Jumat, 17 Januari 2020

Dr Maximus Markus Taek Teliti Pengobatan ala NTT



Kamis 16 Januari 2020.

Saya diajak Ama Urbanus Ola Hurek, pamanku, untuk mengikuti sidang promosi doktor di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Kebetulan sang calon doktor itu teman akrabnya. Sama-sama dosen Universitas Widya Mandira, Kupang.

"Tolong usahakan hadir karena sangat menarik," kata Ama Urbanus yang sedang menyelesaikan S3 di Universitas Padjdjaran, Bandung.

Ama Urbanus secara khusus datang ke Surabaya untuk menyaksikan sidang promosi doktoral itu. Begitu juga beberapa dosen Unwira yang sedang kuliah S3 di Malang dan Surabaya. Karena itu, aula Farmasi Unair didominasi orang NTT. Mulai Timor, Flores, Lembata, bahkan ada yang Timor Leste.

Sang calon doktor itu Maximus Markus Taek MSi. Dosen Unwira Kupang asal Belu itu meneliti tanaman-tanaman obat tradisional di daerah asalnya. Salah satunya berkhasiat untuk mengatasi penyakit malaria.

Asal tahu saja, sejak dulu NTT dikenal sebagai sarang malaria. Bisa dipastikan 99% persen orang NTT pernah terserang malaria. Demam gak karuan. Menggigil. Kadang efeknya seperti orang setengah gila.

Karena itu, kamar tidur orang NTT biasanya dilengkapi kelambu. Obat nyamuk bakar atau lotion tidak mempan. Maka sejak dulu di kampung-kampung ada dukun atau pengobat tradisional yang bikin ramuan untuk warga yang sakit malaria.

Nah, Maximus Markus menggali tanaman-tanaman obat tradisional yang biasa digunakan di Kabupaten Malaka, Kabupaten Belu, dan kawasan lain yang berbahasa Tetun. Termasuk Timor Leste yang memang bahasa daerahnya Tetun.

Analisis kimia, farmakologi dsb saya tidak paham. Sebab saya terlambat masuk ke ruang sidang. Sudah sesi tanya jawab. Para penguji dari Unair, Unwira, dan doktor-doktor lain memberondong Maximus dengan berbagai pertanyaan. Kayaknya majelis hakim menghadapi terdakwa.

Saya perhatikan Maximus agak kelabakan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Tapi secara umum pakar asli NTT itu menguasai persoalan dengan baik. "Saya banyak menggali informasi dari 96 pengobat tradisional di Tetun," katanya.

Meskipun penelitian ini tentang farmasi, obat tradisional, Maximus masuk ke ranah antropologi dan sosiologi. Maka Dr Pingky Saptandari dari Unair, yang sering masuk koran, itu mencecar calon doktor dengan pertanyaan-pertanyaan sosiologis.

Lalu, giliran Pater Dr Gregorius Neonbasu SVD menggali lebih dalam sisi antropologis. Maklum, pastor asli Timor itu dikenal sebagai doktor antropologi budaya lulusan Australian National University (ANU). Banyak sekali kutipan pater yang tidak saya ingat lagi. Pater ini kutu buku dan memorinya sangat kuat. Belum terpapar virus gadget di era digital hehe...

Pater Gregor Neonbasu SVD kemudian bertanya dalam bahasa Tetun. "Anda harus jawab dalam bahasa Tetun," ujar pater yang juga pimpinan Yayasan Unwira.

Hahaha.... Hadirin tertawa mendengar ucapan Dr Gregor SVD. "Apakah boleh saya jawab pakai bahasa Tetun?" tanya Maximus.

"Boleh. Nanti diterjemahkan," kata Prof Dr Sukardiman, ketua penguji dari Fakultas Farmasi Unair.

Maximus pun menjawab dengan lancar. Pater Gregor pun memuji anak buahnya yang dinilai berjasa mengangkat pengobatan tradisional NTT ke ranah ilmiah.

"Disertasi Anda ini harus dibaca siapa saja yang ingin tahu seluk beluk NTT dengan keanekaragamannya. Bahkan saya dorong supaya diterbitkan jadi buku," katanya.

Sekitar pukul 12.25 sidang diskors. Para penguji bersidang di ruang khusus untuk menentukan yudisium sang calon doktor.

Prof Sukardiman kemudian mengumumkan bahwa Maximus Markus Taek dinyatakan lulus dengan IP 3,87. Sangat memuaskan!

