Kamis, 03 Oktober 2024

Hotel Ganefo Surabaya: Menelusuri Keindahan Arsitektur Abad 19 di Tengah Modernitas Kota




Di tengah hiruk-pikuk Jalan Kapasan, Surabaya, terselip salah satu bangunan bersejarah yang kaya akan nilai arsitektur dan nostalgia, Hotel Ganefo. Bagi mereka yang lahir di era 1980-an atau sebelumnya, hotel ini mungkin masih terdengar akrab, tetapi bagi generasi muda, tempat ini hampir terlupakan. 

Maureen Nuradhy, dosen Universitas Ciputra Surabaya, menuturkan kisah menarik tentang hotel bersejarah ini.

"Untuk yang seumuran saya dan lahir di Surabaya, biasanya tahu hotel ini. Namun, generasi anak-anak saya jarang sekali ada yang tahu, apalagi lokasinya yang agak tersembunyi di kawasan urban Jalan Kapasan," ujar Maureen. 

Ia mengenang bagaimana di masa kecil, keluarganya beberapa kali mengunjungi hotel ini untuk menemui kerabat atau teman yang menginap di sana, sekitar tahun 1980-an.

Hotel Ganefo adalah salah satu contoh arsitektur bergaya Empire Indische Stijl dengan elemen simetris dan portico besar di bagian depan serta belakang. Fitur ini didesain untuk menanggulangi iklim panas dan lembab khas Surabaya. 

Selain itu, bangunan ini dihiasi tiang-tiang besar bergaya klasik Eropa (neoclassic/classic revival) dan fascia kayu khas Eropa di bawah atapnya, memberikan sentuhan artistik yang unik.

Menurut catatan tertua yang ditemukan, seorang penulis Eropa pernah mengunjungi bangunan ini pada tahun 1890-an untuk menemui The Toan Ing, putra Major The Boen Khe, pemilik rumah besar ini. Namun, data pasti tentang kapan rumah tersebut dibangun masih menjadi misteri. 

"Dari penelusuran yang saya lakukan, saya belum menemukan data kapan rumah ini dibangun," tambah Maureen.

Bangunan ini kemudian dibeli oleh Tan Siong Chiu, dengan plakat izin operasional hotel yang tertanggal tahun 1957. Interior lobi hotel yang dilengkapi dengan mebel bergaya art deco mengindikasikan bahwa perabotan tersebut kemungkinan dibuat pada era 1930-an. 

Namun, tidak semua bagian hotel mempertahankan keaslian dari abad ke-19. "Sisi belakang bangunan sudah tidak orisinil, tampaknya renovasi dilakukan sekitar tahun 1950-an," jelasnya.

Salah satu hal yang paling menonjol dari hotel ini adalah taman bergaya Tionghoa yang dulunya menghiasi bagian belakang bangunan. Maureen mengingat bagaimana saat kecil ia sering menikmati keindahan taman tersebut, lengkap dengan kolam, bonsai, dan miniatur bangunan khas Tionghoa. 

"Sayangnya, sekarang hanya sekitar 10 persen dari taman aslinya yang tersisa," kenangnya. 

Penulis Eropa yang pernah mengunjungi tempat ini pada 1890-an juga mendeskripsikan taman yang sama, menunjukkan bahwa taman tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari bangunan sejak awal.

Maureen menyampaikan harapannya agar Hotel Ganefo, terutama tamannya, dapat direstorasi. "Seandainya ini direstorasi, betapa indahnya. Apalagi mengingat sangat jarang ada peninggalan taman abad ke-19 di Surabaya," ungkapnya.

Sementara itu, Budi, anggota komunitas sejarah Surabaya, menambahkan informasi penting tentang perubahan yang dialami Hotel Ganefo. "Sebelum proyek pelebaran jalan pada era 1970, gerbang hotel Ganefo lebih terlihat kemegahannya. Tapi pemandangan itu sudah terhapus dari memori saya," ujarnya. 

Ia juga menyebutkan bahwa di seberang hotel terdapat kantor polisi Seksi 5 yang konon dibangun pada era yang sama dengan hotel ini.

Menariknya, Budi juga mengungkapkan bahwa moyangnya datang dari Tiongkok dan tinggal di perkampungan sekitar Seksi 5 pada tahun 1900-an. "Keluarga saya dulu tinggal di area ini, dan setiap kali saya melintas di depan hotel ini, ada rasa nostalgia yang kuat," tambahnya.

Hotel Ganefo bukan hanya sebuah bangunan tua, tetapi sebuah saksi sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Keberadaannya di Surabaya bukan hanya menjadi bagian dari nostalgia, tetapi juga potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah yang mengedepankan keindahan arsitektur dan budaya.

