Rabu, 10 Juli 2019

Mana koran pagi ini?

Mulai bulan puasa lalu Pak Prof sepertinya puasa baca koran. Tidak ada lagi koran di depan pintu rumahnya di kawasan Surabaya selatan-timur. Padahal guru besar di Unair ini sudah puluhan tahun melanggan koran.

Baca koran pagi, ngopi.. jadi gaya hidup para dosen, birokrat, atau kaum priyayi. Serasa hampa kalau tidak baca koran. Beberapa isu bahkan jadi bahan obrolan di kampus dan kampung.
Tapi rupanya kebiasaan itu berubah di era milenial. Bapak Prof tak lagi marah-marah kalau koran terlambat kirim. Bahkan pernah telat tiga hari. Pak Prof biasa-biasa aja.

 "Sekarang berita-berita sudah banyak di televisi. Kita juga bisa baca berita-berita di HP. Online. Jauh lebih cepat," begitu antara lain omongan bapak gubes dan kawan-kawan.

Sebagai orang luring, offline, saya resah juga. Jadi saksi mata kehilangan pamor surat kabar. Justru di kalangan pemikir senior. Bukan hanya anak milenial, orang-orang sepuh pun mulai merambah ke jalur daring.

Tadinya saya pikir puasa koran ini hanya sampai akhir Ramadan. Setelah libur panjang Lebaran koran pagi dikirim lagi ke rumah. Eh... sudah seminggu ini tidak ada koran di dekat pintu teras depan. Berhenti berlangganan?

"Sudah stop (langganan). Bapak sudah tidak baca koran," kata asisten rumah tangga. Wanita 30an tahun ini tidak tahu alasan majikannya, bapak gubes, tidak lagi baca koran.

Zaman memang berubah. Masa kejayaan surat kabar sudah berlalu. Koran-koran kertas makin tipis. "Mutunya juga sangat menurun. Liputan yang mendalam sangat jarang," kata Slamet, pensiunan wartawan yang tinggal di Kabupaten Sidoarjo.

Sampean masih langganan koran?

"Gak langganan maneh. Sudah tahunan berhenti (langganan). Saya bisa baca berita-berita di hape atau laptop," katanya.

Miris rasanya mendengar omongan Slamet. Sebab pria ini dikenal sebagai gurunya wartawan-wartawan di Surabaya pada 1990an hingga pertengahan 2000an. "Era digital ini menjadi tantangan berat untuk media cetak," katanya.

Sampai kapan koran-koran cetak bisa bertahan? "Kalau bisa sih selama mungkin. Selama masih ada orang yang membeli, membaca, dan memasang iklan di koran," katanya.

Bu Risma Pemimpin yang Melayani

Bu Risma ini wali kota yang unik. Sedikit bicara, banyak kerja. Spontanitasnya tinggi. Langsung bertindak ketika melihat ada yang tidak beres di Surabaya. Dan itu selalu dia lakukan sejak jadi wali kota pada 2015.

Bahkan, saat masih kepala dinas pun Risma sudah terkenal dengan aksi-aksi spontannya. Gak ngomong thok! Khususnya yang terkait dengan kebersihan, keindahan, dan kehijauan kota.

Minggu 23 Juni 2019, Bu Risma bikin gebrakan di Jalan Pahlawan. Samping Tugu Pahlawan. Ratusan pedagang kaki lima berjualan di pinggir jalan. Bikin macet, ruwet, kotor jalan. Setelah jualan, para PKL ini biasanya membiarkan sampah-sampah berserakan.

Risma pasti gregetan. Marah. Tapi tidak dengan kata-kata. Bu Wali langsung bersih-bersih jalan raya di kantor gubernur itu. Menyemprotkan air di trotoar yang kotor dan berdebu. Para pedagang pun kelabakan. Nyengir kuda.

