Senin, 04 Mei 2020

Misa Streaming Laku Keras saat Covid

Orang Indonesia memang rajin beribadah. Apa pun agamanya. Masjid, gereja, pura, wihara selalu penuh. Misa di Gereja Katolik biasa diadakan tiga sampai lima sesi.

Bagaimana dengan misa streaming saat wabah Covid-19?

(Oh ya, para uskup di Indonesia tidak menganjurkan umat Katolik untuk ikut misa online yang rekaman. Harus misa live streaming. Bukan rekaman misa.)

Selama satu bulan lebih ini saya amati misa streaming di Indonesia, khususnya Jawa, sangat ramai. Kecuali di luar Jawa yang jaringan internetnya susah dan paket data mahal. Maka misa streaming di NTT misalnya sepi jemaat.

Misa streaming di Jawa dipastikan ramai. Minggu kemarin (3/4) saya ikut misa streaming Keuskupan Surabaya. Romo Fusi Nusantoro yang pimpin ekaristi dari kapel keuskupan di Jalan dr Soetomo.

Umat yang ikut streaming mass lebih dari 3.500. Mungkin ada yang pindah channel sehingga saat misa berakhir (perutusan) peserta misa tercatat 2.972 orang.

Senin pagi ini saya ikut misa streaming lewat channel Paroki Sambiroto, Semarang. Umat online juga buanyaak. Di atas 2.000 orang. Dari awal sampai akhir angka peserta yang tercatat di YouTube selalu di atas 2.000.

Angka 2.000-an itu luar biasa. Sebab, misa harian di mana-mana hanya diikuti sedikit jemaat. Di Surabaya paling banyak 150 orang. Rata-rata di bawah 100 orang di Paroki Roh Kudus, Rungkut.

Yang menarik, misa streaming yang diadakan gereja-gereja di Eropa dan Amerika tidak banyak umat online-nya. Padahal negara-negara Barat itu sudab bertahun-tahun bikin misa streaming dan online mass.

Minggu lalu saya ikut misa streaming lewat channel gereja di Irlandia. Umatnya tidak sampai 1.000 orang. Sunday Mass di Amerika juga sama.

Misa harian Paus Fransiskus yang pakai bahasa Italia itu pun tidak terlalu banyak umatnya. Masih kalah sama Indonesia. Lagi-lagi ini jadi bukti bahwa orang Indonesia memang sangat haus liturgi atau ibadah.

Semoga virus corona segera berlalu sehingga semua tempat ibadah buka lagi.

3 komentar:

  1. Misa streaming : Ekaristi tanpa Kommuni, seolah mandi tanpa sabun.
    Umat katolik Surabaya lebih enthusias ikut Misa-online, sebab mereka bisa lebih santai, Ekaristi sambil nyamil kacang.
    Ciri2 teman katolik saya, mantan sekolahan St. Louis :
    Tidak kuat jalan kaki, jalan sedikit langsung ngomel.
    Tidak biasa menahan lapar, jam 12 teng, selalu minta makan.
    Pulang Misa langsung pergi Yam-cha. Saya tidak tahu apa artinya Yam-cha.

    BalasHapus
  2. Hahaha iya kayak mandi tanpa sabun. Memang tidak afdol tapi opo maneh? Gereja2 tutup semua. Virus corona benar2 membuat tatanan lama jadi ambruk.

    Jauh sebelum corona saya sudah ikut misa online dari USA dan Kanada. Awalnya gak enak karena tidak ada komuni. Tapi lama2 terbiasa.

    Memang benar ekaristi itu mengenang perjamuan terakhir. Memecahkan roti dan dibagikan kepada para muridnya. Suasana itu yg tidak ada di misa streaming atau online.

    Kalau cuma ingin dengar homili, khotbah, renungan dsb, kita orang tidak perlu ke gereja karena di internet jauh lebih buanyaaak.

    BalasHapus
  3. Tidak seperti Gereja Protestan, menurut Gereja Katolik dan Gereja Orthodoks, ekaristi itu bukan hanya mengenang perjamuan akhir, tetapi mengulangi perjamuan akhir di mana benar-benar terjadi roti dan anggur berubah zat (trans-substansiasi) menjadi tubuh dan darah Kristus. Sesuatu yang menjadi bahan olok-olok orang yang tidak percaya: roti itu, daging dari manusia yang mati 2000 tahun yang lalu, lalu kamu makan?!!

    BalasHapus