Hadirin bertepuk tangan riuh. Mulai saat itu Maximus berhak menyandang gelar doktor. Dr. Maximus Markus Taek, M.Si.

"Saya yang pertama kali memanggil Anda dengan Doktor Maximus," kata Prof Sukardiman.

Dr Maximus tercatat sebagai doktor ke-23 yang dihasilkan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Sekaligus doktor pertama di FMIPA Universitas Widya Mandira Kupang.

Acara selanjutnya foto-foto di panggung di luar aula. Lalu makan-makan. "Pater silakan pimpin doa dan pemberkatan untuk makanan ini," kata saya kepada Pater Gregorius Neonbasu SVD.

Pater yang duduk di samping saya bilang tidak usah. "Silakan berdoa sendiri-sendiri," katanya.

Selamat untuk Dr Maximus!
NTT Yes! Malaria No!

Petilasan Nyai Rondo Kuning di Pulungan Sedati

Cukup banyak petilasan atau cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Ada Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candipari, Porong, yang paling dikenal masyarakat. Ada juga Candi Tawangalun di Desa Buncitan, Sedati.

Nah, tidak jauh dari Buncitan, tepatnya di Desa Pulungan, ada pula situs lawas. Makam Nyai Ratu Rondo Kuning alias Nyai Ratu Sekarsari. Sesuai catatan di dinding, Mbah Rondo Kuning ini selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.

"Kalau tidak salah kira-kira tahun 1535 M," kata Iriyanto, pengurus situs, kepada Lambertus Hurek, Jumat 17 Januari 2020.

Batu-batu merah yang dipakai untuk membuat situs ini konon asli peninggalan Majapahit. Awalnya cuma lahan kosong, dekat Bandara Juanda. Kemudian Dulsahid yang punya kemampuan spiritual mendapat semacam petunjuk untuk membuat situs ini.

Ada foto peletakan batu pertama pada 1973 dipasang di pendapa nan asri. Di bawah naungan pohon asam jawa terdapat sendang berusia ratusan tahun. Sayang, sendang atau kolam tua di depan sudah diuruk untuk lahan parkir.

Tinggal sendang kecil di samping musala. "Sendang ini asli. Sejak dulu sudah ada," kata Iriyanto yang asli Kepanjen, Malang.

Saya kemudian minta sang juru kunci ini membuka pintu makam Nyai Rondo Kuning. Wow... ada sumur di sampingnya. Airnya ya dari sendang tua sejak zaman Majapahit. Sering diambil pengunjung untuk berbagai keperluan. Konon bisa menyembuhkan penyakit dsb.

Seperti umumnya petilasan-petilasan lain di Jawa Timur, makam Nyai Ratu Rondo Kuning ini dibuat layaknya makam muslim. ''Apakah bangsawan Majapahit itu beragama Islam? Jangan-jangan jenazahnya dikremasi layaknya umat Hindu?" tanya saya dalam hati.

Pak Yanto, mengutip cerita yang beredar dari mulut ke mulut, menyebutkan bahwa dulu Presiden Sukarno pernah mampir ke sini. Tentu saja situsnya belum sebagus sekarang. "Tahun 60an kan Presiden Sukarno meresmikan Bandara Juanda. Mungkin beliau sempat mampir," kata Yanto.

Belakangan ada penambahan dua makam baru. Yakni makam Nyi Anggraeni dan Eyan Aria Dwipa. Siapa gerangan keduanya? "Mbah Said yang paham. Beliau tinggal di dekat Lapangan Albatros Juanda," ujar Yanto.

Meskipun belum tercatat Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Trowulan, Mojokerto, menurut saya, situs di Pulungan ini jauh lebih terawat ketimbang situs-situs lain di Sidoarjo. Pengunjungnya tidak sebanyak di Candi Pari atau Candi Tawangalun. "Tapi ada saja yang mampir," kata Yanto.

Biasanya paling ramai pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Para penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan biasanya datang untuk bersemadi. Mungkin juga untuk ngalap berkah.

"Ayem rasanya tinggal di sini. Ada saja rezeki dari Yang Mahakuasa," kata Iriyanto.

Rahayu!
Rahayu!
Rahayu!

Kamis, 16 Januari 2020

Jalan Tergenang atau Jalan Terendam?