"Ayo Rek jaga kebersihan kota kita. Aku gak larang sampean jualan. Tapi yo jaga kebersihan. Jangan biarkan sampah tercecer seperti ini," kata Bu Risma yang kakinya baru sembuh itu.

Orang Surabaya sudah tidak kaget dengan gaya perempuan wali kota pertama di Surabaya itu. Saya pun sama. Gak kaget. Tapi semalam saya sempat refleksi di warkop pinggir jalan. Malu sama Bu Risma.

Begitu sering saya (kita) melihat sampah-sampah, sarang laba-laba, debu di sekitar kita. Mungkin di kantor, kamar mandi dan toilet, gudang, dsb. Tapi saya tidak langsung turun tangan macam Bu Risma. Ambil sapu untuk bersih-bersih. Atau sekadar memunguti plastik, kertas, daun kering dsb, kemudian memasukkan ke kotak sampah.

Biasanya kita cuma memotret dan unggah ke grup media sosial. Ditambah caption yang mempertanyakan komitmen petugas kebersihan atau office boy. Ke mana saja Mas X? Sampean kan dibayar untuk bersih-bersih?

Wali Kota Risma jelas sangat paham siapa yang bertugas untuk menjaga kebersihan di Jalan Pahlawan dan segala sudut Kota Surabaya. Ada dinas terkait hingga satpol PP yang tugasnya menertibkan pedagang-pedagang nakal itu.

Tapi Bu Risma tidak menelepon dinas kebersihan dan satpol PP ketika melihat sampah-sampah bertebaran di Jalan Pahlawan. Bu Risma juga tidak menjepret lalu mengunggah ke grup pemkot dsb. Bu Risma langsung bertindak.

Bu Risma langsung kasih contoh kepada ratusan pedagang itu. Teladan untuk kita semua. Bahwa bersih-bersih atau menyapu halaman sesungguhnya tidak sulit. Siapa saja bisa melakukannya asal mau. Itu saja.

Bediding, Dingin, Kering, Meranggas

Dingin rasanya akhir-akhir ini. Suhu udara di Surabaya dan Sidoarjo lebih dingin dari biasanya. Apalagi malam hari. Mirip di Trawas atau Prigen atau Batu.

Bagaimana dengan Trawas? "Dingin banget. Saya aja pakai sarung dan selimut malam hari," kata Mbah Gatot, budayawan asal Sidoarjo, yang sudah belasan tahun tinggal di Seloliman, Trawas.

"Memang lagi musim bediding. Suhu udara memang turun jauh. Kami yang di Trawas aja kadang gak tahan," kata mantan panitera di PN Sidoarjo itu.

Bediding. Orang-orang desa memang punya istilah khas ini. Suhu dingin, kering, pada musim kemarau. Biasanya bulan Juni sampai Agustusan.

Para pendaki gunung, pencinta alam, sangat paham fenomena tahunan ini. Maka siapkan jaket tebal, selimut dsb kalau hendak naik wisata ke kawah Ijen atau Browo.

Saat mahasiswa saya dan teman-teman nyaris "mati" kedinginan gara-gara tidak paham bediding. Saat mengikuti kegiatan penting PMKRI di kampung dekat kawah Ijen. Tengah malam semua orang menggigil kedinginan. Lalu bikin semacam api unggun. Berdiang sampai pagi.

Musim bediding ini bagus untuk menanam palawija. Tentu saja untuk petani-petani di daerah yang ada irigasinya. Atau daerah super basah macam di Seloliman yang punya ratusan mata air itu. "Di sini keran justru tidak boleh ditutup. Wajib buka terus meskipun separo," kata Mbah Gatot di Seloliman, Trawas.

Betapa melimpahnya air bersih (bisa langsung minum) di kawasan Jolotundo itu.

 Sebaliknya, betapa keringnya NTT di musim bediding. Setetes air hujan pun tak ada. Tanaman-tanaman mengering. Banyak yang mati. Meranggas.

