Jumat, 06 September 2019

Menang Taruhan tapi Sedih



Dari dulu saya selalu pegang Malaysia kalau taruhan bola. Sebab saya tahu Indonesia sangat sulit menang atas tim nasional negara tetangga itu di level senior. Beda dengan timnas U16 atau U19 kita yang masih gres. Saya masih ingat Dollah Saleh dkk dari Malaysia mempermalukan timnas Indonesia pada akhir 80an.

Karena itu, semalam saya menang taruhan saat nonton bareng di warkop Ngagel dekat sungai di Jagir Wonokromo. Taruhan kecil-kecilan khas wong embongan. Cukup Rp 100 ribu aja.

"Sudahlah.. timnas (Indonesia) gak bakalan menang. Pemain-pemain naturalisasinya sudah tua-tua. Gak iso melayu Cak," kata saya bikin mas dari Sidoarjo makin panas karena kalah taruhan.

Di satu sisi, saya senang karena menang taruhan. Tapi, di sisi lain, saya sedih melihat timnas Indonesia dibuat mainan oleh anak buah pelatih Mr Tan. Pasukan Malaysia dalam pertandingan Pra Piala Dunia (PPD) di Jakarta semalam main lepas, taktis, cerdas, berenergi. Selalu pressing dan mudah merebut bola dari pemain-pemain Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia sudah habis sejak babak pertama. Tidak bisa main 90 menit. Bagaimana kalau Indonesia usul ke FIFA agar durasi permainan sepak bola dikurangi? 90 menit + tambahan waktu terlalu lama untuk Indonesia. Cukup 2 x 30 menit saja. Kayak sepak bola anak-anak di bawah 15 tahun itulah.

"Orang Indonesia itu sulit juara sepak bola karena makannya nasi nasi nasi. Dari dulu juara-juara Piala Dunia itu negara-negara yang penduduknya makan roti.

Orang Tiongkok makan mi. Ya.. sulit juara. Orang Somalia makan jagung.. gak iso menangan," kata saya asal bunyi.

"Alah... Wong Malaysia yo mangan sego. Kok iso apik?" tanya arek Darjo itu.

"Beras di Malaysia itu varietasnya beda dengan di Indonesia. Komposisinya agak lain," kata saya.

Yang pasti, pemain-pemain impor yang aslinya makan roti kayak Beto, Lilipaly, Igbonefo, atau Gonzalez jadi rusak setelah dinaturalisasi. Sebab sudah lama makan nasi, melekan sampai jam 1, jam 2, jam 3, jam 4, untuk nonton Liga Inggris dan Liga Spanyol di televisi. Sudah makan nasi yang indeks glikemiknya tinggi, melekan pula. Ada juga yang rokokan.

Sayang, dari dulu dokter-dokter jarang dilibatkan untuk pengembangan olahraga kita. Khususnya sepak bola. Sport science cuma slogan doang. Pengamat-pengamat di televisi lebih banyak bicara skema 4-3-3 atau 4-2-2, counter attack, false nine dsb. Jarang yang menyoroti kelemahan fisik pemain-pemain Indonesia yang tidak bisa bermain stabil selama 90 menit.

Hanya orang komunis dari Uni Sovyet yang sangat jeli membaca kelemahan pemain-pemain bola Indonesia. Namanya Polosin. Maka, ketika melatih timnas Indonesia, Polosin ini paling fokus di fisik fisik fisik. Latihan teknik, strategi dsb bukan porsi utama.

Hasilnya memang joss. Timnas Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games. Sejak itu Indonesia tidak pernah juara lagi di tingkat Asia Tenggara.

Gak usah muluk-muluk bicara Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Lawan Malaysia saja kalah melulu.

Bagaimana dengab uang hasil menang taruhan itu? Aha, saya pakai untuk beli sate dan pulsa. Lumayan.

Rabu, 04 September 2019

Suster Yerona Hurek Kasih Penghiburan

Sr. Yerona Hurek, CIJ


Baru-baru ini saya ngobrol dengan Tante Suster Yerona Hurek CIJ lewat telepon. Dia mungkin biarawati pertama dari kampung saya di Kecamatan Ileape, Lembata, NTT. Sekarang tugas di Sulawesi Selatan. Adik kandungnya pastor di Keuskupan Larantuka. Namanya Romo Paskalis Gilo Hurek Pr.

