda pancal.

Sabtu, 21 Maret 2020

Tidak Wajib Misa Hari Minggu

Wabah virus corona mengimbas ke mana-mana. Termasuk urusan ibadah atau liturgi. Gubernur Khofifah mengeluarkan surat edaran yang intinya melarang kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Tentu saja termasuk jemaat yang beribadah di masjid, gereja, pura dsb.

Bagaimana dengan gereja? Khususnya Gereja Katolik. Saya cek di Paroki Roh Kudus, Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, misa harian berlangsung seperti biasa. Ekaristi yang dimulai pukul 05.30 berlangsung normal saja.

Tadinya saya pikir misa harian atau daily mass ditiadakan gara-gara covid itu. Umat yang datang pun relatif stabil. Rata-rata 80 sampai 100 orang. Kadang bisa lebih.

"Kita justru lebih mendekatkan diri pada Tuhan," kata salah seorang jemaat yang rajin misa setiap pagi. Ibu ini rupanya tidak termakan isu corona. "Kita harus waspada tapi tidak boleh panik," katanya.

Lantas, bagaimana kebijakan resmi Paroki Roh Kudus, Surabaya, untuk misa hari Minggu?

Asal tahu saja Sunday Mass selalu dihadiri ribuan umat. Tempat duduk selalu penuh sampai di luar. Bahkan 15 menit sebelum misa tempat duduk sudah terisi.

Saya tanyakan pada Pastor Paroki Roh Kudus Pater Dominikus Udjan SVD. Pater atau romo asal Pulau Lembata, NTT, itu menjawab via WA.

"Selamat pagi Ama. Misa tetap ada. Yang sehat dan mau datang ikut silahkan dan yang tidak ikut juga tidak apa2. Prinsipnya tidak dipaksa," tulis Pater Domi Udjan.

Jawaban yang singkat, padat, dan jelas. Intinya, selagi masih darurat wabah corona, umat Katolik tidak diwajibkan ikut misa hari Minggu di gereja. Bisa berdoa bersama keluarga di rumah atau doa pribadi.

Sebelumnya Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono mengeluarkan surat edaran kepada para pastor di Keuskupan Surabaya. Bapa Uskup meminta para imam agar tidak menyebarkan kepanikan terkait pandemi Covid-19 ini.

Umat yang sakit diminta berdoa di rumah masing-masing. Tidak perlu ke gereja. Namun, pelayanan sakramen tetap berlangsung dengan memperhatikan social distancing, kesehatan diri, dan kebersihan lingkungan.

Gereja-gereja juga diminta menyiapkan tempat cuci tangan, hand sanitizer dsb. Tempat-tempat ziarah dan devosional di lingkungan gereja ditutup sementara hingga akhir Maret 2019.

Kebijakan Keuskupan Surabaya tampaknya tidak seketat Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Agung Semarang. Kedua keuskupan utama di tanah air itu meniadakan misa hari Minggu, misa harian, dan semua kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Umat Katolik di Jakarta malah dianjurkan mengikuti misa via live streaming dan YouTube. Bisa jadi karena dampak corona di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogjakarta lebih parah ketimbang di Jawa Timur.

Minggu, 15 Maret 2020

Tidak Misa karena Takut Corona

Wabah virus corona membuat segala urusan jadi terganggu. Termasuk peribadatan. Arab Saudi menghentikan sementara ibadah umrah. Vatikan juga menutup sementara basilika dan Lapangan Santo Petrus untuk umum.

Bahkan misa di Vatikan pun sangat dibatasi. Paus Fransiskus mengadakan misa harian di kapel kecil dengan sedikit jemaat. Gara-gara Covid 19 yang sudah pandemik itu.

Minggu pagi ini, 15 Maret 2020, saya berniat ikut misa pagi di Gereja Salib Suci, Waru. Kangen sama pater-pater SVD asal Flores yang tugas di Paroki Salib Suci.

Tapi setelah membaca berbagai imbauan di media sosial agar menghindari kerumunan, saya kecut juga. Apalagi dua minggu ini ada diskusi di kalangan umat Katolik agar tidak perlu mencelupkan tangan ke air suci di pintu masuk gereja. Khawatir ada umat yang kena corona lalu menyebar ramai-ramai.

Jadi gak ke gereja? Saya ragu-ragu. Tidak mantap.

Apa boleh buat. Misa pagi ini cukup di kamar saja. Ekaristi bahasa Inggris alias Sunday Mass yang disiarkan dari Amerika Serikat. Misa mingguan yang biasa dilayani pater-pater pasionis.