Tidak ada yang bisa dilakukan di ladang yang kering. Maka musim bediding di NTT, khususnya Pulau Flores bagian timur, juga dikenal sebagai musim PIGI MELARAT (pergi merantau). Paling banyak ke Malaysia Timur. Sebab tidak ada yang bisa dikerjakan di daerah yang tidak punya irigasi itu.

Presiden Jokowi sangat sering berkunjung ke NTT. Paling sering dibandingkan presiden-presiden lain di Indonesia. Kecuali Bung Karno yang selama 4 tahun diasingkan di Ende, Flores (1934-1938).

Karena itu, Jokowi sangat paham persoalan kekeringan TSM (terstruktur, sistematis, masif) di NTT. Jokowi mengalokasikan anggaran untuk bikin embung dan bendungan. Untuk menyimpan air hujan. Saat kemarau alias bediding ini airnya bisa dipakai untuk pertanian. Jokowi baru saja meresmikan bendungan baru di Pulau Timor.

Lalu, bagaimana solusi kekeringan TSM di Flores, Adonara, Solor, Lembata, Alor, Pantar?

Frans Lebu Raya, mantan gubernur NTT dua periode, orang Adonara rupanya belum ketemu solusi. Ada program anggur merah tapi belum bisa mengatasi persoalan alam yang TSM ini. Orang-orang tetap saja pigi melarat ke Malaysia. Cari ringgit di negaranya Tun Mahathir itu.

Selamat menikmati musim bediding.

Selasa, 09 Juli 2019

Air Hidup di Sumur Atawatung

Gereja Stasi Atawatung, Ile Ape, Lembata, NTT. 


Cukup lama saya tertegun di samping Sumur Atawatung di Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini. Dua puluh tahun lebih saya tak sempat mampir di sumur yang pernah menjadi bagian hidup saya itu. Sumur yang berjasa menyediakan air bagi kami di kampung.

Saya perhatikan bagian dalam sumur. Oh, masa sama seperti masa saya SD di Mawa dulu. Ada tonjolan batu besar, dalamnya sekitar 15-20 meter. Airnya pun selalu berlimpah, apalagi di musim hujan seperti ini. Pelataran sumur diplester dengan bagus. Beda banget dengan pemandangan tempo doeloe.

Perbedaan mencolok justru di suasananya. Kali ini, di awal tahun 2011, hanya ada SATU orang ibu yang terlihat sibuk menimba air. Tiga ember hitam ditaruh di bibir sumur. Timbanya pun bukan NERA atau MAYA yang dibuat dari KOLI alias daun lontar (siwalan), tapi plastik. Nuansa khas pedesaan sudah tak ada lagi.

Pikiran saya pun langsung melayangkan ke masa lalu. Dulu, setiap hari puluhan orang selalu memenuhi Sumur Atawatung itu. Jangankan menaruh ember di bibir sumur, kita sangat sulit mendapat tempat untuk menimba air. Begitu ramainya, tali-tali timba selalu melilit ke sana ke mari, tali putus, timba jatuh... dan sebagainya. Ribet bukan main!

Orang-orang Mawa, yang jalan kaki hampir dua kilometer, sering cekcok mulut dengan orang-orang Atawatung, si empunya sumur, karena rebutan tempat. UNO GENING ULI. Hehehe.... Cekcok mulut yang justru menciptakan keakraban di antara penduduk Mawa dan Atawatung. Orang Mawa sebagai tamu sering tidak ‘tahu diri’ karena paling banyak menimba air sumur di Atawatung.

Habis mau timba air tawar di mana lagi? Syukurlah, Tuhan berbaik hati sehingga perigi sederhana itu bisa menghidupi penduduk dua kampung dari generasi ke generasi. Ditimba terus-menerus, sampai jauh malam, tapi stok airnya tetap ada. Di musim kemarau memang sumurnya agak mengering, tapi tidak sampai tandas sama sekali.