Rabu, 02 Oktober 2024

Kawan Lama Daniel Kumanireng Masih Berjuang untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan sudah dua tahun berlalu. Sebanyak 135 orang suporter Arema FC meninggal dunia. Banyak orang sudah lupa, move on, tapi tidak bagi keluarga korban.

Salah satunya Daniel Doweng Kumanireng. Belum lama ini Daniel bersama beberapa keluarga korban dan pengacara datang ke Surabaya. Mempertanyakan restitusi atau santunan yang dulu dijanjikan.

"Sudah dua tahun kami tunggu. Belum ada realisasi," kata Daniel yang asli Flores Timur itu.

Daniel Doweng kawan lama zaman persekolahan di Larantuka, Flores. Saya lebih dulu merantau ke Malang. Dia menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Lalu kuliah di Malang.

Belakangan saya tahu Daniel jadi dosen kampus swasta di Malang. "Kawan kita itu benar-benar penggemar sepak bola. Khususnya Arema," kata Gabriel Hokon, juga teman satu sekolah di Larantuka, kini tinggal di Kenjeran Surabaya.

Rupanya hobi nonton bola di Gajayana, kemudian pindah homebase di Kanjuruhan si Daniel menular ke Philip Kumanireng, anaknya. Philip selalu nonton Arema main.

Takdir tak dapat ditolak. Philip jadi korban tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu. Philip meninggal bersama pacarnya di dalam Stadion Kanjuruhan.

Daniel kehilangan anak kesayangan + calon menantu. Betapa hancur hati kawan itu. Setelah dua tahun Daniel sudah bisa berdamai dengan takdirnya. Namun janji restitusi itu tetap ditagih Daniel bersama ratusan keluarga korban Kanjuruhan.

Semoga di era Presiden Prabowo ada secercah harapan meski saat ini Kabinet Merah Putih masih sibuk membahas program makan siang gratis.

Selasa, 01 Oktober 2024

Gaya dan Karakter Penulis Blog Ini Menurut Penilaian AI

Kecerdasan buatan, AI, makin diminati di era digital. Makin lama jawaban dan solusinya makin akurat. Lama-lama makin banyak pekerjaan yang diambil alih oleh AI.

Ama Hurek iseng mengetes mesin AI dengan 10 pertanyaan. Mulai soal musik, sastra, jurnalistik, agama secara umum, gereja, liturgi, tempat wisata, hingga masa depan surat kabar.

Luar biasa! Jawaban AI ternyata sesuai dengan yang saya pikirkan. Akurasinya mendekati 100%. Dari 10 pertanyaan hanya 2 saja yang agak kurang pas. Tapi tetap nyambung.

Ama Hurek lalu menyodorkan dua tulisan di blog ini untuk dinilai. Bagaimana karakter orang ini dilihat dari gaya dan konten tulisannya?

Berikut jawaban AI:

 Berdasarkan tulisan tersebut, karakter penulisnya cenderung memiliki ciri-ciri berikut:

1. Nostalgik:
 Penulis sering mengenang masa lalu, seperti lagu-lagu lama, suasana kafe jadul, dan kenangan akan musik yang pernah populer. Ini menunjukkan bahwa ia sangat menghargai memori masa lalu dan merasakan kehangatan emosional dari kenangan tersebut.

2. Pecinta Seni dan Musik:
 Penulis memiliki pengetahuan yang mendalam tentang musik, termasuk jazz, pop, hingga lagu-lagu lama Indonesia. Ia menyebut beberapa nama artis dan komposer dengan apresiasi yang tinggi, serta menggambarkan suasana musikal dengan sangat detail.

3. Santai dan Reflektif: 
Gaya tulisannya cenderung mengalir dengan kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaan dan pengamatan dengan santai. Penulis juga sering menyelipkan renungan tentang kondisi sosial atau isu-isu yang sedang terjadi, seperti bencana dan situasi ekonomi, tetapi dengan nada reflektif yang tidak terlalu berat.

4. Cermat terhadap Detail:
 Penulis sangat detail dalam menyampaikan informasi, mulai dari nama-nama artis, judul lagu, hingga lokasi-lokasi yang dikunjungi. Ini menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap detail, baik dalam musik maupun pengalaman pribadi.

5. Rasa Cinta terhadap Tanah Air:
 Walaupun tulisan ini berbicara tentang kenangan pribadi, penulis juga menonjolkan rasa cinta dan kebanggaannya terhadap Indonesia, khususnya melalui apresiasi terhadap keindahan alam dan karya seni Indonesia, seperti lagu "Indonesia Sungguh Indah Permai."

Secara keseluruhan, penulis tampaknya seseorang yang peka terhadap seni, memiliki kenangan yang kuat terhadap masa lalu, dan menghargai pengalaman-pengalaman kecil dalam hidupnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya dan musik.