Kemarin hujan deras di Surabaya. Tanpa angin kencang yang menyebabkan puluhan pohon tumbang seperti pada 5-6 Januari 2020.

Di Surabaya Utara, khususnya Jembatan Merah, Kembang Jepun, Kalimas dan sekitarnya hujan tidak begitu lebat. Bagus untuk menghalau debu-debu yang beterbangan di kawasan kota lama.

Kamis pagi, 16 Januari 2020, muncul berita di koran. Tentang banjir semalam. Nadanya positif. TERENDAM AIR PUKUL 17.20, SURUT 19.30".

Luar biasa. Cuma dua jam 10 menit saja beres. Air berlimpah itu mengalir lancar lewat salurannya hingga ke muara di kawasan Pelabuhan Kalimas yang terkenal itu.

Mengapa air hujan dibuang ke laut? Tidak diserap masuk ke dalam bumi? Kalau itu sih Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang paling paham.

Saya cuma tertarik judul salah satu berita di koran. BEBERAPA JALAN PROTOKOL TERGENANG.

Hem... kata TERGENANG itu pernah saya tanyakan ke editor bahasa. Salah satunya Uu Suhardi dari majalah Tempo. Saat itu Jakarta sedang kebanjiran di awal tahun 2020.

Mana yang benar: jalan tergenang atau jalan terendam? Atau kedua-kedua-duanya benar?

Uu Suhardi kemudian menulis di Twitter:

< Ini keliru: "Sejumlah jalan tergenang." Kata yang tepat setelah "jalan" adalah "terendam". Airlah yang tergenang. >

Oh, mantap!

Saya mendapat afirmasi dan konfirmasi dari Mas Uu, salah satu editor bahasa Indonesia terbaik. Sebab selama ini saya pun punya pemahaman seperti itu. Bahwa yang terendam itu jalan. Airlah yang tergenang di jalan raya. Maka ada istilah genangan air.

Kita juga biasa merendam pakaian kotor dengan air (bukan bensin atau arak). Benda-benda padat direndam di dalam air atau zat cair lainnya.

Karena itu, saya agak geli membaca salah satu judul berita pagi ini. JALAN PROTOKOL TERGENANG.

Jalan kok bisa tergenang? Mestinya JALAN PROTOKOL TERENDAM.

Rabu, 15 Januari 2020

Kerja di Dubai Tak Selalu Indah

Pagi tadi ngobrol sama anak muda 20an tahun di warkop kawasan Rungkut Surabaya. Gak nyangka kalau dia pernah bekerja hampir setahun di UEA. Tepatnya Kota Dubai.

"Aku kerja di hotel bintang lima," ujar pemuda asal Nganjuk itu dalam bahasa Jawa halus.

Jangan bayangkan Dubai seperti kota-kota di Arab yang konservatif. Bahasa sehari-hari yang dipakai Mas ini bahasa Inggris. Bukan bahasa Arab. Suasananya sangat internasional.

"Orang bilang Dubai itu New York-nya Arab. Orang dari mana saja ada di sana," kata sang pemuda lulusan sekolah perhotelan di Jogja itu.

Sambil menyimak ceritanya, antara lain tentang mobil-mobil mewah macam Lamborghini yang di Dubai ibarat Ananza di Surabaya, saya masuk YouTube. Menonton suasana Kota Dubai. Orang-orang jalan kaki, mondar-mandir di kawasan JBR.

"Oh ya... aku dan teman-teman sering jalan-jalan di JBR. Tempatnya sangat modern kayak di Amerika," ujarnya tersenyum.

Lantas, mengapa Anda tidak melanjutkan kontrak kerja di Dubai?

"Aku gak kuat. Kerja di sana tidak seindah yang dibayangkan orang," katanya.

Penghasilan sebagai karyawan hotel urusan makanan minuman memang menggiurkan. Sebulan di atas Rp 10 juta. Makan minum tidur dan sebagainya gratis. Uang 10 juta itu boleh dikata utuh.

"Makan daging dan makanan kelas bintang lima setiap hari. Makan sampai kenyang dan bosan," tuturnya.

Walakin, pemuda ini tetaplah orang Jawa yang senang tempe penyet, tahu, telur dan makanan rumahan ala wong deso. Maka sesekali dia keluar mencari makanan nonhotel ala Jawa.

"Tempe penyet aja di sana Rp 120 ribuan," katanya membuat saya dan beberapa teman penggowes sepeda keheranan. Daging kualitas hotel bintang lima jauh lebih murah.