Ketika membaca atau mendengar cerita AIR KEHIDUPAN dalam Alkitab, Yohanes 4:1-42, yang selalu muncul di benak saya selalu Sumur Atawatung ini. Sungguh! Sebuah sumur di desa terpencil yang bisa menghidupkan penduduk dari dua kampung sekaligus. Sumur yang tak pernah kering!

Kini, air di Sumur Atawatung masih tetap berlimpah. Tapi kita tak akan pernah lagi melihat warga uyel-uyelan atau UNO GENING ULI seperti dulu. Penduduk Mawa sudah ramai-ramai bikin bak untuk menampung air hujan yang kemudian diolah menjadi air minum. Kemudian ada lagi proyek instalasi penyulingan air laut menjadi air tawar di Desa Bungamuda yang jaringan pipanya menjangkau Mawa dan sekitarnya.

Romantika hidup anak kampung tempo doeloe, kewajiban menyetor jatah air minum untuk guru-guru SD, tak ada lagi. Tapi pengalaman masa kecil tentang air kehidupan, the water of life, dari Atawatung tetap melekat di dalam benak saya. Sampai kapan pun!

Pater Alex Beding SVD Pelopor Pers di NTT




Akhirnya, saya bisa bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi Surabaya, Kamis (17/2/2011) siang. Pater berusia 87 tahun ini sangat terkenal bukan saja di Lembata atau Flores Timur, tapi juga di seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pater Alex Beding SVD adalah pelopor penerbitan pers di bumi NTT dengan surat kabar DIAN yang sekarang sudah padam alias tidak terbit itu. Pekan lalu (9/2/2011), pada peringatan Hari Pers Nasional di Kupang, NTT, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pater Alex Beding menerima salah satu penghargaan bergengsi di bidang pers.

Award atas jasanya mendirikan surat kabar dua minggu DIAN, yang kemudian berubah menjadi mingguan, di Kota Ende, Pulau Flores. “Tapi saya tidak ikut ke Kupang karena ada urusan di Jakarta. Saya cukup diwakili oleh Charles,” kata pastor kelahiran Lamalera, Pulau Lembata, 13 Januari 1924, ini kepada saya.

Pater Alex Beding SVD bangga sekaligus sedih atas penghargaan itu. Bangga karena jasanya sebagai pendiri, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi DIAN diingat pemerintah. Bangga karena pada awal 1970-an, ketika masyarakat NTT masih banyak yang buta huruf, dia bersama misionaris Societas Verbi Divini (SVD) mampu menerbitkan koran yang sukses di NTT.

Tapi, di pihak lain, Pater Alex Beding sangat sedih karena DIAN hanya tinggal nama. Jadi catatan sejarah karena sengaja “dimatikan” oleh pater-pater yang lebih muda. Pater Alex sendiri mengaku tidak diajak bicara dengan keputusan penting mematikan koran mingguan DIAN.

“Tahu-tahu saja DIAN sudah tidak terbit,” katanya memelas. “Ada kebijakan yang sangat berbeda. Saya juga sampai sekarang tidak paham apa pertimbangan mereka-mereka di Ende.”

Koran DIAN memang sangat terkenal di NTT, khususnya Flores dan sekitarnya. Selama bertahun-tahun DIAN menjadi bacaan keluarga kami di kampung, Lewotanah, tercinta. DIAN yang biasanya hanya dilanggan guru-guru SD di kampung biasanya dibaca ramai-ramai para murid SD, kemudian beredar ke mana-mana. DIAN menjadi sumber informasi terpenting di Flores hingga akhir 1990-an.

Menurut Pater Alex Beding, penerbitan pers di Flores sebenarnya sudah dimulai pada 1926 dengan BINTANG TIMUR. Majalah bulanan ini diterbitkan para pastor SVD yang berbasis di Ende. Sebuah keberanian yang luar biasa, boleh dibilang nekat, mengingat pada saat itu hanya segelintir orang NTT yang bisa baca-tulis.