Nah, intinya Suster Yerona minta agar saya dan adik-adik tidak boleh bersedih lantaran Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia pada 22 Juli 2019. Orang beriman harus percaya ada kehidupan kekal bersama Bapa di Surga.

"Berni... mo ake tani muri... mo ake sedih. Bapa Niko naika teti Bapa langun kae. Bapa Niko naka surga. Kame pia di pesan misa untuk Bapa Niko," ujar Suster Yerona dengan logat yang khas.

Bahasanya campuran Indonesia, Lamaholot, hingga bahasa Nagi atau Melayu ala Larantuka. Terjemahannya:

"Berni... kamu jangan menangis lagi. Kamu jangan bersedih. Bapa Niko sudah pergi ke rumah Bapa. Bapa Niko pergi ke surga."

Sudah lama sekali saya tidak bertemu tante suster yang jadi pimpinan biara itu. Jadwal cutinya memang beda. Saya biasa pulang saat Natal, Suster Yerona mudik saat lain. Tidak mungkin saat Natal dan Tahun Baru karena para klerus sangat sibuk dengan urusan liturgi, diakonia dsb.

Begitu juga Romo Paskalis Hurek. Saya tidak pernah jumpa selama belasan tahun. Padahal Romo Paskalis sangat sering pulang ke rumahnya di pinggir Desa Mawa Napasabok itu.

"Go balik lewo kang gute ape," begitu kata-kata pastor yang juga pemusik dan penyanyi jempolan itu. (Saya pulang kampung untuk mengambik api. Semacam cas baterai agar tetap punya semangat dan antusias melayani umat. Begitu ujaran khas Romo Paskalis.)

Nah, kata-kata penghiburan dari Suster Yerona Hurek ini sebetulnya sudah sering saya dengar. Setiap hari kita baca di iklan dukacita. Atau di rumah persemayaman jenazah macam Adijasa di Jalan Demak, Surabaya. 

Tapi kata-kata itu menjadi sangat berarti ketika kami keluarga besar ditinggal Bapa Niko Hurek. "Bapamu itu pergi ke rumah Bapa," kata suster yang selalu antusias itu.

Selasa, 03 September 2019

Selamat untuk Kardinal Suharyo



Akhirnya masuk koran utama. Bapa Uskup Agung Jakarta Monsinyur Ignatius Suharyo diangkat Paus Fransiskus sebagai kardinal pada 1 September 2019. Beritanya dimuat Jawa Pos pagi ini dan Kompas kemarin. Biasanya informasi macam ini jarang masuk media arus utama di NKRI.

Ada 12 kardinal baru yang diumumkan Sri Paus asal Argentina itu. Dua di antaranya dari negara muslim. Salah satunya Mgr Suharyo.

Pengangkatan kardinal jelas peristiwa luar biasa. Di lingkungan umat Katolik di seluruh dunia. Apalagi di Indonesia yang mayoritas 90an persen muslim. Orang Katoliknya pun tidak sampai 5 persen. Orang Protestan, apalagi aliran Pentakosta dan Karismatik, jauh lebih banyak.

Kok bisa bapa uskup asal Indonesia yang dipilih jadi kardinal?

Inilah menariknya. Meskipun minoritas absolut, ternyata Gereja Katolik di Indonesia sudah lama diperhitungkan di tataran global. Katolik Indonesia dianggap sudah dewasa. Bukan lagi penerima pater-pater misionaris dari luar negeri, khususnya Eropa, tapi justru bertugas di berbagai negara.

Pater-pater SVD asal Flores NTT kini lebih banyak melanglang ke paroki-paroki di luar negeri. Di Kabupaten Lembata, daerah asal saya, misalnya saat ini hanya SATU paroki yang digembalakan pater-pater SVD. Yakni Paroki Waikomo di dekat RS Bukit yang terkenal itu. Paroki-paroki lain dipegang para reverendus dominus (RD) alias romo diosesan alias projo.

Padahal, hingga akhir 1990an paroki-paroki di Lembata, Adonara, Solor, Larantuka sepenuhnya alias 100 persen dipegang pater-pater SVD. Kiprah para pater asal Indonesia ini tentu saja mendapat perhatian dari Vatikan. Panggilan ternyata sangat subur di Indonesia.