Selain soal makanan dan kangen kampung halaman, dia mengaku sangat berat bekerja di Dubai karena jam kerja yang terlalu panjang. Kerja 12 jam sehari. Tanpa libur sama sekali.

"Liburnya ya saat vacation," katanya.

Vacation itu saat masa kontrak selama 9 bulan berakhir. Kembali ke Indonesia sekitar satu atau dua bulan. Lalu teken kontrak baru. Kerja lagi 12 jam sehari. Tanpa off, tanpa libur akhir pekan dsb.

Mas ini memutuskan kembali ke Jawa Timur. Nganggur sejenak lalu kerja di apartemen. Tentu tidak semewah hotel bintang lima atau bintang tujuh nun di Dubai saja.

Penghasilannya pun tak sampai separonya. Malah di bawah UMK yang 3 jutaan itu. Duit segitu harus dipakai untuk makan minum dsb. Beda dengan di Dubai yang utuh plus tip-tip dolar dari tamu-tamu Barat yang dikenal murah hati itu.

"Uang itu bukan segalanya," begitu kesimpulan pemuda itu.

Rupanya dia kapok bekerja di Dubai atau kota-kota besar lain di Timur Tengah.

Senin, 13 Januari 2020

Sulit menjaga disiplin menulis di blog

Wartawan-wartawan di Surabaya wajib menyetor 3 berita setiap hari. Suka tidak suka, mau tidak mau. Bahkan bisa 4 atau 5 berita kalau temannya libur atau izin atau sakit.

Berbeda dengan wartawan harian, blogger tidak punya kewajiban menulis setiap hari. Suka-suka dia. Bisa menulis 4 artikel per hari. Bisa 1 atau 2 artikel. Bisa seminggu atau sebulan sekali. Bisa setahun sekali.

Ada blogger senior, mbahnya blogger, AH, dulu menulis tiap hari. Blognya sangat terkenal di tanah air. Sering ceramah dan isi seminar di mana-mana. Namun, seiring redupnya blog tulis, diganti blog video di YouTube, AS sangat jarang menulis. Mungkin setahun tidak sampai 10 naskah. Bukan lagi 200 atau 300 naskah.

Maka saya tertarik dengan resolusi Ivan Lanin, blogger, wikipediawan, pemerhati bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Di awal tahun 2020 Ivan bikin resolusi: menulis tiap hari di blognya.

Ivan Lanin: "Sudah lebih dari dua pekan saya berhasil mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari. Caranya dengan membuat tulisan sambil membayangkan sedang bercerita kepada kerabat atau sahabat."

Wow, luar biasa!
Mudah-mudahan keinginan dan tekad Ivan bisa terwujud.

Blogger lain yang paling fenomenal adalah Dahlan Iskan. Mantan bos koran dan mantan menteri BUMN itu baru bikin blog disway.id dua tahun lalu. Sejak awal Dis, sapaan akrabnya saat masih di Jawa Pos, bertekad menulis setiap hari. Nonstop. Tak ada tanggal merah.

Bahkan Disway, begitu Dahlan Iskan biasa menyebut dirinya saat ini, sering menulis lebih dari satu artikel sehari. Khususnya tema-tema yang sangat menarik seperti Taiwan atau Tiongkok yang memang sangat dikuasainya.

Syukurlah, Disway terbukti bisa. Menulis tiap hari tanpa jeda. Dan selalu tayang pukul 05.00. Jamnya tentu bisa disetel dengan mudah di platform blog. Kita juga bisa menyetel tanggal dan jam tayang sesuai dengan keinginan kita. Karena itu, bisa saja Disway menulis 5 artikel sehari untuk diposkan selama 5 hari yang berbeda.

Walakin, apa pun kiatnya, menulis catatan pendek, sederhana, ringan di blog setiap hari tetap tidak mudah. Saya pun tak mampu melakukannya walaupun pernah bikin semacam resolusi ala Disway atau Ivan.

Ada-ada saja kendalanya. Bahan-bahan yang diobrolkan sih banyak. Tapi tiba-tiba ada tugas mendadak. Ada siaran sepak bola yang menarik. Diskusi sosial politik di televisi atau YouTube. Baterai ponsel tidak kuat alias lemot.

Salah satu kendala buat saya, mungkin terbesar, adalah masih sulit mengetik dengan jempol di ponsel android. Maklum, sudah sangat lama saya tidak pakai laptop atau komputer untuk blogging.