Hanya guru-guru sekolah rakyat (SR) dan murid-murid SR yang bisa membaca. Plus pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Majalah BINTANG TIMUR ini menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia memang belum ada. Hebatnya, menurut Alex Beding, majalah ini dicetak di Jogjakarta dan distribusinya di NTT, khususnya Flores. Bisa dibayangkan biaya distribusi dan lamanya perjalanan dengan kapal laut dari Jawa ke Flores.

Usia BINTANG TIMUR tak sampai 20 tahun. Ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan sesudahnya, NTT yang waktu itu ikut Provinsi Sunda Kecil sama sekali tak punya pers. Tak ada majalah bulanan atau dua bulanan, tabloid, surat kabar. Orang NTT hanya bisa mengikuti informasi melalui radio. Dan, ingat, pada tahun 1950-an radio masih merupakan barang mewah. Dus, boleh dikata, masyarakat NTT benar-benar tak punya akses pada informasi di luar kampung halamannya.

“Sekitar 15 tahun kita di Flores, NTT, vakum dengan media. Orang tidak punya bahan bacaan. Kita mau baca apa?” ujar Pater Alex Beding SVD.

Frater Alex Beding, yang kala itu berusia 27 tahun, ditahbiskan sebagai pastor di Nita, Kabupaten Sika, pada 24 oktober 1951. Alex Beding tercatat dalam sejarah sebagai putra Lembata pertama yang berhasil ditahbiskan sebagai pastor.

Bakat menulis Alex Beding sudah lama diasah seperti juga pemuda-pemuda Lamalera, kampung pemburu ikan paus di Pulau Lembata, yang akhirnya bersekolah dan terlibat aktivitas intelektual. Pater Alex Beding yang masih muda dan energetik cukup lama menjadi pengajar Seminari Menengah Mataloko.

Sebagai pastor intelektual, Alex Beding risau dengan kegelapan yang sedang melanda NTT, khususnya Flores, termasuk Pulau Lembata, kampung halamannya. Sekolah-sekolah rakyat sudah dibuka, tapi masih sedikit. Ada lulusan SR yang disekolahkan di SGB dan SGA sebagai guru-guru desa. Mulai banyak orang NTT yang bisa membaca. Tapi, jika tidak ada bahan bacaan, maka kemampuan baca-tulis ini perlahan-lahan akan hilang. Orang akan menjadi lupa huruf.

Misi SVD di Ende punya Percetakan Arnoldus yang banyak menerbitkan buku-buku katekese untuk pembinaan jemaat Katolik. Tapi, bagi Pater Alex Beding, buku-buku ini terlalu mahal. Siapa yang bisa beli? Sementara rakyat Flores tidak punya uang, masih bergelut dengan kemiskinannya. Alih-alih membeli buku, untuk makan sehari-hari saja masih kurang.

“Saya pikir, satu-satunya jalan adalah membuat surat kabar. Media yang terbit secara rutin, isinya tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan, tapi tetap sejalan dengan pengembangan Gereja Katolik. Bagaimanapun juga sebagian besar orang NTT itu Katolik dan Kristen Protestan,” kenang Pater Alex Beding.

Pater Alex Beding kemudian mendiskusikan gagasan ini bersama Marcel Beding (sekarang almarhum), yang juga kerabatnya. Marcel ini wartawan kawakan yang bekerja di harian KOMPAS, Jakarta. Gayung bersambut. Mereka sepakat menciptakan sebuah dian, lampu kecil, yang akan menerangi masyarakat NTT.

Melalui serangkaian diskusi, negosiasi, perhitungan untung-rugi, analisis segmen pembaca, sistem distribusi, konten, sumber daya manusia, staf redaksi... akhirnya para pembesar SVD di Ende setuju menerbitkan sebuah surat kabar. Persiapan, uji coba, dilakukan tahun 1973.