Kembali ke Ignatius Kardinal Suharyo SJ yang baru diangkat Paus Fransiskus. Beliau merupakan kardinal ketiga asal Indonesia. Diawali Justinus Kardinal Darmojuwono SJ (+) pada 1967, kemudian Julius Kardinal Darmaatmadja SJ pada 1994.

Artinya, umat Katolik di Indonesia harus menunggu 25 tahun untuk dapat satu kardinal. Sebelumnya 27 tahun. Memang sangat tidak gampang jadi seorang kardinal. Terlalu banyak syarat dan kualitas yang dituntut Vatikan.

Berbeda dengan dua kardinal pendahulunya yang Yesuit, Kardinal Suharyo ini berlatar imam projo (RD) dari Keuskupan Agung Semarang. Beliau seorang teolog, pemikir, penulis, aktivis, yang ditahbiskan menjadi imam oleh Justinus Kardinal Darmoyuwono SJ.

Monsinyur Suharyo ini menarik. Sejak diangkat jadi Uskup Agung Semarang, beliau menolak hal-hal yang berbau feodalisme. Panggilan kehormatan seorang uskup, Monsinyur, pun beliau kurang suka. Kalau menulis artikel opini di koran dan majalah, penulisnya cukup ditulis I. SUHARYO. Tidak pakai Mgr. I. Suharyo.

Bahkan, beliau lebih suka dipanggil Bapak Suharyo atau Pak Haryo. Ini juga sesuai dengan motonya: Serviens Domino Cum Omni Humilitate (Aku Melayani Tuhan dengan Segala Rendah Hati).

Selamat untuk Kardinal Suharyo!
Selamat untuk Pak Haryo!
Berkah Dalem!

Senin, 02 September 2019

Ratusan Tumpeng di Kelenteng Cokro

Tahun Baru Islam kemarin cukup meriah. Ada pawai di berbagai kampung di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Juga pengajian yang ramai.

Tahun Baru Islam bersamaan dengan Tahun Baru Jawa. Tanggal 1 Suro. Ada acara tumpengan bagi masyarakat Jawa yang kental kejawaannya. Apalagi para penghayat alias kejawen.

Setiap 1 Suro atau 1 Muharram saya selalu ingat Ibu Juliani Pudjiastuti. Orang Tionghoa ini ketua Kelenteng Hong San Ko Tee di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Biasa disebut Kelenteng Cokro.

Meskipun Tionghoa, jemaat Kelenteng Cokro selalu bikin acara suroan. Ada ratusan tumpeng yang disiapkan. Tumpeng-tumpeng itu didoakan oleh Pak Modin, kiai muslim, di depan altar Dewi Sri. Lalu bancakan dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.

"Kami ini meskipun orang Tionghoa, tapi lahir dan hidup di tanah Jawa. Kalau mati pun dikubur di Jawa. Bukan di Tiongkok sana," kata Juliani yang murah senyum itu.

Bu Juliani sudah dipanggil Sang Pencipta untuk ke alam nirwana dua tahun lalu. Saya pun kehilangan suasana suroan yang kental kejawen justru di lingkungan kelenteng Tionghoa.

Saya juga lupa kalau pengurus Kelenteng Cokro masih melanjutkan tradisi tumpengan dan doa bersama untuk Indonesia setiap 1 Suro itu. Maklum, libur nasional 1 Muharram tahun ini jatuh pada hari Minggu. Dus, tidak terasa tanggal merahnya.

Minggu malam, 1 September 2019, baru saya ingat 1 Suro. Ingat Kelenteng Cokro. Ingat Ibu Juliani. "Tadi siang ada acara tumpengan di Kelenteng Cokro?" saya bertanya ke Erwina Tedjakusuma, putri mendiang Ibu Juliani. "Semoga lancar dan sukses!"

"Ada, Pak Hurek.. acaranya lancar, sukses. Kamsia," Erwina membalas.

Oh, rupanya Erwina dan pengurus Kelenteng Cokro lupa memberi tahu para wartawan di Surabaya. Karena itu, pagi ini tidak ada foto dan berita tumpengan di Kelenteng Cokro. Padahal biasa foto ratusan tumpeng di halaman TITD Hong San Koo Tee selalu menghiasi koran-koran di Surabaya keesokan harinya.

