Sudah lama saya tidak mendengar misa dolo-dolo dinyanyikan saat misa di gereja-gereja katolik di Jawa Timur. Misa senja, misa syukur juga tidak terdengar lagi. Mungkin sudah lima atau enam tahun ini.
Bisa jadi karena selera umat di Jawa Timur berubah. Kor-kor sekarang saya amati lebih suka lagu-lagu ordinarium misa yang panjang + lengkap ala Gregorian.
Misa Kita IV paling populer di Jawa Timur meski komposisinya paling sulit ketimbang misa-misa lain di buju Puji Syukur. Dari 10 kali misa yang saya hadiri di Surabaya, Malang, Pandaan, atau Mojokerto mungkin 9 kali pakai Misa Kita IV ciptaan Romo Antonius Sutanta SJ (+).
Padahal, dulu lagu-lagu misa gaya Flores sangat populer di seluruh Indonesia. Lagunya gampang, pendek, enak, mudah diikuti siapa saja tanpa perlu menguasai notasi. Dolo-dolo ini jelas lagu hafalan tanpa teks atau partitur di Flores Timur dan Lembata.
Saya baru ngeh setelah membaca obrolan di grup liturgi media sosial beberapa bulan lalu. Ada topik tentang Misa Dolo-Dolo dilarang dibawakan dalam perayaan ekaristi karena teks atau syairnya tidak sesuai dengan TPE: tata perayaan ekaristi.
Saya cek akun Pusat Musik Liturgi (PML) Jogjakarta. Sebab, PML yang menerbitkan buku Madah Bakti yang isinya sangat dominan lagu-lagu inkulturasi. Berkat jasa PML pula lagu misa dolo-dolo dan misa gaya daerah lain sangat populer di Indonesia.
Madah Bakti kemudian diganti buku Puji Syukur pada tahun 1990-an. Sejak itu lagu-lagu liturgi inkulturasi mulai berkurang. Semua lagu inkulturasi ciptaan Paul Widyawan (+), dedengkot PML dihilangkan. Tapi misa dolo-dolo masih ada di Puji Syukur Nomor 357, 358, 395, 416.
Kalau memang ada di Puji Syukur sejak 1990-an, mengapa misa dolo-dolo dilarang? Kawan-kawan yang aktif di paduan suara, dirigen lingkungan, wilayah atau kategorial pasti lebih tahu informasi terbaru. Saya hanya umat awam.
Direktur PML Pastor Karl Edmund Prier SJ tak lama sebelum meninggal dunia sempat meluruskan isu pelarangan misa dolo-dolo ini. Sebagai penerbit Madah Bakti, komponis, mahaguru, pakar musik liturgi kelas dunia, Romo Prier menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan misa dolo-dolo.
Pastor asal Swiss ini menunjuk buku nyanyian liturgi di Jerman sebagai perbandingan. Syair-syairnya tidak semua mengikuti TPE tapi lebih sederhana ala dolo-dolo. Dan sampai sekarang tidak masalah di Jerman.
Romo Prier bahkan menyebut lagu misa dolo-dolo sebagai lagu yang enak dan sangat mengumat karena berisi dialog antara solis, umat, imam. Dialog seperti ini penting dalam liturgi.
Karena itu, Romo Prier tidak setuju kalau misa dolo-dolo dilarang dibawakan di seluruh Indonesia. Semua keuskupan punya otonomi dan otoritas untuk menentukan lagu-lagu liturgi di wilayahnya masing-masing.
Dus, tidak harus mengikuti Komisi Liturgi KWI di Jakarta. "Jangan membuat umat bingung," kata Romo Prier yang sepanjang hayatnya fokus menggeluti musik liturgi, khususnya inkulturasi.
Sabtu pagi, 11 Mei 2024, masih ada pertanyaan dan diskusi soal misa dolo-dolo dan puji syukur. Apakah benar sudah dilarang dibawakan di gereja-gereja?
Yos Dato, praktisi liturgi dari Timor, NTT, menulis begini:
"Benar sekali (misa dolo-dolo dan misa syujur dilarang). Lagu Ordinarium adalah salah satu bagian penting dalam liturgi Gereja Katolik khususnya, dan penempatan lagu Ordinarium searah dengan tuntutan liturgi Katolik.
Mari kita melihat kembali bahwa liturgi adalah hal yang penting dan oleh karenanya umat butuh keheningan batin, dan liturgi itu harus khusuk. Untuk lagu Ordinarium dalam anjuran PUMR, SC, dan MS.
Dijelaskan bahwa lagunya tidak panjang, teksnya harus berdasarkan anjuran TPE dan tidak bersifat solo. Oleh karenanya, keempat lagu tersebut wajib menggunakan lagu Ordinarium berdasarkan anjuran dokumen resmi Gereja.
Mengenai lagu misa dolo-dolo kita harus lihat syairnya apakah sejalan dengan TPE atau tidak. Apakah ketika kita buat perbandingan ada perbedaan tidak?
Nah, ketika dibedah dua lagu antara dolo-dolo dan misa senja seperti yang saya katakan bahwa syairnya tidak sesuai dengan anjuran tata musik liturgi yang benar. Oleh karenanya, lagu-lagu ordinarium yang bersifat solo saat ini dihentikan bahkan ditidakan.
Kembali lagi bahwa lagu tersebut juga masih berbau profan walaupun enak didengar dan mudah diikuti oleh umat. Karena saking enaknya maka musik pun layaknya pesta.
Liturgi resmi gereja KWI saat ini sedang melakukan berbagai sosialisasi di gereja-gereja lokal karena umat saat ini lebih euforia ke hal-hal yang berbau profan dibandingkan dengan musik suci."
Mudah-mudahan umat Katolik tidak bingung. Khususnya jemaat di Flores Timur dan Lembata yang menjadi daerah asal lagu dan tarian dolo-dolo.