Termasuk mengurus Surat Izin Terbit (SIT) kepada Kementerian Penerangan di Jakarta. Di masa Orde Baru, 1966-1998, semua penerbitan pers harus punya SIT, yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Bupati Ende Herman Joseph Gadi Djou juga merestui dan mendukung penuh penerbitan surat kabar ini.

Dan pada 24 Oktober 1974 edisi pertama DIAN mulai beredar di bumi NTT. DIAN akhirnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan majalah BENTARA pimpinan Pater Adrianus Conterius SVD. BENTARA ini pun media yang usianya tak sampai 15 tahun.

“Kok tanggal pendirian sama dengan tanggal tahbisan Pater Alex Beding di Nita?” pancing saya.

Sang pastor senior ini tersenyum lebar. “Sengaja dibuat sama agar gampang diingat. Hehehe...,” katanya.

Saat itu DIAN terbit dua mingguan dalam format majalah. Isinya hampir 100 persen tentang berbagai informasi yang terjadi NTT. Pater Alex Beding langsung berperan sebagai pemimpin umum, penanggung jawab, sekaligus menyeleksi dan mengedit naskah-naskah yang masuk. Alex juga akhirnya berhasil meyakinkan Ben Oleona, juga orang Lamalera, Lembata, keponakan Pater Alex Beding, untuk memperkuat redaksi DIAN di Jalan Katedral 5 Ende.

Prinsip kehati-hatian ala pastor-pastor SVD benar-benar diterapkan Pater Alex Beding dalam mengelola DIAN. Karena itu, dalam usianya yang hampir mencapai 30 tahun, DIAN tak pernah menghadapi masalah dengan pemerintah. Pun tidak ada gugatan ke pengadilan atau gangguan terhadap wartawan dan korespondennya.

“Saya bahagia karena sempat merayakan pesta perak, 25 tahun, DIAN. Saya juga bahagia karena penerbitan DIAN ini berlangsung lancar, mulus, hampir tidak ada masalah yang berarti. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik,” katanya.

Keberhasilan DIAN sebagai pers berpengaruh di NTT selama tiga dekade tentu tak hanya berkat kehebatan Pater Alex Beding dan teman-teman Lamaleranya. Pastor-pastor SVD yang berkarya di NTT mendukung penuh. Para pastor ini berperan di lapangan sebagai agen dan distributor. Gereja-gereja baik di paroki maupun stasi menjadi oulet DIAN.

Guru-guru SD di kampung-kampung, yang dulu juga merangkap sebagai katekis-katekis ulung, ikut menjadi pelanggan dan penyalur. Sebuah kerja sama lintas sektoral ala total football yang membuat DIAN mampu berjaya ketika begitu banyak media di luar NTT yang senen-kemis, kemudian gulung tikar, karena kekurangan pembaca dan modal.

Namun, sejarah terus berulang! Nasib DIAN pun pada akhirnya mengikuti jejak BINTANG TIMUR dan BENTARA. Sama-sama meredup, kemudian padam, ketika sang pendirinya kian rapuh dimakan usia.

Tante Tok Panen Kue Keranjang



Jelang xinnian, tahun baru Tionghoa, begini saya mampir ke rumah Tok Swie Giok di Jalan Raden Fatah, kawasan pecinan Sidoarjo. Tante Tok, 70-an tahun, sejak dulu selalu melestarikan tradisi Tionghoa, khususnya dalam soal makanan-makanan khas. Kue bulan, bacang, ronde, dan tentu saja nian gao alias kue keranjang khas tahun baru Imlek.

Rumah tua yang ditempati keluarga besar Tante Tok sepi. Oh, pasti mereka semua di dapur, bikin kue keranjang. Maka, setelah kulo nuwun, dan diterima si Tan, cucunya Tante Tok, saya pun langsung ke dapur. Benar saja. Tante Tok bersama tiga orang lain, salah satunya laki-laki, sedang asyik bikin nian gao.