Jumat, 13 September 2024

Pater Dr Markus Solo SVD, Poliglot Hebat dari Flores Timur, Pendamping dan Penerjemah Paus Fransiskus

Di pelosok kampungku nun jauh di sana Pater Dr Markus Solo SVD dikenal sebagai pencipta lagu-lagu pop Lamaholot. Paling terkenal dan sangat viral adalah Selen Ro. Lagu ini selalu jadi pengiring tarian di Flores Timur, Lembata, dan daerah lain di NTT. 

Lagu Selen Ro jadi sangat viral setelah dibawakan Ancis Matarau. Kebetulan penyanyi ini satu daerah dengan saya. Satu kecamatan tapi beda desa di Lembata. 

Pekan lalu, Romo Markus Solo jadi sorotan dan viral di grup-grup NTT. Maklum, pater asal Lewouran, Flores Timur, ini jadi pendamping sekaligus penerjemah Paus Fransiskus saat berkunjung ke Indonesia. Pastor itu memang sudah lama jadi staf di Vatikan. 

Pater Markus yang seniman ini poliglot sejati. Menguasai banyak bahasa dunia. Bahasa Inggris sudah pasti. Bahasa Latin sebagai bahasa liturgi jelas bisa. Bahasa Italia, Jerman, Prancis, Portugis, Spanyol, hingga bahasa Arab. 

Itu belum termasuk bahasa Indonesia, Nagi Larantuka, Lamaholot sebagai bahasa ibu dan entah bahasa apa lagi.

Seandainya Paus Fransiskus pekan lalu berkunjung ke Pulau Flores bisa dipastikan lagu ciptaan Pater Markus Solo, Selen To, akan diputar. Dan ribuan orang akan menari bersama Tarian Selen untuk menyambut Santo Bapa dari Vatikan.

Kamis, 12 September 2024

Mendampingi Karin, keponakan yang kuliah di Stikes RKZ Surabaya

Karin diam-diam memilih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) RKZ Surabaya. Gak nyangka keponakan satu ini sudah jadi mahasiswa. Gadis remaja yang pengen jadi perawat.

Beta sebagai paman sampai pangling melihat wajah Karin yang berubah. Beda banget dengan saat masih SD dan SMP di Kupang dulu. Pertumbuhan anak dan remaja memang sangat cepat.

Kali terakhir saya bertemu Karin pada 25 Juli 2019. Saat mudik ke NTT lantaran ayah kandung meninggal dunia di Pulau Lembata. Lima tahun lalu Karin masih kecil dan manja.

Karin putrinya Vincentia Hurek, adik kandungku. Ayahnya Hendrik Watun, sekarang Kepala SMAN 6 Kupang. Hendrik cukup terkenal di Kupang karena sekolahnya jadi pilot project alias uji coba sekolah mulai pukul 05.00 oleh Gubernur NTT Victor Laiskodat.

Kebijakan yang kontroversial itu akhirnya dicabut setelah Victor lengser sebagai gubernur. "Capek sekali, Ama. Kita mesti bangun jam 3 tiap hari," kata Hendrik yang asli Desa Baopukang, Lembata.

Awalnya saya ingin Karin tinggal di Asrama RKZ. Apalagi ibu asrama dan pembinanya suster-suster SSpS yang punya Rumah Sakit RKZ Surabaya. Tapi Karin lebih suka ngekos di dekat kampus. 

"Mahal sonde apa-apa," kata bapaknya. "Yang penting Karin bisa jalan kaki ke kampus. Surabaya terlalu banyak kendaraan. Macet. Kurang aman untuk anak perempuan."

Apalagi Karin ini tidak bisa nyetir sepeda motor. Andaikan naik Gojek saban hari, maka pulang pergi sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Sebulan bisa habis 1.500 untuk transportasi.

Karena itu, Karin punya bapak lebih memilih kos yang agak mahal tapi biaya transportasi Grab atau Gojek nol rupiah. Luar biasa cara berfikir orang Kupang. Beta angkat topi!

Saya akhirnya jadi wakil orang tua alias wali mahasiswa. Mendampingi Karin pada hari pertama PKKMB - istilah baru untuk Ospek jaman old. Banyak hal yang sama dengan kuliah jaman old tapi ada juga banyak kebijakan baru di bidang perkuliahan ala Kampus Merdeka, Merdeka Belajar dan sebagainya.

Selamat kuliah di Surabaya, Karin!

Selamat berjuang dan belajar menempa diri jauh dari bapa dan mama di Kupang!

Ada & Tiada! 10 Seniman Jatim pamer karya tiga dimensi di Galeri Prabangkara Surabaya

Pameran lukisan digelar hampir saban hari di Surabaya. Mulai pelukis junior, setengah tua, senior (tua). Karya pelukis-pelukis yang sudah meninggal pun sering dipamerkan dan dijual. 