Ketika pakai komputer atau laptop, tulisan sangat cepat dan lancar. Saya mulai mengetik pakai jempol pada era Blackberry. Awalnya kagok tapi lama-lama lancar dan nyaris tanpa salah. Ini karena Blackberry waktu itu pakai keyboard biasa (timbul).

Saat beralih ke ponsel android, keyboard biasa diganti virtual. Kecepatan mengetik turun drastis meskipun ada teks prediktif segala. Saya sudah latihan selama beberapa tahun tapi hasilnya belum sebagus pakai Blackberry.

Kembali lagi ke disiplin menulis tadi. Disway mampu menjaga konsistensi karena Pak Dis memang sangat disiplin sejak dulu. Disiplin di bidang apa saja. Jam-jamnya harus jelas dan tegas. Disway sengaja memasang deadline layaknya koran beneran.

Nah, wartawan-wartawan bisa menulis 3 berita sehari (minimal) karena terikat deadline yang ketat. Juga takut dipecat. Kalau cuma setor 2 berita, apalagi satu berita, dianggap tidak produktif. Apalagi beritanya cuma kelas C (cukup) dan D (djelek). Berita-berita yang dibutuhkan itu kelas A (amat bagus) dan B (bagus).

Narablog tidak kenal deadline dan tidak punya atasan. Suka-suka si blogger mau menulis setiap hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Tidak ada yang pecat dia. Apalagi tulisan narablog juga tidak ada yang baca.

Sabtu, 11 Januari 2020

Tabebuya ternyata tidak aman

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sangat doyan taman. Sudah ratusan taman dibuatnya sejak jadi wali kota pada 2010. Taman taman taman...

Bu Risma memang cinta taman dan keindahan kota. Itu mulai terlihat sejak ia menjadi kepala dinas pertamanan. Keberhasilan membuat taman dan menjaga kebersihan kota itulah yang kemudian membuat Risma sangat terkenal. Lalu dijadikan calon wali kota. Dan menang... dua periode.

Di tangan Wali Kota Risma, pohon-pohon penaung di Surabaya pun berubah. Bukan lagi sekadar angsana (sono) atau trembesi. Tapi tabebuya dan beberapa pohon dari luar. Tabebuya bahkan jadi ikon baru Surabaya. Ada festival tabebuya yang heboh.

Saya sendiri tidak suka tabebuya dan pohon-pohon hias. Selera saya pohon-pohon besar yang daunnya lebat. Saya bisa duduk berlama-lama di bawah beringin atau trembesi atau pohon-pohon yang rindang.

Saya tidak butuh kembang-kembang yang indah. Tidak butuh tabebuya warna-warni. Tidak pernah selfi-selfian. Saya hanya butuh oksigen dan kesejukan. Bu Risma rupanya lebih suka yang indah-indah. Maklum perempuan.

Nah, bagaimana kekuatan tabebuya? Apakah cukup kuat diterjang angin kencang? Akarnya dalam?

Musim hujan kali ini jadi ujian terbaik untuk tabebuya. Ternyata sejumlah pokok tabebuya tumbang di awal tahun. Beritanya pun tersebar luas di media massa dan media sosial.

Pohon-pohon tabebuya di Surabaya relatif masih sangat muda. Belum 10 tahun. Akarnya belum kuat meskipun sudah tinggi. Bisa dibayangkan kalau dihantam angin kencang seperti dua minggu lalu.

''Tabebuya dengan diameter batang 60 cm dan tinggi 6 m roboh menimpa mobil.
Salah satu tanda penting pohon tabebuya sudah miring ke jalan,'' tulis Dr Amien Widodo, dosen ITS yang getol memantau kondisi pohon-pohon di Surabaya.

Saya jadi ingat asam jawa. Tanaman asam ini dijadikan pohon penaung utama di pinggir jalan oleh pemerintah Hindia Belanda. Yang ditanam bijinya. Butuh waktu puluhan tahun hingga jadi tanaman yang besar. Tapi akar-akarnya mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah.

Orang Belanda, sang penjajah brengsek itu, ternyata sangat paham kondisi Nusantara yang tropis panas. Perlu pohon-pohon besar, kuat, sebagai penaung. Nusantara tidak butuh tanaman hias seperti tulip atau sakura atau tabebuya.