Tepung ketan diayak. Gula pasir dipanaskan, jadi karamel. Menyiapkan pan dan dandang. Kemudian memasak. Sebagai pembuat nian gao, Tante Tok bertindak sebagai koordinator sekaligus pengawas kualitas. Rupanya, tahun ini tante yang sudah lama ditinggal mati suaminya, yang asli Hokkian (Fujian), itu kebanjiran pesanan. Bisnis musiman nan manis yang selalu ramai sebulan sebelum xinnian alias tahun baru Imlek.

Meskipun kue keranjang sudah banyak disediakan toko-toko makanan (bakery), warga Tionghoa, khususnya yang konservatif, lebih suka buatan rumahan macam produksi Tante Tok ini. Rata-rata mereka sudah punya langganan kue keranjang setiap tahun. Karena itu, Tante Tok tidak perlu promosi, pasang iklan di koran atau radio....

Cukup di rumah saja, telepon berdering... pesanan datang.

Selama hampir satu bulan ini, Tante Tok dan keluarga memang sibuk bukan main. Sebab, kue keranjang yang dibikin mencapai ribuan keping. Salah satu pengusaha asal Bali memesan sekitar 600 kue. Belum pemesanan dari Sidoarjo, Surabaya, dan kota-kota sekitar.

Rata-rata kue keranjang buatan Tante Tok dijual Rp 11.000. Naik sedikit dibandingkan tahun lalu gara-gara inflasi. Padahal, 20 tahun lalu, ketika Tante Tok mulai menekuni home industry ini, harga nian gao hanya Rp 700. Inflasi berapa persen itu?

"Tahun ini pesanan agak kurang. Gak kayak tahun-tahun lalu. Mungkin karena sudah banyak orang yang bikin dan gampang ditemukan di toko-toko," kata Tante Tok yang aktif di Vihara Dharma Bhakti Sidoarjo itu.

Bagi Tante Tok, yang lulusan sekolah Tionghoa di Sidoarjo dan Surabaya, kue keranjang alias nian gao ini bukanlah kue biasa macam pisang goreng, kue tar, bolu, atau kue-kue kering. Nian gao, kata dia, merupakan kue yang suci. Kue khusus yang dipakai untuk bersembahyang, meminta rezeki dari Tuhan Sang Pencipta.

Maka, tidak sembarang bisa bikin kue ini dengan berhasil. Harus memanjatkan doa-doa khusus. Harus keramas dulu. Harus punya niat suci. Hati bersih. Tak ada dendam atau iri hati. Bagaimana kalau si pembuat kue melanggar ketentuan itu? "Pasti kue keranjangnya tidak akan jadi. Nggak bisa matang," tegas Tante Tok.

Tok Swie Giok tak asal bicara. Dia punya pengalaman gagal menyelesaikan kue keranjang karena kebetulan beberapa tahun lalu punya sedikit halangan. Dia coba-coba bikin kue keranjang. Adonan sama, porsi gula, tepung... sudah standar. Perlengkapan memasak oke. Tapi tunggu punya tunggu, berjam-jam, nian gao itu tidak jadi.

Ada juga kejadian dandang yang dipakai untuk mengukus adonan nian gao jebol. Yah, orang boleh percaya boleh tidak, tapi pengalaman Tante Tok ini juga sering dialami oleh encim-encim Tionghoa yang terbiasa membuat nian gao menjelang tahun baru Imlek.

Setelah ngobrol-ngalor ngidul, ditemani secangkir teh Tiongkok yang khas, saya pun pamit. Aha, saya dikasih hadiah empat keping kue keranjang buatan Tante Tok yang terkenal itu. Xiexie nin! Terima kasih banyak, Tante Tok! Semoga tahun kelinci emas ini Anda sekeluarga diberi berkat rezeki dan kesehatan oleh Tuhan Allah!

Xinnian kuaile! Gongxi facai!