Selamat Tahun Baru Islam!
Selamat Tahun Baru Jawa!
Rahayu... Rahayu... Rahayu!

Minggu, 01 September 2019

HM Handoko Pengusaha dan Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo



Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, HM Handoko aktif mengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sidoarjo. Dia juga tak segan-segan bergabung dengan partai politik.

Oleh LAMBERTUS HUREK


KESIBUKAN Handoko, yang bernama Tionghoa, Poo Tji Swie, ini memang luar biasa. Pagi hingga siang mengurus bisnis, berhubungan dengan konsumen, relasi, hingga kalangan perbankan. Namun, di sela kesibukan itu, Handoko bisa dengan mudah melakukan 'improvisasi' dengan bertemu orang-orang nonbisnis seperti politisi, aktivis ormas, hingga pengurus PITI.

Sebagai salah satu tokoh teras Partai Golkar Sidoarjo, tentu saja Handoko ikut sibuk membahas persiapan pemilihan bupati di Sidoarjo. Dia banyak memberi masukan tentang strategi, taktik, hingga analisis mengenai kemampuan para kandidat. Handoko sejak dulu punya feeling yang kuat dalam menebak hasil pemilu.

"Saya memang tidak bisa diam. Ada saja yang harus saya kerjakan. Dan itu membuat saya lebih semangat dalam menjalani kehidupan ini," ujar ayah dua anak ini, Yuliana Handoko dan Albert Handoko, kepada Radar Surabaya pekan lalu (pertengahan Mei 2010).

Sebagai muslim Tionghoa, selama ini nama HM Handoko alias Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah yang dipercaya untuk babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.

"Saya sih maunya tidak lama-lama mengurus PITI. Kalau bisa cukup satu periode, gantian ke orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk organisasi itu gak gampang," katanya seraya tersenyum.

Ketika hendak mengakhiri periode kedua di PITI Sidoarjo, Handoko mengaku sudah mengader beberapa aktivis muslim Tionghoa untuk menggantikan posisinya di PITI. Dia bikin acara-acara keagamaan Islam, bakti sosial seperti sunatan massal, hingga diskusi atau audiensi dengan pejabat. Handoko pun senang karena para pengusaha muslim Tionghoa yang selama ini hanya fokus di bisnis mulai bersedia membagi waktu untuk urusan sosial kemasyarakatan.

Sayang, ketika menjelang muktamar untuk mengganti dirinya, para kader itu merasa belum siap mengelola organisasi PITI. Handoko pun geleng-geleng kepala. Pria yang fasih bahasa Hokkian dan Mandarin ini kemudian sengaja mengulur-ulur waktu muktamar sambil melakukan lobi-lobi dengan beberapa kader muda yang dianggap potensial. Hasilnya? "Tidak memuaskan," kenang Handoko.

Apa boleh buat, muktamar PITI Sidoarjo akhirnya digelar juga pada 2005. Dan HM Handoko terpilih kembali sebagai ketua PITI Sidoarjo untuk masa jabatan lima tahun. "Itu yang membuat saya selalu identik dengan PITi Sidoarjo. Orang kalau omong PITI Sidoarjo, ya, mesti larinya ke saya. Padahal, saya sendiri sih tidak ingin berlama-lama duduk di depan," katanya.

Mengurus organisasi sosial keagamaan seperti PITI Sidoarjo, menurut Handoko, sangat berbeda dengan organisasi politik, parlemen, pemerintahan, atau organisasi bisnis. Kalau di dunia politik orang berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi bupati/wali kota, gubernur, atau anggota dewan, di PITI malah seakan berlomba-lomba menghindar.

"Sebab, di PITI itu kita harus benar-benar berjiwa sosial yang tinggi. Kita harus banyak berkorban untuk organisasi dan masyarakat," akunya.


Salah satu obsesi HM Handoko adalah membangun masjid berarsitektur Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Sayang, sampai sekarang impian itu belum juga terwujud.

HARUS diakui, Masjid Cheng Hoo di Jalan Gading 2 Surabaya yang arsitekturnya unik, khas Tionghoa, bahkan sekilas mirip klenteng, menjadi inspirasi bagi para pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di seluruh Indonesia. Bahkan, mereka yang bikin PITI pun tergerak untuk mendirikan masjid sejenis di kotanya masing-masing.