Karena itu, tidak heran tanaman asam jawa ini mampu bertahan hingga 80an tahun, bahkan 100 tahun. Sampai sekarang masih bisa kita nikmati di luar Jawa. Buah asam juga bisa dibuat bumbu masak dsb.

''Asam jawa pun bisa tumbang kalau tidak ada perawatan,'' kata Amien Widodo. Tak lupa dosen geologi itu menunjukkan foto asam jawa yang tumbang di Solo.

Ouw... perawatan perawatan! Minggu lalu sepasang suami istri tewas gara-gara ditimpa pohon tumbang di dekat kantor gubernur. Tak jauh dari Tugu Pahlawan.

Takdir, kata orang Nusantara. Ciong, kata Tionghoa.

Mau ciong atau takdir, tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Untuk mengecek dan merawat pohon-pohon besar dan tinggi di pinggir jalan. Warga juga perlu mengontrol pohon-pohon di samping rumahnya.

''Pohon-pohon di Surabaya tidak kuat karena akarnya tidak dalam,'' kata seorang insinyur.

Minggu, 05 Januari 2020

Misa di GYB bersama Pater Goris Kaha SVD

Tiap Minggu pagi Jalan Jemursari selalu ditutup untuk Car Free Day (CFD). Warga Surabaya bagian selatan diajak bakar lemak bareng-bareng. Jalan utama itu ditutup sampai pukul 09.00.

Saya lupa kalau Jalan Jemursari ditutup. Begitu juga dua atau lima orang lain. Apa boleh buat, harus nuntun motor ke Jemur Andayani. Tepatnya Gereja Katolik Gembala Yang Baik (GYB). 

Misa tinggal 25 menit lagi. Jalan kaki lebih cepat ketimbang memutar jauh. Pasti terlambat misa. Asyik juga jalan kaki ke gereja yang diasuh imam-imam SVD asal Flores NTT itu.

Minggu pagi itu cuaca mendung. Hawa sejuk. Dus, tidak banyak keringat saat sampai di belokan Jemur Andayani. Gereja GYB sudah dekat.

Deo gratias! Belum terlalu terlambat. Pater Gregorius Kaha SVD bersama putra-putri altar baru bergerak masuk ke dalam gereja. Kor yang diperkuat banyak anak muda asal Flores sedang menyanyikan lagu pembukaan: Dari Timur Jauh Benar.

Pesta Tiga Raja. Begitu istilah lama untuk menyebut ekaristi pada hari Minggu yang dekat 6 Januari. Temanya tentang tiga orang majus datang ke Bethlehem setelah melihat bintang di sebelah timur.

"Tiga majus itu mampu membaca tanda-tanda alam. Sementara kita di zaman modern ini sering tidak peka. Bahkan ramalan BMKG pun sering diabaikan," kata Pater Goris Kaha SVD. Sepertinya menyentil banjir besar di Jakarta.

Sudah sangat lama saya tidak bertemu Pater Goris yang asli Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur. Terakhir saya menemui beliau di Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya, untuk mengambil jagung titi. Oleh-oleh khas Flores Timur dan Lembata.

Pater Goris kemudian belajar lagi di Eropa. Balik ke Surabaya ditempatkan di Paroki GYB, salah satu dari 6 paroki yang digembalakan imam-imam SVD di Surabaya dan Sidoarjo.

Meskipun sering bertemu beliau, baru kali ini saya ikut misa yang dipimpin Pater Goris Kaha SVD. Saat homili logat Lamaholot atau Flores Timur kurang terasa. Beda dengan pater-pater SVD lainnya yang sulit menghilangkan aksen bahasa ibunya saat berbahasa Indonesia.

Tidak banyak yang saya ingat dari khotbah Pater Goris. Cuma cerita dari Tanah Batak (katanya) tentang suami istri yang terlalu asyik main ponsel atau media sosial. Anak balitanya dibiarkan main sendiri.

Anak kecil itu akhirnya tenggelam di dalam ember di kamar mandi. Suami dan istri saling menyalahkan. "Tapi anaknya sudah mati. Tidak bisa hidup lagi," kata sang pastor.

Pater Goris kemudian menyoroti manusia-manusia modern yang makin fokus pada diri sendiri. Fokus gadget, swafoto, abai pada sesama.

Beda dengan tiga majus yang pandai membaca pertanda alam kemudian mengikuti petunjuk bintang dan akhirnya sampai di kandang Bethlehem itu.