Kamis, 04 Juli 2019

Mengenang Pelukis Siti Rijati

Usia yang larut senja, 83 tahun, membuat tubuh Siti Rijati kian ringkih. Pelukis senior Surabaya ini pun tak bisa lagi jalan kaki setiap pagi dan sore 30 menit di depan rumahnya. Tubuhnya yang memang sudah kurus pun tinggal kulit pembalut tulang belaka.

Ketika umat Islam sibuk silturahmi Lebaran, 8-9 Agustus 2013, Eyang Yati, sapaan akrab pelukis aliran realis ini ambruk di rumahnya, Ngagel Jaya Selatan I/16 Surabaya. Asupan makanan yang kurang, kesepian di usia senja, ditambah pikiran yang ruwet, membuat kondisi Siti Rijati semakin menurun.

Jangankan jalan sehat, untuk makan sehari-hari saja pun susah. Syukurlah, Ninik, adik kandung Siti Rijati, lekas bertindak. Dia segera meminta bantuan dokter untuk memeriksa kesehatan eyang kelahiran Mojokerto 24 Januari 1930 ini.

"Kakak saya itu tidak punya penyakit, tapi badannya drop karena lanjut usia," kata Bu Widodo, sapaan akrab Ninik.

Bu Widodo bersama keluarga besarnya kemudian mendatangkan Puji, perawat asal Gresik yang pernah merawat Rijati ketika menjadi korban tabrak lari pada 2008. Sempat membaik, kondisi sang eyang menurun lagi.

"Ibu sulit makan. Makanan yang kita suap tidak ditelan tapi dibiarkan di dalam mulutnya," tutur Puji.

Maka, pihak keluarga meminta bantuan bidan dari klinik milik PTPN di Ngagel untuk memasang sonde alias selang khusus lewat hidung pasien. Makanan cair dimasukkan lewat selang tersebut.
"Kondisi Bu Yati sudah lumayan tapi tidak stabil. Namanya juga orang sepuh ya badannya terus melemah," katanya.

Karena itu, pihak keluarga, kerabat, keponakan, hingga mantan anak kos beberapa hari ini berdatangan untuk membesuk Eyang Rijati. Sayang, sang pelukis yang sudah hajah ini tak bisa diajak berkomunikasi secara normal.

"Kita doakan semoga Tuhan memberi kesembuhan kepada Bu Yati. Beliau ini pelukis senior yang punya pendirian sangat tegas," kata Misgiyanto, pelukis yang pernah tinggal bersama Eyang Rijati.

Jumat 30 Agustus 2013 subuh.

Mbak Anis, keponakan eyang yang tinggal di Jakarta, masuk ke kamar Eyang Yati. Betapa terkejutnya Anis melihat kondisi budenya kaku, tak bergerak. Eyang Siti Rijati pun meninggalkan dunia fana ini dengan tenang.

Meninggal pada hari Jumat, apalagi Jumat Legi, bagi orang muslim Jawa dianggap sebagai kematian yang baik. Khusnul khotimah. Semoga Tuhan memberikan tempat yang layak untuk eyang!

Sesuai wasiatnya semasa hidup, jenazah Siti Rijati sang pelukis senior gemblengan Taman Budaya Jatim dimakamkan di TPU Ngagel. Jadi satu dengan makam Riza Muchtar, putra semata wayangnya yang meninggal tahun 1957.

Makam tua sekitar 100 meter dari makam Bung Tomo itu dibongkar, digali lagi lebih dalam, sebagai tempat peristirahatan terakhir Eyang Yati.

Usai dimandikan, jenazah yang sudah dikafani diangkut ambulans ke Masjid Baitul Falah, Ngagel Jaya Selatan, sekitar 200 meter dari rumah duka. Selepas salat Jumat, jamaah masjid melakukan salat jenazah sebelum diantar ke TPU Ngagel.

Sugeng tindak Eyang Yati!