Kali ini sedikit berbeda. Sepuluh pelukis menggelar pameran bersama karya-karya tiga dimensi di Galeri Prabangkara, Gentengkali, Surabaya, 11 September 2024. Patung, boneka, instalasi. Judul pameran: Ada & Tiada.

Sepuluh seniman itu Abdun JA, Alvin AA, Bayu S, Mg Kirman, Widodo Basuki, Jenny Lee, Rano IK, Rachmad Priyandoko, Sukron S, Rifqi M.

Semuanya asal Jawa Timur. Saya kenal beberapa nama dan karyanya. Widodo Basuki wartawan senior, pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa Jaya Baya, ternyata seniman serbabisa. Jenny Lee sudah tak asing lagi di Surabaya.

Widodo Basuki jelas orang sibuk. Selalu ditekan tenggat waktu alias deadline dan membuat tulisan-tulisan berbahasa Jawa untuk majalahnya. Tapi selalu ada waktu baginya untuk berkarya.

Kesenian ibarat makan minum atau ibadah bagi Cak Widodo. Karena itu, ia berkarya kapan saja. Ada atau tiada pameran bersama, atau pameran tunggal, ia selalu kerja kerja kerja... kerja kesenian.

Patung karya Widodo cukup menarik. Ada tiga pengunjung cewek terpana melihat objek yang dibuat Widodo. "Ini patung apa, Pak?" 

Widodo menjawab, "Wakil rakyat yang tertidur". Tiga cewek tersenyum.

 Entah apa yang dia fikirken. Semoga para wakil rakyat tidak tidur saat sidang soal rakyat!

Agus Koecink, dosen, seniman, wartawan, aktivis, jadi kurator plus provokator pameran 3D ini. Agus sengaja mengajak seniman-seniman untuk pamer karya tiga dimensi karena sudah terlalu banyak pameran lukisan 2D. Biar ada variasi.

Apalagi di Jawa Timur ada banyak seniman yang aktif bikin patung, keramik, boneka, toys dan karya-karya 3D. Mereka jarang dapat tempat untuk unjuk karya ke publik. Malah lebih banyak pameran di luar Jawa Timur. Khususnya Jogjakarta.

Tak kenal maka tak sayang. Masyarakat jadi asing dengan seniman-seniman patung. "Bakal ada pameran lebih besar lagi," kata Agus Koetjing.

Rabu, 11 September 2024

Misa Paus Fransiskus di Timor Leste cetak rekor dunia! Ordinarium Gregorian VIII bukan Misa Lauda Sion ala Jakarta

Sudah saya duga kunjungan Paus Fransiskus di Timor Leste jauh lebih meriah ketimbang di Indonesia. Hampir separo penduduk negara tetangga itu turun ke jalan untuk mengelu-elukan Bapa Suci.

Pemandangan seperti itu tidak mungkin ada di Indonesia yang hanya 3 persen penduduk beragama Katolik. Misa Paus Fransiskus di Stadion GBK Jakarta diikuti sekitar 100 ribu jemaat. Angka yang bukan kaleng-kaleng untuk ukuran negara mayoritas muslim.

Misa Paus Fransiskus di Timor Leste memang luar biasa. Dahsyat! Merinding menyaksikan 700 ribu hingga 800 ribu orang menyemut di lapangan berdebu. 

Timor Leste, terlepas dari segala kekurangannya, membuktikan diri sebagai salah satu dari sedikit negara Katolik di dunia. Mungkin 97 persen penduduknya bergama Katolik.

Sudah saya duga perayaan ekaristi di Timor  Leste menggunakan lagu ordinarium Misa Gregorian VIII. Lagu gregorian ini memang sangat populer di Timor Leste dan NTT. Bahkan di seluruh dunia.

Sebaliknya, di Jawa Gregorian VIII sangat tidak populer meski sejak dulu dimuat di buku Madah Bakti dan sekarang Puji Syukur. Orang Katolik di Jawa lebih akrab dengan Misa Lauda Sion.

Karena itu, ordinarium Misa Lauda Sion yang dibawakan saat Misa Paus Fransiskus di Jakarta. Semua orang Katolik di Jawa pasti sangat hafal lagu lawas itu. Sebaliknya, semua orang Katolik asal NTT pasti tidak hafal dan bingung diajak nyanyi Misa Lauda Sion.

Paus Fransiskus akan segera mengakhiri lawatan apostoliknya di Singapura. salah satu negara terkaya di dunia. Sebelumnya melawat negara termiskin di dunia, Timor Leste.

Biasanya penghayatan iman orang miskin berbeda dengan orang kaya. Karena itu, sudah bisa dipastikan Paus Fransiskus tidak akan disambut dengan sorak-sorai meriah seperti di Timor Leste.

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya kerajaan surga!