Suasananya sih sama saja dengan misa di gereja-gereja di Surabaya atau Sidoarjo. Bahasanya saja yang English. Tapi tata liturgi, bacaan pertama, kedua, Injil dsb sama saja.

Lagu-lagu tidak banyak. Sehingga Sunday Mass ini hanya 30 menitan. Beda dengan misa di gereja di Jawa Timur yang paling cepat 75 menit.

Tentu saja online mass ini ada kekurangan. Tidak ada komuni. Tidak ada salam damai dsb. Tapi mau bagaimana lagi?

Pagebluk virus corona ini benar-benar masif dan luar biasa. Menjaga kesehatan jauh lebih penting ketimbang... pigi misa.

Sejak Lapangan St Petrus Vatikan ditutup, misa online Paus Fransiskus jadi sangat populer. Bisa diakses di mana saja. Tanpa harus jauh-jauh pigi ke Roma.

Salam damai!

Rabu, 11 Maret 2020

Raja Belanda Minta Maaf Setengah Hati



Minggu lalu ada diskusi ringan tentang kolonialisme di Indonesia. Khususnya Belanda alias Londo. Sejak kapan sebenarnya Nusantara ini dijajah Belanda?

Sejak kedatangan de Houtman?

Sejak VOC berdagang rempah-rempah?

Sejak VOC bangkrut karena korupsi?

Sejak VOC diambil alih pemerintah Belanda awal 1800-an?

Tidak jelas.

Penjelasan beberapa pengamat dan pemerhati sejarah di Sidoarjo itu ngambang. Mbah Gatot masih menyebut 350 tahun. Persis hafalan murid-murid SD itu.

Yang pasti, wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini tidak sekaligus dijajah Belanda. Londo Keju itu ambil satu-satu wilayah. Sebab pada saat itu wilayah-wilayah di Nusantara sangat otonom. Alias punya kedaulatan sendiri-sendiri. Bisa dikatakan sudah ada puluhan bahkan ratusan negara/kerajaan.

Karena itu, ketika Banten diambil Belanda, wilayah lain seperti Madura, Blambangan, Bali, Timor, Flores, atau Papua masih merdeka. Bahkan tidak tahu ada virus kolonialisasi dari negeri kincir angin itu.

Saya pikir angka 350 tahun itu sengaja digunakan para pejuang untuk membangkitkan semangat orang Indonesia untuk melawan penjajah Belanda. Angka persisnya pasti tidak sebanyak itu.

Belanda diusir Jepang tahun 1942. Indonesia proklamasi 1945. Tapi de facto Belanda masih bercokol di tanah air kita sampai akhir 1949. Kerajaan Belanda baru menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.

Selasa 10 Maret 2020, Raja Belanda Willem Alexander berkunjung ke Indonesia. Adem ayem aja. Sangat sepi pemberitaan. Apalagi sekarang lagi ramai virus corona alias Covid-19.

Walaupun tak ada corona, tetap saja lawatan raja dan ratu Belanda ini tidak dianggap penting. Sama saja dengan lawatan presiden Timor Leste atau PM Malaysia atau Sultan Brunei atau PM Papua Nugini.

"Apanya yang istimewa? Belanda itu masa lalu. Sudah tidak ada hubungan dengan kita," kata mantan wartawan senior di Surabaya.

Mungkin yang sedikit menarik perhatian media adalah sambutan Raja Willem. Dia sempat minta maaf atas masa lalu Belanda di Indonesia. Minta maaf atas penjajahan yang 350 tahun itu?

Awalnya saya kira begitu. Tapi setelah saya baca berita di beberapa media daring, Raja Willem sama sekali tidak singgung sepak terjang VOC dan kolonialisme Kerajaan Belanda yang sangat eksploitatif itu.

Willem ternyata hanya minta maaf atas "perpisahan yang menyakitkan" setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu ribuan pejuang Indonesia berguguran. Termasuk Arek-Arek Surabaya.

"Saya ingin minta maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda," kata Raja Willem Alexander di Istana Bogor.

Begitulah angle penjajah. Belanda rupanya tidak merasa bersalah atas kolonialisme di Indonesia hingga 1945 (minus pendudukan Jepang) itu. Bisa jadi Belanda justru merasa berjasa sudah membangun berbagai infrastruktur di tanah air kita.

Syukurlah, Indonesia bukan Malaysia, Singapura, atau Brunei yang masih terus memupuk hubungan dengan bekas penjajahnya. Kita sudah lama melupakan Belanda.

Dan... naga-naganya kita tidak lagi membutuhkan duit Belanda sejak IGGI dibubarkan. Go to hell with your money!!!

"Belanda itu penjajah yang paling keparat dan brengsek," kata salah satu peserta sarasehan asal Sidoarjo.