Tak usah jauh-jauh. Di Pandaan, tetangga Sidoarjo, sudah berdiri Masjid Cheng Hoo milik Pemkab Pasuruan yang sangat menarik perhatian para pengguna jalan Surabaya-Malang. Di Sumatera pun sudah ada masjid semacam Masjid Cheng Hoo di Surabaya. "Nah, saya ingin Sidoarjo punya Masjid Cheng Hoo juga. Bahkan, kita sudah punya konsep sebelum yang di Pandaan itu jadi," kata HM Handoko kepada Radar Surabaya belum lama ini.

Konsep Masjid Cheng Hoo Sidoarjo yang digodok Handoko dan kawan-kawan sebetulnya mirip dengan Cheng Hoo Surabaya. Selain masjid berarsitektur Tionghoa, Handoko menginginkan pusat budaya Islam dan Tionghoa, sekolah, perpustakaan, lapangan olahraga, gedung serbaguna. Karena itu, lahannya harus cukup luas.

"Kalau sekadar masjid yang biasa-biasa saja, buat apa? Kita ingin ada nilai tambah bagi masyarakat di Kabupaten Sidoarjo," ujar pria bernama asli Poo Tji Swie itu.

Setelah membahas secara internal, Handoko bersama beberapa pengurus teras PITI Sidoarjo mengadakan audiensi dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan pejabat-pejabat lain. Intinya, Win Hendrarso memberikan respons positif. Handoko juga menggelar jumpa pers untuk mengetuk hati para pengusaha Tionghoa baik muslim maupun nonmuslim yang peduli pada rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo.

"Alhamdulillah, banyak pihak yang tertarik untuk memberikan dukungan. Itu yang membuat saya dan teman-teman sangat antusias. Insya Allah, jadi," kenang ayah dua anak ini.

Sayang, setelah konsep itu digulirkan selama lima tahun, rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo Sidoarjo tak kunjung terealisasi. Pemkab Pasuruan yang tak pernah gembor-gembor justru lebih dulu mewujudkan masjid berarsitektur Tionghoa. Handoko pun mulai lemas dan tampaknya tak lagi berselera membicarakan rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo.

"Tapi kita tetap punya komitmen ke sana kok," tegasnya.

Menurut Handoko, persoalan utama yang mengganjal rencana pembangunan Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo adalah persoalan lahan. Awalnya, beberapa pengusaha properti alias pengembang berjanji menghibahkan sebagai lahan fasilitas umum (fasum) kepada PITI Sidoarjo. Ukurannya pun cukup memadai. "Tapi belakangan komitmennya kurang kuat," katanya.


Di era Orde Baru, warga keturunan Tionghoa sangat alergi politik. Mereka fokus 100 persen di bisnis. Setelah Orde Baru ambruk pada 1998, banyak pengusaha Tionghoa yang mulai terjun ke politik. Salah satunya Haji Muhammad Handoko.


SEBAGAI orang Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), HM Handoko tentu saja aktif turun ke lapangan. Bikin pengajian, bakti sosial, mengunjungi kiai-kiai berpengaruh, hingga menyumbang sejumlah masjid dan ormas Islam. Nama Handoko pun akhirnya dikenal luas di Kabupaten Sidoarjo, khususnya di kawasan Sedati dan sekitarnya.

Aktivitas sosial keagamaan ini ternyata menjadi modal yang besar bagi Handoko setelah reformasi. Ketika partai-partai baru bermunculan setelah Orde Baru tumbang, Handoko pun dilirik sejumlah aktivis politik di partai baru. Singkat kata, Handoko akhirnya memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Handoko sangat aktif dalam proses pembentukan PKB di Jawa Timur. "Saya memang cocok dengan figur Gus Dur dan komunitas nahdliyin. Kita memang ingin mengedepankan pemahaman Islam yang ramah, toleran, dan demokratis," kata pengusaha diler sebuah merek sepeda motor terkenal asal Jepang itu.

Handoko bahkan kemudian dipercaya menjadi pengurus teras di partai bintang sembilan itu. Sejak itu aktivitas keseharian ayah dua anak itu luar biasa padatnya. Sambil mengurus bisnis, ada saja aktivis politik yang datang ke kantornya di kawasan Sedati Agung.

"Saya menjadi paham liku-liku dan seluk-beluk politik. Bahwa di politik itu faktor kepentingan sangat dominan. Kalau sudah bicara kepentingan, teman sendiri bisa disikut," katanya.

Alhasil, selama 10 tahun terakhir, Handoko sudah mencicipi pengalaman sebagai aktivis, bahkan pengurus, beberapa partai politik. Ketika dia berusaha mengambil jarak dengan dunia politik, ada saja kader partai yang merangkulnya.

 "Saya pikir berpolitik juga bagian dari pengabdian kita kepada masyarakat. Politik juga bisa dikatakan sebagai ibadah," ujar pria yang kini menjadi pengurus DPD Partai Golkar Sidoarjo itu.

Sebagai warga negara yang baik, menurut Handoko, orang Tionghoa seharusnya perlu memberi warna tersendiri pada kehidupan politik di tanah air. Sebab, suka tidak suka, berbagai kebijakan dalam kehidupan berbangga dan bernegara ditentukan oleh para politisi di lembaga legislatif atau eksekutif. "Maka, orang Tionghoa perlu terlibat di politik supaya kita bisa bicara, kasih masukan, dan ikut menentukan kebijakan publik," tegasnya.

Hanya, Handoko buru-buru menambahkan, semua orang PITI yang terjun ke politik tidak boleh membawa-bawa organisasi, melainkan pribadi. Sebab, PITI itu organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik. PITI pun tidak dibenarkan terlibat dalam dukung-mendukung calon tertentu.

"Apalagi, orang PITI itu partainya bermacam-macam. Ada yang Golkar, PKB, PAN, Demokrat, dan sebagainya," katanya. (*)

Dimuat di Radar Surabaya edisi 13-15 Mei 2010

Sabtu, 31 Agustus 2019

Rumah Disewakan untuk Muslim



Masih dalam rangka 40 hari berpulangnya Bapa Nikolaus Hurek, 79, ayahanda tercinta, tadi pagi saya misa di Gereja Katolik Salib Suci, Waru, Sidoarjo. Meskipun beda kabupaten/kota, gereja ini lebih dekat ketimbang Gereja Katolik Roh Kudus di Perumahan Puri Mas, Rungkut, Surabaya, paroki saya.

Karena itu, saya sering ke Salib Suci kalau bangun agak terlambat. Misa pagi harian di Surabaya dan Sidoarjo dimulai pukul 05.30. Misanya rata-rata setengah jam saja. Para pastor di Paroki Salib Suci Sidoarjo dan Paroki Roh Kudus Surabaya sama-sama SVD dan hampir semuanya asal Flores, NTT.

Nah, saya kaget membaca spanduk di salah satu rumah tak jauh dari parkiran Gereja Salib Suci. Bekas warung nasi goreng kambing yang tutup. Tertulis: RUMAH DISEWAKAN UNTUK MUSLIM....

Waduh... waduh... rupanya yang begini ini sudah menjalar ke Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Selama ini yang sering saya baca dan dengar di Jogjakarta. Kos-kosan khusus muslim. Yang bukan muslim ditolak.

Bagaimana kalau yang ingin menyewa rumah itu muslim tapi Tionghoa? Muslim tapi Papua? Apakah bisa diterima? Saya tidak tertarik bertanya meskipun nomor teleponnya sangat jelas.

Saya jadi ingat liputan BBC tentang mahasiswa Papua di Jogja dan beberapa kota lain. Anak-anak Papua ini sangat sulit mendapatkan indekos. Sebab para pengusaha kos-kosan tidak suka orang Papua dengan berbagai alasan stereotipe. Suka minum, mabuk-mabukan, ngemplang bayar, resek, hingga badannya bau dsb.

Gara-gara ditolak pemilik kos itulah, maka mahasiswa Papua biasanya ngontrak rumah yang besar. Dijadikan wisma atau asrama Papua. Bisa juga minta bantuan gubernur atau bupati untuk bikin asrama di Jawa.

Karena itu, jangan salahkan anak-anak Papua yang lebih sering berkelompok sesama Papua saat kuliah di Jawa. Tidak banyak mahasiswa Papua yang bisa melebur dengan warga setempat di Jawa. Kecuali para pemain sepak bola.

"Biarpun muslim tapi asal Papua ditolak juga sama pemilik kos di Jogja," ujar anak Papua yang dikutip BBC.

Indonesia baru saja merayakan hari jadi ke-74. Usia yang sangat senior untuk ukuran manusia. Tapi rupanya Pancasila belum dihayati sesama anak bangsa. Khususnya sila Persatuan Indonesia.

"Orang Papua belum diindonesiakan," kata Gubernur Papua Lukas Enembe. "Orang Papua masih dibedakan. Belum dianggap benar-benar Indonesia."

Kembali ke rumah di Desa Tropodo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, yang disewakan khusus kepada muslim itu. Sudah 6 atau 7 tahun belakangan juga ada tren pembangunan perumahan khusus untuk orang Islam. Perumahan berkonsep syariah.

Ternyata tidak mudah melaksanakan Pancasila di era digital dan media sosial nan canggih ini. Quo vadis Pancasila???

Benang Kusut Mahasiswa Papua


Hampir setiap hari saya lewat di Pacarkeling. Sudah pasti juga lewat di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan 10 Surabaya. Sebab Jalan Kalasan itu semacam gang dari Jalan Pacarkeling. Kadang-kadang mampir di warkop dekat asrama mahasiswa itu kalau hendak misa di Gereja Kristus Raja di Jalan Residen Sudirman. Asrama Papua memang dekat dengan Gereja KR dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Resud.

Dari dulu tidak pernah ada masalah. Biasa-biasa aja. Makanya tidak banyak orang yang tahu di mana Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya itu. Bahkan masih banyak orang Surabaya yang tidak tahu di mana Jalan Kalasan.

Hingga terjadilah unjuk rasa 700an aktivis ormas, warga, dan aparat itu. Gara-gara isu di media sosial yang viral soal bendera merah putih itu. Di saat tensi nasionalisme sedang tinggi pada 15-17 Agustus 2019. Mbak Susi dan kawan-kawan tidak terima bendera merah putih dihinakan. Pelakunya diduga mahasiswa yang tinggal di asrama itu.

Namanya orasi unjuk rasa, kata-kata yang dilontarkan pun panas. Nama-nama penghuni bonbin keluar semua. Anak-anak Papua terkepung berjam-jam di dalam asrama. Sambil mendengar orasi dan teriakan yang tidak enak.

Malamnya 43 penghuni asrama dibawa ke kantor polisi. Diamankan istilahnya. Diinterogasi siapa gerangan yang mematahkan dan membuang bendera NKRI itu. Ternyata tidak ada yang tahu. Lalu 43 orang itu dikembalikan.

Lalu muncullah reaksi yang luar biasa di Papua dan Papua Barat. Mulai Senin 19 Agustus 2019 sampai... entah kapan. Kelihatannya makin panas saja Bumi Cenderawasih itu.

Kemarin sore saya lewat di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan. Ada spanduk baru. Isinya sangat mengerikan: referendum is solution.

Wow... referendum?
Minta merdeka?
Separatisme?

Kita tidak bisa minta konfirmasi dari mahasiswa Papua penghuni asrama. Sebab mereka bertekad menolak siapa pun yang datang ke asramanya. Untuk urusan apa pun.

Jangankan wartawan di Surabaya, tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pun ditolak mentah-mentah. Gubernur Papua Lukas Enembe ditolak. Gubernur Jatim Khofifah ditolak. Wali Kota Risma pun tidak diterima.

Pendeta-pendeta dan pengurus Bamag dari Papua dan Papua Barat juga ditolak. Bagaimana dengan pendeta-pendeta di Surabaya? Pendeta GKI di dekat asrama mahasiswa? Atau pastor-pastor dari Gereja Kristus Raja? Apalagi.

"Situasinya masih belum kondusif. Cooling down dulu," kata RD Benny Susetyo, rohaniwan Katolik.

"Tapi isunya sudah melebar, Romo? Semula soal ujaran kebencian, rasialisme, diskriminasi, sekarang kok pasang spanduk referendum? Ini kan bahaya," kata saya.

"Mungkin itu cuma emosi anak-anak muda saja. Masalah Papua ini perlu diselesaikan dengan kepala dingin," kata romo asli Malang itu.

Yang saya baca di internet, mahasiswa Papua di Jakarta dan beberapa kota mengusung isu referndum saat unjuk rasa. Bahkan membawa bendera Papua Merdeka segala. Isunya persis sama dengan bunyi spanduk di pagar Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya itu.

Salam damai untuk Papua!